Pengantar Di banyak negara perempuan bertanggung-jawab untuk mengumpulkan air untuk keluarganya. Paling kentara adalah di masyarakat perdesaan, dimana kran-kran air tidak ada, kecuali bahwa mereka harus menggendong air-air di atas kepala atau punggung mereka. Ibu, istri, anak perempuan menggunakan air untuk minum keluarga, memasak, mencuci, memberi suplai pada tanaman dan hewan atau ternak peliharaan. Mereka berjalan berkilo meter, kadang bermil-mil untuk sampai kepada air. Suplai air di Cekungan Air Tanah (CAT) Watu Putih Pegunungan Kendeng Rembang cukup kaya. Bahkan CAT Watu Putih dipakai PDAM Rembang dan Blora untuk mendukung penduduk dua kabupaten ini. Sukinah tinggal mengebor air beberapa meter, dan air bening berlimpah dapat keluar. Tak kurang dari belasan air sungai mengaliri sawah-sawah dan tanaman palawija di daerahnya. Kesuburan ini tak tergantikan dengan nominal uang apapun. Warga desa biasa saling membagi sayur, membagi empon-empon (kunyit, jahe, palawija dan lainnya). Mereka hidup guyub rukun tak kurang suatu apa. Hasrat etis dari perempuan-perempuan yang mengelola air dapat dijumpai dari bagaimana mereka menampung beban-beban pekerjaan domestik sekaitan dengan air dalam pengasuhan atas anak-anak, atas keluarga, atas ternak, atas tanaman-tanaman yang menjadi tanggung jawab ekonomi subsisten keluarga. Penduduk Watu Putih menanam padi, dan tidak menjualnya, atau mengganti bilangan beras menjadi bilangan rupiah. Tetapi tradisi ini kemudian lama-lama terkikis dengan hadirnya pelbagai tambang di Pegunungan Kendeng. Mulai dari tambang galian pasir, tambang semen, dan pembalakan pohon-pohon Jati untuk kebutuhan industri mebel. Kelangkaan air mulai dirasakan sejak tahun 2000-an. Sejak Soeharto turun di 1998, dan sejak otonomi daerah di tahun 2000, eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) oleh politisi dan pengusaha daerah marak dan tak terkendali lagi. Nurani lokal atas intrusi, intervensi, dan pengingkaran hak-hak ekologis warga lokal ini mempercepat friksi dan konflik horizontal tak hanya di kalangan warga Peg Kendeng, tetapi menyebar di luar Peg Kendeng. Laki-laki, perempuan, anak-anak memboikot tambang-tambang lokal, kadang memblokir jalan-jalan agar kendaraaan berat tidak lewat untuk mengeruk dan menghabisi SDA di sekitar perdesaan mereka. Kemudian banyak laki-laki dikriminalisasi dan ditangkapi. Rembug desa kemudian memutuskan bahwa perempuanlah, ibu-ibu, para istri, para anak-anak perempuan, yang kemudian keluar dari rumah, menduduki tapak-tapak tambang. Mereka bahu-membahu membangun tenda, dan mengebor air untuk kebutuhan sehari-hari sambil dilibas kendaraan berat yang lalu-lalang setiap harinya. Substitusi, reversi, pembalikan peran ini akan menjadi pisau kajian dalam analisis ini. Yaitu, peran politik perempuan dalam menolak tambang semen di CAT Watu Putih Peg Kendeng Rembang. Pendekatan yang dipakai adalah ekofeminisme dengan menitikberatkan pada kaitan antara kesehatan reproduksi dan perubahan iklim, yaitu kelangkaan air di Watu Putih. Kajian ini menjadikan Sukinah, perempuan yang memimpin protes tolak tambang semen dan pada 23 September 2014 genap 100 hari menduduki mulut masuk tapak tambangnya, sebagai salah satu representasi utama dalam narasi tulisan ini. Paradigma Politik Ekologi Rahim: Bayart, Foucault & Carson Jean-François Bayart memperkenalkan konsep politik perut (la politique du ventre) di tahun 1993 untuk mengurai beberapa kata kunci, yaitu. Pertama, politik diukur dari apa yang masyarakat makan. Politik mengukur derajad kerakusan manusia dalam konsumsi. Dalam perihal ini politisi dimata-matai dari hasratnya untuk berkuasa via menguasai sumber-sumber pangan primer sebuah negara. Konsepsi kekuasaan adalah apa-apa yang dimakan dan dikonsumsi warga-negaranya. Hirarki dan sejarah kekuasaan dapat dilacak bagaimana penguasaan atas bahan-bahan pokok dimainkan oleh politisi dan penguasa. Hirarki politik yang menghasilkan kelas ini kemudian juga melahirkan solidaritas aksi-aksi empatik jika sumber-sumber pangan kelas tertentu terancam langka atau punah. Kedua, rahim sebagai metafora dari perut, yang menguasai pangkal dari segala hajat reproduksi sebuah bangsa. Penguasaan politis atas rahim merupakan kunci kepada kekuasaan. Kapasitas kekuasaan dilekatkan pada tubuh perempuan dan lanskap penguasaannya adalah kontrol negara atas organ-organ reproduktif dan seksual perempuan. Ambisi-ambisi politik ini mengambil topeng dalam aturan-aturan moral yang dilayangkan hanya kepada perempuan, saja. Bagaimana kontrol atas alat kontrasepsi, kontrol atas perilaku seksual, kontrol atas status tubuh (perawan, janda, dll), kontrol atas pakaian, dan lain-lain—yang kesemuanya tak ada atas tubuh laki-laki. Politik benar-benar tak berdaya di hadapan rahim. Dus pemiliknya, hanya perempuan saja, harus dikontrol, dimanajemen, diatur, dan ditundukkan via kebijakan, hukum, undang-undang, perda, perbub, dan lain-lain agar patuh. Separuh warga-negara ini merupakan kapital paling vital yang harus dapat ditundukkan oleh sebuah negara—atau dia akan menjadi negara gagal. Perihal kedua ini memaparkan bagaimana politik rahim menekankan bahwa perhatian atas organ reproduksi perempuan merupakan kunci dari generasi, persaudaraan, dan konstruksi lanskap peradaban. Status yang tidak setara antara perempuan dan negara dalam mengontrol tubuhnya ini merupakan salah satu wajah ketahanan nasional yang penting diundangkan. Skenario untuk membajak otoritas perempuan atas rahimnya ini merupakan skenario negara paling pertama untuk membangun indeks demografinya. Politik rahim menaruh perhatian serius pada konsistensi dan disiplin dalam meregulasi reproduksi separuh warga-negaranya. Reproduksi merupakan cermin dari kehidupan sosial yang mendemonstrasikan dan menarasikan bagaimana kegiatan dan hasrat intim manusia menjadi sumber daya negara paling potensial. Dari satu kata kunci ini kemudian dapat dilahirkan konsep-konsep lain, yaitu kelahiran, sunat/sirkumsisi, pernikahan, kehamilan, rumah tangga, generasi, masyarakat dan lain-lain. Perempuan seumpama tubuh yang menjadi mesin-mesin pencetak manusia—karena sebuah negara mengalami paranoia keberlangsungan spesiesnya (ras/etnis). Dalam lanskap sejarahnya, status perempuan, kesehatannya, dan intimitas antara mereka dan laki-laki menjadi subjek kajian dari kebijakan-kebijakan. Maka perlu ada aturan-aturan untuk menghindari kerugian-kerugian negara. Kajian ini memberikan fokus pada hubungan antara gender, generasi dan tata kelola sumber daya alam di Watu Putih Rembang. Bagaimana politik mengacu pada infrastruktur konsumsi manusia akan makanan dan juga kesehatan reproduksi perempuan mendapat perhatian utama dalam kajian kehadiran tambang semen di wilayah mereka. Kontroversi dan percakapan atas reproduksi menarasikan bagaimana hirarki kekuasaan telah menstimulasi kebijakan-kebijakan yang kemudian menjadikan tubuh perempuan, tubuh air, tubuh tanah, tubuh ekosistem sebagai modal dan kapital sebuah sistem masyarakat—tanpa mempertimbangkan hak paling asasinya: hak hidup. Politik rahim ini, meminjam Bayart, juga telah didedahkan sebelumnya oleh Foucault dalam terminologi yang lebih luas lagi yaitu ‘bio-power’. Sejak 1980-an para sarjana meminjam terminologi Foucault untuk mengarahkan pranala pada modus negara menguasai, mengeksploitasi, dan mengontrol seksualitas warga negaranya (1980). Ada relevansi antara bio-power dengan teknologi politis yang diletakkan dalam rahim perempuan sebagai kalkulasi eksplisit untuk mendefinisikan populasi dan menjadikan kesehatan dan hak reproduksi & seksualitas menjadi salah satu kepentingan negara. Perihal ini diawali dari kelakuan Eropa pada masa kolonialisme untuk mengatur populasinya sendiri dan ras/etnis yang mereka duduki di belahan dunia lain. Mereka kemudian menciptkan pemisahan etnis/ras (separation), hirarki, dan meregulasi seksualitas sebagai bagian dari bio-power. Yaitu, pernikahan, keluarga, dan lain-lain—yang menurut Eropa, pribumi demikian primitifnya. Heteroseksualisme a la Freudian merupakan cap negara paling pertama atas apa yang disebut sebagai keluarga. Imperialisme Eropa memiliki tanggung-jawab besar dalam menghapus praktek-praktek seksualitas dan perkawinan yang berbeda dari mereka, dengan cara dihilangkan, diatur, atau dikriminalkan (Foucault, 1991). Dan ini menciptakan disiplin-disiplin seksualitas yang mengekang, kaku, dan heteroseksis, yang langgeng sampai dengan sekarang di negara-negara poskolonial. Namun demikian, bio-power ini tidak hanya menciptakan model-model penundukkan, tetapi juga model-model resistensi. Resistensi, negosiasi, dan penolakan-penolakan masih kentara sampai dengan sekarang via praktek-praktek budaya yang disembunyikan dari stigma-stigma buruk dari penguasa dan negara modern. Praktek-praktek seksualitas, intimitas, kehamilan di luar pernikahan diberi label sebagai kejijikan dan amoral. Dus negara memiliki hak untuk mengintervensi via pernikahan masal, misalnya. Bahkan, lebih buruk, praktek-praktek perdukunan perempuan yang membantu perempuan lainnya dalam bersalin, kelahiran, menyusui, dan mengasuh anak dikriminalkan sebagai berbahaya dan diganti dengan kedokteran modern yang mendekati tubuh ibu, tubuh bayi, hubungan antara ibu dan bayi sebagai hubungan fisiologis semata. Dus, menghilangkan akar-akar ekologis yang memasukkan unsur-unsur alam dalam pengasuhan bayi-bayi tersebut. Penyembuhan, pemeliharaan, diganti dengan terminologi ‘penyakit’, dan pengobatan diganti dengan farmasi modern yang tidak lagi diketahui darimana obat-obatan itu berasal. Penyembuhan yang dapat mereka petik dari kebun-kebun sekitar rumah dan hutan desa kemudian pelan-pelan ditinggalkan dan diganti dengan obat-obatan yang alat tukarnya adalah—mau tidak mau—uang. Praktek-praktek lain yang dihilangkan termasuk ritual-ritual, upacara-upacara adat dalam melepas bayi kepada tanah. Tanah dianggap sebagai ibu, ‘tedhak siti’, yang dihargai dihormati, sebagai wujud ibu yang lain. Setelah keluar dari rahim ibu, anak-anak dilepaskan menuju rahim tanah, rahim bumi. Dari ritual ini ada kesetaraan posisi antara manusia dan bumi. Bumi sebagai organisme dan makhluk hidup. Perihal ini berbeda dengan paradigma modern yang menganggap bumi bagian dari kapital yang dianjurkan untuk dieksploitasi semaksimal mungkin. Apalagi kandungan mineral di dalam tanah. Tak dianggap sebagai tubuh sebagaimana tubuh manusia. Paradigma tambang dibangun dari paradigma ini. Eropa kemudian menciptakan terminologi dualisme: tradisional-modern, beradab-tak beradab, barbar, dukun-dokter, dan lain-lain. Rahim adalah lokus dimana pertempuran tak hanya dilakukan oleh negara, agama, dan praktek-praktek budaya tetapi juga filsafat modern yang memandang tubuh lingkungan sebagai semata produk dan kapital saja. Perempuan kemudian tak sungguh-sungguh bisa memiliki otoritas, hak dan kepemilikan atas rahimnya sendiri, atas tubuhnya sendiri. Kampanye-kampanye pemerintah kolonial pada waktu itu mentarget perempuan, kehamilan di luar nikah, kelahiran, dan lain-lain dengan memperkenalkan hirarki moral atas dasar perilaku seksualitas. Pernikahan formal dan tercatat kemudian diperkenalkan, dan ritual pernikahan adat dianggap sebagai tidak lagi valid. Perihal ini memberikan efek anutan pada pola relasi antara anak perempuan, gadis-gadis, janda-janda, pada saudara laki-lakinya, ayahnya, kakek, dan pasangan/suami. Revisi-revisi dilakukan terutama agar tidak terjadi pernikahan dalam klan-klan keluarga sendiri, kecuali kelompok ningrat yang masih mempertahankan tradisi ini sebagai pertahanan akhir dari klan keluarga istana yang tak memperbolehkan ada percampuran kasta antara mereka yang ningrat dan mereka yang jelata. Dalam diskursus kontrol baru ini juga diciptakan terminologi baru mengenai anak haram, anak di luar pernikahan, dalam kalangan ningrat disebut sebagai ‘lembu petheng’ (anak dari darah biru dan darah rakyat jelata), dan lain-lain. Kolonialisme melahirkan terminologi-terminologi tabu yang sebelumnya dianggap sebagai bagian dari ritual atau kebiasaan komunitas tertentu. Dan sekarang tabu-tabu itu masih tumbuh, subur dan dianut, bahkan dicap sebagai ‘budaya timur’ yang mentabukan apapun yang menyangkut praktek-praktek kebertubuhan. Praktek kebertubuhan Nusantara dibandingkan dengan Eropa kala itu, abad 18-19, jauh lebih inklusif—yang memandang tubuh sebagai bagian dari pengetahuan—seperti contoh Yoni Lingga Payudara pada candi-candi Purba. Perihal-perihal ini kemudian dimasukkan pemerintah kolonial Belanda sebagai dalam diskursus tabu. Pandangan ini diperkuat dengan diperkenalkannya sekolah-sekolah modern, yang lagi-lagi mengontrol tubuh—salah satu contoh mudahnya adalah kontrol pemakaian sepatu—yang kurang dikenal masa itu. Pandangan terhadap tubuh perempuan yang sebelumnya menyatu dengan alam, dan alam sebagai bagian integral dalam mitos dewa-dewi kemudian hilang begitu saja. Sejak saat itulah, masyarakat memandang alam tak lebih dari bagian dari kapital yang mudah dan boleh diperjualbelikan dan diubah menjadi uang. Paradigma modern via kapitalisme tak hanya menjadikan rahim, tubuh perempuan dan keluarga sebagai modal dasar dan kapital sebuah negara baru tetapi juga mereduksi alam sebagai entitas eksploitasi untuk memperbesar lokus dan fokus kekuasaan sebuah negara. Dari sini kemudian alam kehilangan wibawanya di mata masyarakat. Jika sebelumnya alam merupakan bagian integral dan makhluk yang dihormati, kemudian dia sekarang dianggap sebagai sumber khayalan yang dicurigai disembah oleh manusia-manusia tak beriman, atau dianggap sebagai modus penghasil uang saja. Penebangan hutan, pertambangan, pengubahan hutan hujan tropis menjadi perkebunan monokultur mulai dari gula, kopi, teh dan lain-lain mengubah lanskap identitas ekologi nusantara saat itu. Ini lebih jauh mempengaruhi proses konservasi dan perlindungan yang tak menemu jalan solusinya sama sekali karena perspektif terhadap alam tak mau berubah menjadi, yaitu menganggap alam sebagai ‘makhluk’ yang memiliki hak hidupnya. Pengalaman tanah mendapatkan perlakuan dari paradigma modern menegaskan bagaimana agrikultur, pertanian, perkebunan, relasi ekologi dan sosial telah tergenderkan dalam lanskap sejarah patriarki. Patriarki kemudian bukan serta merta musuh bersama para perempuan yang tersingkirkan, atau alam yang dieksploitasi, tetapi menerangkan bagaiman hirarki kekuasaan dan gender memainkan peran penting dalam relasi masyarakat perdesaan. Baik laki-laki, perempuan, minoritas seksual mendapatkan pengalaman dan menerima pengaruh yang tidak sedikit dari perubahan, transformasi, negosiasi lanskap rural pada semi-urban dan urban. Gender menentukan peran yang berbeda, tanggung jawab atas sumber daya alam yang berbeda, dan kekuasaan politik yang berbeda antaranya. Isu gender tak hanya menyangkut perihal kelamin spesies manusia, tetapi juga kelamin alam. Bagaimana varietas-varietas vegetasi tertentu, atau hewan-hewan tertentu dianggap sebagai lebih menguntungkan daripada yang lain, lalu dibudidayakan secara monokultur yang kemudian mengancam diversifikasi pangan dan data keragaman hayati-hewani untuk menopang keseimbangan alam. Dengan semakin cepatnya proses urbanisasi, terjadi migrasi laki-laki desa ke kota untuk mencari uang, dan akses perempuan pada lahan, sawah, perkebunan, dan hutan desa menjadi jauh lebih mudah daripada sebelumnya (feminization of land). Feminisasi tanah ini dibarengi dengan ancaman eksploitasi masif tambang atas sumber daya di sekitar mereka. Mereka tak bisa menikmati lahan, tanah, dan kesuburannya seperti sebelumnya ketika dikuasai laki-laki. Lelaki yang menjadi buruh-buruh kasar di kota-kota mendapatkan paparan polusi khas kota—karbon, air tak bersih, ruang tak layak, dan lain-lain. Sedang perempuan di sawah, perkebunan, hutan desa yang terkena tambang terpapar polusi yang tak kalah mengerikan—merkuri dari tambang emas, pencemaran air dari tambang semen, dan lain-lain. Feminisasi tanah kemudian diikuti dengan feminisasi pertanian. Sejak tahun 1960-an telah terjadi proses ‘feminisasi pertanian’, yaitu meningkatnya jumlah perempuan menjadi petani dan menjadi kepala keluarga karena pasangan bermigrasi ke kota-kota menjadi buruh. Ester Boserup merupakan salah satu perempuan pertama yang mengangkat perihal ini dalam kajiannya: Women’s Role in Economic Development, Male and Female Farming Systems, London: Earthscan (1970). Feminisasi pertanian tidak hanya bermatra gender, tetapi juga bermatra kemiskinan. Pertanian perempuan lebih banyak adalah pertanian subsisten, yaitu untuk menyokong konsumsi pangan keluarga. Kebanyakan mereka adalah keluarga-keluarga miskin yang kemudian terhimpit oleh pasar bebas dan kedatangan tambang-tambang. Akses perempuan pada status sosial dan sumber daya reproduktif sekali lagi, jauh lebih terbatas, daripada laki-laki. Peran gender tradisional juga mempengaruhi situasi ekonomi, akses pada tanah, jenjang pendidikan dan kesempatan perempuan dalam pasar kerja. Akibatnya perempuan hanya mendapatkan remah-remah dari ‘pembangunan’, alih-alih globalisasi. Pendekatan feminisme dalam kajian ini merupakan nomenklatur linguistik yang membantu memaparkan setiap kata kunci dalam konsep-konsep yang telah sebelumnya tergenderkan. Aplikasi metaforis dari alam sebagai yang berpikir, bernafas, merasa, mengindera, dan ikut merasakan gembira, bahagia, sedih, sakit, muram, dan histeria merupakan juga narasi dasar dari kajian ini. Modus epistemologi, analisis sosial-politik, dan pergeseran iklim-cuaca merupakan praktek-praktek yang diintegrasikan dalam matra studi tubuh dan gender. Berpikir secara ekologis (ecological thinking) yang menjadi ketakutan dasar dari Rachel Carson Silent Spring merupakan strategi imajinatif, retoris, dan praktek sains yang kemudian diwajahkan secara etis, estetis, dan asketis untuk kelangsungan kehidupan ekosistem. Darinya perhatian-perhatian atas kerusakan alam—pencemaran air, udara, tanah—tidak hanya merupakan bukti empirik laboratorium tetapi juga komitmen ekologis, satu integrasi epistemologi yang menghasilkan ketegangan-ketegangan produktif yang aktif menantang kapitalisme. Tak hanya bersandar pada ‘sains normal’, meminjam Carson (1962), tetapi melawan segala perihal tentang materialisme, saintisme, dan teknologi yang berkehendak mengontrol alam—sebagai dasar asumsi dan proses mental. Paradigma ini menyadari bahwa dirinya berada dalam jaring tak terpisahkan dari ekologi, interkoneksi yang abadi antara manusia dan bumi sebagai makhluk hidup yang memiliki hak-hak ekologisnya. Sukinah Sungsang Lanskap teoritis di atas membekali saya dalam perjalanan menuju Pegunungan Karst Kendeng Rembang. Ada tiga perihal dalam permenungan perjalanan dari Solo ke CAT Watu Putih Pegunungan Kendeng: udara, tanah, dan air. Tiga perihal ini juga menandai, mengiringi kematian ekosistem demi pembangunan Bendungan Besar Narmada di India yang diprotes mati-matian oleh Arundhati Roy; juga Bendungan Aswan di Mesir oleh ayah Leila Ahmed. Ekosida, kematian ekologi, ada di mana-mana. Bangkai-bangkai ekologi telah berubah menjadi debu putih dari karst yang digerus ledakan-ledakan dinamit. Debu menyebar seperti lalat yang tak mau kalah meratap di dinding kaca truk yang dikendarai sopir-sopir yang didatangkan dari Gresik—tempat asal salah satu mega tambang dan Pabrik Semen. Keempat roda diaktifkan merangkak melewati beberapa ledokan tikungan di luar aspal di sepanjang tanjakan Gunung Botak—yang sejak 1998 sering longsor karena penebangan liar (illegal-logging) dan penambangan liar (illegal-mining). Debu saling terbangan, sedang di belakang, truk-truk menggendong batu-batu keluar masuk hutan Jati. Terkadang bangkai-bangkai kayu Jati ditata, setelah sebelumnya diteres agar berkurang kambiumnya, kemudian siap ditebang dan dijadikan mebel-mebel yang diekspor ke Amerika dan Korea Selatan, juga belahan dunia lain. Tak ada kekayaan yang demikian melimpah selain terasiring sawah yang menawan di Watu Putih—yang diklaim oleh gubernur sebelumnya Bibit dan gubernur sekarang Ganjar Pranowo sebagai tandus, kering, tak subur sehingga boleh dan laik untuk tambang Semen. Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng di Rembang (JMPPKR) telah tahunan menginisiasi penolakan tambang ini, dalam wawancara dengan Ming Ming Lukiarti (aktivis, ekofeminis yang tinggal di kota Rembang). Warga Sukolilo Pati juga telah berhasil berkeras hati melindungi ketiga jati diri nasion itu: udara, tanah, air. Ini seperti persaksian tentang kematian-kematian baru. Penyaliban Yesus menemu jalannya pada ekosida Watu Putih. Kami mengunjungi mayat-mayat sungai yang mulai mengering, mulai diurug, mulai kehilangan debit airnya. Kami merinding, menekan seluruh amarah, setiap berada di sumber-sumber airnya. Sendang Andong, Sendang Sukun, dan sungai-sungai bawah tanah yang mulai diledakkan satu demi satu. Swara dinamit, setidaknya sehari empat sampai dengan lima kali dapat didengar dari tenda-tenda yang didirikan oleh 85 ibu-ibu ketika pertama kali tambang semen membuka tapaknya. Rasa sakit sekujur tubuh diceritakan Sukinah dengan mata berkaca-kaca. “Rasanya seperti tubuh saya ini yang dirusak. Koyo ngandhut bayi sungsang”. Kami pun berkaca-kaca. “Kesuburan yang membentang di cekungan ini sampai kapan ada?” demikian tanya Sukinah lagi. Bumi sebagai makhluk tak memiliki harkat eksistensinya, selain puluhan mata ibu-ibu yang meringkuk di bawah tiga tenda di mulut tapal pembangunan tambang Semen Kendeng di Rembang ini. Kami duduk bersama di bawah tenda biru dengan terik matahari menyengat dan kendaraan berat lalu lalang terbangkan debu putihnya. Yu Nah, panggilan akrab Sukinah, lebih banyak menceritakan cucunya yang baru lahir, sedang saya menceritakan anak autis saya Ivan, pada waktu itu. Ibu-ibu yang lain bercerita tentang anak-anak mereka yang ditandai di sekolahan, sebagai keluarga penolak semen. “Seperti cap PKI, seperti najis” curhat ibu-ibu. Stigma ini merupakan ‘narasi simbolik’, muasal dari seluruh konflik horisontal di Watu Putih. “Dulu, kami membagi sayur. Kami saling. Sekarang, jika tak ada sayur, kami harus beli. Biyen guyub. Saiki crah”. Watu Putih demikian muram. Tak terbayangkan darah menstruasi yang mengalir dari perut bumi—dari gua-gua, ponor-ponor, dan sungai bawah tanah yang mereka ledakkan dengan semena. Ibu-ibu menceritakan bagaimana Bupati yang sekarang dipenjara, membujuk ibu-ibu bahwa tanah bekas tambang semen akan jauh lebih subur daripada sebelumnya. Dan kami pun tertawa bersama-sama mendengarkan bagaimana kebohongan-kebohongan semacam ini sudah tidak mempan lagi bagi mereka. Mata air Beru Bulan di Desa Pasucen, mendapatkan airnya dari Gua Menggah yang telah menyiapkan tubuhnya untuk dibantai habis oleh dinamit-dinamit rakus uang. Tak ada yang lebih muram daripada kematian sebuah mata air. Seperti perempuan yang menyandang darah nifas melahirkan anak-anaknya dalam kondisi mematikan. Rahim Watu Putih tak lagi dapat mengandung pada tahun-tahun mendatang karena dia telah dilacurkan dan diubah seluruhnya menjadi kapital. Ekosistem hidrologi Watu Putih demikian sekarat dan sungsang. Seperti laporan salah satu aktivis perempuan yang mengadvokasi PSK bahwa ke-29 perempuan-perempuan di Bandungan meregang nyawa di usianya menjelang 30 karena terkena HIV-AIDS. Perihal serupa terjadi juga di tambang-tambang di Kalimantan dalam temuan penelitian Petra Mahy (2011). Hal sama mulai terjadi di Watu Putih, terjadi di kalangan ibu-ibu yang ditulari oleh suami-suami mereka yang membeli PSK di salah satu kafe yang didirikan di Watu Putih untuk pekerja tambang semen. Sukinah tidak hanya bercerita tentang fenomena HIV-AIDS yang baru-baru saja terjadi dan ada setelah penambangan, tetapi juga dengan senang hati mengabarkan tentang cucunya yang baru saja lahir. Selama pendudukan bakal tapak tambang semen sampai dengan bulan September 2014, setidaknya ada empat perempuan hamil, yaitu Winarsih (5 bulan), Sulikah (7 bulan), Yulasha (telah melahirkan), Anis (telah melahirkan). Dari 85 ibu-ibu yang menduduki tambang di tenda-tenda yang dimulai pada Ramadhan lalu, bulan Juli, sekarang telah meningkat menjadi kurang lebih 300-an ibu-ibu yang ikut aktif dalam tenda. Dan mereka kemudian mengatur jadwal supaya masing-masing masih dapat mengatur urusan domestik. Setiap pagi mereka memasak, mencuci baju, menyiapkan segala sesuatu untuk anak-anak dan suaminya, kemudian menuju tenda perjuangan kembali. Sewaktu saya tanya apa kebutuhan mereka, mereka meminta dibawakan buku. Kami dari Jurnal Perempuan membagikan sedikit dari jurnal-jurnal dan buku-buku sebagai bahan bacaan. Kemudian saya meminta penerbit Jalasutra untuk mengirimkan buku Kartini. Lokasi tenda mereka dari makam Kartini di Bulu cukup dekat, yaitu kurang lebih 7 km. kondisi ekosistem dan hutan-hutan desa di sepanjang pegunungan karst semakin memburuk sejak penambangan semen mulai marak, baik oleh penambang kecil, menengah, dan yang terakhir mega—yang diduduki tapaknya oleh ibu-ibu Watu Putih. Dalam wawancara ibu-ibu mulai terkena sakit pilek dan batuk yang disebabkan oleh debu-debu karst yang berterbangan karena penambangan dan diperparah oleh musim kemarau di bulan September. Petani mulai kesulitan mendapatkan rumput untuk ternak-ternaknya karena rumput tertutup debu karst yang mulai dirusak oleh tambang. Ekologi air, harkat ternak, harkat mata air keluarga pada saat ini menjadi semakin sungsang dan jungkir balik. Ada beberapa keluarga lansia yang mulai tersingkirkan, dan pindah ke desa lain yang lebih aman secara ekologis karena air tanah mereka sudah mulai tercemar debu karst. Beberapa keluarga juga tersingkir dari tanahnya sendiri karena matinya sumur-sumur mereka. Setidaknya ada empat bayi yang telah dan akan lahir dan ikut menduduki tenda di tapak tambang untuk melakukan penolakan atas tambang semen. Dan hajat hidup generasi paling muda inilah yang akan mendapatkan ancaman paling serius. Ketahanan air Watu Putih akan habis seketika tambang mulai melakukan ekspansi. Protes ibu-ibu hamil menolak tambang ini merupakan simbol bagaimana perempuan melakukan migrasi ke ruang publik, yaitu tapak tambang semen, untuk melindungin rahim air yang berada dalam gua-gua karst, yang mengalirkan air-airnya melalui sungai-sungai bawah tanah. Ancaman terhadap mata air-mata air adalah ancaman bagi peri kehidupan bayi-bayinya. Dalam wawancara dijelaskan bagaimana kemudian politik rahim ini mendapatkan simpati dari pekerja-pekerja tambang, satpam tambang, dan tenaga ahlinya. Jika berpapasan melalui tambang selalu membunyikan klakson sebagai tanda menyapa. Ini mungkin berbeda dari yang terjadi di daerah-daerah lain, ketika senjata digunakan untuk menyingkirkan protes-protes, atau ketika pertama kali ibu-ibu ini mendirikan tenda, yang kemudian diseret oleh para polisi dan aparat yang ikut mendukung pendirian tambang. Ketika diwawancarai perihal sikap pemerintah, Sukinah menjelaskan bahwa mereka telah dibeli oleh korporasi tambang dan tak menepati janji mereka sebelum jadi dan dipilih oleh rakyat. Misalnya beberapa lurah Watu Putih berjanji akan menolak tambang semen jika jadi lurah, tetapi setelah jadi lurah, justru membela tambang. Perihal ini mengkonfirmasi bagaimana negara abai dan tak peduli bagaimana perikehidupan alamnya, demikian juga perempuannya. Reproduksi air alam, reproduksi perempuan, bukan merupakan bagian identitas negara, tetapi merupakan kapital yang ditambang untuk sebuah keuntungan. Tambang telah mengubah perikehidupan Watu Putih jadi sungsang. Hasrat Etik Rahim: Perempuan Menolak Tambang Semen Tambang, dalam jejak sejarahnya, memiliki persoalan etik atas lingkungan (Lynch, 2002) dan dia memiliki persoalan dengan pembangunan ekonomi (Gralau, 2008). Tambang dengan sengaja menyembunyikan perempuan dari peran-peran profesinya karena eksklusif banyak dilakukan oleh pekerja laki-laki. Tambang bersifat amat maskulin. Bahaya tambang-tambang baru adalah mengubah masyarakat agraris menjadi masyarakat tambang. Mau tidak mau, perempuan dan anak-anak akan diseret menjadi penambang informal jika alam sudah hancur dan tak bisa menyediakan persediaan untuk ekonomi keluarga para petani—karena air tercemar, karena air tidak ada, karena situasi lingkungan memburuk karena proses-proses ekstraksi tambang. De-agrikulturasi masyarakat Watu Putih ini akan menghancurkan perikehidupan mereka. Tidak hanya sistem sosial yang rusak, tetapi, paling pertama adalah sistem ekologi di Watu Putih. Sebagai penopang suplai air bagi PDAM Rembang dan Blora, Rembang akan mengalami darurat air jika benar tambang semen ini berdiri, dan menjadi besar, dan menghabisan hutan-hutan di Pegunungan Kendeng. Kurang lebih 300-an ibu-ibu Watu Putih meminta seluruh alat-alat berat keluar dari wilayah tapak tambang dan perlawanan masih dilanjutkan bahkan mendapat dukungan dari kota-kota di Indonesia, misalnya: Jakarta, Semarang, Solo, dan lain-lain. Tulisan ini menemukan bagaimana agensi perempuan tidak hanya tercetak bahwa perempuan adalah sebagai korban, tetapi secara diskursif perempuan secara politis aktif melawan perusakan lingkungan dalam sebuah paradigma tidak eksploitatif—bahwa mereka akan kehilangan air sebagai penopang kebutuhan hidup, atau kehilangan air sebagai potensi kapital perikehidupan mereka. Tetapi perempuan-perempuan ini mengungkapkan bahwa ketahanan lingkungan, air dan ekologi Watu Putih merupakan metafora dari ibu mereka, yang memberikan susunya, dan seluruh kesuburannya, untuk anak-anaknya. Perempuan-perempuan Kendeng memandang ekosistem Watu Putih Rembang sebagai ibu, dan mereka adalah anak-anak yang harus melindungi ibunya dari serangan penghancuran oleh tambang-tambang. Acknowledgment: Tulisan ini akan dikembangkan lagi untuk seri Ekofeminisme III tahun 2015, dengan penggalian penelitian lebih lanjut. Tulisan ini sengaja dipublikasi sekarang untuk memperingati 100 hari pendudukan ibu-ibu Kendeng di tapak tambang pada Selasa 23 September 2014. Daftar Pustaka Bayart, Jean-François. The State in Africa: The Politics of the Belly. New York: Longman, 1993. Originally published as L’Etat en Afrique: La politique du ventre (Paris: Librairie Arthème Fayard, 1989). Carson, Rachel. 2002. Republished Houghton Mifflin 1962. Silent Spring. Mariner Books. Foucault, Michel. The History of Sexuality. Vol. 1, An Introduction. Translated by Robert Hurley. New York: Vintage Books, 1980. ———.“Governmentality.” In The Foucault Effect: Studies in Governmentality with Two Lectures by and an Interview with Michel Foucault, edited by Graham Burchell, Colin Gordon, and Peter Miller, 87–104. Chicago: University of Chicago Press, 1991. Graulau, Jeannette. 2008. ‘Is mining good for development?’ The intellectual history of an unsettled question. Progress in Development Studies 8, No. 2: 129–62. Lynch, M. 2002. Mining in World History. London: Reaktion Books. Mahy, Petra. 2011. Beyond victims: Mining and sex-work in Kalimantan, Indonesia. In Gendering the Field: Mining, Gender and Sustainable Livelihoods, ed. Kuntala Lahiri-Dutt, 49–65. Canberra: ANU E Press. 13/4/2015 09:52:16 am
Tubuh perempuan memang tidak bisa dieksploitasi sesuka hati hanya untuk kepentingan kaum kapitalis. Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|