Pengantar Buku Maria Sucianingsih Dewi Candraningrum Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan [email protected] Sejak lama saya selalu ragu dalam menuliskan “perempuan adat”, karena ia sebagai kata-kata dan sistem representasi sebenarnya tak mencukupi untuk mewakili atau menarasikan sesuatu yang lebih kaya dari apa yang terbayangkan dalam horizon saya. Saya juga sebenarnya tak pantas menuliskan tentang mereka, pada satu level pemahaman tertentu, karena bisa jadi, saya gagal sepenuh-penuhnya dalam penggambaran dan dalam meta-narasi tentangnya. Maka dengan tulisan ini, ia hanya memberikan segala sesuatu yang selalu tak cukup dan tak selesai, alih-alih berpretensi menjelaskan dengan lengkap. Tak banyak tinta yang ditumpahkan untuk menjelaskan perempuan Adat, alih-alih perempuan Asmat. Dan sebelumnya ada baiknya dipertanyakan, siapakah perempuan Adat itu? Benarkah perempuan adat adalah rahim ekologi? Seperti bahwa perempuan adalah Uterus (Tota Mulier in Utero). Perempuan dan hutan adalah rumah? Misalnya. Dan lain-lain. Saya memulai perjalanan menulis pengantar ini untuk kebutuhan publikasi buku dan pameran foto-foto Asmat karya Maria Sucianingsih tahun ini. Saya menghubungi Muhammad Ali yang sekarang mengajar di Univ California untuk merunut kata rahim secara etimologis dari akarnya. Rahim secara etimologis, dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai kantung peranakan untuk membawa janin bayi. Rahim berasal dari Bahasa Arab, yaitu akar kata kerja “rahima” yang memiliki makna "mengasihi", "memahami", "menyayangi", "mencintai", "menghargai", "menghormati". Rahim juga berfungsi sebagai kata benda bergender perempuan (muannas), yang memiliki makna “kandungan” (uterus, womb) sebagai anatomi bagian tubuh. Dan ia juga memiliki makna "hubungan darah", "hubungan keluarga". Bentuk jamak kata rahim adalah arham, yaitu hubungan kerabat satu ibu. Rahim sebagai kata kerja dengan i pendek memiliki makna “menyayangi” dan “rahiim” dengan i panjang bermakna “penyayang”. Kata rahim dalam bahasa Arab iambil Quran untuk menunjukkan pentingya hubungan darah dan keluarga. Tuhan pun menggunakan kata rahim (yang merujuk kandungan ibu) untuk mengajarkan hubungan Tuhan dan ciptaan-Nya. Jadi Tuhan dalam hal ini memiliki sifat-sifat feminin. Tuhan adalah Ibu dari segala manusia. Salah satu sifat Tuhan pun menjadi "rahman" dan "rahiim": maha penyayang semua ciptaanNya, seperti ibu menyayangi anak-anaknya. Rahmat adalah kasih sayang. Sifat Tuhan ini merupakan salah satu sifat dari 99 sifat Tuhan dalam Islam. Quran menggunakan “arham” (yang disayangi) di belasan ayat, "dzul al-arham", yang secara umum berarti "mereka berasal dari satu rahim". Arham tidak hanya merujuk manusia, tetapi juga pada binatang. Akta Rahim Rahim adalah akta keindahan dari tubuh perempuan. Akta ini diyakini perempuan sebagai simbol dari status dan eksistensinya. Perempuan secara performatif, secara menerus, meyakini kesucian simbol ini dan meneruskan wacana ini sebagai warisan kepada anak-anaknya. Peradaban mengenal nama-nama Ibu dalam mitologi mereka, seperti Bachue, Bithiah, Demeter, Yashoda, Dewi Sri, Hawa, Gaia, Isis, Jocasta, Juno, Kwa Yin, Mary, Parvati, Ratu Maya, Sita, Venus, dan lain-lain. Nama-nama tersebut adalah representasi dari glorifikasi ibu dan terutama mengabarkan berita tentang simbol fertilitas. Sedang Ibu, dalam beberapa peradaban dipanggil oleh anak-anaknya dengan caranya yang berbeda. Seperti: Mom, Mommy, Mummy, Ma, Mom, Mam, (di Barat); Maa, Aai, Amma, Mata (di Inia); Em (Hebrew); Eomma (Korea); Amma, Oma, Ammi, atau Ummi (di Timur Tengah); dan lain-lain. Dalam kebudayaan kita, banyak dikenal sebutan-sebutan untuk Ibu, mulai dari Mak, Simbok, Mbok, Buke, Mbokne, Mboke, Mamak, Inang, dan lain-lain. Kesemuanya merujuk Ibu, perempuan dalam rumah, sebagai pusat wacana dari bangunan kasih sayang sebuah unit keluarga. Ia tidak hanya representasi proses-proses kejiwaan tetapi juga sekaligus manajer rumah tangga, manajer dapur, manajer sumur, manajer kasur. Segala yang rumah adalah segala yang ibu. Tubuh perempuan adalah akta otonom dari sebuah unit keluarga, sebelum kemuian negara lahir dan menimpakan klaim-klaimnya. Rahim sebagai sebuah paradigma, tumbuh dalam percakapan masyarakat dan mengandung bangunan dan lanskap kasih, kebaikan, yang disandingkan dengan rahman, sebagai sayang. Rahim, dalam perjalanannya, menjadi representasi metafora dari kantung fisik kandungan dimana perempuan menyimpan, membesarkan, menumbuhkan, mengandung bayinya selama kurang lebih sembilan bulan lebih sembilan hari. Sebagai penanda biologis, rahim sebagai kata mengandung di dalamnya beberapa penanda lainnya, seperti penanda sosial, penanda psikologi, dan penanda eksistensial. Tradisi, masyarakat, pun pasar membekukan penanda biologis itu kepada perempuan. Jika memiliki rahim, maka ia perempuan. Jika mengandung, maka ia perempuan. Jika melahirkan, maka ia perempuan. Jika menyusui, maka ia perempuan. Tali simbolik ini tidak berhenti hanya pada pemujaan dan glorifikasi perempuan karena rahimnya, tetapi juga arus kontra simbolik. Jika perempuan tidak mampu memenuhi “jika-jika” itu, maka perempuan tak lagi seutuhnya perempuan. Jika perempuan tak mampu mengandung, maka ia dipertanyakan sebagai perempuan. Jika perempuan menolak untuk mengandung, maka ia dipertanyakan keperempuanannya. Rahim, dalam hal ini, tak sungguh-sungguh dimiliki perempuan. Perempuan tak benar-benar memiliki kontrol atau menimpakan seluruh kemauan dirinya atas rahim, karena rahim telah menjadi milik suami, milik mertua, milik keluarga, milik negara, milik sebuah masyarakat, milik gugusan entitas Adat. Perempuan banyak mendapatkan haiah karena ia mengandung, dan ia melahirkan. Di saat yang sama perempuan, dengan subordinasi dan diskriminasi, mendapatkan makian, cemoohan, hinaan, jika ia mengandung. Lalu apa beda posisi perempuan pertama dan kedua tersebut? Perempuan pertama berada dalam lokasi sosial yang merestui kerja-kerja rahim, apakah ia mengandung, melahirkan, dan lain-lain. Sedang perempuan kedua berada dalam lokasi sosial dimana masyarakat tidak menginginkan rahimnya melakukan kerja-kerja tersebut. Lalu mengapa perempuan kemuian dibedakan? Perempuan kedua, bisa jadi, perempuan korban perkosaan. Perempuan kedua, bisa jadi perempuan dari etnis minoritas atau minoritas agama dan aliran kepercayaan yang tidak diinginkan oleh sebuah masyarakat mayoritas. Perempuan kedua, bisa jadi perempuan yang menolak mengandung. Lalu apa salah mereka? Kapan sesungguhnya perempuan dapat memiliki rahimnya? Mengapa kontrol segala sesuatu yang di luar dirinya begitu besar, sampai-sampai perempuan tak sungguh-sungguh memiliki rahimnya, sehingga dalam banyak kesempatan, perempuan tak mau mengenal lagi rahimnya? Lalu apa beda perempuan dengan binatang? Apakah perempuan hanyalah piara dari sebuah masyarakat? Sama halnya dengan ketika kita piara binatang? Sama halnya ketika kita piara rahim bumi—menggali seluruh potensi sumber daya alam untuk kebutuhan dan bahkan keserakahan ketamakan manusia? Jadi apakah kita, sebagai sebuah peradaban, sebagai sebuah bangunan kebudayaan, memelihara dan mempiara rahim-rahim? Dus, perempuan tak sungguh-sungguh memiliki hak, akses, dan partisipasi atas rahimnya? Dus, binatang tak memiliki hak serupa? Demikian juga (B)umi? Karena mereka hanyalah piaraan peradaban? Piaraan pasar? Rahim sebagai sebuah Akta, lalu, menjadi milik dan otoritas siapa? Rahim Asmat Banyak perempuan menolak mengandung, atau melahirkan anak kembali, bukan serta-merta karena mereka tak ingin merayakan eksistensinya sebagai perempuan. Perempuan-perempuan ini memiliki keyakinan bahwa akta-akta eksistensial dapat dicapai dari kelahiran karya-karya. Dan lahir dari keresahan perubahan iklim dan pemanasan global yang memaksa manusia untuk menekan angka demografi. Ledakan jumlah manusia, di Bhumi yang hanya satu ini, memiliki implikasi atas beberapa hal: kebutuhan pangan, kebutuhan sumber daya alam, kebutuhan tanah untuk perumahan, kebutuhan hidup nyaman, dan lain-lain, sehingga pada rantai akhirnya manusia memproduksi sampah-sampah dan polutan-polutan. Manusia sadar benar, bahwa mereka terlalu memenuhi ekosistem. Resiko ekologis yang demikian besar ini harus ditanggung oleh manusia sendiri (Beck, 2010). Sekarang kita tidak bisa lagi menyebut bencana alam, sebagai benar-benar kehendak siklus ibu bumi memperbaharui dirinya. Manusia mulai mengenal bagaimana mereka menciptakan bencana alam, dari ciptaan, dari tangan, dari peradaban dan kebudayaan mereka sendiri. Rahim bumi adalah tempat aneksasi paling mengerikan dari seluruh tindakan-tindakan keserakahan manusia. Mulai dari residu tambang yang memilukan, eksplotasi atas air, ketahanan pangan, jejak karbon, dan lain-lain. Panas bumi yang terus meningkat merupakan hasil dari meledaknya kantung-kantung peradaban manusia. Manusia harus berpikir ulang tentang dirinya dan alam sebagai sebuah ekosistem, karena manusia sudah terlampau dominan. Realitas kerusakan lingkungan ini yang memberi banyak sebab mengapa perempuan-perempuan sekarang menolak mengandung, menolak melahirkan anak, menolak membesarkan anak. Karena mereka sadar benar resiko ekologis dari peledakan jumlah manusia di bumi ini. Lalu, apakah mereka juga ibu? Apakah mereka yang menolak mengandung adalah juga ibu? Mereka melakukan kerja-kerja aktivisme dan perlindungan lingkungan. Mereka melakukan gerakan-gerakan hijau, gerakan-gerakan penyelamatan binatang-binatang yang mulai punah, seperti harimau Sumatra, Badak Jawa, Orang Hutan, dan lain-lain. Ya. Mereka juga melahirkan karya-karya kemanusiaan, kebinatangan, dan ekologi. Mereka adalah juga ibu-ibu. Dengan rahimnya mereka menyemai kasih, cinta, perlindungan kepada alam. Ada perubahan peran, fungsi dan otoritas atas “konsep rahim” yang belum pernah dilakukan perempuan sebelumnya. Perempuan menolak melahirkan, sah adanya. Dan ia ibu, adanya. Anak tak melulu anak secara fisik. Anak-anak kita adalah juga karya-karya kita. Pohon-pohon yang ditanam ini akan memberikan susunya pada anak-anak manusia lain yang hadir secara fisik dalam ekosistem. Dan perempuan tak perlu saling menghujat atau menghina yang lain, hanya karena sebagian dari mereka menolak mengandung dan melahirkan. Mereka telah mengandung pohon, melahirkan pohon, menyusui pohon dan mempersembahkannya kepada kemanusiaan. Dalam seluruh perjalanan dan ziarah itu, Maria Sucianingsih membekukan wajah-wajah rahim. Mereka adalah perempuan-perempuan Asmat. Foto-foto dan narasi mereka saling bercermin satu sama lain, dan saling mempengaruhi dalam proses-proses penciptaan. Konsep-konsep pengibuan mengalami perjalanannya, mengalami perubahan, melakukan negoisasi peran dan fungsi sosialnya, fungsi ekologisnya. Dan apa-apa yang tercipta adalah pengalaman eksistensial yang tak terbeli yang melahirkan kebahagiaan estetik yang sampai sekarang, masih membuat saya takjub tanpa henti. Mereka adalah ikrar ibu. Ikrar penciptaan. Rahim Asmat. Daftar Pustaka Beck, Ulrich. 1986. Risikogesellschaft. Auf dem Weg in eine andere Moderne, Frankfurt a.M., 1. Aufl. Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|