Sebastian Partogi
(Wartawan The Jakarta Post) [email protected] Aku berlari untuk membuang nyawa sisaku. Sebagai perempuan, dalam hidupku aku telah dibunuh berkali-kali. Dan bagaikan kucing, aku memiliki sembilan kesempatan untuk mati. Delapan nyawa telah terbuang. Masih ada satu lagi namun aku sudah tidak tertarik lagi untuk menyimpannya. Untuk apa lagi aku hidup? Toh kesilauan dan kebisingan dunia ini hanya menorehkan luka yang tidak pernah sembuh. Bhadrika Dirgantara
[email protected] 6 Januari 2016 (Pesan dari Rastri) Sudah hukumnya, bahwa segala yang terang pasti akan redup, lalu tenggelam dalam gelap. Namun, tak ada hukum yang berlaku bagi seorang Bendhoro. ”Tak boleh ada gelap”, ujarnya. Maka ia memberikan dua pilihan, mati dan seluruh keluargamu mati, atau terus hidup dalam pasungan. Lalu senja datang, dan yang terang pasti menjadi gelap. Hikmat Gumelar
Sutradara Teater Prung dan aktif di Institut Nalar Jatinangor. Pernah kuliah di Universitas Padjajaran Bandung serta aktif di dunia penulisan dan penerbitan. Depan pagar putih 1,25 m x 1 m, Surti berhenti. Ia lihat lagi arloji. Dua kurang seperempat. Tapi mustahil masih jaga. Biasa juga paling telat jam sepuluh sudah masuk kamar. Surti pun menghembus nafas panjang. Hati-hati buka pintu besi. Sukses tanpa derit. Ia lalu buka pantopel. Sijingkat ke pintu muka. Memutar anak kunci. Pun hati-hati. Klik. Daun pintu putih didorong pelan. Surti terkesiap. Cahyaning ternyata tengah duduk di sofa. Dan di ujung dekat pintu kamarnya. “Kok ibu masih merajut?” |
AuthorKumpulan Cerpen Archives
October 2024
Categories |