Oleh: Paoina Bara Pa
Pasanglah telinga! Kata mereka tentang peranku Pasanglah mata! Melihat kebenaranku Kuyakin, tak sanggup jua kau kerjakan Tuduhan itu belenggu ketidakadilan Oleh: Akhiriyati Sundari
“Akhirnya kriwikan dadi grojogan, Mas,” ucapku sembari menerima uluran secangkir kopi tanpa gula buatan suamiku. Sore ini kami menggiring ujung hari dengan berbincang di sisi samping tempat kami tinggal, yang kami fungsikan sebagai beranda. Kendati hanya seluas tiga kali lima meter, suamiku cekatan menata nyaris di semua sisi. Didesainnya sebuah kolam ikan mini yang tidak ada ikannya di sudut tembok pembatas. Tampak hanya ada tiga lembar daun dan tangkai bunga teratai yang masih menguncup, mengapung di atas air. Sepoi angin mengembus ke wajahku. Segar. Oleh: Dewi Nova
Berjalanlah kakimu bumi tempat segala akar saling bertaut merawat batang memanggil burung menabur benih Oleh: Esty Pratiwi Lubarman Aku tidak mengenal nama Marry Wollstonecraft dalam sejarah bisu yang menuangkan secangkir keuntungan untuk perempuan kulit putih. Tapi, barangkali pernah tiba nama Drupadi yang setia dan menderita di tubuh mbokku yang tidak sempat membaca. Pernah kubisikkan teluh Calon Arang yang kepalanya dibakar akibat menjaga rahimnya. Pernah sekali, harus ku cangkul tubuhku untuk menemukan yang tersisa dari nestapa ketika kelahiran kami dirayakan dengan mantra dan air mata. Oleh: Citra Benazir
"Pakai baju yang tertutup rapi ya nduk, teman kerja bapakmu mau ke rumah sore nanti." Siapa yang pernah mendengar ucapan seperti ini? Siapa? Pasti perempuan saja Perempuan saja kan Oleh: Alya Fathinah
“Neng, sekarang mah cuaca panas banget ya,” ujar penjual es jeruk sambil menyiapkan minuman pesananku. “Iya, bener banget pak makanya aku juga beli es jeruk nih biar seger,” aku menimpali ucapan sang bapak yang sok akrab. “Alhamdulillah, itu rezeki buat bapak. Tapi yang sedih mah kalau tiba-tiba ujan deres jadi bapak teh harus cepet-cepet beresin roda, cari tempat yang teduh. Abis raat1 dagangan enggak laku da mereun teu nyambung nya tiris-tiris minum es2,” keluh sang bapak tentang nasibnya. “Atuh mun caang wae oge karunya tukang bajigur, sekoteng, bandrek icalanana teu laku-laku3,” jawabku sembari bercanda. Oleh: Adjie Valeria Christiasih
Desa mengheningkan cipta Pada lampu-lampu kota Terang lampu itu, Menjadi pemandangan di kota Tetapi, tak lagi di desa-desa Yang kian ironi kondisinya Andina Dwifatma
Sepulang dari swalayan, Ira melihat Martin sedang berjongkok di atas rumput taman belakang rumah mereka. Martin mengenakan kaus putih yang tampak basah dan lengket di bagian punggung. Kedua tangannya sibuk mengotak-atik sesuatu. “Martin,” panggil Ira. “Cepat ke sini dan lihat ini!” balas Martin tanpa menoleh. Ira bergegas menghampiri dan ikut berjongkok menghadapi seekor burung nuri kepala hitam. Martin sedang berusaha memasang mangkuk minum di pinggir kandang. Di punggung tangan Martin ada bekas-bekas luka. Oleh: Linda Tagie
Telah ribuan tahun kami membaca kalender yang membentang pada biru langit yang ditorehkan lentik jemari rasi bintang pada setiap purnama “Langit juga bisa baomong*, asal kau tahu cara memahaminya” kata nenek sembari bangun meninggalkan alat tenunnya di bawah balai-balai Ia beranjak ke halaman depan tangan kanannya meraih anyaman kerigi** yang belum selesai di ujung kelaga rai*** dengan sigap Oka Rusmini
Mungkin tanah Bali tak punya peta leluhur di matamu atau hidup tak pernah mengajari keindahan. Daun-daun yang sering dipetik para leluhur di pinggir kali Badung tak pernah mendongengkan silsilah padamu. Aku ingat ketika kanak-kanak air kali itu bercerita banyak padaku dan leluhur duduk dekat kali menjulurkan kaki, kain mereka dibiarkan basah air kali memandikannya dengan riang aku sering berlari dengan sepeda roda tiga mengitari kali. Pohon kelapa mengajari dongeng sebuah Pura katanya, aku harus tahu silsilah tanah. Beratus tumbal telah diciptakan para pemilik tanah. |
AuthorKumpulan Cerpen Archives
July 2024
Categories |