Keperempuanan Ilahiah & Jejak Islam dalam Tubuh Goethe: Kajian atas Faust dan West-Oestlichers Divan12/10/2015
Disampaikan di Goethe Universität Frankfurt pada Senin 12 Oktober 2015 jam 17-19 Dewi Candraningrum (Pemred Jurnal Perempuan & Universitas Muhammadiyah Surakarta) [email protected] Naerrisch, dass jeder in seinem Falle Seine besondere Meining preist! Wenn Islam Gott ergeben heisst, In Islam leben und sterben wir alle. (Auszuege, West-Oestlichers Divan) Alangkah pandir menganggap diri istimewa Mengira keyakinan sendiri benar belaka. Bila makna Islam pada Tuhan berserah diri, Maka dalam Islam semua kita hidup dan mati. (Nukilan, West-Oestlicher Divan tarjamah Damshäuser dan Sarjono) Mukadimah Tepat pada tanggal 28 Agustus, adalah hari ulang tahun Johann Wolfgang von Goethe (28 August 1749 - 22 March 1832). Pemikir raksasa Eropa ini dilahirkan dari keluarga terpandang di Frankfurt am Main, Jerman. Sampai umur 16 tahun, Goethe mendapatkan asupan pendidikan di dalam rumahnya. Orang tuanya adalah tokoh terpandang dan kaya hingga mampu memberikan kualitas pendidikan yang sangat bagus dibanding teman-teman sebayanya. Dia belajar berbagai bahasa, Italia, Ibrani, Inggris, Latin; disamping mendapatkan pelajaran tentang kitab Injil, demikian juga musik dan menggambar. Goethe sangat berbakat di bidang seni. Namun ayahnya menginginkannya untuk dapat menjadi pengacara dan ahli hukum seperti dirinya. Yang pada akhirnya, Goethe akan mendapatkan kedua-duanya, pengacara dan seniman-sastrawan-filsuf. Meski kemudian di akhir hayatnya, yang terakhirlah yang menjadi pilihan utamanya. Sebagai salah satu raksasa pemikir dari Jerman, Goethe sering disebut sebagai seorang polymath. Yang adalah menguasai, mengerti, menjadi ahli, berkarya akan banyak hal penting. Karya-karya Goethe melingkupi bidang berikut: puisi, drama, sastra, teologi, filsafat, dan ilmu pengetahuani/ilmu alam—seperti teori warna dan morfologi tumbuh-tumbuhan. Salah satu magnum opus yang penting adalah drama dua bagian, Faust. Sebagai salah satu penggerak penting kesastraan Jerman, Goethe bersama dengan Schiller melahirkan Klasik Weimar, sebuah gerakan kesastraan abad ke-18/19. Disamping juga terkenal pula meramaikan Sturm und Drang (Storm and Stress) bersama dengan Herder ketika dia berada di Strasbourg. Gerakan sastra yang terakhir ini menekankan pada diangkatnya sastra-sastra lokal Jerman di samping tradisi sastra besar dari Roma dan Yunani. Herder memberikan pengaruh kuat pada Goethe untuk tidak hanya membaca Homer, Shakespeare, Ossian, tetapi juga karya-karya rakyat biasa dan karya sastra Jerman baru. Sebelum menyelesaikan gelar dari fakultas hukum di Strasbourg di tahun 1771, Goethe telah terlebih dahulu belajar di Universitaet Leipzig. Namun Goethe kemudian menderita sakit berat, dan harus kembali ke Frankfurt. Di saat-saat sakit dan masa penyembuhan inilah, ibunya memperkenalkan Goethe pada mistisisme, yang menjerumuskannya kemudian dengan mengenal mistik Oriental seperti sufisme. Mengenal nampan peradaban timur, yang dirasanya kaya, tidak gersang-kering seperti barat. Wajah Hafiz, Wajah Goethe, Wajah Iqbal: Sebuah Konstelasi Perjumpaan Goethe pada Islam dimulai dengan keinginan kuatnya untuk mempelajari studi Oriental. Dia mengagumi orientalis Eropa yang telah melakukan perjalanan ke selatan, seperti Michaelis dan Niebuhr. Perjalanan mereka sangat menyenangkan untuk dibaca. Goethe bahkan juga membaca Quran tarjamah Jerman oleh J.V. Hammer pada waktu itu. Juga, membaca Quran tarjamah bahasa Inggris yang lebih prosa liris, oleh G. Sale. Goethe merasa bahwa hampir seluruh orkestra terjemahan Quran ke dalam bahasa Latin, Inggris, Jerman dan Perancis banyak mengandung kelemahan. Goethe belajar bahasa Persia, Arab, mempelajari juga Sirah Muhammad. Bahkan, Goethe juga membeli manuskrip-manuskrip asli karya Rumi, Jami, Hafiz, Saadi, Attar, Tafsir Quran, Du’as, kamus bahasa Arab-Turki, teks-teks tentang pembebasan budak, dan naskah-naskah berbahasa Arab dari Sultan Selim. Dari berbagai buku tersebut, ada satu yang memberikan pengaruh penting dalam hidup dan karya Goethe selanjutnya, yaitu tarjamah bahasa Jerman oleh Hammer (1814) dari karya Hafiz (1325/26-1389/90)—penyair Persia—yang berjudul Diwan. Sie haben dich, heiliger Hafis, Die mystische Zunge genannt, Und haben, die Wortgelehrten, Den Wert des Wort nicht erkannt. Mystisch heissest du ihnen, Weil sie Naerrisches bei dir denken Und ihren unlautern Wein In deinem Namen verschenken. Du aber bist mystisch rein Weil sie dich nicht verstehn, Der du, ohne fromm zu sein, selig bist! Das wollen sie dir nicht zugestehn. (Offenbar Géheimnis, West-Oestlicher Divan) Wahai, Hafiz nan kudus, mereka Memanggilmu sang lidah mistis, Tapi mereka, para ahli kalam, Tiada memahami nilai kata. Mereka sebut kau mistis Karena mereka sangka kau majenun, Dan anggur mereka yang tak jujur Mereka tuangkan atas namamu. Namun dalam mistik kau murni Karena mereka tak memahamimu, Meski tak shalih, engkau suci! Itu tak rela mereka akui. (Bukan Rahasia, West-Oestlicher Divan tarjamah Damshäuser dan Sarjono, 2007) Sajak-sajak Hafiz al Shirazi, yang lebih dikenal dengan nama Hafiz di Eropa, banyak ditemukan dalam hafalan sehari-hari di hampir sebagian rumah di Iran. Penyair abad ke-14 ini membabarkan Diwan dengan pantun, perayaan cinta, kemabukan dalam anggur, ketulusan dalam agama dan kepercayaan, dan juga pertunjukkan kemunafikan para pemimpin agama dan negara. Puisinya banyak ditiru, diterjemah, dan diadaptasikan. Dalam sajak-sajaknya Hafiz banyak memadukan dua kata yang saling berbenturan satu sama lain. Hal ini, persis sama, dilakukan pula oleh Goethe, ketika dalam kemabukan Allah, dia menyebut anggur. Allah dan Anggur adalah dua hal yang sama sekali berbeda, yang satunya agung dan suci, yang berikutnya profan dan diharamkan. Tetapi Goethe mampu mengemasnya menjadi kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Jejak Hafiz pada Goethe adalah hibriditas antara yang profan dan yang kekal, demikian juga perihal lainnya, yang saling berbenturan dibuat saling menginginkan-mencinta satu sama lain. Penanda figuratif tersebut banyak digambarkan oleh Hafiz dengan metafora ”cinta manusia” dan ”stasiun spiritual”. Keduanya merupakan lawan kata, yang dapat disatukan oleh Hafiz secara gemilang. Sajak-sajak Goethe dalam West-Oestlicher Divan banyak mengungkapkan misteri kesatuan ini. Perjalanan puisi-puisi Hafiz ke Jerman mengambil tempat istirahnya tepat dalam karya koleksi puisi lirik Goethe West-Oestlicher Divan (West-Eastern Divan, kemudian disingkat WOD) yang ditulis dalam rentang waktu 1814 sampai dengan 1819. Di tahun penulisan WOD Goethe belajar pada Profesor studi Oriental, yaitu, Paulus, Lorsbach dan Kosegarten di Jena. Tulisan ini akan memberikan fokus pada WOD, sebagai kaitan antara Goethe dan Islam. WOD adalah sebuah kitab kumpulan puisi, koleksi sajak-sajak liris yang terinspirasi oleh Diwan karya Hafiz. Sajak-sajak dalam WOD merupakan simbol dari perkawinan dan cumbu-rayu antara Barat dan Timur. Kedua belas buku puisi tersebut mengandung beraneka hal, seperti parabel, alusi sejarah, dan sajak-sajak yang memotret sebuah usaha untuk membawakan barat dan timur dalam sebuah harmoni kesatuan. Diwan ini ditulis selama lima tahun, dan diterbitkan tepat di tahun 1819. WOD terdiri dari 12 buku, yaitu: Buch des Sängers (Moganni Nameh), Buch Hafis (Hafis Nameh), Buch der Liebe (Uschk Nameh), Buch der Betrachtungen (Tefkir Nameh), Buch des Unmuts (Rendsch Nameh), Buch der Sprüche (Hikmet Nameh), Buch des Timur (Timur Nameh), Buch Suleika (Suleika Nameh), Das Schenkenbuch (Saki Nameh), Buch der Parabeln (Mathal Nameh), Buch des Parsen (Parsi Nameh), Buch des Paradieses (Chuld Nameh). WOD merupakan titik kulminasi penciptaan naskah-naskah profan yang dibenturkan dengan naskah-naskah suci lainnya. Penulisnya, Johann Wolfgang von Goethe, meramukan isu-isu plurivokal dan multiwarna di saat Eropa didominasi oleh naskah-naskah klasik yang bertengger laiknya menara gading di tengah-tengah kemenangan Eropa dalam menguasai dunia melalui imperialisme, kolonisasi, dan perdagangan dengan dunia timur, khususnya. WOD merupakan model bagi sintesa antara hal yang relijius dan duniawi, antara yang di barat dan di timur, yang disucikan dan yang diharamkan. Monumen teks-teksnya adalah hasil dari resepsi dan komposisi sang penulis yang dihipnotis oleh akar ketimuran yang disadarinya begitu membekas kuat dalam cawan besar peradaban barat. Kedua kata kunci, Goethe dan Islam, sebenarnya bukan wilayah spesialisasi penulis. Penulis berjumpa dengan mereka berdua, dalam proses-proses yang tidak sengaja. Seperti ziarah ke makam Goethe di Weimar, dimana dia dan Schiller secara berdampingan dimakamkan. Pula, sempat meneliti drama liris karya Goethe, Faust. Kaitan penulis dengan jejak-jejak Islam dalam Goethe, didapatkan dari proses penerjemahan Javid Nama, karya Iqbal, yangmana Goethe mendapatkan pengaruh kuat dari Hafiz, dan Iqbal mendapatkan pengaruh penting dari Goethe. Dus, hilir mudik, perjalanan berikut perjumpaan barat dan timur, tidak melulu, bahwa timur memberikan pengaruh kepada barat per se, pun barat memberikan pengaruh ke timur an sich. Tetapi keduanya telah terlibat dalam lalu lintas komunikasi yang cukup intens. Hingga kohabitasi karya-karya yang tumbuh subur di antara keduanya, seperti tak terpisahkan. Demikian pula, kaitan Islam dengan barat. Merepresentasikan narasi kompleks dari proses negoisasi makna melalui jalur bahasanya yang cukup kaya dan menggairahkan serta menumbuhkan karya-karya dalam dunia sastra. Wer sich selbst und andre kennt, Wird auch hier erkennen: Orient und Okzident Sind nicht mehr zu trennen. Sinnig zwischen beiden Welten Sich zu wiegen lass’ ich gelten; Also Zwischen Ost und Westen Sich bewegen, sei’s zum Besten! (Zum Diwan, WOD) Yang kenal diri juga sang lain Di sini pun kan menyadari: Timur dan Barat berpilin Tak terceraikan lagi. Arif berayun penuh manfaat Di antara dua dunia; Melanglang timur dan barat Mencapai hikmah mulia! (Mukadimah Diwan, WOD tarjamah Damshäuser dan Sarjono, 2007) Karya sastra di Barat pada abad ke-18/19, yang menjadi pioner, dengan menyebut-nyebut ketiga kata kunci: Islam, Quran, Muhammad, secara penuh takjub dan cinta, tak lain salah satunya yang paling penting adalah Goethe. Goethe yang telah begitu kritis pada agamanya sendiri, Kristen, tidak mengenal Islam dengan cara yang sama, melalui doktrin-doktrinnya. Goethe bercakap-cakap dengan Islam bukan melalui jalur doktrin yang kering dan terkesan ortodoks, seperti halnya dia diperkenalkan oleh lingkungannya kepada Kristen. Melalui jalur sufisme-lah Goethe mengenal Islam. Menyebut, bahkan membacakan dengan keras, dengan penuh kekaguman atas tiga kata kunci tersebut, masih merupakan hal tabu bagi Eropa di abad tersebut. Goethe seperti melawan arus atas representasi dan narasi tiga kata kunci tersebut di Eropa yang cenderung peyoratif dan di-Liyan-kan. WOD merupakan maxim, dimana Goethe tak merahasiakan sedikit pun kekagumannya pada mereka. Gesteht’s! Die Dichter des Orients Sind groesser als wir des Okzidents. Worin wir sie aber voellig erreichen, Das ist im Hass auf unsresgleichen. … Welch eine bunte Gemeinde! An Gottes Tisch sitzen Freund’ und Feinde. … (Auszuege, WOD) Akui! Para pujangga di timur sana Lebih hebat dari kita semua di barat. Tapi kita sungguh setara mereka Dalam membenci para sejawat. … Betapa ini kaum beraneka warna beragam jenis! Di meja Tuhan karib dan musuh duduk semajelis. ... (Nukilan, WOD tarjamah Damshäuser dan Sarjono, 2007) Adalah Katharina Mommsen, seorang Professor Emeritus di Stanford University California, lahir di Berlin pada 1925, yang telah menantang tabu mendiskusikan Islam secara terbuka di Eropa. Jika Mommsen tidak menulis bukunya, Goethe und der Islam (2001), mungkin Eropa tidak begitu terbelalak akan fakta bahwa Goethe memandang Islam dan Timur dengan cara yang amat berbeda dari aliran utama di Eropa saat itu. Mommsen membukakan tabiat Goethe yang mencintai ”Weltoffenheit”—keterbukaannya pada dunia. Wajar, bila kemudian, Goethe memperkenalkan ”Weltliteratur”—sastra dunia, dimana sastra tidak dinilaikan karena hirarkinya, tetapi karena keragamannya. Menurut Mommsen, Goethe adalah pembangun jembatan dunia, yang memperkenalkan pentingnya Islam pada dunia. Pada era Goethe, membicarakan Islam merupakan hal yang sangat kontroversial dan berani. Di tahun 1826 dalam Faust, Goethe menulis dengan lantangnya: ”Wer sich selbts und andere kennt wird auch hier erkennen: Orient und Okzident sind nicht mehr zu trennen”—He who knows himself and others will also agree: Orient and Okzident divided no more can be. Pandangan dunia Goethe dicirikan oleh penghargaannya akan Islam, apresiasi atas Keesaan dan Kebebasan. WOD mengejawantahkan kecintaannya pada Nabi Muhammad dan Islam. Goethe mencari tempat berlindung yang paling aman dalam puisi-puisi sufisme. Dia mengagumi makna keesaan Ilahi. Resonansi Tuhan yang Esa terus diulang-ulang dalam sajak-sajaknya. Goethe kanak-kanak sangat menyukai kisah-kisah Seribu Satu Malam dalam Scheherazade. Dan, terus membacanya bahkan ketika telah menjadi tua. Perlintasan yang datang dari timur, kemudian meletakkan transitnya pada tubuh karya-karya Goethe, melakukan perjalanan balik, perjalanan ulang ke timur. Perjalanan karya dari barat ke timur. Pengaruh Goethe dari barat mencapai resonansinya ke timur, British India, dimana Iqbal (9 November 1877 - 21 April 1938) mengaguminya dengan amat. Ketika menempuh pendidikan di Ludwig Maximilians Universitaet Muenchen, Iqbal banyak membaca karya-karya Goethe. Hal ini dapat dilacak dalam Allama Iqbal's Note-Book, 1992, Stray Reflections, Lahore: Iqbal Academy Pakistan (yang kemudian disingkat SR). Iqbal sering menyebut nama Goethe, sebagai raksasa yang banyak memberikan resonansi dalam karya-karyanya. ”Our soul discovers itself when we come into contact with a great mind. It is not until I had realized the infinitude of Goethe's imagination that I discovered the narrow breadth of my own”. (SR 25) “I confess I owe a great deal to Hegel, Goethe, Mirza Ghalib, Mirza Abdul Qadir Bedil and Wordsworth. The first two led me into the "inside" of things; the third and fourth taught me how to remain oriental in spirit and expression after having assimilated foreign ideals of poetry, and the last saved me from atheism in my student days”. (SR 61) Menurut Iqbal, memperbandingkan karya sastra adalah hal yang menjijikkan. Dalam sejarah sastra dan pemikiran, menurutnya, lokasi perjumpaan dan pemberangkatan merupakan pusat penting dalam perbandingan karya sastra. Perjumpaan, persimpangan, dialog, kepergian, merupakan axis yang dapat digali secara lebih mendalam. Dengan memberikan fokus pada jejak sejarah dari yang ditinggalkannya tersebut. Dia lebih suka menyebut ”korespondensi” antara Goethe dan Iqbal, tinimbang ”perbandingan” karya Goethe dan Iqbal. Terma itu, korespondensi, mengijinkan sebuah perkawinan, osilasi, kohabitasi, interpenetrasi, yang menyingkapkan koneksi dan transfer hikmah. Iqbal menyebutnya ”point of contact and departure”. Dia tidak menyetujui hubungan sebab akibat, antar zaman, antar epos, yang berbeda, tetapi menyebutnya sebagai ”konstelasi”. Konstelasi enerji, ruh, jiwa, rindu-dendam, cumbu-rayu, yang menghantarkan Hafiz kepada Goethe, Goethe kepada Iqbal. Pun, Iqbal lebih memilih kata ”pengaruh”, Wirkungen. Seperti seorang murid yang dimabuk cinta oleh kata sang guru, Goethe: “Alles was eine große Wirkung getan hat, kann eigentlich nicht mehr beurteilt werden”. Konstelasi dan saling pengaruh antar ketiganya merupakan segitiga, yang ujungnya menggapai langit, dan dasarnya menjejak bumi. Kesempurnaan, bagi ketiganya, adalah Ilahi, dan hidup Ilahi adalah hidup yang mewahyukan diri, bukan untuk mencapai yang ideal, tetapi realisasi dari keabadian atas kemungkinan-kemungkinan kreatif. Dari Goethe, Iqbal mendapatkan pelajarannya tentang hakekat kemanusiaan. … Den mit Goettern Soll ich nicht messen Irgendin Mensch. Hebt er sich aufwaerts Und beruehrt Mit dem Scheitel die Sterne, Nirgends haften dann Die unsichern Sohlen, Und mit ihm spielen Wolken und Winde. … (Grenzen der Menschheit, WOD) ... Karena tiadalah patut Manusia manapun juga Sejajarkan dirinya Dengan dewa-dewa Bila ia menggapai tinggi, Ubun-ubun menyundul bintang Maka gamang telapak kakinya Tak bisa menapak di manapun jua, Ia kan jadi permainan Angin dan awan-gemawan ... (Batas-batas Manusia, WOD tarjamah Damshäuser dan Sarjono) Mediasi atas batas-batas kemanusiaan, menjadi manusia yang matang, dinarasikan oleh Goethe kepada Iqbal dalam salah satu mágnum opusnya, Faust. Analisis struktur estetik dan hermeneutik atas drama Faust bukan sekedar penceritaan kembali mitos Doktor Faustus yang menjual jiwanya pada si setan, Mephisto, untuk mendapatkan kilau gempitanya dunia fana, yang beredar di Eropa pada Abad Pertengahan menjelang Abad Pencerahan. Karena, drama ini memiliki teknik artistiknya sendiri. Dan, mengungkap masalah kematangan jiwa manusia yang paling mendasar yang tidak banyak diperhitungkan selama ini. Di balik karya ini terdapat masalah serius untuk direnungkan, yang berhubungan dengan keberadaan manusia secara eksistensial di muka bumi ini. Iqbal menyebutnya sebagai sesuatu tentang ”diri-dalam”, inner being, yang direpresentasikan secara utuh dalam diri tokoh Faust. Tidak sedikit pembaca yang percaya begitu saja bahwa Faust karya Goethe sama saja dengan karya-karya Faust sebelumnya, bahkan, sama saja dengan mitos yang beredar pada saat itu, tanpa menyadari bahwa Goethe berusaha keras seumur hidupnya, hampir enam puluh tahun, hanya untuk menulis drama dua bagian tersebut. Dari analisis struktural Goethe menunjukkan bahwa dramanya yang tidak ditulis dengan prosa, tetapi dengan verse-puisi liris ini mempunyai maksud sendiri. Bahwa karya tersebut tidak diniatkan untuk dipentaskan, tetapi diniatkan untuk dibaca karena sulitnya dipentaskan. Atmosfer-atmosfer asing seperti neraka, surga, terbang tinggi di bulan merupakan hal yang sulit dipentaskan. Tetapi karya ini ditulis seperti sebuah pajangan lukisan dari abad Yunani Klasik sampai Abad Pertengahan. Sebuah rentang waktu yang sangat lama. Perbedaan peradaban yang menonjol. Tetapi dengan kecerdasan Goethe dia mampu memberikan lukisan indah tersebut dalam bentuk puisi. Kumpulan puisi dari jaman primitif sekalipun, dengan para penyihir di dalamnya, sampai gaya Shakespeare yang sangat dikagumi oleh Goethe, sampai seni teater modern Inggris. Tidak lupa Goethe juga menyisipkan seni komedi. Yang luar biasa di dalam karya ini adalah bahwa drama ini juga merupakan ensiklopedia pengetahuan, mulai dari kimia, biologi, fisika, teologi, pengobatan, hukum dan kenegaraan, karena kapasitas Goethe sendiri sebagai ilmuwan hebat yang telah beberapa kali menemukan hal baru di bidang biologi dan juga pernah menjadi Perdana Menteri. Keindahan drama ini dapat dibaca dari keindahan alam yang digambarkan dengan puitis oleh Goethe. Mulai dari lembah-lembah hijau, rangkaian gunung yang menjulang tinggi, pantai-pantai indah, dan istana-istana megah Abad Pertengahan dan juga Yunani Klasik. Kesemuanya dimaksudkan oleh Goethe untuk memberikan lukisan jagat raya dengan simbol-simbol dasarnya. Ditambah lagi dengan gambaran tentang Tuhan, surga, neraka, para iblis, setan, peri, dewa-dewi. Sangat lengkap. Sekali lagi itu adalah simbol makrokosmos. Simbol makrokosmos yang didalamnya ada bermilyar kehidupan mikrokosmos. Goethe hendak mengatakan maksudnya meski sangat sulit, bahwa dari setiap mikrokosmos tersebut setiap elemennya ada aspek feminin dan maskulin yang seharusnya proporsinya seimbang. Dengan kehancuran-kehancuran mikrokosmos yang dia ceritakan, sebenarnya Goethe hanya ingin menjelaskan, bahwa aspek maskulin terlalu mendominasi. Bagi Goethe, dus, kematangan jiwa manusia terletak pada hubungan yang benar dan seimbang antara aspek maskulin dan feminin. Konstelasi yang proporsional antara feminin dan maskulin. Bagi Goethe keseimbangan itu mutlak. Dari analisis hermeneutik, dapat dijelaskan bahwa tokoh-tokoh utama dalam Faust secara utuh adalah bagian dari satu jiwa manusia. Satu jiwa Faust. Miniatur kemanusiaan dipatrikan dalam tokoh Faust. Konstelasi pandangan dunia atas kemanusiaan manusia. Karakter-karakter itu mengalami polarisasi karena ada hubungan yang tidak seimbang di dalam diri mereka, antara aspek maskulin dan feminin. Sebagai pusat adalah Faust. Gretchen dan Helena adalah aspek feminin di dalam diri Faust. Sedangkan Mephisto adalah simbol Tuhan Patriarkal yang selama ini menguasai dunia (sebenarnya para manusialah yang menganggap Tuhan terlalu Maskulin), dan Homunculus adalah aspek jiwa-dalam yang hermaphrodite—aspek feminin dan maskulin menjadi satu. Faust, ditutup Goethe dengan lirik berikut:
All that shall pass away is but reflection. All insufficiency here finds perfection. All that mysticism here finds the day. Woman in all of us show us our way. (Faust, 12108-12110) Faust, Gretchen, Helena, Mephistopheles, dan Homunculus adalah satu jiwa manusia. Setiap aspek berada dalam satu jiwa yang bagi Goethe berada dalam setiap elemen alam semesta, terutama manusia. Dus, bagi Goethe, aspek feminin di dalam diri kita selain cinta kasih—menyusut, konservatif, responsif, kooperatif, intuitif, sintesis—yang akan memberikan kelahiran kembali yang sempurna bagi manusia. Di samping juga tidak menafikan aspek maskulin—mengembang, menuntut, agresif, kompetisi, rasional, dan analitis. Bahwa antara kedua elemen tersebut tidak dapat dipisahkan dan merupakan kepaduan yang alamiah. Bahwa hal tersebut adalah simbol jiwa yang matang. Yang terselamatkan. Realitas ultim dari jiwa manusia merupakan konstelasi padu antara makrokosmos dan mikrokosmos. Pula, konstelasi padu antara aspek maskulin dan feminin. Realitas ultim adalah kehidupan kreatif yang tiada henti. Menginterpretasi ego manusia bukan dengan memperbajui Tuhan dengan bayang-bayang kemanusiaan. Dengan menerima, bahwa hidup bukanlah aliran yang tak berbentuk, tetapi sebuah kesatuan, sebuah sintesa, yang saling berkonstelasi satu sama lain, dan saling mempengaruhi menuju tujuan yang konstruktif. Sungai yang hidup, dalam Javid Nama karya Iqbal di tahun 1932, merupakan referensi atas metafora mistis, korespondensi dan konstelasi. Tetapi bahwa konstelasi Hafiz-Goethe-Iqbal bukanlah ekspresi yang simetris dan permanen. Dalam banyak hal, mereka saling-berbeda, saling-berlawanan satu sama lain. Yang mengikat mereka bertiga, adalah jiwa yang satu. Islam. Keperempuanan Ilahiah Sajak-Sajak Goethe Seorang perempuan penulis, Mary Ann Evans, yang memakai nama samaran, nama pena, George Elliot pernah menilai Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832), sang pencipta Faust, sebagai sastrawan terhebat dari Jerman. Goethe dinobatkan sebagai seorang yang memiliki pengetahuan ensiklopedik yang kaya wawasan. Dia tidak hanya dikenal sebagai ahli kesusasteraan, tetapi pula dikenang dalam bidang filosofi dan sains. Pengetahuan ensiklopedik ini setara dengan yang dimiliki oleh Leonardo da Vinci. Mereka adalah manusia Pencerahan, Aufklarung Mensch, yang pula dikenal sebagai Homo Universalis. Nasib Mary Ann Evans dan Goethe memang berbeda. Mary terlahir sebagai perempuan, yang pada zamannya, kurang mendapat apresiasi sebagai penulis perempuan. Cukup cerdas, pilihan mempersekutukan diri dengan nama pena George Elliot. Mary Ann Evans ingin, agar karyanya dianggap serius, dengan meminjam nama laki-laki. Ternyata, daya perempuan, pada abad ke-18 Eropa, masih tergilas roda Aufklarung yang tersohor itu. Goethe telah tiba. Seperti biasa, kali ini Pak Trum (Berthold Damshauser) mengirimkan lebih cepat dari biasanya ke Munster di tahun 2008. Seri Puisi Jerman ke 004 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini merupakan sebuah dialog saling asah asih asuh, antara Barat dan Timur. Setelah Horison menerbitkan Seri Puisi Jerman 001 Rainer Maria Rilke: Padamkan Mataku (2003), 002 Bertholt Brecht: Zaman Buruk Bagi Puisi (2004), dan 003 Paul Celan: Candu dan Ingatan (2005), sampailah kekaryaan Goethe berbajukan sastra Indonesia. Piranti estetis dalam bahasa Jerman, telah didaur-ulang secara apik oleh duo kritikus sastra, Agus R. Sarjono dan Berthold Damshauser. Sebagai penikmat karya kesusasteraan, keduanya telah mencipta dan memindahkan cita rasa estetis Jerman kepada ruang baru, khasanah kesusasteraan Indonesia. Perjalanan estetis ini hanya akan mampu dilaksanakan, oleh seseorang yang telah kaya mengenyami nilai-nilai estetis universal, oleh-oleh Aufklarung Eropa yang dahsyat itu. Yang menyatukan segala beda kepada hikmah. Yang memberikan otoritas kebenaran pada pencarian eksistensi manusia paling ultim. Membebaskan manusia dari kerangkeng dogmatis tradisi agama. Sajak-sajak Goethe merupakan representasi apik dari keping Aufklarung. Yang mengembalikan pelbagai jenis ruang kebenaran kepada hikmah nurani. Ruh ilahiah sajak-sajaknya, terutama Bagian III, Merindu Mati di Kobaran Api, Diwan Barat-Timur (hal. 89-113). Dimana Goethe merindu-dendam Hafiz, sufi Persia penyihir hati itu. Goethe melabrak kotak-kotak dogma agama, dan mempersekutukannya dalam hikmah universal. Yang kenal diri juga sang lain / Di sini pun kan menyadari: / Timur dan Barat Berpilin / Tak terceraikan lagi. / Arif berayun penuh manfaat / Di antara dua dunia; / Melanglang timur dan barat / Mencapai hikmah mulia (hal. 93). Sajak itu telah meleburkan oposisi biner, Barat-Timur, Kristen-Islam, yang seringkali menguras enerji umat manusia dalam mengenal satu sama lain. Pula memperpahamkan silang sengkarut peradaban yang sedang belajar berdialog satu sama lain. Di dalamnya menyatakan Ada. Ruh yang mengajarkan saling asah-asih-asuh. Dalam menyajikan dialog antar peradaban, antara Barat dan Timur, antara Kristen dan Islam, Goethe telah menihilkan surga. Bilamana Rabiah Al Adawiyah (714-801 M), telah membawakan seember air untuk menyiram api neraka, pula seobor api untuk menyulut surga, karena ditolaknya sembahan Gusti, kerana surga dan neraka. Rabiah dinobatkan sebagai Mahkota Kaum Lelaki (Taj Al Rijal). Seorang sufi perempuan dari Basrah yang gemilang pada masanya. Faridudin Attar dalam karyanya Tazkirat Al-Auliya (Dzikr Para Wali) menuliskan Rabiah sebagai seorang perempuan yang paling utama dalam makrifat dan tak tertandingi pada zamannya. Pula, Attar sang penjual parfum, dalam Manthiq Al-Thayr (Musyawarah Burung) mempertuliskan daya Rabiah serupa seratus laki-laki, yang lenyap dalam pancaran Ilahiah. Keutamaan Rabiah, telah menolak surga, demi cinta. Keutamaan Rabiah, menjadi budak Hakikat. Ilahiah itu cinta. Dan cinta itu Ilahiah. Ilahiah yang perempuan. Das Gottlich-Weibliche (Keperempuanan Ilahiah). Intertekstualitas, hikmah universal Rabiah ini, telah pula sampai pada wadag Goethe. Ketika Goethe menolak surga dalam Ultimatum: Maka kujelaskan sekali lagi: / Alam tak berkulit, tak berbiji; / Periksa dirimu senantiasa, / Kulit atau biji kah kau adanya! // Murnikan dirimu diam-diam / Badai sekitar jangan hiraukan; / Makin kau rasa jadi manusia, / Kian serupa kau dengan dewata. // Bagiku tiada siksa yang lebih nyeri, / Selain berada di surga sendiri (hal 119). Tak segan-segan, Goethe memperbajui dirinya dengan Islam. Dengan penuh rendah hati, dalam Kitab Hikmah, Goethe berseru: Alangkah pandir menganggap diri istimewa / Mengira keyakinan sendiri benar belaka. / Bila makna Islam pada Tuhan berserah diri, / Maka dalam Islam semua kita hidup dan mati (hal. 97). Penghargaan kepada Islam ini merupakan uluran jabat tangan, jabat hati, yang kemudian dimuliakan dengan gegap gempita oleh para sufi di dunia timur. Kepada transendensi ilahiah para sufi besar Persia: Jalaluddin Rumi, Shamsuddin Muhammad Hafiz Shirazi, dan Hakim Abul Qasim Ferdowsi, Goethe menyerahkan gubahan sajak-sajaknya. Muhammad Iqbal telah menyambutnya dalam Payam-e-Mashriq (Utusan dari Timur, 1923). Resonansi Islam Islam ibarat suara yang melakukan perjalanan dari timur ke barat, kemudian dari barat ke timur, dan ke barat lagi, dan seterusnya, tiada henti. Resonansi yang abadi. Apa yang ada di Barat, telah ada dalam Islam. Apa yang ada dalam Islam, telah ada di Barat. Mereka saling meninggalkan jejak satu sama lain. Usaha-usaha kohabitasi dan interpenetrasi telah direpresentasikan melalui karya-karya Goethe. Dimana Goethe menjadi jantung, menjadi cermin, yang memantulkan cahaya Islam di Eropa dengan cara yang amat berbeda dari kolega di zamannya. Dengan caranya yang gemilang, tanpa takut, tanpa ragu, memuji bak pecinta dirindu-dendam pada kekasihnya. Jejak Islam yang tergurat jelas dalam karya-karya Hafiz, teresonansi dengan lantang dan keras dalam karya-karya Goethe, terutama WOD. Goethe tak sungkan, tak malu, menegaskan dirinya tak menolak disebut sebagai Muslim. Baginya label tidak begitu penting. Baginya, apa yang berumah dalam dirinya, apa yang tetirah-istirah di dalam dirinya, merupakan hal yang dia sebut sebagai Islam. Dalam kemabukan anggur, Goethe melihat Allah secara lebih khidmat. Ob der Koran von Ewigkeit sei? Darnach frag’ ich nicht! Ob der Koran geschaffen sei? Das weiss ich nicht! Dass er das Buch der Buecher sei, Glaub’ ich aus Mosleminen-Pflicht. Dass aber der Wein von Ewigkeit sei, Daran zweifel’ ich nicht; Oder dass er vor den Engeln geschaffen sei, Ist vielleicht auch kein Gedicht. Der Trinkende, wie es auch immer sei, Blickt Gott frischer ins Ansgesicht. (Das Schenkenbuch, WOD) Apakah Al Quran abadi? Itu tak kupertanyakan! Apakah Al Quran ciptaan? Itu tak kutahu! Bahwa ia kitab segala kitab, Sebagai Muslim wajib kupercaya. Tapi, bahwa anggur sungguh abadi, Tiada lah ku sangsi; Bahwa ia dicipta sebelum malaikat, Mungkin juga bukan cuma puisi. Sang peminum, bagaimanapun juga, Memandang wajah-Nya lebih segar belia. (Kitab Kedai Minuman, WOD tarjamah Damshäuser dan Sarjono) Referensi: Allama Iqbal's Note-Book. 1992. Stray Reflections. Lahore: Iqbal Academy Pakistan. Candraningrum, Dewi. 2002. Aspek-Aspek Feminin dalam Faust karya Johann Wolfgang von Goethe. Laporan Penelitian Univ Muhammadiyah Surakarta. __________________ (Penerjemah). 1999. Iqbal’s Javid Nama: Ziarah Abadi. Yogyakarta: Fajar Pustaka Press. Conrad, Karl Otto. 1999. Goethe: Leben und Werk. Duesseldorf und Zuerich. Courdet, Allison. 1987. “Faust,” dalam Encyclopedia of Religions, Vol. II, Chicago. Damshäuser, Berthold dan Agus R. Sarjono (Penerjemah dan Editor). 2007. Johann Wolfgang von Goethe: Satu dan Segalanya. Seri Puisi Jerman No 4. Jakarta: Horison. E. M. Wn. 1983. “Goethe, Johann Wolfgang von,” in Macropaedia Encyclopaedia Britanica, Vol. VI. Chicago. Goethe, Johann Wolfgang von. 1819. West-Oestlichers Divan. http://gutenberg.spiegel.de/?id=5&xid=862&kapitel=1#gb_found 22.8.2010/9.49 _________________________. 1952. Faust Parts One and Two (trans. By George Madison Priest). Chicago: Encyclopaedia Britannica, Inc. _________________________. 1999. Faust (trans. Agam Wispi). Jakarta: Kalam & Goethe-Institut. Lukacs, Georg. 1968. Goethe and His Age, London. Mommsen, Katharina. 2001. Goethe und der Islam. Frankfurt am Main. Seiling, Max. 1988. Goethe als Esoteriker. Neuwied. Wilpert, Gero von. 1998. Goethe-Lexicon. Stuttgart. Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|