Oleh: Musdah Mulia (Ketua Umum ICRP dan dosen pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) [email protected] Faktanya, 65 persen dari lulusan universitas di dunia adalah perempuan, bahkan 65 persen dari lulusan terbaik universitas juga perempuan, namun kepemimpinan perempuan di perguruan tinggi di Indonesia tidak sesuai dengan fakta itu. Tercatat hanya empat perempuan rektor atau ketua, padahal di negeri ini ada 97 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan 3.124 Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Lokakarya tentang minimnya kepemimpinan perempuan di perguruan tinggi yang diselenggarakan Higher Education and Leadership Management menyimpulkan tiga faktor utama sebagai hambatan. Budaya patriarkal dan faktor eksternal di sekitar perempuan; minimnya pengembangan pribadi dan profesional bagi perempuan; kurangnya kelompok perempuan aktif yang mampu menyebarkan semangat positif dalam mengambil peran kepemimpinan. Ternyata hambatan paling mengemuka, bukan soal kompetensi akademik atau kemampuan ilmiah atau pun pengalaman manajemen perguruan tinggi sebagaimana disyaratkan, melainkan lebih banyak terkait nilai-nilai budaya. Sungguh sangat disayangkan, dunia pendidikan tinggi yang seharusnya mengajarkan pentingnya nilai-nilai egalitarian dan demokratis yang melahirkan sikap kritis dan rasional justru masih terbelenggu nilai-nilai budaya patriarkal dan feodalistik. Tidak heran jika di perguruan tinggi masih dijumpai nilai-nilai diskriminatif dan stigma negatif terhadap perempuan. Buktinya, dalam pemilihan rektor di sebuah universitas negeri, kandidat perempuan satu-satunya “di-bully” dengan sejumlah statemen bias gender, misalnya “Universitas ini sangat maskulin secara kultural dan sosiologis sehingga gaya feminin dalam kepemimpinan masih sulit untuk sukses.” Perlunya kepemimpinan perempuan Sejumlah penelitian merumuskan, ciri-ciri kepemimpinan perempuan memiliki sejumlah keunikan dan berbeda dari kepemimpinan laki-laki. Misalnya, dalam pengambilan keputusan, perempuan cenderung menggunakan gaya demokratis dan partisipatif daripada laki-laki. Perempuan dinilai lebih interpersonal, bisa mendengarkan lebih baik sebagai keterampilan yang dapat membuat orang lain merasa nyaman dan penting. Selain itu, hal terpenting adalah perempuan memiliki pandangan lebih kuat pada nilai-nilai kesetaraan. Perempuan juga dapat menjadi lebih kooperatif dan mendukung, tidak suka menonjolkan diri dan kompetitif. Tidak suka berkonflik, relatif sabar, lebih telaten, teliti, lebih memerhatikan hal-hal kecil dan rumit serta kolegial. Ciri-ciri kepemimpinan demikian justru lebih relevan bagi dunia pendidikan yang diharapkan mampu melahirkan manusia kritis, inovatif dan bertanggung jawab serta tetap kuat berpegang pada nilai-nilai spiritual. Manusia yang mampu memandang semua manusia sebagai makhluk Tuhan yang bermartabat dan harus dihormati. Mungkin itu sebabnya, mengapa di sejumlah negara maju, perempuan mendominasi kepemimpinan di perguruan tinggi. Menghapus hambatan kultural Diakui tidak mudah menghadapi berbagai hambatan dalam kepemimpinan perempuan, terutama hambatan dalam bentuk glass ceiling yakni berbagai pembatasan yang tidak terlihat secara kasat mata. Belum lagi, dalam berbagai proses akademik perempuan merasakan ketidaknyamanan dalam lingkungan akademiknya. Hambatan lain tidak kurang beratnya datang dari internal keluarga, terutama suami yang sering merasa terganggu dan merasa “dilampaui” sehingga melahirkan sikap kekanak-kanakan dan susah dimengerti. Belum lagi, dicemooh masyarakat dengan stigma sebagai istri atau ibu yang tidak bertanggungjawab karena terlalu sering meninggalkan rumah. Hal serupa tidak pernah ditimpakan kepada para lelaki. Inilah yang dimaksud dengan ketimpangan dan ketidakadilan gender. Mengapa penting isu gender? Sejak awal abad ke-20 dunia internasional lantang menyuarakan pentingnya kesetaraan dan keadilan gender sebagai salah satu strategi kunci dalam menciptakan masyarakat yang damai, maju dan sejahtera. Bahkan, tiga dari tujuan Millenium Development Goals (MDG’s) fokus kepada upaya kesetaraan dan keadilan gender. Perbedaan gender sesungguhnya merupakan hal biasa saja sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan dan ketimpangan gender (gender inequities and injustice). Akan tetapi, realitas di masyarakat menunjukkan, perbedaan gender sangat sering membawa kepada ketimpangan atau ketidakadilan, terutama terhadap perempuan. Sebab, mereka selama ini merupakan kelompok yang rentan, marjinal dan tertinggal akibat kultur dan struktur yang didominasi kelompok maskulin. Lalu, apakah kita akan membiarkan atau menutup mata melihat perilaku tidak manusiawi tersebut? Apakah kita akan terus diam dengan kondisi yang timpang dan tidak adil ini? Demi terwujudnya masa depan peradaban manusia yang lebih adil dan lebih damai, semua bentuk ketimpangan dan ketidakadilan gender harus diakhiri sekarang juga! Untuk itu, paling tidak tiga hal harus dilakukan. Pertama, upaya rekonstruksi budaya melalui pendidikan dalam arti seluas-luasnya, dimulai dari pendidikan dalam keluarga. Kedua, perlu upaya reformasi terhadap semua kebijakan publik yang diskriminatif. Komnas Perempuan menyebut sebanyak 354 Peraturan daerah (Perda) diskriminatif terhadap perempuan. Ketiga, perlu upaya reinterpretasi terhadap ajaran agama yang memarjinalkan perempuan sehingga yang tersebar hanyalah interpretasi keagamaan yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan ramah terhadap perempuan. Kita perlu mendorong pengembangan perguruan tinggi yang memiliki sense of gender yang baik. Perlu meningkatkan kuantitas dan kualitas kepemimpinan perempuan di dunia pendidikan. Kita harus memberikan dukungan yang lebih kuat agar para perempuan dapat meruntuhkan berbagai hambatan, baik karena nilai-nilai tradisional, struktur, budaya, atau pribadi yang menghalangi perkembangan personal maupun profesional. Karakteristik kepemimpinan demokratis perlu dikembangkan untuk mendorong perempuan dan laki-laki menjadi pemimpin berkualitas di masa depan. Akhirnya, semoga lebih banyak lagi perempuan menjadi pemimpin di perguruan tinggi. Jakarta, 2 April 2014 Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|