Sebastian Partogi (Wartawan The Jakarta Post) [email protected] Aku berlari untuk membuang nyawa sisaku. Sebagai perempuan, dalam hidupku aku telah dibunuh berkali-kali. Dan bagaikan kucing, aku memiliki sembilan kesempatan untuk mati. Delapan nyawa telah terbuang. Masih ada satu lagi namun aku sudah tidak tertarik lagi untuk menyimpannya. Untuk apa lagi aku hidup? Toh kesilauan dan kebisingan dunia ini hanya menorehkan luka yang tidak pernah sembuh. Seumur hidup, tubuhku sudah dipenuhi borok-borok tak terlihat yang sudah mulai mengelupas, berlendir dan dipenuhi belatung. Aku tidak membutuhkan lebih banyak lagi koreng di tubuhku. Daripada aku menunggu untuk menjadi mayat hidup, lebih baik jadi mayat asli sekalian. Kesunyian dan kegelapan yang ditawarkan kematian terlihat lebih menggoda.
Aku berlari untuk memutuskan semua aliran listrik yang menciptakan selubung kepadatan dalam senyawa tubuhku. Aku berlari untuk meluruhkan tubuh fana berisi partikel-partikel subatom berongga hampa ini. Aku berlari menuju kenihilan. Seluruh hidupku hanya berisi kehinaan. Kematian adalah sebuah kehormatan. *** Namaku Reva Situmorang. Sejak dilahirkan, aku sudah merupakan kesalahan. Sialan! Mengapa anak perempuan lagi! Bahkan di tengah pecahnya tangisanku yang memekakkan telingaku sendiri, aku bisa mendengar suara teriakan itu meluncur keluar dari mulut kakekku. Sudah enam kali bikin anak ternyata keluarnya perempuan lagi! Dengar ya, Em, sebelum kau bisa melahirkan anak laki-laki, engkau masih utang terhadap keluarga Siagian! Lalu aku mendengar suara kakekku berceloteh kembali. Kali ini ia berbicara pada ayahku. Makanya, pikirkan lagi lah, Jong. Apa sebaiknya kau ceraikan saja si Emanuela. Mamak sudah kenal seorang perempuan lain yang bernama Reva. Dia memang sudah agak tua, 34 tahun. Tetapi dia masih lajang dan bersedia menikahi duda yang beranak enam. Daripada dicap tak laku sama keluarganya. Dia bertubuh tambun dan subur. Pasti bisa menghasilkan anak lelaki dengan cepat. Tidak seperti si Emanuela yang sakit-sakitan dan lemah ini, makanya sudah anam kali melahirkan, anam-anamnya pulak menghasilkan perempuan. Makhluk yang tak berharga. Makhluk yang hanya menunggu dituhar! Kelahiranku adalah sebuah kesalahan. Aku tidak diinginkan. *** Setelah menangis meronta-ronta memohon agar ayah tidak menceraikannya dan berjanji akan memberikan anak lelaki sebagai anak ketujuh mereka, akhirnya ibuku dipertahankan. Mereka mencoba membuat anak lagi. Ternyata laki-laki. Mereka bersorak. Pada akhirnya, setelah enam kali kesalahan, muncullah barang yang diinginkan. Penerus marga Siagian. Sementara aku diberi nama Reva oleh ibuku, seperti nama perempuan yang nyaris menjadi ibu tiriku. Kamu memang sumber sial. Karena kelahiranmu, ayahmu nyaris dipaksa menceraikan aku dan menikahi si Reva sialan itu! Aku kan hanya lulusan SMP karena orangtuaku menganggap perempuan itu hanyalah barang dagangan yang akan dituhar, lantas untuk apa menyekolahkan tinggi-tinggi. Aku tidak bisa mencari nafkah sendiri. Kalau suamiku menceraikan aku maka matilah aku. Kau, sumber bencana yang membuat nafasku nyaris berhenti saking takutnya! Anak berengsek! *** Adik lelakiku si Bori selalu dimanjakan oleh ayah ibu. Semua keinginannya selalu dituruti. Ini terjadi hingga ia beranjak dewasa. Bahkan ketika ia merusak mobil dinas ayah dengan menabrakannya ke tembok gereja saat sedang mengemudikan mobil di bawah pengaruh alkohol, ia tidak dimarahi (ajaibnya, ia tidak tewas dalam kecelakaan ini). Sementara aku selalu dimarah-marahi. Dianggap tak tahu diuntung. Kurang ajar! Mengapa kau pecahkan guci kesayangan mamak itu! Jangan banyak tingkah ya! Kalau mamak tahu ternyata keluarnya seonggok daging perempuan yang menyusahkan dan nyaris membuat mamak dicerai, sudah mamak gugurkan kau jauh-jauh hari dengan makan duren! Aku juga selalu dihina oleh ayahku. Jelek sekali nih anak, kulitnya hitam dan gelap bagai Dakochan. Di keluarga Siagian tidak ada yang kulitnya segelap ini. Gimana mau dijual nantinya? Gimana mau ada keluarga yang memberikan sinamot mahal untuk menuhar dia? Jelek begini! Suatu hari, saat aku berusia 20 tahun, Bori sengaja merobek buku kesayanganku untuk membuatku menangis. Aku marah dan menampar wajahnya. Ia membalas dengan mencekik leherku. Jangan macam-macam, wahai perempuan! Ingat tempatmu! Kamu tidak punya harga di mata kami, selain sebagai pelayan dan mesin pembuat anak! Ia mencekik leherku demikian keras sampai aku meronta-ronta dan memukul-mukul lengannya. Ketika ia sudah puas melihat wajahku yang semakin memerah bagaikan kepiting, ia melepaskan cengkeramannya. Seketika aku muntah. *** Selepas aku lulus SMA, ayah dan ibu tidak mau menyekolahkan aku ke perguruan tinggi karena mereka sudah “kehabisan uang”. Di saat yang bersamaan, mereka tak berhenti membelikan Bori barang-barang mewah: mulai dari mobil terbaru, rumah pribadi dengan kolam renang sampai menyuplai dia dengan uang bulanan (Bori adalah seorang pengangguran. Dia drop out dari kampus karena pernah ketahuan merokok ganja, setelah itu dia uring-uringan dan menolak kuliah). Aku memutar akal, memutuskan les bahasa Inggris dan ternyata kemampuanku bagus. Aku kemudian menjadi guru bahasa Inggris di sebuah tempat kursus di Jakarta. Di sana banyak guru yang bule. Seseorang yang bernama Peter mendekatiku. Dia ganteng, tinggi dan bertubuh gagah, dan sering melemparkan tatapan genit padaku. Lama-kelamaan ia sering mengajakku makan siang dan menghujaniku dengan berbagai rayuan gombal. Sebagai manusia yang tidak pernah diinginkan, memiliki seorang lelaki yang begitu perhatian membuatku mabuk kepayang. *** Aku berjalan keluar dari apartemen Peter sambil menahan sakit di bibirku dan nyeri di sekujur badanku. Tadi, sebelum kami bersetubuh, ia mencium dan menggigit bibirku dengan begitu keras hingga berdarah. Lalu ia menghajarku berkali-kali sebelum akhirnya memerkosa diriku. *** Akhirnya, ada juga lelaki yang mau membayar sinamot untuk menuhar anak jelek ini! Sudah tiga tahun aku menikah dengan bang Richard. Aku pun telah melahirkan satu orang anak (perempuan) yang bernama Hotna. Sebelum kau melahirkan anak laki-laki, kau masih berutang kepada keluarga Sianturi. Kata-kata yang sama dengan apa yang pernah diucapkan kakekku kepada mama saat aku dilahirkan. Namun tidak mengapa. Bang Richard perangainya sungguh halus, bagaikan perempuan. Ia juga begitu lembut. Tidak apa-apa, sayang, aku masih bisa menunggu. Kalau kamu panik, kamu akan sakit dan akan semakin sulit mendapatkan anak lelaki. Tidak seperti Peter, bang Richard pun bukan lelaki yang hasrat berahinya menggebu-gebu. Ia tidak terlalu senang berhubungan badan, dan pun ketika sedang melakukannya, kami saling memasuki dengan gerakan yang amat pelan dan lembut. *** Tiba-tiba aku terbangun di tengah malam buta. Aku curiga oleh suara desahan yang liar serta tumbukan yang berbunyi berulang-ulang dari dalam kamar tamu rumah kami. Jangan-jangan ada perempuan lain. Jangan-jangan itulah alasan bang Richard tidak begitu bernafsu saat bersenggama denganku. Dengan mata masih terkantuk-kantuk dan pikiran yang bingung, aku berjalan keluar menuju kamar tamu dan membuka pintunya perlahan. Aku yakin bahwa aku takkan pingsan. Ada perempuan lain dan aku akan minggat malam ini juga untuk tinggal indekos. Pendapatanku sebagai guru les Inggris cukup bisa diandalkan. Aku membuka pintu. Aku melihat bang Richard sedang bersetubuh...dengan seorang laki-laki. Aku pingsan. *** Diagnosis itu datang dua bulan yang lalu, setahun setelah aku minggat dari rumah bang Richard. Ketika aku mulai curiga dengan kesehatanku dan anakku. Kami jadi sering batuk-batuk dan tak kunjung sembuh. Lebih jauh lagi, ada luka di sudut atas bibir anakku yang tak kunjung kering dan kemudian bernanah. Vonis itu pun dijatuhkan. Aku dan anakku terkena HIV. Kemungkinan dari suamiku yang homoseksual dan sering melakukan hubungan seks tidak aman. Aku menurunkan virus itu pada anakku saat sedang hamil. Sejak itu, desas-desus cepat bergaung, terutama di gereja. Saat aku dan anakku pergi beribadah, orang-orang senantiasa menatap kami dengan jijik sambil bergumam-gumam... Itu pendosa yang kotor. Pasti doyan seks makanya kena HIV. Ditularkan ke anaknya lagi! Perempuan petaka! Aku berlari untuk membuang nyawa sisaku. Comments are closed.
|
AuthorKumpulan Cerpen Archives
October 2024
Categories |