Berapa Harga Narasi Agung Negara? Sedang pada mata Paini, saya selalu gagal memulai menulis. Perkosaan yang dialaminya ketika berusia 13 tahun adalah sesederhana sebuah negara yang mencari-cari narasi agung tentang dirinya. Narasi agung tentang negara ini bukan tanpa korban, jika bukan vagina-vagina belia yang belum menstruasi bahkan, di usianya yang ke-9 tahun pada tahun 1944, Sri Sukanti diculik dan diperkosa di Gedung Pakpak Purwodadi. Saya mengunjungi mereka berdua di Salatiga bulan Maret 2013. Bersama dengan Ivan Ufuq Isfahan, anak saya. Saya menggandengnya dengan setengah berlari. Pada hari itu, secara politik, saya menarasikan diri saya sebagai seorang Ibu yang heroik. Menjinjing anak autis di sebelah kiri, dan sekarung beras di sebelah kanan. Sementara bersama feminis Jejer Wadon lain, menyopiri menanjak-menaik dari Solo menuju Salatiga. Bagaimana saya menarasikan diri saya? Seperti pori-pori yang pecah terkena sinar matahari. Apakah sebagai ibu perkasa yang menenteng anak cacatnya kemana-mana? Apakah sebagai aktivis perempuan yang tak ingin dilewati waktu dengan meninggalnya ketiga Ianfu dari Kopeng, Salatiga dan Banyubiru? Apakah seorang betina yang tak suka diatur-atur dogma kalau para budak seks Jepang itu tak pantas dikunjungi? Bahkan seorang manusia seperti saya, mencari-cari narasi dengan malu-malu untuk sampai pada sebuah deklarasi. Sementara negara, ditambah dengan deretan penguasa megalomania yang haus nama besar selalu tiba dengan mudahnya pada sebuah “narasi agung” (grand narrative). Berapa liter darah yang harus ditumpahkan? Atau berapa ratus ribu vagina anak-anak yang dirajah penis-penis dusta tentara, jika bukan untuk kebesaran sebuah Kekaisaran? Kepresidenan? Untuk sebuah narasi agung yang tanpa cacat, tanpa cela. Simone de Beauvoir acapkali menulis bagaimana bingungnya dia atas “perempuan” yang harus diidentifikasi, didefinisi, dipanggil, disebut, diceritakan, dinarasikan, dihikayatkan. Jika bukan merupakan potongan-potongan dimensi yang menyakitkan. Perempuan yang berpayudara, adalah perempuan yang agung ketika dia menyusui anak-anaknya. Narasi ASI (Air Susu Ibu) merupakan narasi agung negara yang digunakan sebagai alat kampanye besar-besaran untuk melepaskan tanggung-jawab negara atas perikehidupan bayi sampai dengan berumur dua tahun. Undang-undang sudah dilahirkan, diketok, tapi apa jamak? Kalau ruang laktasi tak kunjung ditemui di pabrik-pabrik. Dan buruh-buruh wanita dijungkalkan dari pekerjaannya jika ketahuan hamil dan memiliki anak. Perempuan itu, konon, bagi Beauvoir, sebenarnya bukan makhluk kedua, tetapi tepatnya “the lost sex”—makhluk yang hilang. Narasi agung ibu ini kemudian diceraikan dari fungsi seksualitas perempuan. Coba browse payudara wanita, maka akan tampak industri pornografi dengan tamaknya menjual foto-foto dada telanjang perempuan dengan harga yang amat fantastis. Lebih mahal dari harga seorang jenderal! Beauvoir mengumpat-umpat irisan-irisan jahat ini. Bagaimana fungsi payudara sebagai penyedia hidup dan organ seksual perempuan diceraikan begitu saja dan dijatuhkan sanksi norma dan dogma yang mengerikan (de Beauvoir, 1949). Satunya mulia dan agung. Satunya lagi bejat tak bijaksana. Narasi agung, narasi ideal, dalam perjalanan hidupnya membutuhkan lebih banyak korban untuk disembelih. Bagaimana Hitler menarasikan keagungan Jerman dengan membabat habis Yahudi. Tak hanya Yahudi, Hitler si fasis juga membunuhi para Liyan itu—LGBT, para cacat, para Roma, para kulit hitam, dan para abnormal lain. Narasi agung membajak diktum kesempurnaan manusia, dari akal sampai dengan spiritnya. Dan darinya kelompok rentan (vulnerable group) tak mendapatkan tempatnya. Eksploitasi narasi agung sebuah negara ini tak bisa dipisahkan dari persepsi dan definisi atas keagungan itu sendiri yang mensyaratkan di dalam dirinya watak-watak manusia yang ideal dan sempurna. Definisi ini nyaris dan secara serampangan menggunting sendiri kemanusiaan. Karena kemanusiaan mengandaikan ketakidealan dan ketaksempurnaan. Bagaimana mengukur hidung yang sempurna? Bagaimana mengukur derajad Tuhan yang paling berkuasa? Bagaimana menimbang supremasi jenis kelamin? Bagaimana menakar sebuah hubungan tanpa lanang dan tanpa wadon? Darinya narasi agung sebuah negara mencari-cari legitimasi parsial yang membahayakan kemanusiaannya sendiri. Humanisme mengandaikan di dalam dirinya ketakidealan manusia, ketaksempurnaan watak-wataknya, keterbatasan-keterbatasan dirinya. Perang Dunia II tak sanggup membayar seluruh kerusakan vagina anak-anak perempuan peradaban. Mimpi kanak-kanak yang benar-benar tak bisa dibayar dengan uang berlembar-lembar. Harga dari fasisme sebuah idealitas kemanusiaan merupa-wujud dalam ketamakan, keserakahan, korupsi, kepicikan, kenajisan, dan kejahatan-kejahatan yang tak termaafkan. Demi narasi agung sebuah kemenangan Raya Nippon, para tentara disugesti untuk aktif berhubungan seksual dan memperkosa, aktif menjadi predator seksual bagi anak-anak. Mereka, para tentara pangkat rendahan itu, adalah juga korban dari narasi agung sebuah negara, sebuah kekaisaran. Sedang anak-anak perempuan kita disekap di Ianjo-Ianjo yang mengubah hotel-hotel sekitar menjadi tangsi-tangsi militer untuk memperkosa anak-anak kecil itu dengan tanpa jeda, tanpa ampun, tanpa nurani. Berapa harga dari narasi agung sebuah negara? Kalau tidak dengan memperkosa anak-anak perempuan bangsa lain. Bahkan penyakit kelamin, sifilis, pada mulanya disebut sebagai “penyakit perempuan”. Dan konsekuensi moral atasnya jauh lebih besar daripada konsekuensi medis. Kehormatan bagi lelaki, dan kehinaan bagi perempuan. Kehinaan bagi “Momoye”, Mardiyen dari Yogyakarta, yang di usia ke-13, dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang di Singkawang, Kalimantan.
Bahkan dalam wawancara Eka Hindra dengan Momoye di Yogyakarta, Mardiyem masih menyebut sifilis sebagai “penyakit perempuan”. Narasi tentang penyakit kelamin pun mengambil irisan paling diskriminatif pada perempuan.
Berapa harga narasi agung Orde Baru, kalau begitu? Dia tak ubahnya sebuah diktum yang mengkandangkan perempuan, gender Liyan itu dalam markas besar PKK dan Darma Wanita. Ibu-ibu, janda-janda, calon-calon Ibu berbondong-bondong memasuki lingkaran organisasi itu, kemudian meniadakan dirinya. Meniadakan gelar kesarjanaannya, gelar doktornya, spesifikasi ilmunya, kebisaannya, karyanya, terlebih independensinya, dan kemerdekaannya. Apakah dapat dijumpai bahwa mereka, para ibu-ibu itu, dipanggil sesuai nama lahirnya? Kalau bukan nama suaminya? Saya pastikan itu! Karena saya adalah anggota PKK. Apakah dapat dijumpai sebuah diskusi yang mengangkat bagaimana perempuan pengusaha sukses didengarkan terus usaha-usahanya? Jika bukan program pemerintah yang disorong-sorongkan dengan moncong toanya. Bahkan dengan moncong senjata. Perempuan tak bisa mengklaim namanya sendiri dalam keputren Orba tersebut. Dan dia bukanlah sejarah. Yang tinggal di masa lalu. Dia ada, dan tumbuh, hidup sampai dengan sekarang. Tempat dimana perempuan dimobilisasi dalam program-program pemerintah, yang lebih banyak tak mendengarkan keluhan, kritik dan pendapat perempuan. Lalu, pertanyaan terulang kembali, diketik dan dicopy-paste berkali-kali: berapa harga dari narasi agung sebuah negara? Ada pada ketundukan para perempuannya. Depolitisasi Rahim Negara tak sungguh-sungguh meng-ibu kepada Ibu. Ibu bagi negara hanyalah salah satu dari senjata yang dipakai secara etimologis, semantik dan pragmatik untuk memperbajui dirinya sendiri atas state grand narrative (narasi agung negara). Ini adalah kebohongan pertama-tama yang diciptakan oleh negara dengan membajak terminologi Ibu. Bahkan negara meminjam Ibu sebagai alat hegemoni yang ampuh (Suryakusuma, 2011). Negara mendefinisikan kemuliaan perempuan pada rahimnya, pada kemampuannya melahirkan, membesarkan anak-anaknya, dan mengabdi pada suaminya (definisi merujuk Kamus Dewan dan Kamus Besar Bahasa Indonesia). “Ibuisme” negara dalam perspektif Suryakusuma merupakan Weltanschauung (pandangan dunia), yang memangkas identitas eksistensial perempuan sebagai manusia seutuhnya (Suryakusuma, 2011: 9 & 108). Darinya perempuan dibonsai, dipangkas, dikerdilkan, direduksi, pada arena domestik—sebagai istri, sebagai ibu, sebagai pendidik dan penanggung-jawab terhadap anak, dan penyokong negara. Pembonsaian perempuan-perempuan ini tidak hanya berada dalam irisan budaya, tetapi politik, sosial, ekonomi dan kenegaraan. Pandangan dunia ini kemudian bertabrakan dengan kondisi perempuan desa, yang merupakan penyusun lebih dari 80% perempuan Indonesia. Karena mereka bukan anggota keluarga yang memberikan tambahan penghasilan bagi keluarga, bahkan kebanyakan mereka adalah penyokong utama penghasilan keluarga. Tabrakan berikutnya adalah pada single-parent, perempuan yang menjanda dan menghidupi keluarga dan anak-anaknya sendiri, yang meliputi 14 persen dari seluruh keluarga di Indonesia. Memangkas perempuan untuk tidak jadi kepala rumah-tangga dan tidak jadi penyokong nafkah utama merupakan perihal yang asing dan aneh bagi kondisi riil masyarakat Indonesia. Dan memenjara Ibu hanya pada fungsi-fungsi di atas juga bersifat sangat Freudian, ekslusif, tidak egaliter, subordinatif dan represif terhadap perempuan (Chodorow, 1978). Dalam terminologi Ibu, bahkan negara menciptakan hirarki yang beririsan secara genetik, atas ibu kandung, atas ibu tiri. Dalam sejarahnya ibu tiri banyak mendapatkan fitnah sebagai ibu yang kejam, tak pengertian, jahatnya tak terpemerikan. Jika perempuan melarikan diri, atau dikuburkan secara genetik, atas kemampuan rahimnya, maka stempel buruk akan menimpa dan mengumpat-umpat hidupnya sehingga makin terpuruk. Bagaimana mendefinisikan seorang perempuan yang tak dapat melahirkan seorang anak? Apakah dia layak disebut sebagai ibu? Apakah dia layak dicap sebagai sempurna? Perempuan kopong, perempuan mandul, jauh lebih mengerikan daripada lelaki mandul. Dia tak benar-benar bisa mengklaim kebahagiaannya secara sempurna dalam kungkungan narasi agung ibu yang semena-mena dibajak negara. Perempuan sendiri juga tak bisa benar-benar bahagia tanpa sanjungan “ibu” dari sistem patriarki yang represif terhadap “kewajiban reproduktif” yang bersifat pro-creation. Rahim tak ubahnya mesin yang menelurkan kebahagiaan bagi pemiliknya, demikian mitos dilanggengkan. Tanpanya perempuan akan histeria.
Rumah sebagai tempat institusi keluarga merupakan tempat pertama yang menolak perempuan tak berahim, tak beranak. Pun jika dia beranak, tak berpendidikan bagus, maka tempat dia bekerja merupakan tempat yang pertama kali mengusirnya. Beranak atau tak beranak, perempuan tetap terusir! Perempuan adalah makhluk-makhluk pucat yang lalu-lalang berjalan dalam kebisuan. Dia mencerap luka dengan cara yang luar biasa. Dia terbiasa diusir jika tak sempurna. Dia terbiasa dicerca jika melawan. Dan dia akan terus sakit-sakitan dalam peradaban yang serba plastik. Jika benar dia hamil dan beranak, dia akan dielu-elukan keluarga, tetapi bersiap menghadapi resiko PHK dari pabrik tempat dia bekerja. Jika benar dia tak bisa hamil, dia bisa terus bekerja, dan harus selalu siap dicerca setiap hari di rumah mertua. Tak ada yang benar-benar bahagia, pada akhirnya. Semuanya dipasang dan dipasung dalam lukisan yang murung dan muram. Untuk menjadi menawan, perempuan membutuhkan kosmetik dan lipstik yang terlalu tebal. Padahal, bukankah kebahagian tidak memerlukan topeng? Sedikit pupur sekalipun? Jika benar negara bukan pembajak terminologi “ibu”, bagaimana menjelaskan banyak perempuan yang hamil dan beranak, kemudian melamar pekerjaan, dan ditolak dari tempatnya bekerja? Bagaimana negara menjelaskan devaluasi usia perempuan? Semakin tua perempuan, semakin hamil, semakin beranak, kemungkinan kesuksesan dan kekaryaan dalam karirnya terancam! Dengan cara inilah negara mendefinisikan perempuan. Dimana-mana dikepung dengan definisi yang sekedar memenuhi perut-perut gendut kapital yang rakus dan tak manusiawi. Ketika perempuan dieksploitasi sebagai buruh pabrik, maka sebaiknya perempuan tidak hamil, tidak haid, tidak melahirkan anak, dan tak perlu memelihara anak-anak. Ketika angka demografi menurun, maka sebaiknya wanita bunting, melahirkan dan menyusui anak-anaknya. Jika angka demografi meledak, maka sebaiknya aborsi bayi dilakukan besar-besaran, karenanya perempuan perlu dikebiri, disterilisasi. Jika tidak, negara tak akan mampu memberi makan bayi-bayi itu. Mo Yan, peraih hadiah Nobel sastra dari Cina, sudah menceritakannya dalam novel bio-politik Frog (2010), atas kesedihan yang besar seorang bidan, yang dipaksa mengaborsi janin setiap hari. Rasa-rasanya dia seperti dikejar-kejar kodok, yang menjadi penjelmaan ribuan orok yang dia gugurkan. Kepedihan tidak perlu didefinisikan dalam undang-undang bukan? Karena wajah-wajah muram para perempuan yang berbaris di kamar operasi sungguh tak menguntungkan bagi negara. Para perempuan ini menghisap anggaran negara. Demikian negara menominalkan perempuan. Murah! Persis seperti tempat pelacuran. Rahim perempuan dilacurkan secara semena-mena oleh negara. Bahkan perempuan sendiri mengalami kesusahan yang nian untuk mendepolitisasi rahim, kalau darinya dijanjikan swarga. Kemuliaan sebuah sebutan: ibu, ibu, ibu—pada sebuah tungkai dan tangkai kaki, dia dielu-elukan dalam puisi, syair, hikayat dan roman. Klinik-klinik kesuburan, usaha-usaha pembuahan, bayi-bayi tabung, semuanya dikerahkan untuk merapatkan barisan tentara Tuhan yang agung itu. Rahim tak benar-benar dimiliki perempuan dengan seutuhnya. Tak benar-benar dapat didefinisikan oleh perempuan dengan seluruh agensi dan representasinya. Para wanita berbaris melakukan ritual-ritual dan performativitasnya untuk mengunjungi klinik-klinik kesuburan itu, guna menumbangkan azab dan malu atas zaman, atas kopong, atas mandul. Ketakutan atas rahim yang kosong dan kopong merupakan momok zaman yang diterbitkan, dicetak-ulang, berkali-kali untuk memenuhi histeria masal atas keagungan Ibu. Sebagai sebuah definisi, Ibu, secara etimologis telah mengalami pembajakan besar-besaran. Manusia lupa atas sumber. Manusia lupa atas kecacatan. Alpa atas ketakidealan. Dan bahwasanya karya perempuan adalah anak terindah yang terlahir dari rahim-rahim peradaban. Tak hanya dimiliki makhluk berkelamin perempuan, tetapi juga laki-laki. Di beberapa desa dan sudut kota, sudah dapat dijumpai lelaki berpayudara, yang mengurusi anak-anaknya dengan baik selagi istrinya bekerja. Di beberapa dimensi karir, perempuan banyak melahirkan anak-anaknya, tanpa rahim yang subur, yaitu buku-buku yang seminal dan fenomenal. Demikian sesungguhnya pembajakan dan perlawanan perlu dilakukan, agar eksploitasi terhadap terminologi ini tak melulu didominasi negara atau aparatus kapital yang serakah dan terlalu ideal. “Menjadi Ibu atau tak menjadi Ibu” menjadi sebuah pertanyaan eksistensial untuk perempuan. Bagaimana tidak, pertanyaan itu, selama berabad-abad tak benar-benar menjadi pertanyaan paling mendasar bagi perempuan, karena perempuan, biasanya, tiba-tiba menjadi “Ibu”. Saya tak memilih ketika di usia 24 tahun melahirkan Ivan Ufuq Isfahan. Saya tiba-tiba menjadi Ibu, tanpa saya mampu menanyakan pertanyaan itu, atau pernah sekadar memikirkannya, atau terlintas dalam benak. Semua identitas lahir dengan kejadian-kejadian yang semena-mena dan serba arbitrer. Bagaimana saya tiba-tiba dinikahi, dihamili, melahirkan, menyusui, kemudian menghadiri sebuah rapat PKK, dan tiba-tiba, saya tidak dipanggil atas nama saya, tapi nama ayah dari anak saya. Itulah pertama kali, saya kehilangan diri saya. Dalam melongo, saya pulang ke rumah dengan kepala setengah koplo. Ini merupakan apa? Saya tak mendapatkan jawaban sampai sekarang, kecuali bahwa, kemudian saya membesarkan anak saya yang difabel-autis ini sendirian, dengan telunjuk salah karena menjadi janda. Diceraikan secara sepihak dengan tuduhan tak patuh pada suami. Sampai sekarang saya juga kebingungan atas derivat-derivat apakah kepatuhan istri itu berasal? Dan darimana dosa-dosa yang saya tanggung ini menjadi demikian abadi? Sementara di jalanan saya dicemooh sebagai janda, di rumah saya berjuang mati-matian membela anak cacat yang tak kunjung henti dihina-hina. Saya kira ini kecelakaan terbodoh dari sebuah peradaban yang tanpa nurani me-Liyan-kan perempuan. Lalu pertanyaan pertama tadi tetap terulang dalam tulisan ini: berapa harga dari narasi agung sebuah negara? Dipastikan harganya adalah saya. Semurah Dewi Candraningrum.
Perempuan tak sungguh-sungguh dapat mengklaim rahimnya sendiri. Alih-alih memutuskan untuk tidak menikah. Memutuskan tidak beranak. Apakah boleh? Pasti dia dicaci-caci, diolok-olok, diumpat-umpat, dicerca-cerca. Jika perempuan memutuskan untuk tak membelah, seperti halnya Ayu Utami dalam otobiografi seksualitas dan spiritualnya (Pengakuan Eks Parasit Lajang, 2013), karena alasan proteksi lingkungan, apakah boleh diklaim sebagai seorang Ibu? Tentu tidak. Pada pandangan pertama. Tetapi pada pandangan berikutnya, pada ledakan demografi yang mengerikan, deforestasi dan penggundulan hutan besar-besaran untuk diubah menjadi sumber pangan manusia, global warming, kelangkaan pangan, bisa jadi Ayu Utami adalah Ibu bagi semua Ibu. Yang meminjamkan kebijaksanaannya untuk melahirkan kearifan proteksi bumi supaya menjadi tempat layak bagi perikehidupan manusia yang tak lagi setulus mata hewan, tak lagi sejujur pohon-pohon. Manusia-manusia dilingkupi keserakahan mengubah hutan menjadi sumber Kapital yang tak mencukupi bagi mulut-mulut yang lapar. Menjadi ibu atau tidak menjadi ibu, pada akhirnya akan menjadi sebuah pilihan hidup yang penting untuk perempuan di masa depan, dengan tantangan perubahan iklim yang semakin mengerikan. Menjadi ibu atau tak menjadi ibu tak lagi sepadan dengan pertanyaan “to be or not to be” yang dipikirkan terlalu berlebihan, jika bumi sudah menjerit kepayahan. Dan manusia-manusia sudah tak lagi layak hidupnya karena bertikai berebut sumber daya alam. Memilih tak menjadi Ibu, pada akhirnya, nanti, akan valid dan legitim demi perlindungan lingkungan. Bagaimana manusia mengampuni dirinya, jika peradaban agungnya dengan semena-mena mengubah serigala, harimau, singa, burung-burung, orang hutan menjadi boneka plastik? Yang ternyata hanyalah tipu-tipu? Para Perempuan Pendendam Perempuan adalah para pendendam yang mengerikan. Mereka adalah kawanan yang sudah biasa tak diberi tempat untuk berbicara atau mengekpresikan akalnya secara panjang-lebar. Manusia betina ini banyak sekali menjadi penghuni ruang-ruang sunyi sebuah perhelatan dialektika. Perhatikan kelas-kelas atau forum-forum diskusi, dan perempuan adalah makhluk paling bisu, paling lirih, di antara kawanan lainnya. Hampir seluruh definisi tentang dirinya, disediakan dengan instan dan cepat oleh peradaban. Apakah engkau akan ingin menjadi altar kemuliaan, seorang ibu? Apakah engkau akan menjadi altar kehinaan, seorang pelacur? Kedua pertanyaan itu bukan seperti mata uang yang berdempetan mesra, tetapi benar-benar diceraikan. Yang pertama adalah swarga. Yang kedua adalah neraka. Padahal kasunyatan bercerita lain tentang seorang pelacur yang juga menjadi seorang Ibu, yang mengais dari vaginanya untuk menghidupi anak-anak yang ditinggalkan para ayah tersebut. Tak ada yang benar-benar hitam atau putih. Tetapi sayang, tak banyak perempuan mengetahuinya. Narasi besar tentang dirinya disediakan dan sengaja diberikan untuk memampatkan swara dan imajinasi perempuan atas dirinya sendiri. Jika perempuan tak mendapatkan definisi itu, menangislah dia. Terseok-seok sepanjang jalan mengutuk dan meratapi jalannya. Banyak anak-anak perempuan kita bertahun, bermimpi tentang sebuah pernikahan dan sebuah kelahiran. Padahal tak demikian halnya dengan anak-anak laki-laki kita—yang banyak menghabiskan mimpinya mengubah dunia. Hampir tak ada kamus perempuan dalam hidupnya, sebagai sebuah vision du monde, sebagai tujuan utama. Tentu tidak. Anak-anak gadis zaman diliputi semacam Cinderella-Complex. Yang mengelu-elukan lelaki untuk menikahinya, membuahinya, dan menjadikannya bahagia. Kebahagiaan diciptakan harus dengan kehadiran lelaki dan pernikahan. Perihal yang tidak menjadi impian anak-anak laki-laki. “Semua yang kukritik mengenai perkawinan bersumber dari satu hal. Yaitu, tidak setaranya relasi antara perempuan dan lelaki. Di luar perkawinan, perempuan mendapat tekanan sangat besar untuk menikah. Tapi, di dalam perkawinan, ia ditempatkan dalam posisi subordinat. Lelaki menjadi pemimpin”. (Utami, 2012: 231.) Perempuan-perempuan histeris dan mudah sekali marah dengan kemampatan berswara itu. Dalam psikoanalisa disebut sebagai queen-drama. Dia haruslah menjadi yang tercantik, terkurus, terpintar dari semua perempuan lain. Hanya boleh ada satu ratu. One queen! Dan drama-drama susulan bisa sangat mengerikan. Persaingan antar para selir raja, atau para istri yang dipoligami tak kalah mengerikan dari sebuah pertandingan sepak bola. Mereka bisa saling membunuh, saling menyantet, saling sumpah-serapah—dimana musuh utama, keserakahan sang patriarch, luput dari sasaran kemarahan. Demikian sejarah pernikahan menyediakan dan menampung penyakit-penyakit genetis yang diturunkan dari satu anak perempuan ke anak perempuan yang lain. Perempuan adalah Ibu tertua dari patriarki, dengan wajah paling lembut, paling beringasnya. Perempuan sangatlah pendendam. Perempuan perlu berlatih berswara, menarasikan dirinya keluar dari dendam-dendam peradaban yang menjadikan mereka boneka di dalam etalase yang diminta bersaing secara fisik. Bukan secara karya dan pengabdian. Perempuan tengil, darinya, adalah yang tak sanggup mengucapkan selamat atas karya dan prestasi perempuan lain. Dia adalah manifestasi kerak patriarki yang menekan mental dan kejiwaan. Perempuan pendendam akan terus dilahirkan sejarah. Mereka adalah korban yang tersingkir, meski tak merasa disingkirkan. Kita tentu ingat bagaimana Sundel Bolong mencabik-cabik daging, mencekik, dan membunuh para pemerkosanya. Narasi Sundel Bolong tentu bukan narasi pornografi setengah horor yang laku di pasaran. Dalam dendamnya, ada lapis pemenjaraan swara korban perkosaan. Di depan negara, dia dilecehkan. Di depan masyarakat, dia dihinakan. Di dalam keluarga, dia ditolak. Di depan para pemerkosa, dia tak ubahnya betina yang boleh dieksploitasi, dianiaya, direkayasa ulang, dibunuh, dibakar, dibuang. Para perempuan pendendam ini merupakan perwujudan dari sakitnya mental patriarch yang mereproduksi kembali naskah porno di dalam kepalanya. Dalam hidupnya, dia diobjekkan sebagai bintang porno. Dalam kematian, sebagai mayat, sebagai hantu, direproduksi kembali untuk direpresentasikan sebagai hantu seksi yang haus seks sekaligus simbol jahat mengerikan. Bagaimana harga keadilan untuk para pemerkosa? Perempuan hanya mampu menjawab: bunuh! Karena liang keadilan tak paralel dengan liang vagina yang membusuk karena masyarakat lupa memenjarakan para predator seks itu. Bahkan televisi banyak memberi makan para penguasa yang haus seks, seperti Djoko Susilo yang melebarkan modus korupsinya dengan menikahi tiga perempuan. Kekuasaan adalah seksi, maka segendut-gendutnya lelaki, apabila dia berkuasa, dia adalah seksi, pantas didekati, harus dieksploitasi (Suryakusuma, 2012). Kekuasaan dan seks, dalam buku Julia dikabarkan sebagai saudara kembar yang saling mengasihi satu sama lain. Sundel Bolong tak sendiri, dia dikerumuni para Kuntilanak wangi yang bernasib serupa. Dan eksploitasi atas korban perkosaan semakin menjadi-jadi, kalau tidak menyebut mereka sebagai Bunga, atau Siti. Padahal nama bagi korban perkosaan hanya satu: “Perih”. Ini tentu tidak perlu disampaikan, karena membuat produksi film menjadi tidak laku. Display, representasi dan citra seks dan kekuasaan disampaikan kepada pemirsa yang haus akan tontonan. Dan tontonan bisa saja mengorbankan narasi adil bagi korban perkosaan. Menulis ulang sebuah narasi film atau mendekonstruksi ulang makna seksualitas dalam film tentu tidak mudah. Tetapi sesungguhnya sesuatu yang adil, bila benar-benar diswarakan akan mendapatkan tempat dan bentuknya paling indah di mata penonton. Para penonton adalah juga manusia yang memiliki kemandirian berpikir. Memiliki kritisisme yang tak boleh diabaikan dalam proses fragmentasi ide dan penyuluhan pesan moral. Sejarah dan latar sosial para perempuan pendendam ini dapat dipelajari dengan mudah, sebenarnya, apabila ada niat politik mengubah tatanan masyarakat yang tidak seksis, tidak patriarkis dan tidak dikotomis. Bahaya dari dikotomi akut adalah pemenjaraan atas definisi maskulin dan feminin yang akut dan membahayakan peran pasca pecahnya diskusi-biner maskulin-feminin. Apa yang disediakan dalam iklan-iklan TV Indonesia adalah pemenjaraan paling ekstrem atas sifat-sifat feminin pada makhluk perempuan dan sifat maskulin pada makhluk laki-laki. Padahal potensi maskulin dan feminin tidak bersifat biner, tetapi bersifat kontinuum dan eksploratif. Seorang laki-laki seratus persen tulen bisa jadi sangat feminin dan seorang perempuan bisa jadi sangat maskulin. Dan keduanya tak perlu dipertentangkan atau diberi stempel dosa atau abnormal. Pilihan-pilihan tersebut bersifat voluntir, adventurir dan tak dapat dipaksakan. Model-model androgini merupakan salah satu tren yang menolak pemenjaraan berlebihan atas sifat-sifat biner tersebut karena manusia tidak dapat disederhanakan hanya ke dalam kedua sifat-sifat itu, apalagi membekukannya dengan semena-mena dalam stigma dan stereotype. Pada akhirnya, para perempuan pendendam mengadopsi maskulinitas paling ultim dalam bentuk pembunuhan dan penyiksaan, karena mereka adalah lawan. Perempuan pendendam adalah ledakan-ledakan yang ada dalam tubuh patriarki. Dan siapapun yang membesarkan patriarki, harus siap menghadapi ledakan-ledakan itu. Karena dia sungguh mematikan. Bagaimana Menipu Ibu? Dalam kemuliaan dan keagungan narasi Ibu dalam “Hari Ibu” yang dirayakan setiap tanggal 22 Desember tiap tahunnya, sejatinya terkandung di dalamnya bahaya laten yang mengerikan, yaitu ketika negara tak turun tangan, tak ikut serta dalam tanggung-jawab membesarkan anak-anak. Bagaimana diktum-diktum pemeliharaan anak di tangan ibu saja dapat membahayakan peran dan partisipasi ayah, partisipasi masyarakat, partisipasi negara, dalam ikut membesarkan generasi yang sehat dengan memenuhi kebutuhan generiknya. Di negara-negara maju, negara sangat berperan aktif dalam mengawasi pendidikan anak, misalnya: di negara bagian Victoria, Australia, jika anak SD tidak masuk sekolah lebih dari sehari, maka pihak berwenang, seperti walikota akan menelpon atau menyurati orang tua untuk mencari tahu alasan mengapa anak tidak masuk sekolah dan jika sakit harus segera diperiksakan. Dari sini, negara tak cuci tangan atas perannya membesarkan warga-negaranya. Negara ikut bertanggung-jawab. Demikian juga dalam cuti melahirkan. Yang mendapatkan cuti memelihara balita, tidak hanya ibu, tetapi ayah, misalnya di Swedia. Ayah mendapatkan haknya dan diberi ruang berpartisipasi dalam pengasuhan anak. Narasi ibu dijual dengan sangat mahal, dengan kebijakan, dengan disiplin kebijakan, dan aparatus negara yang ikut menegakkan kebijakan tersebut. Perempuan-perempuan tidak dilacurkan dan ditinggalkan sendirian dalam membesarkan anak. Negara ikut aktif membesarkannya. Bukan lipstik! Bagaimana dengan Indonesia? Narasi Ibu dijual dengan sangat murah. Cukup diberi hari: hari Ibu dan diberi label “agung dan mulia” tanpa harus kerja-keras melahirkan kebijakan dan menegakkan kebijakan yang adil atas pengasuhan anak. Di sini, negara tak mau menjadi Ibu, tak mau meng-Ibu, dan tak mau di-Ibu-i. Oleh karena itu Orde Baru merumuskan peran kaum wanita ke dalam lima kewajiban (Pancadarma): (1) wanita sebagai istri pendamping suami, (2) wanita sebagai ibu pendidik dan pembina generasi muda, (3) wanita sebagai pengatur ekonomi rumah tangga, (4) wanita sebagai pencari nafkah tambahan, dan (5) wanita sebagai anggota masyarakat, terutama organisasi wanita, badan-badan sosial, dan sebagainya yang menyumbangkan tenaga kepada masyarakat. (Buchori, 1996; Oey-Gardiner, 1996; Rahayu dalam Prisma 1996). Kebohongan tentang surga dan kemuliaan kemudian diberi gincu agama supaya jualan tentang “Ibu” menjadi laku keras. Dan terbukti: laku keras! Karena murah meriah itu tadi. Tanpa tanggung jawab negara, tanpa kontrol negara, tanpa sumbangsih negara, tanpa modal dari negara. Yang ada hanyalah cap dan kontrol yang dilakukan lewat organisasi yang sejatinya membungkam narasi Ibu itu sendiri. Dan perempuan kerap kali dibohongi dan membohongi diri mereka sendiri. Seperti saya selalu berbohong pada diri saya sendiri: betapa menyedihkannya membesarkan seorang anak difabel sendirian tanpa bantuan dari negara! Dan saya adalah salah satu pembohong yang lihai sekali berdusta. Jika saya tinggal di Jerman, maka saya tahu pasti, bahwa negara akan ikut bertanggung-jawab dalam setiap terapi wicara anak saya, dalam bentuk insentif-insentif pemeliharaan. Persis yang saya alami ketika mengambil studi doktoral di Muenster. Negara-negara maju tak berani menjual tipuan tentang Ibu. Narasi Ibu benar-benar dikalkulasi dengan baik, diukur hak-hak dan kewajibannya, kemudian didiskusikan baik-baik dengan si pemilik rahim. Perempuan benar-benar berdaulat atas rahimnya, atas seksualitasnya, atas tubuhnya. Tak demikian dengan cerita di Cina dengan kebijakan satu anak yang dimulai pada tahun 1979. Jika sampai pada kehamilan kedua, aborsi paksa merupakan mimpi mengerikan yang meniadakan perempuan atas rahimnya sendiri. Cerita sama terjadi pula pada program-program KB paksa yang tak mengajak perempuan berdiskusi tentang tubuhnya, tentang cita-cita keluarganya, tentang tanggung-jawab negara pada pendidikan dan kesehatan anak-anaknya. Dengan terlalu banyaknya koruptor di Indonesia, budaya negara menjadi budaya tipu-tipu. Rahim tempat dia dibesarkan selama kurang lebih sembilan bulan pun dia tipu juga! Sesungguhnya dengan memuji Ibu terlalu berlebihan, para Ibu harus selalu curiga disebalik pujian itu, karena bisa jadi, negara hendak melarikan diri dari seluruh tanggung-jawab dan tugas-tugasnya atas pendidikan, kesehatan dan perikehidupan warga-negaranya. Dan pada kali kesekian, perempuan-perempuan adalah warga-negara yang sungguh mudah ditipu. Di puncak tahta negara: para penguasa adalah aktor dan aktris yang terlalu sering memakai gincu, demi menipu para Ibu. Daftar Pustaka Buchori, B. & I. Soenarto. 1996. “Mengenal Dharma Wanita” hal. 172-193 dalam Mayling Oey- Gardiner dkk. (ed.), Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini. Jakarta: PT Gramedia. de Beauvoir, Simone. 1949. The Second Sex (trans. HM Parshley). London: Picador. Chodorow, Nancy. 1978. The reproduction of mothering: Psychoanalysis and the sociology of gender. Berkeley, CA: University of California Press. Iskandar, T. 1970. Kamus Dewan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran. Hindra, Eka & Koichi Kimura. 2007. Mereka Memanggilku Momoye. Jakarta: Erlangga. Hollander, JC. Et J. Lameijn. sans annee (tanpa tahun). Bahaja jang Mengantjam pada Laki- Laki dan Perempoean. Bandung: Vorkink. Madasari, Okky. 2012. Maryam. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Oey-Gardiner, Mayling dkk. (ed.), Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini. Jakarta: PT Gramedia. Rahayu, R.I. 1996. “Politik Gender Orde Baru: Tinjauan Organisasi Perempuan sejak 1980- an”. Prisma 15(5), Mei: hal. 29-42. Suryakusuma, Julia. 2011. State Ibuism. Jakarta: Komunitas Bambu. ________________. 2012. Agama, Seks dan Kekuasaan. Jakarta: Komunitas Bambu. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi I. Jakarta: Balai Pustaka dan Depdikbud. Utami, Ayu. 2012. Cerita Cinta Enrico. Jakarta: Gramedia. __________. 2013. Pengakuan Eks Parasit Lajang. Jakarta: KP Gramedia. Yan, Mo. 2010. Frog. Beijing: Mai Tian/Tsai Fong Books. Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|