Oleh: Linda Tagie Telah ribuan tahun kami membaca kalender yang membentang pada biru langit yang ditorehkan lentik jemari rasi bintang pada setiap purnama “Langit juga bisa baomong*, asal kau tahu cara memahaminya” kata nenek sembari bangun meninggalkan alat tenunnya di bawah balai-balai Ia beranjak ke halaman depan tangan kanannya meraih anyaman kerigi** yang belum selesai di ujung kelaga rai*** dengan sigap Aku mengikutinya dari belakang, duduk berlunjur menengadah ke langit
“Itu… lihat itu bulan, artinya sudah mau musim menyadap nira, besok kau sudah harus ke hutan untuk mengumpulkan kayu bakar, kita akan memasak nira” ia menunjuk pada bulan sebentar sebelum jemarinya kembali memainkan helai daun lontar pada anyamannya yang belum selesai, wajahnya tetap menengadah ke langit Perempuan tua itu memang multitalenta, ia pandai membagi diri, waktu, dan pikirannya ia bisa mengerjakan sesuatu sembari memikirkan yang lain ibu juga begitu, juga tante kukira semua perempuan memang multitalenta tak pernah kudengar mereka mengeluh soal waktu Sebelum matahari kembali ke peraduannya ayam sudah bertengger pada dahan pohon mengkudu yang ia tanam di belakang rumah dengan perut kenyang Kambing sudah terlelap dalam kandang Juga dengan perut terisi penuh Hanya anak-anak kecil yang masih berbaring di kelaga rai mengantre ke alam mimpi dihantar dongeng dari mulut nenek yang tangannya masih sibuk menyelesaikan anyamannya ia tidur lebih lambat dan bangun lebih cepat “tak boleh kalah cepat dari fajar kalau tidak mau rejeki dipatok ayam” begitu petuah yang diulang-ulangnya pada setiap kesempatan Takkan kau temukan ia di dapur, di halaman depan atau belakang, apalagi di dalam rumah pada pagi hari ia akan muncul dari arah mata air di bahunya terpampang sebilah pelepah lontar yang menggantung dua buah haba ai**** pada kedua ujungnya langkahnya cekatan menuju dapur seperti tak ada beban yang menggantung ia keluar dengan membawa seperiuk sorgum yang telah dimasak dengan kacang hijau menyilakan seisi rumah makan dengan gembira ia protes keras ketika seorang cucu laki-lakinya mengajukan banyak sekali pertanyaan untuk kebutuhan penelitiannya “apa kalian tidak bisa sekolah kalau tidak ada perempuan buta huruf macam saya? Kalau begitu tidak usah sekolah saja, karena sebentar lagi orang-orang buta huruf akan habis, semua orang muda berlomba-lomba sekolah, meninggalkan tanah leluhur, pergi ke kota hanya untuk dibentak-bentak atasan, bilangnya sekolah, tapi tidak pintar-pintar! Lihat ayahmu itu, ia ke sana ke mari pakai motor, belinya pakai uang kerbau saya” Sarapan pagi ini mendebarkan Sorgum di lambung, marah di dada, pedih di hati, kacau di kepala Berkecamuk Mengalirkan sungai dari kelopak mata nenek *Bicara (Bahasa Melayu Kupang) **Piring tradisional yang dianyam dari daun lontar ***Balai-balai pertama rumah tradisional orang Hawu di NTT ****Tempat penampung air dari daun lontar Linda Tagie, seorang perempuan yang sedang meredefinisikan keperempuanannya, ia lahir di pulau Hawu, Nusa Tenggara Timur. Pendiri Komunitas LOWEWINI, sebuah ruang aman untuk korban kekerasan seksual di Kupang, NTT. Linda adalah aktor teater yang suka menulis puisi, cerpen, dan esai. Ia dapat dihubungi melalui surel [email protected] Comments are closed.
|
AuthorKumpulan Cerpen Archives
July 2024
Categories |