Sejarawan Reggie Baay (2010) dalam buku edisi Bahasa Indonesia berjudul Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, mengungkapkan secara komprehensif sejarah pergundikan yang berlangsung hampir sepanjang masa pendudukan Belanda di Indonesia.
Dalam buku tersebut Baay menulis bahwa pergundikan berawal pada saat dimulainya kolonialisme itu sendiri yaitu akhir abad ke-16/awal abad ke-17 saat kedatangan sejumlah besar rombongan dagang Eropa ke negara-negara Asia, termasuk di dalamnya rombongan dagang Belanda ke Indonesia atau saat itu disebut koloni Nederlands-Indie (Hindia Belanda). Rombongan tersebut didominasi oleh laki-laki, hanya sedikit perempuan yang turut serta. “Defisit” perempuan rupanya menjadi permasalahan tersendiri bagi banyak laki-laki Eropa yang datang dan menetap di koloni. “Defisit” tersebut diatasi dengan pergundikan, dimana laki-laki kulit putih hidup bersama tanpa ikatan pernikahan dengan perempuan kulit berwarna dari etnis Jawa, Sunda, Tionghoa dan Jepang. Para perempuan gundik atau disebut juga nyai memasuki dunia pergundikan melalui beragam cara, banyak diantaranya melalui paksaan, bahkan dijual oleh orang tuanya sendiri demi sejumlah uang. Tokoh Sanikem atau Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer adalah salah satunya. Anehnya stigma sepenuhnya dilekatkan pada para perempuan tersebut, sebagaimana halnya terminologi “gundik” yang berkonotasi negatif. Persoalan yang dihadapi para nyai menjadi tidak sederhana. Bukan hanya kuasa patriarki yang menindas mereka. Secara nyata perempuan-perempuan ini mengalami penindasan berlapis. Penindasan gender, karena jenis kelamin mereka perempuan. Penindasan ras, karena kulit mereka yang berwarna. Penindasan kelas, karena status mereka sebagai orang miskin. Dalam relasi pergundikan, kuasa sepenuhnya berada di tangan laki-laki, kulit putih, dari kelas mapan. Simak kisah Roebiam di bawah ini: Namanya Roebiam. Diperkirakan lahir pada tahun 1898. Ia berasal dari desa kecil di Jawa dan ayahnya seorang petani sederhana dan miskin. Terdorong oleh kemiskinannya, pada tahun 1915 ia mendaftarkan diri sebagai buruh kontrak untuk bekerja di perkebunan yang waktu itu bernama Plantersparadijs Sumatra, sebuah perkebunan tembakau di sekitar Medan. Pada waktu itu Roebiam berumur kira-kira 17 tahun. Di sana ada seorang baren, pemuda dari Haarlem yang bekerja sebagai asisten. Ia mencari teman hidup dan mengambil Roebiam, seorang buruh di perkebunannya, sebagai nyainya. Roebiam memberikan sang laki-laki Eropa dua anak perempuan yang masing-masing dilahirkan pada tahun 1916 dan 1919. Ketika putri sulung mereka berusia lima tahun, sang laki-laki memutuskan bahwa ia harus pergi ke Belanda untuk dididik dan bersekolah di “tanah ibu pertiwi”. Seperti yang biasa dilakukan pada waktu itu, sang anak dititipkan kepada seorang tante yang merupakan saudara perempuan ayahnya. Roebiam boleh ikut berlayar ke Belanda untuk mengantar anaknya. Roebiam kemudian kembali ke Sumatra dan melanjutkan hidupnya dalam pergundikan di perkebunan. Ketika putri bungsu mereka berumur lima tahun, ia pun harus pergi ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan dan sekolahnya. Roebiam pun berlayar kembali untuk mengantar anaknya. Mereka tiba di Belanda pada tahun 1925 dan itu merupakan saat terakhir Roebiam mencium anak-anaknya. Setelah itu sang laki-laki tinggal di tanah kelahiran bersama putri-putrinya dan kemudian menikah dengan seorang perempuan Eropa. Roebiam harus kembali ke Hindia Belanda seorang diri dan tinggal di rumah kecil yang telah disiapkan untuknya. Tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana kelanjutan dan berakhirnya hidup Roebiam, begitu juga anak, cucu dan cicitnya. (Diringkas dari Reggie Baay, 2010, Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, hal. 262-264) Kisah Roebiam lazim terjadi sejalan dengan pergundikan yang dipraktikan secara luas, bahkan “direstui” dalam sistem sosial yang berlaku saat itu. Pembukaan pangkalan militer dan perkebunan di Pulau Jawa dan Sumatra hampir selalu disertai pergundikan. Demikian pula pergundikan lazim ditemui dikalangan masyarakat sipil. Dalam bukunya Baay menjelaskan bahwa pergundikan bagi banyak laki-laki kulit putih di koloni Hindia Belanda saat itu adalah “solusi sementara” sebelum mereka menikah dengan perempuan yang “sederajat” yaitu perempuan dari ras yang sama. Nyai dapat diperlakukan sesuka hati dan dapat diusir setiap saat. Status anak-anak Eurasia yang dilahirkannya sepenuhnya ditentukan oleh ayah biologis mereka seperti halnya anak-anak Roebiam. Jika sang ayah mengakui anaknya, maka secara hukum anak tersebut akan menjadi seorang “Eropa” dengan semua hak-hak istimewanya. Sebaliknya jika ayah tersebut tidak mengakui anaknya maka ia akan menjadi “pribumi” dengan semua diskriminasi dan penindasan yang melekat dalam status tersebut. Membaca sejarah pergundikan, saya diingatkan kembali tentang bias gender dalam penulisan sejarah dan bagaimana sejarah dikonstruksikan sedemikian rupa oleh penguasa. Perempuan gundik di era kolonial, perempuan budak seks saat pendudukan Jepang di Indonesia dan negara Asia lain pada era 1940-an, perempuan etnis Tionghoa korban perkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan perempuan-perempuan lain yang—dengan cara menyakitkan—menjadi bagian sejarah bangsa ini, cenderung dilupakan. Sudah saatnya history dikonstruksi ulang agar juga menjadi herstory. Bandung, 29 Maret 2014 Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|