Pendahuluan Peran dan fungsi politisi perempuan Indonesia di partai politik boleh dikata masih belum diperhitungkan. Mereka cenderung hanya sebagai pelengkap, menjadi alat bagi partai politik untuk memenuhi syarat keikursertaan dalam pemilu. Memang sudah ada tindakan affirmative bagi politisi perempuan, berupa kebijakan tentang kuota yang memberikan kesempatan bagi perempuan untuk terlibat dalam pesta demokrasi yang rutin diadakan lima tahun sekali. Lalu affirmative action tentang susunan pengurus Partai Politik yang mempertimbangkan sebanyak 30% dari total pengurus adalah perempuan belum menunjukkan hasil maksimal terhadap peningkatan partisipasi perempuan di bidang politik. Bahkan jumlah keberadaan perempuan di lembaga perwakilan, baik di tingkat nasional seperti DPR RI hingga parlemen lokal di daerah kabupaten dan kota persentasenya tak lebih dari 20%. Menurut data dari Inter Parliamentary Union (IPU), hingga 31 Desember 2013, jumlah politisi perempuan yang berhasil menempati posisi sebagai wakil rakyat di berbagai negara dunia masih rendah, yakni rata-rata 21.4% (Union 2013). Dari data yang sama, Indonesia, di antara 188 negara di dunia, berada pada urutan 76 dengan persentase perempuan di parlemen secara nasional berkisar pada 18% saja. Ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Pemilu yang berisi kebijakan afirmatif melalui kuota guna mendorong keterlibatan perempuan di politik, dan Undang-Undang tentang Partai Politik terkait susunan pengurus Partai Politik yang menyertakan 30% perempuan tidak serta merta memberikan kesempatan kepada politisi perempuan sebagai calon wakil rakyat yang akan dipilih dan malah mereka tidak akan otomatis menempati satu kursi di lembaga perwakilan. Jadi sama sekali tidak ada peluang gratis bagi politisi perempuan untuk bisa duduk di parlemen. Kalaupun ada kebijakan kuota, justru itu hanya memberikan kesempatan sebagai caleg, dan setelah itu mereka harus berkompetisi dengan caleg lainnya, yang umumnya laki-laki, untuk meraih suara sebanyak-banyaknya. Si caleg harus berjuang sendiri dengan menerapkan berbagai strategi pemenangan demi meraih suara terbanyak di wilayahnya Karena untuk bisa duduk di lembaga perwakilan bukan sesuatu yang diperoleh dengan mudah, maka politisi perempuan mesti berupaya keras. Kesempatan yang diberikan atas nama kuota hanya sebatas tahap awal ikut berpartisipasi di politik, sedangkan untuk bisa terpilih dan memperoleh suara banyak agar duduk di lembaga perwakilan adalah suatu tantangan hebat dan butuh usaha tersendiri. Dalam konteks ini politisi perempuan tak bisa bekerja sendiri. Meski sudah memiliki kemampuan dan potensi serta sumber daya, itu semua belum bisa diandalkan untuk mendapatkan kursi di lembaga perwakilan rakyat. Untuk bisa mendapat sebutan ‘caleg’, dibutuhkan lembaga formal sebagai sarana resmi untuk mendukung upaya mereka. Artinya caleg butuh media yang mengantarkan mereka dari gerbang ranah persaingan politik guna mendapatkan suara, yakni partai politik. Hanya saja, ketika politisi perempuan masuk ke partai politik, ternyata tidak mudah untuk mencapai tujuan agar bisa duduk di lembaga perwakilan rakyat. Justru di partai politiklah titik awal ketangguhan mereka harus dibuktikan. Bisa jadi benar seperti dikatakan pengamat politik bahwa partai politik adalah kendaraan untuk bisa masuk ke lembaga perwakilan (Bennet 2009), namun itu tidak semudah yang dibayangkan. Banyak kendala, tantangan dan hambatan yang bersifat eksternal dan internal dalam proses menjelang, saat, dan pasca-pemilu. Tulisan ini berusaha mengungkap bagaimana realitas politisi perempuan di dalam partai politik, proses rekrutmen mereka, persaingan ketat dengan sesama kolega partai yang umumnya laki-laki menjelang pemilihan umum, dan upaya dukungan dalam menyiasati tantangan yang dihadapi ketika berhadapan dengan banyaknya anggapan bahwa politik bukan dunia perempuan. Ketika politisi perempuan berada di wilayah politik yang ‘dianggap’ oleh pola pikir mainstream bukan dunianya, tindakan dan perilaku politik yang bagaimana yang mereka mainkan sehingga bisa terpilih dan mendapatkan kursi di lembaga perwakilan. Lalu, setelah Pemilu dan terpilih, apakah keberadaan mereka di parlemen yang jumlahnya sedikit itu berpengaruh pada kinerja mereka? Berikut ini dijelaskan uraian terkait dengan pertanyaan di atas. Rekrutmen Perempuan dalam Partai Politik Ada tiga tahap model rekrutmen politik yang dikembangkan oleh Lovenduski dan Martland dalam melihat tantangan seorang warga negara ketika berpartisipasi dalam bidang politik yang disebutnya tantangan kritis dan meliputi: tahapan pertama memutuskan untuk ikut berpolitik, dalam hal ini diawali dengan niat dan motivasi si caleg untuk terlibat di dunia politik, tahapan kedua adalah sukses diseleksi oleh pimpinan partai politik sebagai caleg, dan tahapan ketiga adalah dipilih oleh konstituen, yakni rakyat (Paxton and Hughes 2007). Ketiga tahapan yang merupakan tantangan kritis ini tak bisa tidak harus dilewati bila seseorang ingin berada di lembaga perwakilan. Dalam konteks sistem politik, Pemilu dan caleg perempuan di Indonesia, berbagai strategi sudah harus dipersiapkan untuk menjawab tantangan tersebut. Tantangan yang dihadapi di tahap pertama saat persiapan menjelang Pemilu berasal dari si caleg sendiri. Memutuskan untuk ikut sebagai caleg demi memperoleh kursi di parlemen adalah keputusan penting yang sudah diperhitungkan dengan matang, sebab sudah harus siap dan bertekad menghadapi tantangan dari berbagai pihak. Tahapan kritis kedua, caleg perempuan mesti lulus seleksi di partai politik. Di sini, peran petinggi partai politik sangat dominan dalam menentukan caleg yang mewakili partainya. Pimpinan Partai Politik yakin dengan keputusannya bahwa caleg dipilih adalah yang berkualitas, mewakili partai dan mampu berjuang meraih suara untuk sebuah kursi atas nama partai di parlemen. Tahapan ketiga dan yang paling menentukan untuk bisa duduk di parlemen adalah dipilih oleh voters atau konstituen. Boleh jadi, pada tahapan pertama si caleg perempuan tak harus berkompetisi dengan pihak lain, tapi setidaknya dia sudah harus siap dengan segala konsekuensi sebagai politisi perempuan yang sedang berjuang untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya. Secara pribadi ia harus siap terlibat dengan berbagai bentuk strategi dan sepak terjang politisi di dunia politik, dunia yang dianggap keras penuh intrik dan lobi. Parahnya lagi, sebagian besar orang memiliki pandangan yang merendahkan politisi perempuan. Masyarakat awam meragukan kemampuan perempuan sebagai politisi yang tidak setanggguh laki-laki. Anggapan utama adalah bahwa politik bukan tempat yang tepat untuk perempuan, karena perempuan memiliki tanggung jawab dan tugas utama di ranah domestik seperti mengurus anak, dan segala pernak-pernik rumah tangga, sehingga tak punya cukup energi dan waktu lagi untuk berkiprah di dunia politik. Sebaliknya laki-laki di mata masyarakat awam tidak memiliki beban dan tidak dibebani tanggung jawab domestik, sehingga politisi laki-laki mampu meluangkan waktunya full time untuk pekerjaan di bidang politik ini. Sementara itu, bagi perempuan yang utama adalah urusan domestik dan rumah tangga. Jelas tampak ketidakadilan yang didasarkan pada kontruksi sosial masyarakat. Berdasarkan konsep partisipasi politik yang disebut dengan ‘supply and demand concept’ oleh sejumlah ahli politik, dalam tahap pertama ini, yang disebut dengan konsep suplai, politisi perempuan lebih mengalami tantangan yang bersifat kesiapan psikologis dan terkait dengan motivasi, serta pengalaman pribadi si caleg perempuan itu sendiri. Pada tahapan dua dan ketiga yang disebut demand, tahap ini sudah berkaitan dengan kondisi sosial politik budaya dan kelompok lain yang menuntut pembuktian ketrampilan, kapabilitas dan potensi si politisi perempuan dalam arti yang sesungguhnya, yakni sebagai seorang politisi yang memiliki kapasitas, potensi dan sumber daya yang mampu berkompetisi untuk pemenangan pemilu. Dalam tahapan ini caleg perempuan berada dalam posisi sebagai anggota salah satu partai politik, dan diseleksi oleh pihak pimpinan partai politik untuk mewakili partai mereka. Banyak fenomena bermunculan ketika perempuan berada di dalam partai politik, antara lain anggapan lazim bahwa dunia politik adalah dunianya laki-laki, dan itu dibuktikan dengan tidak banyaknya jumlah politisi perempuan yang aktif di partai politik. Menjadi suatu tantangan tersendiri terhadap keberadaan perempuan di partai politik, apakah mereka diperhitungkan atau hanya sama dengan kucing dalam karung. Apalagi sudah ada anggapan masyarakat bahwa politik dianggap sebagai dunianya manusia yang berjenis kelamin laki-laki. Adalah kenyataan yang tak dapat dibantah bahwa politik di Indonesia adalah politik patriarki. Kenyataan bahwa konstruksi sosial budaya pemerintahan di Indonesia bersifat patriarkal ini bisa dilihat dari berbagai lembaga; pemerintahan, politik, pendidikan. Pada institusi-institusi tersebut, hampir semua petinggi, pihak yang berhak mengambil keputusan, dipegang oleh laki-laki. Jabatan strategis di partai politik tampak jelas didominasi oleh laki-laki. Kalaupun ada perempuannya, maka jumlah mereka yang memiliki posisi sebagai pemimpin dan penentu kebijakan sedikit sekali persentasenya, karena banyak perempuan tidak berada dalam posisi sebagai pengambil keputusan. Mereka adalah pekerja administratif belaka. Bila dilakukan kalkulasi objektif apakah seseorang layak atau tidak untuk menjadi caleg, besar kemungkinan politisi perempuan akan tersisihkan, karena yang umumnya menjadi pertimbangan untuk dipilih sebagai caleg adalah mereka yang memiliki posisi atau jabatan sebagai unsur pimpinan. Ini jelas tidak konstruktif untuk politisi perempuan, dan malah berdampak negatif ketika mereka dipilih untuk menjadi caleg. Karena pada seleksi awal salah satu komponen yang biasanya mendapat poin besar adalah apabila si caleg berasal dari unsur pimpinan partai politik, umumnya keputusan penentuan caleg adalah kewenangan internal para pucuk pimpinan Partai Politik yang cenderung subjektif. Meski sudah ada Undang-Undang No.2 tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU No.2 tahun 2011 tentang perubahan atas UU No.2 tahun 2008 tentang syarat pendirian Partai Politik menyebutkan ketentuan kepengurusan partai politik mulai dari tingkat pusat hingga provinsi, kabupaten dan kota disusun dengan memperhatikan 30% keterwakilan perempuan dalam pengurusan partai politik. Faktanya memang ada pengurus perempuan di partai politik, tapi hampir di setiap partai politik tetap saja jajaran pengurus intinya di dominasi laki-laki. Mereka berada di posisi strategis sebagai pengambil keputusan. Sebaliknya tak banyak politisi perempuan menjadi bagian dari pengurus inti sebuah partai politik, sehingga ketika keputusan penting diambil oleh dominan laki-laki, dan jelaslah sedikit banyak ada bias kepentingan laki-laki yang diutamakan. Tampak jelas di sini ada bias gender yang mengarah pada dirugikannya kader partai perempuan. Minimnya perempuan di pengurus inti partai politik berpengaruh pada keberhasilan caleg perempuan untuk bisa masuk dalam bursa daftar calon tetap yang ada datanya di Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan pada akhirnya akan berpengaruh pada jumlah keterwakilan mereka di lembaga perwakilan rakyat. Kondisi ini bisa jadi disebabkan beberapa faktor: 1). UU tentang Partai Politik bersifat setengah hati dalam memberikan kesempatan kepada perempuan sebagai pengurus. 2). Butuh waktu untuk mendapatkan kader yang potensial dan memiliki kapabilitas dan kapasitas dan 3). Komitmen partai politik yang sensitif gender. Faktor pertama adalah karena undang-undang tersebut sepertinya hanya bersifat menyarankan, dan tidak menyebutkan kata kewajiban untuk mengikutsertakan perempuan, dan pernyataan tentang teknis penyusunan didasarkan pada aturan masing-masing partai politik. Jelas ini menunjukkan sikap tidak tegas dan memberi celah kepada pengurus partai untuk menentukan sendiri format susunan pengurus, karena UU tentang partai politik tidak menyebutkan pengurus inti wajib diisi oleh perempuan. Bila penyusunan pengurus partai politik ini dipadu dengan mindset patriarki pada jajaran pengurus partai politik, dan faktanya memang kebanyakan demikian, maka jadilah kepengurusan inti diakhiri dengan situasi partai politik yang minim perempuan di posisi strategis dalam partai politik. Faktor kedua, menciptakan kader politisi perempuan yang memiliki kualitas dan kapasitas sebagai politisi yang berpengalaman bukan suatu hal yang instant. Butuh waktu dan kesadaran semua pihak untuk melakukan proses kaderisasi politisi perempuan yang mumpuni. Karena itu diharapkan partai politik dan pengurusnya untuk lebih sensitif gender dengan memberikan peluang dan kesempatan yang sama, termasuk untuk memberikan kesempatan membangun kapasitas diri melaui pelatihan dan kursus kepada kader perempuan juga. Faktor ketiga, platform partai yang tidak sensitif gender sedikit banyak juga berpengaruh pada penyadaran rekrutmen kader politisi perempuan yang potensial. Boleh dikata hampir semua partai politik di Indonesia masih belum sensitif gender. Keberadaan perempuan di kepengurusan partai politik sepertinya masih belum menjadi prioritas utama Partai Politik. Padahal bila perempuan berada dalam posisi sebagai pengambil keputusan, ada pendapat yang mengatakan bahwa itu artinya mereka dalam posisi yang memiliki power atau kekuasaan, mampu memberikan pengaruh melalui mobilisasi, pengambilan keputusan yang peduli isu perempuan dan sensitif gender, dan menginspirasi perempuan lain untuk ikut berpolitik (Galligan and Clavero 2008). Perlu ada kesadaran bahwa kaderisasi anggota partai, termasuk anggota perempuan, merupakan proses panjang yang memang mesti dilalui politisi perempuan dengan dukungan penuh pimpinan petinggi partai. Selanjutnya, mesti ada jaminan pelaksanaan peraturan yang didasarkan pada komitmen dan kesadaran Partai Politik akan sensitivitas gender. Alhasil bila faktor pertama lebih dipertegas aturannya dan faktor kedua dan ketiga dipraktikkan dengan konsisten, maka akan berpengaruh pada posisi perempuan di dalam Partai Politik. Faktanya memang bahwa keberadaan perempuan di Partai Politik masih jauh dari harapan. Namun setidaknya ada solusi, misalnya dibutuhkan tindakan pro-kader politisi perempuan dengan menguatkan mereka di bidang politik. Usaha penguatan politisi perempuan itu sudah diupayakan oleh para aktifis perempuan sejalan dengan era Reformasi dan pada masa Pemilu 1999 sebagai pemilu pertama di era reformasi, yakni bahwa perempuan tak sekadar sebagai pemilih, namun juga peserta pemilu yang berhak dipilih. Beruntung bahwa sistem politik Indonesia sejak negara ini lahir telah mengikutsertakan perempuan sebagai warga negara yang berhak untuk ikut Pemilu, karena di beberapa negara suara perempuan malah tidak didengar dan tak berhak menentukan pilihan, seperti di Vatican City dan Saudi Arabia. Saudi Arabia baru akan mengizinkan kaum perempuannya untuk ikut serta sebagai pemilih dalam Pemilu 2015 mendatang (Buchanan 2011, Dewey 2013). Kondisi ini sangat ironis, karena kaum perempuan sama sekali tak diizinkan untuk memberikan suaranya. Jadi jangankan untuk ikut bisa ikut duduk di parlemen, untuk memiliki hak pilih saja mereka tidak punya, sementara banyak negara lain sudah lebih dahulu menghapus ketidakadilan tersebut. Mereka diabaikan dengan tidak dibolehkan untuk ikut Pemilu. Meski sistem politik Indonesia cukup lebih baik dibanding dua negara di atas, tak berarti banyak pelaku politik dan pengambil kebijakan di Indonesia sudah membuka peluang dan kesempatan seluasnya kepada politisi perempuan. Ada indikasi sebaliknya, yaitu bahwa mereka hanya memanfaatkan politisi perempuan yang masih baru untuk hanya ikut-ikutan dalam Partai Politik mereka. Dalam praktiknya masih butuh tindak lanjut guna memberikan dukungan dan kepedulian kepada politisi perempuan, karena tak semua politisi perempuan memiliki kualitas baik dan berpengalaman. Dalam kondisi yang demikian, ini bisa menjadi bumerang ketika caleg perempuan yang dipilih untuk maju di pentas politik tidak memiliki kapasitas. Tantangan Calon Legislatif (Caleg) & Anggota Legislatif (Aleg) Perempuan Keberadaan perempuan sebagai caleg bisa saja akan menjadi bumerang bagi caleg perempuan berikutnya dan juga bagi gerakan aktifis perempuan bila perempuan yang maju sebagai caleg hanya mengandalkan kelebihan fisik semata. Seperti banyak gejala yang tampak, dari empat kali Pemilu yang sudah dilakukan sejak reformasi, Pemilu 1999, 2004, 2009 adan 2014, berbagai alasan digunakan caleg perempuan untuk terlibat di politik dan memutuskan ikut serta dalam persaingan di Pemilu. Kesempatan untuk berani maju sebagai caleg dengan tujuan menjadi anggota Dewan yang terhormat di era reformasi ini memang menggiurkan. Boleh jadi karena gaji dan fasilitas lengkap yang bakal diterima sebagai wakil rakyat dan sekaligus juga tak sedikit caleg perempuan ini terlibat dalam politik lantaran Partai Politik baru saja berdiri. Partai politik meminang mereka guna memenuhi syarat keterwakilan perempuan, atau demi mendongkrak publisitas partai bersangkutan. Maka tak sedikit perempuan public figure seperti artis menjadi ‘politisi karbitan’ sejalan dengan mendadaknya status mereka sudah bertambah menjadi ‘caleg’ suatu partai. Fenomena politisi perempuan dadakan sedikit banyak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar yang menginspirasi mereka untuk terlibat di politik. Ada kedekatan dengan kondisi perpolitikan karena saudara, ayah, suami atau keluarga sudah terlebih dahulu terjun ke dunia politik. Maka tak salah pula bila ada fenomena ikut-ikutan berpolitik oleh perempuan yang seolah meneruskan tradisi politik dinasti bagi suatu klan tertentu. Tak ada yang salah dengan hal itu mungkin, sepanjang caleg tersebut memiliki potensi dan kapasitas, mengikuti standard kelayakan sebagai politisi di mana meritokrasi menjadi ukuran untuk menjadi caleg. Sebaliknya akan menjadi masalah bila caleg perempuan bersangkutan hanya menjadi pelengkap persyaratan oleh Partai Politik. Menyikapi kondisi yang demikian, perlu upaya membangun kapasitas diri si caleg. Ketajaman pengetahuan dan ketrampilan politik mereka perlu diasah. Upaya penguatan sepertinya juga menjadi tanggung jawab para pemerhati isu perempuan dan para aktifis. Dukungan mereka juga dibutuhkan dalam bentuk kontak dan komunikasi intensif dengan politisi perempuan, terutama yang sudah menjadi caleg. Mereka perlu memberikan akses jaringan sosial politik yang luas kepada si caleg perempuan, dan bahkan kalau dirasa masih banyak kekurangan pengetahuan dan pengalaman si caleg, ada baiknya melakukan advokasi kepada mereka. Dukungan dari aktifis perempuan ini bisa meminimalisir sikap melecehkan politisi perempuan oleh koleganya politisi laki-laki dan masyarakat pemilih umumnya agar kasus seperti dialami artis Angel Lelga, kandidat salah satu Partai Politik yang diwawancarai menjelang Pemilu 2014 yang keteteran menjawab pertanyaan host salah satu acara di TV swasta tidak terjadi lagi. Sangat penting keterlibatan kerjasama dengan pihak dan lembaga lain selain Partai Politik agar kasus demikian tak terjadi lagi agar ke depan tidak ada caleg perempuan yang menjadi bahan olokan di berbagai jaringan media sosial, dan caleg perempuan nantinya sama diperhitungkan dengan caleg laki-laki dalam hal strategi dan kapasitas yang dimiliki; bukan lagi diperhitungkan dan diperbincangkan lantaran penampilan fisik yang cantik semata. Ketika perempuan sudah terpilih dan duduk di lembaga perwakilan sebagai anggota legislative (Aleg), faktanya jumlah mereka tak pernah lebih dari 20% dari total keselurahan anggota parlemen. Representasi perempuan di parlemen yang demikian tidak mencerminkan keterwakilan populasi pemilih perempuan. Kondisi ini jelas mempengaruhi bagaimana lembaga perwakilan membuat keputusan yang berbasis pada persoala-persoalan perempuan, seperti kepedulian mereka terhadap masalah anak dan perempuan semisal trafficking, PSK, anak jalanan, HIV, angka kematian ibu melahirkan yang masih tinggi dan berbagai persoalan kemiskinan yang umumnya lebih banyak diderita oleh kaum perempuan. Suara mereka yang tidak banyak itupun acap kali kalah oleh sistem voting dan lobi-lobi politik yang lebih dominan memperjuangkan kepentingan kelompok tertentu atau partai tertentu sehingga cenderung mengabaikan idealisme awal si wakil rakyat yang perempuan ini. Cukup disayangkan memang bahwa prilaku politik perempuan yang sudah berada di parlemen cenderung tak bersuara atau kalah suara. Hasil in-depth interview dengan aleg periode 2009-2014 di DPRD kota di Sumbar baru-baru ini membenarkan bahwa ketika ia bersuara mengusulkan satu solusi dalam rapat dewan, ada kesan nada mengejek dan meremehkan suara itu. Sedikit berbeda dengan aleg di atas, ketika suasana hearing rapat dengar pendapat antara pihak legislatif dan eksekutif semakin memanas, aleg ini, satu-satunya peserta rapat yang perempuan menjadi orang yang diandalkan untuk meredamkan suasana. Tampak jelas bahwa fungsi dan peran aleg perempuan tampak di dalam lembaga dewan, tapi gaungnya tak sampai ke luar DPR, sehingga konstituen dan masyarakat awam tak mengetahuinya. Ironis memang, untuk bisa didengar suaranya di luar ada kecenderungan media hanya mewawancarai aleg di tingkat pimpinan. Jadi karena aleg perempuan tidak memiliki kesempatan berada di posisi strategis yang terkait dengan pengambilan keputusan bagi orang, maka suaranya tidak dicatat media dan didengar oleh konatituen lewat media cetak atau elektronik. Meyikapi hal demikian, aleg perempuan perlu berupaya untuk menjadi unsur pimpinan dewan, seperti Ketua Komisi, Ketua Fraksi, Pimpinan Panja, Panggar dan segala macam kepanitiaan itu. Kalaupun ada yang menjadi ketua Komisi, biasanya pada komisi E yang memang mengurusi masalah perempuan, anak dan kesejahteraan (itupun sangat jarang). Tapi, itu sesuatu yang tak mudah. Maka kendala aleg di parlemen ini mungkin bisa diatasi dengan cara aleg membina hubungan intens dan baik, dengan ‘memelihara’ satu corong media yang akan menyuarakan apa yang telah diperbuat di dewan untuk diketahui orang banyak. Tentunya dengan catatan bahwa ia memiliki ide bernas, cepat tanggap dan responif terhadap segala fenomena yang terjadi yang memang menunjukkan kecerdasannya dalam menanggapi suatu persoalan, bukan sekedar asbun. Untuk itu ia perlu meningkatkan kapasitas diri agar menjadi semakin lebih baik lagi sehingga bisa mewarnai suasana di dewan, dan bukan sebaliknya. Tugas berat memang bagi perempuan untuk bisa membuktikan kemampuan dirinya dan amanat gender yang disandangnya, sementara bagi aleg laki-laki, konstruksi sosial masyarakat yang memberikan standar bahwa menyangkut pemberitaan yang menjadi suara dewan adalah dari pimpinan dan itu kebanyakan Aleg laki-laki, bukan perempuan. Dua kemungkinan penyebab minimnya jabatan strategis dipegang oleh aleg perempuan; pertama, bisa jadi karena kompetisi persaingan jabatan, yang terkait dengan anggapan patriarkisme bahwa bahwa secara kodrat perempuan tak bisa berpikir rasional, maka ia tak mampu memimpin. Konsekuensinya, posisi strategis tidak diberikan kepada perempuan. Atau sebaliknya, ada kemungkinan ketidakmampuan aleg perempuan itu sendiri yang memang masih belum mumpuni kapasitasnya dan masih perlu ditingkatkan. Oleh karena itu aleg perempuan diharapkan selalu membangun kapasitas diri melalui berbagai pelatihan dan kursus yang menambah pengayaan pengetahuan di bidang politik seperti membuat UU dan sejenisnya. Juga diperlukan dampingan khusus dari staf ahli sesuai dengan bidangnya saat duduk di DPR, apakah di komisi A, B hingga di komisi E. Staf ahli individu ini barangkali diperlukan sebagai penasihat, dan biasanya berfungsi sebagai thinkthank yang mendukung keberadaan mereka di lembaga perwakilan. Sekali lagi, kerja membangun kapasitas adalah kerja bersama semua pihak. Meski pasca-pemilu para aleg perempuan sudah berhasil duduk di lembaga perwakilan rakyat, tak berarti kerja berhenti hingga di sana saja. Harus ada tindak lanjut pasca-pemilu dengan cara membina jaringan dengan para voters dan konstituen secara konstan, sehingga mereka bisa memberikan masukan langsung dan diketahui apa yang menjadi kebutuhannya. Praktik yang demikian bisa dilakukan aleg perempuan melalui turba ke konstituennya secara rutin. Lalu ia harus membentuk jaringan dengan aktifis perempuan lewat silaturahmi atau pertemuan rutin sebulan sekali dalam wacana coffee morning misalnya. Penutup Tantangan sebagai politisi perempuan masih belum tuntas. Perempuan yang berkiprah di politik memiliki beban ganda bahkan tiga kali lipat lebih berat dari laki-laki akibat diskriminasi gender yang sudah berurat berakar dalam kehidupan masyarakat. Triple burden itu bisa dilihat dari beban perempuan yang bertanggung jawab untuk ranah domestik, kemudian berkiprah di ranah publik, semisal di ranah politik dengan tanggung jawab sosial sebagai wakil rakyat, dan kemudian tanggung jawab lagi dengan menjawab tantangan dari lingkungan masyarakat sekitar. Politisi perempuan juga bertanggung jawab dengan memperlihatkan dan membuktikan kemampuan, serta kapasitas nya sebagai politisi yang tak kalah, tetapi sebanding atau malah lebih hebat lagi daripada politisi laki-laki. Bahwa posisi politisi perempuan di Partai Politik hingga sekarang masih sebagai pemanis dan belum signifikan menunjukan wajah Partai Politik Indonesia yang masih kental dengan sifat patriarkinya. Barangkali untuk jangka panjang dibutuhkan kebijakan dari pemerintah melalui aturan yang ketat dan perombakan sistem politik yang melekat dengan politik patriarki. Sistem politik yang didominasi oleh laki-laki berangsur-angsur harus bisa diubah agar mengarah ke politik yang sensitif gender dan afirmatif terhadap kuota perempuan. Adalah suatu fakta bahwa aleg perempuan masih belum bisa mewarnai nuansa perpolitikan yang ada di gedung rakyat, sebaliknya mereka masih menjadi kelompok minoritas dengan gaung suara yang tak jelas. Maka diperlukan kerjasama semua pihak agar keberadaan mereka di gedung rakyat bisa dirasakan manfaatnya dan memiliki arti bagi pemberdayaan dan kemajuan perempuan yang berdasarkan pada kesetaraan dan keadilan. Referensi Bennet, J., Ed. (2009). Not invited to the party : how the Demopublicans have rigged the system and left Independents out in the cold. New York, Springer Science +Business Media. Buchanan, E. (2011). Women in Saudi Arabia to Vote and Run in Election BBC London BBC.com: 1. Dewey, C. (2013). 7 Ridiculous restriction on Women's right around teh world The Washington Post. Washingto Post.: 1. Galligan, Y. and S. Clavero (2008). "PROSPECTS FOR WOMEN'S LEGISLATIVE REPRESENTATION IN POSTSOCIALIST EUROPE: The Views of Female Politicians." Gender and Society. 22 (2): 149-171. Paxton, P. and M. M. Hughes (2007). Women, politics, and power : a global perspective Los Angeles Pine Forge Press. Union, I. P. (2013). Women in National Parliament. Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|