Hikmat Gumelar Sutradara Teater Prung dan aktif di Institut Nalar Jatinangor. Pernah kuliah di Universitas Padjajaran Bandung serta aktif di dunia penulisan dan penerbitan. Depan pagar putih 1,25 m x 1 m, Surti berhenti. Ia lihat lagi arloji. Dua kurang seperempat. Tapi mustahil masih jaga. Biasa juga paling telat jam sepuluh sudah masuk kamar. Surti pun menghembus nafas panjang. Hati-hati buka pintu besi. Sukses tanpa derit. Ia lalu buka pantopel. Sijingkat ke pintu muka. Memutar anak kunci. Pun hati-hati. Klik. Daun pintu putih didorong pelan. Surti terkesiap. Cahyaning ternyata tengah duduk di sofa. Dan di ujung dekat pintu kamarnya. “Kok ibu masih merajut?” Jam dinding berdetak nyaring.
“Kenapa itu?” Surti menunduk. Jalan lurus empat langkah. Belok kanan ke kamarnya sambil agak buang muka ke ruang tengah. Ibunyamenguntit dengan kornea gerak ke kanan hingga mencapai sudut kelopak. Ia letakkan rajutan sweeter yang baru mulai. Jalan dua langkah. Tegak di pintu. Surti tengah membuka blazer ungu. Cermin meja rias memperlihatkan wajahnya. “Tadi pagi matamu tidak seperti itu.” Sambil memasukan blazer ke tempat cucian, Surti buka mulut, “Polisi.” “Polisi?” Surti mengiyakan sambil menyalakan kipas angin yang berdiri antara tempat tidur dan meja rias. “Apa yang aneh?” “Kok apa yang aneh?” lontar sang ibu sambil melangkah dan lalu duduk di sudut kasur.” Pulang dini hari. Dan dengan itu. Kelopak matamu. Bengkak dan lebam. Dan itu karena polisi. Itu apa tidak ganjil?” “Polisi kan memang begitu pekerjaannya. Bikin muka orang benjol.” “Apa yang telah kau lakukan, Nak? Apa kesalahanmu?” “Ibu gimana si? Apa yang dipukuli itu selalu yang salah, selalu yang berdosa? Buka dong jendela. Lihat dunia. Jalanan serba macet. Penuh teror. Manusia rontok digerus horor. Krrrrrek! Krrrrrrrek! Neraka!” “Astagfirullah.” “Ibu tahu kan Munir mati diracun? Ibu tahu kan Munir tak Cuma hidup untuk keluarganya? Rayuan-rayuan hidup serba mudah. Mewah. Megah. Wah. Dia tolak. Ditempuhnya jalan yang langka ditempuh orang. Jalan sepi dan perih. Dengan motor bebek tua, si ringkih penyakitan itu menempuh labirin gelap. Mencari-cari orang hilang. Membongkar penculikan. Mengejar para jagal. Menumbangkan ketakutan. Menguburkan keputusasaan. Menumbuhkan keberanian, harapan, impian.” “Hiya, hiya. Orang bilang begitu. Tapi matamu itu. Kenapa?” “Tuan Presiden berbusa. Janji akan ngusut tuntas kasus itu. Dan itu diuarkannya di muka publik. Tapi nonsens! Lihat saja. Yang diadili seorang pilot. Cuma seorang pilot. Dia memang piawai menerbangkan pesawat. Tapi pembunuhan di langit Hungaria itu bukan tindakan kriminal di terminal. Mustahil dilakukan seekor cacing. Maka buruh pabrik, tukang ojek, seniman, mahasiswa, dosen, wartawan, dan sebagainya, menyatu. Berduyun ke istana. Demo. Kelewatan kalau Surti cuma mencari dan membetulkan kalimat yang bengkok. Yang bengkok dalam hidup kan harus juga diluruskan. Masa Cuma duduk. Melamun. Ga malu apa?” “Astagfirullah. Sadar, Nak. Eling.” “Justru karena sadar, Bu. Justru karena eling, Surti ikut.” “Tapi kamu lain.” “Lain?” “Hiya. Kamu lain.” “Apa maksud Ibu?” “Lho. Masa kamu lupa. Kamu beda dari mereka. Kamu kan anak- anak.” “Astaga! Hantu itu! Bu, jangan kira Surti tidak tahu. Surti tahu kok masa lalu kita. Orang sudah ribuan kali bilang. Tengah malam itu seorang lelaki yang dituduh PKI diburu. Dia masuk Kebun Kacang, kampung kita dulu. Bapak kaget dengar sepatu-sepatu lars. Bangun. Keluar. Ditangkap. Dituduh PKI. Dan hilang sampai sekarang. Kita selamat. Malam itu kita nginap di Pasar Minggu, di rumah Bude Mar yang mau menikahkan mbak Indah. Besoknya, saat Surti ke pasar sama Bude Mar, Pak Yono datang. Membisikkan kabar itu. Ibu lantas pulang. Tiga hari kemudian, berulang. Sepatu-sepatu lars menyerbu tengah malam. Pagar roboh. Pintu digedor. Ibu dituduh Gerwani. Ditangkap. Diangkut truk. Tujuh tahun hidup dari bui ke bui. Begitu kan. Surti bukan lagi anak bau minyak telon, Bu.” “Ya! Ya! Kamu sudah besar. Sudah sarjana. Sudah menerjemahkan banyak buku. Tapi ngerti apa kamu tentang masa lalu itu? Enteng betul kamu katakan itu. Sepertinya itu dongeng kancil dan mentimun. Lihat. Baju hangat. Sweeter. Sekarang memang tengah malam. Tapi siang hari pun sama. Aku selalu begini. Dibungkus sweeter dan baju hangat. Padahal ini Jakarta. Hawanya hawa dari tungku menyala. Ikan pari! Seluruh badanku rusak dicambuk ekor ikan pari! Kemudian ini. Kaos kaki ini. Kamu lihat siang malam sama. Aku selalu memakainya juga. Memang kakiku tak sampai ditembak seperti kaki tawanan lain. Tak sampai digergaji seperti kaki beberapa dari mereka. Tapi serdadu bunting. Serdadu busung. Meja. Dua serdadu bunting dan busung itu. Duduk di atasnya. Duduk di atas meja yang dua kakinya menekan dua jempolku. Mereka belum puas. Tang. Satu demi satu. Berkali-kali. Tang. Tang. Mencabuti kuku-kuku kakiku! Masih belum puas juga. Air keras! Air keras! Dan ingat. Kapan itu. Aku minta cincinmu dilepas. Kamu marah. Aku juga. Bahkan lebih. Lebih dari marah. Tapi tidak bisa. Dua cincin tembaga. Kancing-kancing baju dibuka. Satu demi satu. Juga beha. Kabel melilit dua cincin tembaga. O, Gusti. Mereka lingkarkan itu di sini. Di kedua puting susuku! Dan stop kontak ditekan. Listrik pun ngalir! Arrrg! Arrrrrg! Serdadu bau arak tiba-tiba datang. Matanya mata burung hantu. Terus nusuk susuku. Aku diseret ke gedung tempat selusin serdadu mabuk. Botol berserak. Salah seorang memecahkannya. Prang! Beling berhamburan. Serdadu itu megang leher botol pecah. Menghampiriku. Menempelkannya ke urat leherku. Memaksaku berdiri di atas meja. Memaksaku buka seluruh pakaian. Tanganku gemetar. Ujung botol pecah tambah nekan. Satu demi satu pakaian jatuh. Serdadu lain ambil celana dalamku dengan ujung bedil. “Revolusi! Revolusi belum selesai!” Aku nunduk. Jantung seperti pecahan botol itu. Remuk digerus sepatu lars. “Kami sudah lama ndak ketemu istri. Ndak goyang. Kamu pasti ngerti kan. Wuiih! Itu lebih berat dari sekarat. Nah, biar sama rata sama rasa. Iya toh. Hiburlah kami. Coba mainkan tarian harum bunga.” Aku seperti disambar geluduk. Tubuhku rasanya hangus. “Ayo, Sundal! Apa mau dikremus? Mainkan yang kamu mainkan di Lubang Buaya itu! Bikin lagi pesta itu di sini! Hei, Sundal! Kamu congek, ya. Mainkan tarian harum bunga itu!” Gigiku tambah kuat gigit bibir hingga berdarah. Tetesannya bikin meja jadi hamparan bara. Aku berdiri atas bara. Tawa dan celetukan jorok meniupinya hingga nyala. Lidah api jilati betis. Paha. Selangkangan. Tapi salah seorang tiba-tiba menyuruhku turun. Aku hembuskan nafas panjang. Tapi aku lantas disuruh merangkak ngitari ruangan berdinding kayu itu. Aku pun merangkak. Berulang pantat ditendang. Aku terus merangkak. “Stop! Sapi juga bisa capek. Iya toh. Nah, sekarang berdiri. Berdiri ngadep dinding. Sesiku. Sesiku dari dinding kataku! ¨ Aku pun manut. Aku tidak ngerti apalagi yang akan mereka lakukan. Kepalaku balon. Kosong. Tiba-tiba suara desing lewati dua daun telingaku. Dan di depan mataku, nancap dua pisau! Dua pisau nancap! Aku jatuh. Tidak ngerti berapa lama aku pingsan. Aku hanya ingat aku siuman karena badan sangat dingin. Gatal-gatal. Bau memualkan nusuk hidung. Mata perlahan terbuka. Lantas terbelalak. Sekujur badan kuyup bubur tinja! Bubur tinja! Aku muntah. Dua serdadu terbahak. Ludahnya mucrat melumur mukaku. Mereka lantas menyeretku ke ruang lain lagi. Ditaruh di kursi. Tanganku diikat di belakang. Kakiku diikat pada dua kaki kursi. Diikat tambang injuk. Dua serdadu tadi tegak di samping kiri dan kananku. Dua ujung bedil nekan dua pelipisku. Dor! Dor! Pelipisku bolong. Nyawaku putus. Begitu kukira. Tapi tidak. Tiba-tiba pintu terbuka. Seorang tahanan dibawa masuk. Tahanan yang mukanya sudah hancur itu, ditelanjangi. Disuruh telentang. Disuruh ngangkang. Dan tujuh serdadu seperti binatang. Tidak. Bukan ‘seperti’. Lebih dari binatang. Gantian merkosanya! Perutku yang sudah tiga bulan ngandung terasa sakit. Sangat sakit. Aku tak ingat persisnya. Darah tiba-tiba ngalir dari selangkangan. Itu belum sudah. Itu baru saat diinterogasi. Bagaimana 11 tahun hari-hari dalam bui? Dan dari mana malapetaka itu? Anak buah bapakmu getol bolos. Jarang ngajar. Ngajarnya pun tak karuan. Malah banyak murid SMP itu digamparnya. Guru lain ngadu ke bapakmu sebagai kepala sekolah. Bapakmu yang sebetulnya sudah tahu, mengingatkannya. Dia bukan nerima. Malah dendam. Itu yang membuat bapakmu di-PKI-kan. Setelah itu, di ruang tamu rumah dulu, dia minta aku jadi istrinya yang kedua. Tentu aku nolak. Dia mendesak. Membual akan ceraikan istrinya. Bualan itu dilontar sambil megang tanganku. Aku sontak menamparnya. Dia marah. Nubruk. Aku berkelit. Mukanya membentur pegangan kursi. “Ingat! Saudaraku petinggi. Kamu teriak, nasibmu akan seperti suamimu!” “Aku tak peduli. Teriak. Dia takut. Ngacir sambil mendesis, awas kamu!” “Kamu tidak tanya kenapa si Yono pagi sekali datang ke Pasar Minggu? Dari mana dia tahu tengah malam bapakmu ditangkap padahal rumahnya jauh?” “Surti tahu. Surti tahu siapa Pak Yono. Dia yang membuat para serdadu itu menangkap bapak dan ibu. Yang membuat hidup kita melata. Karena itu, waktu awal kuliah, Surti sudah bulat mau bunuh dia. Tapi waktu wudhu di mesjid kampus, tiba-tiba Gandhi membayang. Matanya yang teduh berkata, “Jika satu mata dibayar satu mata, seluruh dunia jadi buta.” Surti tidak tahu kenapa tiba-tiba begitu. Surti Cuma merasa mata perlahan terbuka. Niat membunuh perlahan padam. Tapi Soekarno benar. Jasmerah. Maka gelap harus disingkap. Kebenaran terungkap. Keadilan tegak. Untuk itulah, Surti pun ikut turun ke jalan.” “Tapi kamu jangan lupa dua orang tuamu.” “Sama Ibu. Sama Bapak. Gimana bisa lupa? Gila apa.” “Kalau gitu, mestinya kamu sadar kamu beda.” “Astaga! Ke situ lagi. Keadaan sudah berubah. Sekarang bukan 65, 2005.” “Kamu ngotot mendesakkan keadaan sudah berubah. 1965 jadi 2005. Itu perubahan angka-angka. Keadaan tidak. Yang berubah itu cuma angka-angka. Masa lalu itu bukan angka-angka yang ditulis anak-anak di pasir pantai. Masa lalu itu akar sebuah pohon. Menentukan batang. Menentukan dahan. Menentukan ranting. Menentukan daun-daun. Tapi akar itu pun ditentukan tanah. Nah, bagaimana tanah saat ini? Tiap sejengkal saja keluar rumah, orang-orang hujamkan anak panah. Bahkan di dalam rumah, badanku selalu dirajam. Serdadu tidak pernah mati. Mereka terus hidup. Berbiak. Gelayutan di bulu mata. Teriak-teriak mukuli gendang telinga. Loncat-loncat di atas perut. Mondar-mandir keluar masuk selangkangan. Merogoh jantung. Merogoh hati. Mengiris-ngirisnya. Puluhan tahun begitu. Itulah sejarah! Itulah kebenaran! Dan itu baru secuil! Dan itu mustahil. “Ceritakan! Jangan henti! Ayo terus! Harus! Kamu harus terus! Uuuwaah! Huuuuh! Aku tak tahan lagi. Tapi mereka tak peduli. Mereka terus maksa aku mengatakan yang sama sekali tak kutahu. Terus maksa aku mengatakan yang mereka mau. Aku tak tahan lagi. Sangat ngeri. Apalagi satu malam, Kah, itu. Botol! Botol! Mereka mau masukan benda itu ke selangkanganku. Aku mendengking. Begitu saja satu alamat kusebut. Aku tahu mereka. Tapi mereka tak mengenalku. Begitu. Begitu saja kukatakan. Dan memang. Mereka tak mengenalku. Aku juga. Tapi, mereka itu seorang ibu dan bayi dalam gendongannya. Mata keduanya itu merah. “Astaga!” “Iya, Nak. Maaf. Maafkan dosa ibumu.” “Ibu nunjuk juga? Gila!” Surti bangkit dari kursi. Lari. “Ibu lebih jahat dari Pak Yono!” Cahyaning bangun sambil memanggil Surti. Tapi pintu muka keras dibanting. Ia memburu. Keluar. Mengejar. Mengejar sambil terus memanggil-manggil si anak semata wayang. Anjing menyalak. Anjing lain menyahut. Anjing-anjing saling sahut-sahutan. Orang-orang terjaga. Beberapa keluar. Cahyaning tak peduli. Mereka bisik-bisik. Cahyaning terus mengejar anaknya hingga terpeleset di mulut gang. Kepalanya membentur bak sampah. Ratusan kembang api tiba-tiba mewarnai langit jelang subuh. Sekalian lantas raib. Gelap.** Pernah dimuat di Jurnal Perempuan No. 44, 2005 Comments are closed.
|
AuthorKumpulan Cerpen Archives
July 2024
Categories |