Bhadrika Dirgantara [email protected] 6 Januari 2016 (Pesan dari Rastri) Sudah hukumnya, bahwa segala yang terang pasti akan redup, lalu tenggelam dalam gelap. Namun, tak ada hukum yang berlaku bagi seorang Bendhoro. ”Tak boleh ada gelap”, ujarnya. Maka ia memberikan dua pilihan, mati dan seluruh keluargamu mati, atau terus hidup dalam pasungan. Lalu senja datang, dan yang terang pasti menjadi gelap. Aku terduduk dalam diam. Hening tiba-tiba menyergap. Pesan darimu tak hanya memunculkan sunyi padaku. Nairi pun duduk dalam diam. Tak ada suara. Kami lenyap ditelan bingung.
“Jadi…”, kalimat Nairi putus-putus, rokoknya terimpit di kedua bibirnya. Mencari korek. Situasi ini membuat kami butuh nikotin. Adiksi ini dapat menyelamatkanmu. “Menurut lo pesan ini maksudnya apa?” “Mungkin Bendhoro adalah Dani? Selamanya hidup dalam pasungan berarti Rastri harus tetap berhubungan dengan Dani?” kucoba menjawab. Mencocokkan ini dan itu. “Setelah semua yang terjadi kemarin? Setelah Dani mencekik Rastri?” “Entah.” Bingung menyergap. “Tapi mungkin benar. Dani punya power di sini. Rastri juga pasti bingung,” muka Nairi kusut. Selapis asap tipis dikuarkan. Ya, Rastri pasti bingung. Aku dan Nairi pun juga bingung. Yang tak bingung mungkin hanya sang Bendhoro. Maka kami berdua diam lagi. Mengisap rokok masing-masing dan bertarung dengan pikiran di kepala. Jadi begini, tadi sore Rastri mengirim pesan pada kami bertiga—Aku, Nairi, dan Arin—bahwa ia mengandung. Anak itu muncul begitu saja tanpa ia duga. Ia memang tak menggunakan kondom, namun ia percaya bahwa hitung-hitungan masa tak suburnya selalu benar. Sekarang mungkin ia salah hitung dan menjadi fatal. Fatal tak hanya karena ia mengandung. Fatal karena ia mengandung anak Bendhoro. Fatal pula karena Bendhoro bukan sekadar laki-laki, ia binatang jantan. Beberapa waktu lalu aku dan Nairi mendapat kabar bahwa Bendhoro menyerbu ke indekos Rastri. Mencekik Rastri atas perselingkuhannya dengan lelaki lain. Tapi bagi Rastri itu bukan perselingkuhan. Toh mereka telah memutuskan hubungan. Namun Bendhoro punya hukum yang berbeda. Ia punya logika yang berbeda. Baginya, Rastri tak pernah putus dengannya, Rastri hanya sedang bingung dan berkencan dengan laki-laki lain. Maka bingung itu bukan berarti hubungan mereka jadi sirna. Perkencanan itulah yang harus dihukum. Cekik-mencekik itu jadi hal yang wajar. Kini Rastri harus kembali dengan Dani. Dani memberinya dua pilihan yang mengikatnya habis-habisan. Entah apa ia anggap dirinya. Entah pejantan alfa atau ras arya. Dani telah membubuhkan benih pada rahim Rastri. Rastri kini mengandung. Hal itu yang ia jadikan kunci. Maka Rastri harus memilih dan Bendhoro menjadi brengsek: Kuadukan kehamilanmu itu pada keluargamu dan kuceritakan semua detail soal perselingkuhanmu, atau kau terus bersamaku selamanya dan kurahasiakan perihal bayi dalam perutmu itu. Manapun yang dipilih Rastri, ia akan tetap terkungkung dalam jeruji. “Dulu kita ngobrol soal kedaulatan tubuh perempuan, sekarang tubuh gue direnggut atas nama kuasa dan cinta,” ujar Rastri kemarin sore. Aku belum paham maksudnya saat itu, namun kini semua menjadi jelas. Jeruji itu lamat-lamat jadi nyata. Ah, aku jadi terpikir. Persoalan ini membuat pikiranku melompat-lompat dari urusan ini ke urusan itu, lalu urusan itu ke urusan ini. Aku jadi penasaran: entah bagaimana Bendhoro melihat luka. Buatku sakit tak hanya membekas di tengkuk (bagian itulah yang dicekik oleh Bendhoro). Jika Bendhoro melihat luka dengan cara demikian, maka ia telah menjelma menjadi pejantan yang subtil, meski ia mengaku alfa dan arya. Pilihan yang ia beri membuahkan luka bagimu. Bagaimana tidak, Rastri harus hidup dalam gelap selamanya. Pun tak hanya gelap. Ia terpasung. Maka ketika pesan Rastri berbunyi bahwa ia ingin tidur dan menangis di atas bantal, aku dan Nairi sekali lagi ditelan bingung. Sunyi menyergap berkepanjangan. 4 Januari 2016 Aku melumat habis sebatang rokok. Dani menenggak segelas ciu jeruk. Kami duduk berdua di kamar yang temaram. Biasanya, lampu kunyalakan seperti ini ketika lelakiku datang dan kami akan merayakan tubuh bersama. Namun sekarang aku duduk di bawah lampu temaram, duduk berdua sebagai sesama laki-laki (mungkin ia pikir aku yang laki-laki ini berbagi hukum dan logika yang sama dengannya) dan akan bicara soal tubuh orang lain. Tubuh temanku sendiri. “Gua minta maaf dulu nih San sama lu, sama Nai juga, karena udah bikin suasana jadi nggak enak.” Brengsek. Tentu kau harus minta maaf, dan yang terpenting, minta maaf pada Rastri. Bukan padaku atau pada Nairi. Toh ia yang kau cekik tadi sore. Tapi aku masih tak menjawab. Hanya menelan habis tubuhnya dengan tatapan. “Gua bingung soalnya. Dia bilang dia minta putus, gua belom iyain karena gua pikir dia lagi bingung aja. Tau-tau gua liat dia ada main sama si monyet.” Ah, si monyet. Lelaki alfa memang suka merendahkan yang lain. “Bukannya lu udah putus?” akhirnya aku bicara. Tentu masih main aman. Semua yang dapat dikorek harus dikorek. “Iya dia minta putus. Tapi nggak gua putusin. Ya gua masih sayang sama dia, San. Sayang banget. Tapi ya lu tau sendiri. Ngapain aja dia sama si monyet?” Aku menggunakan hak tolak. Aku tak menjawab. Kuasa ini tak ada padaku. Biarlah ini menjadi urusan mereka bertiga, pikirku. Biar Rastri dan “si monyet” menyelesaikan urusan ini dengan Dani. Namun kau tahu sendiri, Dani ini barbar. Lebih dari barbar, ia liar. Cekik-mencekik jadi hal yang banal ketika sang perempuan ia anggap binal. Namun itu pun bukan kekerasan. Bukan. (Setelahnya nanti Rastri bercerita bahwa Dani tak pernah minta maaf atas pencekikan itu). Bagi Dani itu penghukuman. Itu tindakan wajar. Toh perempuan itu miliknya. Belum aku bicara lagi, Dani telah terjatuh. Ciu itu memabukkannya. Ah, biarlah ia tiada bersama ciu itu. Namun ciu yang ia tenggak, bukan baygon atau arsenik. Maka ia akan bangkit kembali dan berulah lagi esok-esok hari. Jadilah, Ia menginap satu malam penuh. Bangun pada pagi hari dan berangkat kerja. 11 Januari 2016 Kami telah duduk berempat. Aku, Nairi, Arin, dan Rastri. Empat bungkus rokok bertebar di meja. Wajah-wajah dengan emosi berbeda. Aku bingung. Nairi bingung. Rastri kusut. Arin mencoba tetap bijak. Pertemuan serius seperti ini bukan yang pertama. Ketika orang tuaku tahu bahwa aku homoseksual dan aku dikecam habis-habisan, kami berkumpul. Ketika skizofrenia pacar Arin semakin kambuh dan hubungan mereka semakin membingungkan, kami berkumpul. Tapi aku tak pernah sebingung kali-kali lalu. Aku dan Nairi bertukar pandang sekejap. Kami berbagi rasa yang serupa. “Jadi, Dani tahu kalau lo hamil?”, Arin membuka obrolan. “Iya.” Rastri. Ia membenarkan posisi duduknya. “Tahu dari lo?” Nairi. “Iya, dari gue”, Rastri. Ah, Dani punya satu kunci untuk memanggil senja. Kunci ini sejatinya milikmu. Ia takkan tahu jika kau tak melemparnya ke mukanya. Ah, yang jelata tentu tak dapat tak sopan pada Bendhoro. Jadi, baiklah, kunci yang kau miliki ini takkan ia ketahui keberadaannya tanpa kau berikan padanya. Pengetahuan tentang kunci ini sejatinya hanya milikmu. Lalu kenapa kau bercerita…. “Itu kesalahan gue yang nggak gue pikirin dulu lebih jauh..” Mata itu berair. Ada sejentik yang mulai menitik. “Hubungan lo udah nggak sehat dari lama, Ras”, Arin memantik kreteknya, “Dani sempat nge-chat gue. Ngobrol panjang. Dia bilang kalo lo berdua nggak pernah putus, nggak peduli apa yang lo bilang.” “Nah itu kan. Kalau kayak gini, nggak akan pernah putus sampai dia bilang iya. Tapi kapan?” “Gue makin nggak paham sama logika Dani. Buat apa dia tetap pertahanin lo? Toh lo udah nggak ada rasa lagi sama dia.” Nairi mulai bicara. “Buat gue, Dani kayak sanggama sama mayat. Kayak laki yang sayang banget sama istrinya, istrinya mati dan mayatnya disimpan, terus selalu disetubuhi tiap malam. Tubuh tetap tubuh, namun ia dingin dan diam. Abadi.” “Bedanya ialah mayat tak lagi dapat mengungkap consent, Arin,” ujarku. Lembut. “Nah itu dia, Dani nggak mengenal consent. Kemarin dia sempat dateng ke kosan gue, maksa masuk dan ngajak ngobrol.” “Ke kosan? Kenapa lo nggak bilang kita?” panik itu tak dapat disembunyikan Nairi. Bagaimana tidak? Dua hari lalu Nairi yang mendapat pesan dari Rastri, “Ke kosan. Tolong. Gue dicekik Dani.” Maka Nairi dan aku berlari ke indekos Rastri. Sudah bagai kesetanan. “Handphone gue mati,” jawab Rastri. Ah, telepon genggamnya memang seringkali mati karena baterai yang mulai menggendut. Maka ia diceraikan dari dunia pada saat baterainya berulah, “Gue udah bilang nggak mau, tapi dia maksa. Gue ngajak ngobrol di tempat terbuka. Dia masih nggak mau. Jadilah gua dan dia ngobrol di kamar gue, tapi pintu nggak gue kunci.” Lalu? “Obrolan makin buntu. Gue udah coba sekuat yang gue bisa. Gue udah coba selicik yang gue bisa. Akhirnya dia sempat mau buka paksa celana gue. Gue udah bilang nggak mau tapi dia tetap maksa. Jadilah gua teriak nggak mau dan nendang dia. Dia mundur, tapi gue nggak tahu apa yang ada di pikiran dia.” Temanku akan diperkosa. Ini dia yang sering aku lihat di berita: sang perempuan akan diperkosa, namun publik tak percaya. Toh si perempuan mengizinkan ia masuk kamar, begitu mungkin kata orang-orang. Tapi ada hal yang tak kau pahami. Tubuhnya tumbuh dengan cerita yang berbeda dengan tubuhku dan tubuhmu. Apa yang tak kau rasa sendiri dengan tubuhmu tak dapat kau sergap dengan nalar begitu saja. Pengalaman yang berbeda membuahkan respons yang berbeda. Kau akan disergap takut ketika gelap tiba. Gelap membuatmu redup dan ciut di hadapan kuasa. Sang Bendhoro telah memiliki kunci untuk memanggil senja. Senja yang akan membawamu pada gelap yang abadi. Pernahkah kau bertemu dengan lelaki yang demikian? Obrolan berlanjut. Aku lebih banyak diam dan mencoba mengumpulkan semua gambar soal Dani yang dipapar Rastri. Ternyata aku salah soal kandungan Rastri. Ini bukan soal Rastri yang terlalu percaya pada hitung-hitungan masa tak suburnya. Ada hal yang baru Rastri ceritakan pada kami. Ini mengubah semua pandanganku soal hitung-hitungan matematis itu. Mereka berdua memang tak mau pakai kondom. Namun Dani tak pernah mau keluar di luar. Rastri menyuruh Dani keluar di luar, tapi Dani tak mau. Maka kehamilan itu beberapa kali terjadi. Dulu Dani mematikan janin itu. Diaborsi saja, katanya. Itu beberapa kali. Namun kini ia menyuruh Rastri bertanggung jawab. Tahi kucing, ketika kau akan kehilangan kuasa, janin itu bahkan kau renggut untuk kuasa barumu. Maka Rastri diberi dua pilihan. Sialan memang, Dani pikir dirinya siapa? Seenaknya memberi pilihan begitu saja. Tuhan? Ah, bahkan tuhan menyediakan lebih banyak pilihan. Termasuk untuk tidak yakin akan kehadirannya. Namun Dani bukan tuhan. Ia merasa dirinya pejantan alfa dari ras arya. Kau harus takluk dan beriman padanya. Maka pilihannya dua, kuadukan kau pada bapakmu atau terus bersamaku. Dua-duanya sama saja. Jika bapak Rastri tahu tentang anak mereka berdua, mereka akan dikawinkan. Jika mereka bersama selamanya, mereka kawin. Dua-duanya berujung kawin. Bedanya yang satu keluarganya jadi hancur, yang satu tidak. Namun keduanya menghancurkan Rastri. Tubuhnya direnggut oleh pilihan. “Ya ini semua kan pilihan Rastri. Rastri sudah memilih dan ini semua konsekuensinya. Dani juga punya pilihan sendiri.” Dani membela diri. Ujaran ini ditiru oleh Rastri dan kami bertiga menguarkan komentar yang sama: sakit. Lalu kami bicara soal kunci yang harus menjadi entas. Toh jika kunci itu telah raib, Dani tak lagi punya bukti untuk menjebak Rastri dalam jeruji. “Gue percaya lo pasti kuat dan bisa”, Arin. Lalu. Lalu kami bicara lagi soal Dani. Tentang kuasa yang ia rasa ia miliki. Betapa obrolan ini melompat dari yang satu ke yang lain. Ah, ini dia pertanyaanku untukmu. Mengapa Bendhoro dapat menjadi Bendhoro? Tidakkah ia menjadi Bendhoro karena rakyatnya tetap duduk tanpa kuasa? Kuasa jadi alat Bendhoro sebagaimana hukum menjadi alat negara. Tapi negara itu raksasa. Ia sebesar alamosaurus dan tak mungkin kau tumbangkan begitu saja. Bendhoro bukan raksasa. Ia bukan dinosaurus. Lantas mengapa ia tetap punya kuasa? Mengapa ia tetap dapat mempertahankan malam? Mungkin kau memang tinggal di belahan bumi yang berbeda sehingga gelap terus memasungmu. Mungkin ini semua bukan karena Bendhoro. Mungkin Bendhoro hanya manusia biasa tanpa kunci untuk memanggil gelap. Semesta mungkin membuatmu maujud pada kondisi yang ajaib. Mungkin kau berjumpa dengan gelap ketika kau ada di kutub bumi. Bayangkanlah, setengah tahun tanpa sinar matahari. Kau sepenuhnya menjadi abdi gelap. Atau jangan-jangan? Jangan-jangan, gelap bukan tiba karena kau bertemu senja. Jangan-jangan, kau bersembunyi di balik lemari dan mematikan lampu. Byar. Gelap seketika. Bendhoro pun dapat berjalan sesuka hati dalam rumah yang terkunci. Kuasanya terejawantah lagi. Toh tak ada orang yang melihat. Toh tuhan memilih untuk diam dan semesta tak menjawab apa yang kau minta. Namun siapa itu tuhan dan semesta? Bukankah dirimu? Lalu kau bicara hukum. Hukum alam? Yang terang, kau bilang, akan menjadi gelap pada waktunya. Dan yang gelap akan kembali terang saat pagi menyapa. Namun pagi sekalipun takkan bisa menembus tirai dan lemari. Gelapmu akan jadi abadi ketika kau hanya berkejaran dengan Bendhoro dalam rumah gelap. Jadi pertanyaannya sebuah: bagaimana kuasa dapat ada di tangan Bendhoro? “Gue setuju sama Ikhsan dan gue pernah ngobrolin ini berdua.” Nairi, “Lo harus berhenti buat dia merasa nyaman. Berhenti kontak dia, berhenti respons dia, berhenti buka pintu buat dia. Kalo lo khawatir soal kehamilan lo yang bakal dia laporin, lo bisa gugurin dan dia nggak punya bukti” “Dan lo ngomong dulu sama keluarga lo soal Dani. Biar dia nggak punya back-up,” Arin, “kan dia dekat tuh sama bapak lo.” Ya. Entaskanlah apa yang dapat menjadi entas. Dengan cara itu kau akan jadi sintas. “Iya. Gue lagi usahain biar dia gugur.” Lalu obrolan berputar kembali. Rastri berdiri dan memeluk Arin. Lalu memelukku. Lalu memeluk Nairi. Mata itu berair lagi. Rintik-rintik menitik. Malamnya Arin pulang, menjemput ibu. Aku, Rastri, dan Nairi kembali ke indekosku: persinggahan kami tiap malamnya. Lalu sampai. Nairi berganti baju dan berbaring di peraduan. Pulas seketika. Aku dan Rastri menyalakan rokok terakhir malam itu. Ada hal yang hanya kami obrolkan berdua. Bukan cerita atau narasi baru. Bukan pula detail yang sengaja dilewatkan. Hanya mengulang apa yang telah diceritakan. Sekejap kontemplasi. “Inget omongan gue soal kedaulatan tubuh?” “Ya.” “Tubuh gue direnggut atas nama kuasa dan cinta. Kedua pilihan ini sama-sama memasung.” Buatku yang hidup dengan tubuh yang berbeda, mungkin tak dapat kurasakan apa yang kau rasakan. Namun. Namun, buatku, apa yang disarankan Arin dan Nairi dapat membebaskanmu. “Iya, gue akan usaha, makasi..” Ujaran itu terputus. Pesan masuk ke telepon Rastri. Dari si brengsek. “Kamu dmn? Masih sama mereka bertiga?” Bahkan ia masih bertanya pada pukul 12 kurang. Hari akan berganti. Aku memandang Rastri. Ia memandang mataku balik. Pesan itu belum dibuka, hanya ia baca dari notifikasi yang melompat ke layar. Akankah kau balas? Ras, buatku, kau akan disergap takut ketika gelap tiba. Namun pagi selalu menguarkan rasa yang berbeda. Ia bermusuhan dengan gelap, keduanya bisa saja berkelindan pada waktu-waktu sublim. Waktu yang digunakan untuk lelembut berkeliling desa dan orang-orang berkopiah menangis di depan tuhan. Entah pukul dua, entah pukul tiga. Keduanya bisa saja berkelindan. Ada waktu-waktu yang tak dapat kau tentukan batasnya. Mana gelap dan mana pagi. Namun keduanya saling melumat satu sama lain. Gelap memasungmu. Namun pagi selalu menguarkan rasa yang berbeda. Matahari akan menerangi jalanmu dan buta menjadi sirna. Ketiadaan cahaya tak lagi menggerayangimu, toh ia telah hilang tersirap pagi. Akan tetapi, akankah pagi datang? Ini semua kembali padamu. Tapi tentu kau tak sendiri. Kami akan membantumu tetap berdiri dan berlari. Kami telah kenal dengan si bedebah ini. Ia merenggut ketubuhanmu. Ia merampas kebebasanmu. Ia memberikan pilihan yang keduanya memasungmu. Ia mencoba memerkosamu. Cekik-mencekik yang bagimu kekerasan yang binal, baginya penghukuman yang banal. Usaha membuka celanamu yang kau yakini sebagai percobaan pemerkosaan, ia anggap sebagai upaya untuk mencapai apa yang jadi miliknya. Ia tak mengenal consent. Ia melanggar privasimu. Ia jelata subtil yang berpikiran sumir, namun baginya ia pejantan alfa dari ras arya. Lantas mengapa kau harus bertahan? Toh kunci itu akan segera entas. “Nggak gue bales ya”, ujar Rastri. Mantap. Tak ada ragu melintas. Aku mengangguk. Akhirnya. Selesaikah masalah? Itu pun yang aku tak tahu. Kita semua mungkin telah terjebak pada labirin tak berujung ini. Buntu bagi kita semua. Mungkin gelap itu memang akan meninggalkanmu dalam jeruji. Mengungkungmu dalam pasungan yang bahkan tak dapat kau buka oleh ciptamu. Atau. Atau mungkin Bendhoro memang seorang yang sakit. Ia akan berkali-kali muncul lagi dan berkali-kali harus kita tepis lagi. Mungkin ia memang akan terus mengejarmu dan menjadikanmu liyan dari dirimu sendiri. Mungkin ia takkan paham bahwa tubuhmu menguarkan cerita tentang yang tak kau ingini. Atau. Atau kau berhasil keluar dari labirin ini. Ujungnya tak pernah terlihat karena gelap dulu senantiasa menyergap. Namun kau telah memanggil fajarmu sendiri. Maka. Maka larilah. Selamatkanlah. Di ujung jalan itu, kutunggu undangan darimu: pemakaman kuasa Bendhoro di bawah pagi yang abadi. Atau. Cerita pendek ini saya tulis untuk seorang teman yang namanya saya sulap menjadi Rastri. Saat saya menulis ini, Rastri sedang berusaha mengentaskan kunci “Bendhoro” dalam tubuhnya dan bicara pada keluarganya soal segala perlakuan “Bendhoro” padanya agar ia dapat berdaulat kembali atas tubuhnya. “Bendhoro” masih menjadi brengsek dan mencoba segala cara agar Rastri dapat menjadi miliknya kembali. Semoga Semesta memberkati segala hal yang adil; bagi saya, pembebasan Rastri pada pagi yang abadi ialah hal yang niscaya. Comments are closed.
|
AuthorKumpulan Cerpen Archives
October 2024
Categories |