Bedah Buku A Setyo Wibowo & Haryanto Cahyadi Mendidik Pemimpin dan Negarawan: Dialektika Filsafat Pendidikan Politik Platon Dari Yunani Antik Hingga Indonesia (Yogyakarta, Penerbit Lamalera) Bentara Budaya Surakarta, Balai Soedjatmoko, Selasa 11 November 2014 jam 19-22 WIB Pengantar
Saya memiliki kesetiaan yang berlebihan pada sejarah kata-kata. Yang saya tahu, setia memang harus berlebihan. Seperti yang terjadi pada usia dua puluh tahun, membaca naskah Goethe: Faust, dalam bahasa Inggris. Perasaan bersalah yang amat karena tidak bisa membacanya dari bahasa asal, yaitu bahasa Jerman. Dan, sepuluh tahun kemudian saya dapat membacanya dalam bahasa aslinya, Jerman, di Muenster. Kesetiaan mengandung konfirmasi yang terus-menerus menginduk pada perihal muasal. Dan muasal paling muasal dari filsafat adalah bahasa. Saya kembali menjadi fakir, menjadi miskin ketika kembali berhadapan dengan sebuah buku baru karya Romo Setyo Wibowo dan Haryanto Cahyadi, Mendidik Pemimpin dan Negarawan: Dialektika Filsafat Pendidikan Politik Platon Dari Yunani Antik Hingga Indonesia (2014) (kemudian disingkat MPDN). Mengapa? Karena saya tidak memiliki akses, kunci, dan tiket yang sempurna menuju pengetahuan Plato seperti dalam bahasa muasalnya, Yunani, sebagaimana halnya oleh kedua penulisnya. Saya sungguh cemburu! Dalam mendekati diskursus, saya selalu, atau biasanya, mendekatinya dalam rumah filsafat bahasa. Kali ini saya tak benar-benar berada di dalam rumahnya. Setidaknya saya menengok dari balik jendela, dari luar, atas perhatian saya pada perihal: filsuf perempuan (dalam terminologi Plato via Romo Setyo sebagai Filsuf Ratu), bilangan istri, ibu, anak-anak, gender ketiga, bilangan tubuh, dan bilangan alam. Perihal ini akan menjadi kelanjutan pembedahan buku sesuai dengan kajian yang saya geluti selama ini. Pengetahuan Ayah Pertama kali saya mengenal nama Plato, perasaan yang tumbuh, sampai dengan sekarang adalah seperti menyusu pada ayah. Seperti halnya ketika menerima pertama kali buku ini, lalu membaca, lalu melakukan pelacakan, lalu melakukan komunikasi dengan penulisnya—seperti memasuki dunia pengetahuan ayah. Mengayah pada Setyo Wibowo. Saya membuka beberapa buku, teks, laman, kuliah youtube, dan lain-lain untuk duduk dalam percakapan tentang tahu yang diketahui ayah. Genealogi, menurut sejarah, generasi, dari logos-logos, seperti membaca kembali Plato (The Republic), lalu Setyo Wibowo. Tafsir ayah, atas ayah sebelumnya, atas ayah sebelumnya, dan seterusnya. Seperti urutan tasbih: Sokrates, Protagoras, Plato, Nietzsche, Heidegger, Setyo Wibowo, Haryanto Cahyadi, dst, dll. Seperti mustahil mengenal Nietzsche tanpa Heidegger, dan seterusnya. Dan yang paling fakir dari seluruh pembaca adalah yang tak mengetahui bahasa muasalnya, Yunani, sebut saja saya. Pengetahuan ayah saya kenal dalam bahasa-bahasa turunan, seperti bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Jerman—itu saja. Tidak cukup! Tetapi kemudian saya menyadari akan adanya kesemestaaan kebaikan, keelokan, seperti yang sering disebut-sebut dalam buku ini sebagai kaloskagathos, yang dipastikan dimiliki semua manusia, begitu pun saya. Dari etos itu, dari elan itu, pengetahuan dapat saya cerap dalam daya maksimumnya, meski terbatas, meski hidup fakir dalam kota kata-kata. Idealitas kota kata-kata, Polis, adalah perwujudan keutuhan dari kebahagiaan versi Plato. Dalam menerangkan dialektika ilmu bahagia, Plato menggunakan instrumen bahasa. Dan yang paling menarik dari instrumen ini adalah nafsu besarnya atas sistematisasi, strukturasi, klasifikasi, hierarki—kata benda, kata sifat, dan lain-lain. Menarik menghitung dan mencari posisi ontologis dari kata perempuan, istri, anak-anak dan bumi. Sebagai kata benda, frekuensi mereka berada dalam kalimat tanya dalam The Republic cukup menarik untuk dicermati. Seperti menjadi saksi bahwa proses sistematisasi pengetahuan dimulai dari ketika diri memisahkan dirinya dari para liyan, lalu mendiskusikan liyan itu dalam sebuah instrumen yang disebut sebagai cikal bakal demokrasi dalam negara dan masyarakat modern (gesellschaft, bukan gemeinschaft) yang ideal. Filsafat dan Ilmu Politik sekarang berhutang pada Plato, sebagai Ayah yang menelurkan diksi-diksi utama dalam kajiannya: negara, republik, demokrasi, warga negara, dan lain-lain. Hutang ini tak hanya hutang genealogi, generasi dari etimologi tetapi juga hutang pertanyaan-pertanyaan ‘mengapa’ atas proses-proses terbentuknya. Seperti, mengapa perempuan, istri, anak-anak, bumi, disebut-sebut sebagai tak lebih dari properti yang diatur? Tak lebih sebagai sebuah sasana, wahana, sumber daya? Sesuatu yang dimasukkan dalam struktur kata benda yang diatur, dimanajemen, dibudidayakan, diberdayakan, dieksploitasi atau boleh saja diperdayai? Marx dalam bukunya Economic and Philosophic Manuscripts (1844) menegaskan berkali-kali, bahwa untuk mendapat gambaran paling utuh dari sebuah masyarakat, atau dari sebuah era, kita harus melacak dimana, bagaimana, dengan cara apa perempuan dan anak-anak diperlakukan. Tetapi, tentu tidak adil bagi Plato jika saya berangkat dari paragraf sebelum ini atas aksioma, postulat, metafora, bahwa kemudian Plato tak adil pada perempuan dan alam—karena dia memang berada dalam abad klasik yangmana perempuan separalel dengan properti, dan bahwasanya cetusannya atas Filsuf Ratu merupakan perihal yang revolusioner di eranya (Wibowo & Haryadi, 2014: 364-368). Seperti halnya Muhammad menyebut angka empat atas praktik kepemilikan ratusan istri, atau Yesus bercakap dengan Magdalena seorang pelacur, atau Muhammad melarang mengubur bayi perempuan, Muhammad memberi hak waris pada anak-anak perempuan, dan lain-lain. Para Ayah itu, mereka, amat revolusioner pada zamannya. Mereka adalah Zeitgeist. Mereka adalah feminis laki-laki yang tak hanya memiliki perspektif adil gender, tetapi juga tatkala berkuasa, juga menerapkan instrumen kebijakan yang berangkat dari kehendak politis untuk adil. Pengetahuan Ayah ini akan menjadi pijakan pada pembangunan atas kota yang ideal dalam caranya, yang menurut saya, amat radikal—jauh sebelum feminisme memperjuangkan narasi keadilan secara radikal. Militansi, ugahari, kesungguhan, keelokan dan keindahan, yang sering dijabarkan secara panjang lebar dalam buku ini merupakan sebuah alat untuk mencapai kebahagiaan. Meskipun Plato tak demikian setuju atas demokrasi, seperti dalam penjelasan pertama tulisan Setyo Wibowo, demokrasi memang menarasikan di dalam dirinya keinginan untuk selalu dites, dicurigai, dievaluasi, dimonitor, diwaspadai setiap saat apabila tak menarasikan adil. Demokrasi modern yang sekarang terbangun hampir di seluruh negara di dunia, sebagai satu-satunya model yang dianggap mujarab sebagai alat rakyat, mau tidak mau, dijadikan sebuah landasan untuk keberangkatan dialektika kenegaraan selanjutnya, seperti naskah atas perempuan, gender ketiga, anak-anak, alam, dan lain-lain. Kumpulan kata benda liyan ini, jauh sebelum mereka mengalami derita diskriminasinya sampai dengan sekarang, pelacakannya ada pada sikap dan representasi pengetahuan Ayah atas mereka. Pada saat itu, Plato hidup dalam sebuah situasi dimana perempuan dapat kita sebut sekarang berada dalam situasi domestikasi, tak berada dalam peran-peran kenegaraan. Negara Yunani dalam idealitas Plato adalah yang juga memberikan kesempatan pengembangan potensi terbaik para perempuannya. Plato menghasratkannya dalam kata kunci ”filsuf ratu”—sebuah dedikasi bahwa perempuan memiliki kapasitas yang sama seperti halnya laki-laki dalam mengembangkan akalnya (meskipun kemudian, dilanjutkan dalam narasi, atas kekuatan perempuan yang lebih lemah daripada laki-laki). Kemungkinan lemah menyimpan banyak hipotesis: Apakah karena terbatas fisiknya? Terbatas waktu dan kesempatan karena proses pelayanan rumah dan pengasuhan anak-anak? Terbatas dan lemah karena siklus mensnya, kelahiran, nifas, menyusui, dan lain-lain soal kesehatan reproduksi? Terbatas karena secara genetik perempuan lemah akal? Saya kira, jika yang paling akhir yang menjadi diktum dia, Plato sungguh jahat. Sama saja dengan saya yang tak mau mengamini bahwa perempuan adalah manifestasi dari parsialitas kelelakian (Tulang rusuk? Pembuahan telur? Dll.). Tak ada satu pun jawaban atas pertanyaan di atas kecuali ada pada genealogi dan bagaimana kesadaran dan pengetahuan tubuh sosial (Sozialkoerper, meminjam Gugutzer) mengada sekarang. Keadaan tubuh sosial inilah yang membimbing apakah pengetahuan Ayah telah tak adil? Telah bias? Telah diskriminatif? Telah sengaja menganak-tirikan? Telah meliyankan? Menafsir Pengetahuan Ayah Tak hanya ruang domestik dan ruang publik yang disistematisasi dan dihierarkikan sebagai narasi kelas, gender tak ketinggalan. Kita tak bisa melacak atau menyimpulkan bagaimana sikap para Ayah atas perempuan dan minoritas seksual kecuali bahwa mereka sekarang dalam keadaan paling pinggir. Sebagai epistemologi pinggiran, feminisme, selama ini, tak lebih tak kurang merupakan tafsir kewaspadaan atas pengetahuan Ayah. Tafsirnya mewaspadai bagaimana urusan angka kematian ibu (AKI) melahirkan sebagai urusan perempuan, misalnya. Betapa tak adilnya. Para Ayah tentu tahu bahwa mereka lahir dari vagina-vagina ibu mereka. Dan urusan AKI, seharusnya, adalah urusan seluruh polis kalau begitu. Plato mungkin tak sedang menyarankan bahwa laki-laki, negarawan laki-laki, politisi laki-laki, untuk tak mengiyai atau tak peduli atas perihal ini, tetapi Ayah dari para ayah itu bisa jadi telah salah dipahami oleh anak-anak lelakinya! Jika Plato telah disalahpahami oleh anak-anak lelakinya sekarang, lalu bagaimana memulai percakapan? Saya kira ini adalah sebuah peristiwa yang sungguh elok dan indah, karena buku yang ditulis dua laki-laki ini, diminta dibedah oleh perempuan. Ini merupakan pakta penyerahan otoritas, tanggung-jawab, dan naskah etik yang amat jarang dilakukan oleh para Ayah. Ayah yang menyerahkan laman pengetahuannya untuk dibedah, dikritisi, didiskusikan oleh anak-anak perempuannya, seperti saya, adalah Ayah yang telah mengenal lebih dahulu apa pentingnya pengetahuan perempuan. Dari sini percakapan dimulai. Dari sini paradigma pengetahuan perempuan diletakkan, dibangun, dan kemudian dirawat dalam percakapan-percakapan komunalnya. Ini kemudian tak mengandaikan soal supremasi, tetapi soal pengetahuan yang lama tak terdokumentasi itu. Pengetahuan perempuan adalah pengetahuan yang keadaannya ada, dan harus kita akui bahwa dokumentasi, pencatatannya, genealogi, jejak dalam sejarah pengetahuan amat kurang. Keadaannya tak hanya ditentukan oleh raison d’etre, atau perihal eksistensinya, tetapi yang tak kalah penting adalah perihal pembahasaanya, perihal narasinya. Saya berangkat dari sebuah sikap: sedang tak memusuhi pengetahuan Ayah, sedang tak memusuhi Ayah—tetapi memusuhi ketakadilan, ketakelokan, ketakindahan, ketakugaharian, ketaksungguhan dalam diktum-diktum Ayah. Dan ini juga dimusuhi oleh Ayah, sesungguhnya. Tetapi bahwa Ayah telah memakai alat, yaitu bahasa, yang kemudian tak elok, adalah kebenaran yang boleh diungkapkan. Hasrat atas kebenaran bahwa Ayah telah menggunakan bahasa tak elok, dengan meliyankan perempuan, misalnya, merupakan hasrat yang kemudian tak boleh memusuhi harmoni, kebahagian, atau kehidupan itu sendiri. Pengetahuan feminisme juga tahu betul bahwa ia tak boleh menciderai kehidupan, meskipun atas nama kebenaran sekalipun. Kita tentu tak bisa sangsi bahwa perempuanlah yang pertama kali melahirkan kehidupan. Perempuanlah yang setia pada pelayanan atas kehidupan. Perempuanlah, hanya perempuanlah, yang di dalam perutnya menyimpan tabung-tabung kehidupan, rahim. Ini seperti bahwa seumur hidup perempuan, dalam pengetahuan, dilucuti oleh pengetahuan Ayah sebagai kata benda belaka. Dan sekarang perempuan melucuti para Ayah dalam kata benda yang sama. Saya melawan ini. Replika, mimikri, peniruan, penjiplakan metode, instrumen memang tak bisa saya hindari, karena demikian mendarah-dagingnya. Melawan praktik-praktik penggunaan bahasa tak adil ini bukan tak mudah. …
Tafsir Setyo Wibowo atas Richard Bach, Jonathan Livingstone Seagull dalam MPDN (2014: 7-23) Saya melawan penggunaan metafora hewan, binatang, alam dalam proses-proses penegasian sifat-sifat buruk manusia. Musang berbulu domba? Lemah bak terbangnya Camar, tak seperti Elang? Peminjaman dominasi, kompartmentalisasi, penisbian, kejijikan, keburukan perilaku manusia atas binatang-binatang adalah tindakan tak elok, tak indah, dus menciderasi elan kaloskagathos a la Platonian. Instrumen bahasa perlu mencari cara lain, diksi lain, membahasakan kelemahan, keburukan, kejahatan manusia dengan kosa kata yang tak meliyankan liyan yang telah liyan. Binatang misalnya, anjing misalnya, babi misalnya, camar misalnya. Atau tak terlalu menglorifikasi Elang misalnya, Garuda misalnya, dan lain-lain. Bumi, Alam, Binatang, Air, Tanah, Udara, sebagai sebuah entitas tak lagi memiliki eksistensinya dalam linguistik modern selain sebagai sasana, sumber daya. Dus, yang dibendakan! Saya ingin mengembalikan eksistensi mereka sebagai makhluk hidup. Pengusiran manusia-manusia atas kampung-kampung binatang, pohon, vegetasi, dll (pembabatan, pembakaran, monokulturasi hutan Sumatera, Kalimantan, Papua, misalnya); pengusiran manusia-manusia atas kampung-kampung air (pencemaran akut sungai Ciliwung, misalnya)—mengambil spirit jahatnya dari filsafat bahasa manusia yang membendakan ke-ada-an mereka. Bahkan, dari cara manusia berkata-kata, berbahasa, kejahatan paling pertama telah dilakukan, kalau begitu. Camar, apa adanya, adalah burung dengan keindahan dan potensinya yang tak perlu diperbandingan pada Elang, misalnya. Anjing! yang diperalat sebagai instrumen makian manusia Jawa memiliki kelembutan sikap, kesetiaan rasa, yang bahkan manusia kalah. Keadilan manusia, dapat dituntut, paling pertama, dari cara dia berbahasa. Dan pengetahuan Ayah, sayangnya tak cakap, tak elok, dalam menarasikan perihal binatang, perihal alam, perihal perempuan—kalau bukan eksistensi yang direduksi menjadi kata benda belaka. Dan kemudian kecelakaan berikutnya dimulai, yaitu, bias, stigma, diskriminasi, ketakadilan, pelecehan, kekerasan, bahkan pembunuhan. Kemudian episentrum ketakadilan menginduk pada pengetahuan Ayah yang tak mencukupi itu—karena tak melibatkan pengetahuan perempuan dan mereka yang telah semena-mena dibendakan. Pengetahuan Ayah kemudian terserak-serak, tak lengkap, dan tentu saja tak boleh universal. Pengetahuan Ayah tak cukup untuk menjelaskan bocornya lapisan ozon. Tak mampu menjelaskan tingginya fentisida (fenticide)—aborsi bayi perempuan di Cina karena kebijakan satu anak sejak 1979 (lebih menginginkan bayi laki-laki), dan lain-lain. Pengetahuan Ayah, ternyata parsial, maka dari itu, ia tak boleh dominan, ia tak boleh menjadi satu-satunya pegangan. Karena pengetahuan Ayah hanyalah mono-perspektif, tak multi-perspektif, tak inter-perspektif, bahkan bisa jadi tak intra-perspektif (pengetahuan minoritas seksual, gay misalnya). Sebagai pembelajar, perempuan selalu belia, terlalu muda, dan dia harus belajar dengan keras untuk mencerap pengetahuan sebelumnya (milik Ayah), mengekspresikan pengetahuannya sendiri, dan menjadikan perihal-perihal itu dalam pengetahuan atas ‘kebahagiaan’ dari Polis. Sebagai ibu, perempuan terlalu tua, terlalu tahu apa-apa, dan sering kekurangan waktu. Dan sebagai pemelihara kehidupan, Ayah terlalu muda dan kadang tak tahu apa-apa, sepertinya. Yang sering dilakukan Ayah adalah memburu kebenaran, dengan melakukan sistematisasi, kategorisasi, definisi, atas kehidupan dan perikehidupannya. Kadang, dan seringkali, Ayah tergelincir ketika melakukan saintifikasi kehidupan—yaitu merusaknya. Kita tentu bisa menjelaskan mengapa plastik memenuhi sungai Ciliwung? Atau menjelaskan naiknya suhu bumi dua derajad lebih tinggi dari sebelumnya karena hilangnya hutan yang dibuat menjadi pemukiman, industri monokultur, tambang, dan lain-lain. Dus, sumber daya! Semua menginduk pada pengejaran Ayah atas kebenaran ilmiah yang meliyankan kehidupan-kehidupan, kebahagiaan-kebahagiaan. Nestapa Tubuh Ayah Ada perihal yang menyedihkan dari pandangan Ayah atas tubuhnya sendiri, atas hasrat-hasratnya, atas erosnya, atas intimitas, atas ruang-ruang hormonal yang oleh Ayah dari para ayah, Plato, dianggap sebagai penganggu logos yang suci, mulia. Tak ada pemandangan yang lebih menyedihkan selain menyaksikan Ayah yang menolak hasratnya sendiri, hormonnya sendiri, kelaminnya sendiri. Ayah yang sungguh nestapa! Satire.
Plato’s The Republic (trans Benjamin Jowett, p. 31 & 42) Dari idea, dialektika, yang dibangun Plato, yang kemudian menjadi penjelas utama dalam buku ini, kemudian menjadi pengetahuan yang melahirkan teorisasi tubuh sosial yang kita warisi sampai sekarang, yaitu inferioritas tubuh atas otak, subordinasi kelamin oleh akal, dan lain-lain. Tubuh sosial yang merajalela ini berbasis wacana dan prasangka yang kemudian memisahkan secara rigid, secara getir, kenikmatan kehidupan. Dus, kebahagiaan. Yang kelamin, yang keringat, yang tubuh adalah yang cacat dan sebaiknya tak dibicarakan atau didiskusikan dalam traktat-traktat filsafat. Pengetahuan ini amat dekat dengan perempuan. Ketika pertama kali dia melakukan hubungan seksual, kemudian hamil, kemudian menyusui—kesemuanya berangkat dari praktik-praktik kebertubuhan yang intim. Dan tentu saja, amat nestapa, untuk kemudian diatur dalam dogma dan nomenklatur swarga. Saya tak bisa membedakan keindahan seorang ibu, atau seorang pelacur yang melahirkan anak-anaknya. Mereka, keduanya, memiliki perangkat dan peringkat keindahan yang spesifik menawan dan tak terpemanai. Nomenklatur dosa akan membagi, melakukan sistematisasi atasnya. Dus, tubuh sosial, tubuh privat, dan lain-lain yang diliyankan itu, berangkat dari afirmasi supremasi ideen yang oleh para Ayah diburu setiap harinya dalam perpustakaan-perpustakaan mereka. Tubuh-sosial (der soziale Koerper) adalah tubuh yang dibayangkan, diimajinasikan, didefinisikan oleh sebuah masyarakat-modern (Gesellschaft): sebuah corpus fictum atau corpus imaginatum, seperti yang dikenal dalam kitab dan hukum kenegaraan para Ayah. Melalui analogi ini manusia mencari imajinasi sosial dari tubuh yang tak menceraikan antara realitas daging dan realitas sosial. Tubuh kolektif melayani setiap individu sebagai cermin—dan dalam lukisan corpus fictum dari sebuah epos yaitu dimana budaya melakukan perjalanannya, baik secara biologis dan secara struktural dalam sistem hukum. Sehingga konsep tubuh sosial menyediakan jawaban-jawaban berupa pengetahuan tentang tubuh. Di “barat”, gambaran tentang corpus fictum ini sering dikaitkan dengan persoalan ruang dan waktu.
Perihal ini kemudian membangun komunikasi inter-intra komunitas (Gemeinschaft) yang melahirkan jejak-jejak definisi tubuh. Dalam jalur komunikasi ini fungsi-fungsi tubuh merupakan sub-bagian dan digerakkan oleh otak. Tesis ini yang kemudian membangun kedokteran modern, dimana tubuh adalah sekedar saja. Dia bukan pusat wacana. Karena pusat dalam kedokteran modern adalah otak. Definisi tubuh-kolektif ini tidak lepas dari resapan pandangan dunia “filsafat barat” atas naskah Ayah (baca: Plato) yang menaruh tubuh dalam inferioritasnya. Hal ini kemudian merembes dalam cabang-cabang keilmuan lain. Kedokteran tak bisa melepaskan diri dari pengaruh ini. Bahkan otak merupakan manifestasi supremasi logos spermaticos. Yang dijabarkan dengan metafora tubuh perempuan sebagai ladang, tempat dimana sperma merupakan benih yang digunakan dalam bercocok-tanam. Mitos ini tak lagi mitos, karena sebegitu ilmiahnya dalam ilmu kedokteran. Tubuh kolektif, dus, dilahirkan oleh memori kolektif tentang pandangan dunia atas tubuh yang dibangun, dikonstruksi, diyakini, diafirmasi, direproduksi, disirkulasi dalam struktur masyarakat tradisional/komunitas (Gemeinschaft). Ini kemudian memberikan definisi secara spesifik pada tubuh dalam fungsi-fungsi teknisnya, bagaimana tugas reproduksi bagi perempuan serupa hukum Kantian yang tidak bisa ditolak, dikritisi, atau didiskusikan. Korelasi antara tubuh sosial dan gender adalah bahwa setiap masyarakat modern dalam setiap epos selalu dan akan melahirkan definisi baru yang tidak lepas dari pengetahuan atas tubuh biologis yang statis itu. Sebagai contoh, setelah ratusan tahun dalam pertumbuhan ilmu pengetahuan kedokteran, keributan diskursus dan lain-lain, bahwa hymen merupakan penanda dari keperawanan perempuan. Kebohongan ini berulang-kali dinarasikan sebagai sesuatu yang ilmiah padahal dia berangkat dari mitos keperawanan yang sangat maskulin. Kodifikasi kultural atas tubuh memiliki kekuasaannya yang tanpa batas dalam sistem pandangan dunia dan kepercayaan kebanyakan di dunia. Bagaimana kodifikasi tubuh ini secara kultural diafirmasi sebagai sesuatu yang statis, universal, dan diafirmasi dengan kuat sebagai bagian dari ritual. Konstruksi ini dapat dikenali dalam ritual-ritual peribadatan yang memisahkan antara tubuh laki-laki dan tubuh perempuan. Juga bagaimana kodifikasi tubuh ini kemudian mempengaruhi persepsi manusia-manusia modern terhadap tubuhnya sendiri. Dalam perjalanannya, tubuh-sosial yang dipersepsi oleh memori kolektif ini saling berkomunikasi dan mempengaruhi satu sama lain. Tesis-tesis tubuh ini melakukan perjalanannya, perjumpaannya, dan melakukan percakapan-percakapan. Dari percakapan itu, wacana-wacana dilahirkan. Dan sampai kepada setiap individu: apa, bagaimana, mengapa tubuhku? Alegori tubuh perempuan dalam dunia Ayah dicirikan dari bagaimana dia direpresentasikan dalam karya sastra, visual, dan seni musik—sebagai bagian penting yang mewakili ide dan konsep tentangnya. Alegori menyampaikan dan mentransmisikan pesan-pesan rahasia kepada para pemirsanya sebagai sesuatu yang misterius sekaligus mahal. Simbol ini merupakan retorika yang bersifat demonstratif dan mudah untuk disampaikan tanpa berkata-kata. Tubuh-kolektif dapat ditilik bagaimana Ayah mendefinisikan tubuh perempuan. Tetapi sebelumnya, Ayah telah berada dalam peti matinya sendiri, tatkala dia membunuh kelaminnya sendiri, tubuhnya sendiri, dan tak menjadikannya sebagai kekasih, seperti halnya kegilaannya pada akalnya. Tubuh secara alamiah dan ilmiah bukan lagi produk ilmu Biologi, tetapi dia merupakan fenomena sosial yang dikonstruksi oleh masyarakatnya, setelah sebelumnya dibius oleh para Ayah. Pergerakan tubuh dan bagaimana tubuh berinteraksi dengan tubuh lain merupakan pengetahuan sosial (Alkemeyer, 1943: 349). Debat atas tubuh-sosial dapat dirangkum secara sederhana sebagai berikut: bagaimana fondasi klasik tubuh dibangun oleh para sosiolog seperti Norbert Elias, Michel Foucault, Pierre Bourdieu, Erving Goffman, dan Harold Garfinkel. Kemudian disusul oleh teori gender seperti Judith Butler, Nancy Fraser dan kemudian oleh antropolog seperti Helmuth Plessner, Peter L. Berger, Thomas Luckmann, yang mendiskusikan tubuh mulai dari bentuk-bentuk manipulasi dari normatif sampai dengan ruang-ruang performatif. Model sosial dari pergerakan tubuh sebagai bagian dari sejarah tubuh sebagai yang teknis (Marcel, Mauss, Leontjew), sebagai yang norma dan peraturan (Simmel), sebagai peradaban (Elias), sebagai disiplin (Foucault) telah lengkap dituliskan. Definisi tersebut membantu memahami tubuh sebagai fenomena sosial kaitannya dengan pengetahuan Ayah. Sosiolog Perancis Marcell Mauss telah membangun sebuah interaksi “sosial-motorik” sekaitan dengan tubuh, dimana tubuh merupakan materialisasi budaya, seperti halnya teknik, alat-alat, mesin, dan alat bantu. Mauss melanjutkan bagaimana sesungguhnya perilaku tubuh bersumber dari aktivitas motorik jiwa (1989). Sedang Pierre Bourdieu menuliskan bahwa tubuh merupakan “habitus” dimana suara, proses biologis, secara implisit mengabarkan nilai dan kosmologi dari si pemiliknya (1987: 128). Dus, tubuh merupakan kosmologi utuh, merupakan etik, merupakan metafisik, merupakan politik yang saling bersentuhan satu dengan yang lainnya. Dengan ini juga daging merupakan bentuk lain dari sebuah pekerjaan berpikir. Tubuh dalam pandangan Bourdieu merupakan habitus yang menyusun peran-peran dasar sosial dari seseorang. Dilengkapi dengan peralatan ideologis dari teori feminis dan teori habitus dari Bourdieu, dapat diketahui secara eksplisit bagaimana reproduksi ketidakadilan sosial merupakan realisasi dari sosialisasi tubuh-sosial tersebut. Strukturisasi tubuh dimanifestasikan dengan jelas dalam sosialisasi tubuh-sosial, bagaimana tubuh individu (Individumkoerper) tidak mendapatkan tempatnya. Ketidakadilan ini berawal dari pemaksaan definisi tubuh-sosial atas tubuh individum. Tubuh-sosial ini disosialisasikan terutama oleh nilai, norma, kebijakan, hukum yang tersebar mulai dari ritual agama sampai dengan hukum kenegaraan warisan agung Ayah. Darinya juga disosialisasikan oleh aktor-aktor penting yang mewakili tubuh sosial, dalam hal ini, misalnya oleh iklan, oleh pemimpin agama, politisi, negarawan, pemimpin negara, dan lain-lain. Dan aktor-aktor sosial ini memainkan peran penting dalam reproduksi kekuasaan, baik yang adil maupun yang tak adil. Aktor-aktor sosial ini harus memiliki posisi yang penting dalam masyarakat sehingga pengaruhnya memiliki peran penting (Bittlingmayer, 2008: 56). Makna sosial dibangun dari bagaimana struktur sosial itu bertanggung jawab terhadap kelahiran kelas dan gender. Bahagiakah Ayah? Plato mengafirmasi kebahagiaan tatkala manusia telah melepaskan diri dari belenggu tubuh dan mencapai dunia ide, dunia dialektika. Makna tubuh kemudian, adalah makna yang rasional. Makna tubuh kemudian, bukanlah “pengalaman” atas kelahiran baru (geborgenheit). Geborgenheit tak melulu merujuk pada keamanan, tetapi juga kepenuhan, perlindungan, ketaklukaan, keintiman, kedekatan, ketenangan, kedamaian. Apakah kemudian kebahagiaan adalah segala sesuatu yang terjelaskan? Ataukah kebahagiaan adalah segala sesuatu yang terasakan? Dalam sehari-hari pencarian akan makna tubuh dapat ditemukan dalam identifikasi bagaimana perempuan berbeda, bagaimana laki-laki berbeda, bagaimana gender ketiga berbeda. Dan mereka didefinisikan tidak hanya dari fisik, hormon, atau kromosomnya, tetapi dari representasi (Darstellungen) dan interpretasi atas interaksi di antara mereka (Gildemeister, 2008). Interaksi, intimitas, ruang energi merupakan penanda paling kini dari definisi tubuh. Jika sebelumnya definisi merupakan kata benda, tetapi kini dia beralih menjadi kata kerja. Bagaimana proses berinteraksi antar jenis gender membangun definisi-definisi tersebut. Interaksi itu kemudian melahirkan ekspresi tubuh, bentuk tubuh, massa dan ukuran tubuh, dan lain-lain. Dan darinya juga dilahirkan prasangka, ketakutan, ketakpahaman, stigma, stereotipe, dan lain-lain atas dasar kejijikan, keanehan dan rasa malu. Dus, praktik kebertubuhan para Ayah telah dipinggirkan olehnya sendiri karena hasrat dan kehendaknya akan kebenaran, akan keagungan, akan kemuliaan. Bahagiakah Ayah kemudian? Tubuh-sosial merupakan manifestasi dari memori kolektif sebuah masyarakat yang kemudian membentuk habitusnya. Kemudian, mereka yang tidak berada dalam horizon definisi tubuh-sosial tersebut adalah apa yang disebut sebagai liyan. Liyan tak melulu mereka yang dipinggirkan, tetapi liyan adalah juga yang nampak jelas berada dalam ruang mayoritas, tetapi dia mengafirmasi definisi tubuh-sosial secara terpaksa. Liyan paling pertama adalah tubuh Ayah, kelamin Ayah. Cinta Ayah kemudian mengalami kegetirannya karena telah membunuh tubuhnya sendiri, hasratnya sendiri. Prasangka atas tubuh ini kemudian beroperasi pada tubuh-tubuh para liyan secara lebih opresif, yang kemudian direduksi sebagai sasana, wahana, sumber daya (perempuan, anak, alam, dan lain-lain). Pengalaman terburuk perempuan dalam sejarah peradaban adalah prasangka masyarakat atas seluruh keindahannya sebagai bagian dari iblis dan setan. Padahal keindahan tubuh perempuan adalah terberi. Perempuan tak mendesain wajahnya, payudaranya, pahanya, tubuhnya dalam sebuah rupa yang hendak menggoda para Ayah. Tubuh perempuan juga bukan kawanan kata benda penggoda, yang boleh semena-mena dieksploitasi dalam naskah-naskah agung para Ayah. Mereka, anatomi tubuh itu, keindahan itu, disana, ada, asasi, dan terberi. Daftar Pustaka: Alkemeyer, Thomas. 2008. Bewegung als Kulturtechnik. In Gerold Becker, Anne Frommann, Hermann Giesecke et al.(Hrsg.): Neue Sammlung. Jahrgang 1943, Heft 3, hal. 349. Bittlingmayer, Uwe H. 2008. Ungleich sozialisierte Körper: Soziale Determinanten der Körperlichkeit 10–11-jähriger Kinder. In: Zeitschrift für Sozialisationsforschung und Erziehungssoziologie. Jahrgang 28, 2008, Heft 2, hal. 56. Bourdieu, Pierre. 1987. Sozialer Sinn. Kritik der theoretischen Vernunft- Suhrkamp, Frankfurt am Main. Hal. 128, französisch erschienen 1980. Gildemeister, Regine. 2008. Soziale Konstruktion von Geschlecht “Doing Gender”: Ein Überblick über gesellschaftliche Entwicklungen und theoretische Positionen. Wiesbaden: Gugutzer, Robert. Körperkult und Schönheitswahn-Wider den Zeitgeist. In Bundeszentrale für politische Bildung (Hrsg.): Aus Politik und Zeitgeschichte. 18/2007. hal.4. Mauss, Marcel. 1989. Die Techniken des Körpers. Fischer, Frankfurt am Main. (Hrsg): Soziologie und Anthropologie 2. zuerst erschienen in Journal de Psychologie Normale et Pathologique. Band 32, Heft 3–4, 1935. Plato. The Republic An Electronic Classics Series Publication. Translated by Benjamin Jowett. English Department of The Pennsylvania State University. Accessed 20 Oct 2014. Wibowo, A Setyo & Haryanto Cahyadi. 2014. Mendidik Pemimpin dan Negarawan: Dialektika Filsafat Pendidikan Politik Platon Dari Yunani Antik Hingga Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Lamalera.
1 Comment
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|