Oka Rusmini Mungkin tanah Bali tak punya peta leluhur di matamu atau hidup tak pernah mengajari keindahan. Daun-daun yang sering dipetik para leluhur di pinggir kali Badung tak pernah mendongengkan silsilah padamu. Aku ingat ketika kanak-kanak air kali itu bercerita banyak padaku dan leluhur duduk dekat kali menjulurkan kaki, kain mereka dibiarkan basah air kali memandikannya dengan riang aku sering berlari dengan sepeda roda tiga mengitari kali. Pohon kelapa mengajari dongeng sebuah Pura katanya, aku harus tahu silsilah tanah. Beratus tumbal telah diciptakan para pemilik tanah. Baliku harum darah para penari telah jadi api membakar kesuburan bunga-bunga tanahku. Anak-anak tetap bermain dekat tepi kali , seorang perempuan menunggu cucunya.Ikan-ikan kecil, bau tanah basah memberi kemudaan bagi napasnya. Pahamkah kau arti jadi tanah? Pertanyaan ini mungkin tak pernah kaukenal langit yang melindungimu dari busur matahari membuatmu lupa pada darah leluhur yang sering menyiram bentukmu .Suara delman yang membangunkan perempuan-perempuan pasar terbungkus jadi dongeng jauh di seberang, langit mulai kaumusuhi. Tak ada karang dan buih bisa dipahat jadi peradaban.
Pribumi tololkah yang menempati sepetak tanah? Keterasingan membungkus setiap bumi yang dipijak. Kita mungkin masih punya Pura yang kaulirik juga jadi tempat permainan. Ke mana para leluhur penari Sang Hyang mementaskan keakuannya? Tak ada upacara memikat leluhur pulang. Air di tepi kali Badung tak ingin disentuh . Perempuan tua yang sering mengantar cucunya kehilangan kali. Berapa silsilah tanah kaupahami? Siapa yang kaupercaya menanggung kesalahan ini? Kalau kau punya pohon atau tanah yang tak memilki keharuman bunga padi pada siapa kau akan bercerita tentang kebesaranmu? Orang-orang tanpa mata, hati, dan kepala hanya berani meminang keindahan tanahmu . Kau menari di atas tubuhnya. Katakan padaku, tarian apa yang kaupahami? Selagi para perempuan menitipkan doa lewat bunga-bunga Pura-Pura menggigil. Muntahannya membasahi patung-patung. Tangan-tangan asing ikut memberi pahatan. Pura-Puraku. Telah bercerita pada hujan yang tak akan melahirkan benihnya . Beratus tarian yang hanya dipahami para dewa luntur, patahannya membunuh bunga-bunga padi. Upacara tak lagi memiliki suara sendiri. Para perempuan yang sering dibangunkan suara delman tak lagi tahu keindahan tubuh padi. Asap membungkus setiap tanah yang kupijak kulihat darah mengalir deras kulihat luka batu karang di lautan. Kulihat langit pecah , bahkan tak bisa kubedakan warnanya. Orang-orang dari pesisir menyeberang. Menanam beratus bangkai baru pribumikah yang menangis di sudut-sudut kota, tak lagi bisa merangkai upacara dengan bau tanah miliknya. Bahkan untuk mencium tanah para pemilik peta, pemilik kali Badung, pemilik laut bahkan para dewa harus membayar bau tanah miliknya. Mana tanahku yang sempat mengotori kaki kecilku. Mana upacara kelahiranku lengkap dengan beragam bunga dan daun hutan yang membasuhku jadi pemilik tanah ini. Mana para leluhur yang sering mendongengkan silsilah kebesaran manusia. Mana para penari yang khusyuk meminjam malam mempelajari taksu dewa tari . Sejarah tak lagi memiliki kebesaran karena tanah tak lagi kaukenali . Selagi daun-daun mempersiapkan kematian , berapa petak tanah kausisakan untuk penguburan ini? (Tanah Bali, 1994) *** PEREMPUAN, bisa apa? Perempuan meninggalkan jejak apa? Perempuan bisa memberi hibah apa? Perempuan otaknya berisi apa? Perempuan tubuhnya untuk apa? Apakah perempuan bisa mengubah semesta? Apakah perempuan memiliki suara sendiri? Siapa yang diwakili perempuan? Suara perempuan milik siapa? Kerja perempuan untuk siapa? Tubuh perempuan untuk siapa? Jika perempuan terluka, siapa yang menolongnya? Jika perempuan menginginkan sesuatu siapa yang akan memberikan hadiah untuknya? Mengapa perempuan tidak boleh membenci jika tidak menyukai? Mengapa perempuan tidak boleh bingung? Mengapa tidak boleh juga gugup? Mengapa perempuan tidak boleh marah? Tidak boleh juga mengamuk? Mengapa perempuan tidak boleh memiliki rasa sedih? Mengapa perempuan harus menata kata-kata, menata perasaannya, menata emosinya, menata seluruh miliknya dengan kemauan orang-orang disekitarnya. Mengapa perempuan harus sempurna? Harus cantik? Kenapa sesama perempuan sering melempar lembing kebencian? Kenapa perempuan tidak bisa saling menguatkan? Saling mendukung? *** Pertanyaan-pertanyaan itu seperti gasing yang melukai tanah. Tidak memiliki jawaban yang diinginkan Ni Luh Putu Pudak. Sebagai perempuan yang enggan berbicara dan hanya senang mendengarkan Pudak merasa hidupnya lebih terjaga. Matanya yang bulat akan menatap mata orang-orang yang berbicara seolah menghidu. Perempuan cantik berkulit coklat dengan rambut panjang itu selalu mengeryitkan dahinya melihat orang-orang yang banyak bicara. Sejak kecil tidak pernah dia melihat perempuan yang berbicara. Di dalam rapat-rapat di balai Desa. Apakah manusia di bumi ini tahu kehadiran perempuan? Perempuan itu ada, bisa disentuh, bisa ikut berpikir Juga bisa diajak bicara. Dan hidup! “Jika perempuan ikut bicara, persoalan akan bertambah rumit. Bukannya menyelesaikan masalah, mereka justru menimbulkan masalah baru,” itu kata-kata yang diingat Pudak dari para lelaki sepuh, petinggi, juga tetua adat dan agama, yang konon petunjuk dari mereka membawa, menabur marwah dan benih taksu kehidupan di bumi ini menjadi lebih baik. Apakah perempuan tidak bisa membuat kehidupan ini jadi lebih baik? *** “Jadi perempuan itu kau harus belajar banyak hal. Agar hidupmu tenang. Hidupmu lebih bahagia. Hidupmu harus lebih hidup. Jika kau mengikuti aturan dan petunjuk-petunjuk yang diberikan para orang tua untuk kita.” Begitu kata-kata yang selalu diucapkan ibunya di telinganya. Kata-kata yang selalu membuatnya membara dihujani beragam bentuk amarah. Hanya satu kalimat yang selalu diingatnya, hidupmu harus lebih hidup. Kata-kata itu yang dilipat dan dimasukkan dalam peti pikirannya, demi menghormati perempuan yang telah merawat hidupnya dan memuntahkannya dari tubuhnya. Sejak ibunya , Ni Ketut Melati ditemukan mati gantung diri di antara sela-sela dua pohon kelapa miliknya. Pudak sudah memiliki perhitungan sendiri untuk melanjutkan hidupnya. Perempuan yang merawat dan membuatnya tumbuh jadi perempuan telah direnggut dari hidupnya. Perempuan yang tidak boleh bertanya kepada orang-orang di desa, ke mana lelakinya dibawa? Masihkah suaminya itu hidup? Atau sudah mati? Atau lelaki bertubuh kekar dan kuat sebagai buruh pemetik buah kelapa dan janur itu kawin lagi dengan perempuan lain di seberang desa yang lebih cantik. Lebih muda. Atau lelaki itu telah jadi tumbal sebuah industri yang dibangun dekat sungai, sehingga sungai tidak lagi memiliki kekuasaan, tubuhnya lunglai, dan pucat. Disiram limbah garmen. Lelaki itu sering protes karena industri yang dibangun membuat air minum dan sumur tercemar. Tetapi protes itu justru mendatangkan petaka bagi keluarga Pudak. Pudak tak pernah tahu ke mana Bapaknya pergi. Kematian mereka berdua tertutup rapat. Pudak juga tidak pernah tahu, apakah ibunya bunuh diri atau dibunuh? Atau mungkin diperkosa di tengah hutan adat di desanya? Entahlah. Tak ada cerita atau pun rumor yang di dengar Pudak. Semua raib, tanpa jejak. Pudak menarik nafas, langit berwarna kelabu. Tidak hitam, tidak juga putih. Warna yang sangat disukai Pudak. Pudak tidak suka warna hitam, karena orang-orang selalu menilai warna itu jahat dan muram. Pudak juga tidak suka warna putih, karena dianggap warna kebaikan. Suci. Bagaimana kalau ditukar, hitam identik dengan kebaikan. Putih identik dengan kejahatan. Perempuan itu tersenyum getir, sambil menggigit bibirnya. Matanya yang coklat terlihat makin gelap. Kematian ibunya bagi Pudak sebuah teka-teki yang terus hidup dan berbiak liar di sulur otaknya. Perempuan keras kepala itu, tidak mungkin mati sia-sia seperti itu. Lelaki yang dipanggil Bapak yang tidak pernah dikenal, juga tidak pernah dilihat sosoknya membuat cara Pudak memandang hidup berbeda dengan perempuan-perempuan seumurannya. Baginya sudah saatnya dia memiliki perhitungan sendiri untuk menyelamatkan hidup dan hal-hal yang dia yakini termasuk merawat, menjaga tanah leluhurnya. Terngiang kata-kata ibunya suatu senja yang dipenuhi gerimis. “Pudak, apakah kau mulai menjelma jadi perempuan bisu? Kenapa kau tidak pernah bicara?” “Untuk apa, Meme. Apa ada yang mau mendengar kata-kataku? Aku lebih senang mendengarkan. Sekarang ini terlalu banyak orang bicara, terlalu banyak orang sok tahu. Mahir pidato? Apa kata-kata itu berguna untuk kita? Apakah kata-kata yang mereka keluarkan dari mulut mereka ,mereka pahami? Mereka hanya bisa bicara , Meme. Mereka tidak paham kata-kata mereka sendiri. Karena semua pidato itu dibuat oleh orang lain, staf ahli yang mereka gaji. Meme pasti tahu, tak sepotong pun kata-kata orang-orang itu mampir dan menyentuh telinga.” Pudak berkata sinis. Ibunya terdiam. Ada rasa takut melabur matanya. Semoga anaknya tumbuh baik-baik saja tak ada yang bisa menyentuh dan melukainya. “Kau harus punya teman bicara. Kau harus punya pendukung untuk ide-idemu.” Ibunya protes, karena Pudak selalu membisu dan hanya menatap lawan bicaranya. Tanpa reaksi. Dingin. Dan cenderung menghina dan meremehkan. Ibunya berusaha menenangkan dan berkata sangat lirih. “Aku memiliki banyak teman bicara.” “Siapa?” Ibunya mengangkat wajahnya berusaha memahami beragam ide-ide ganjil yang muncul dari anak perempuannya. “Beragam pohon, air sungai, batu kali, pancuran di pematang sawah. Juga bunga padi dan beragam pohon-pohon di hutan desa.” Pudak berkata serius sambil menatap mata ibunya dalam-dalam. “Kau bicara dengan pohon-pohon itu? Juga padi?” Perempuan setengah baya itu mengeryitkan dahinya, makin tidak paham. Jantungnya berdetak keras. Nafasnya terasa agak sesak. “Ya. Meme percaya?” Pudak menatap mata Ibunya dalam, berusaha menyakinkan ibunya, bahwa dia bisa mendengar suara beragam tumbuhan. Juga keluhan sungai dan mata air. Perempuan yang memiliki mata lelah itu terdiam. Menatap mata anaknya dengan tatapan yang sulit ditebak. Ada kabut, ada bintik cahaya, ada hawa getir dan pahit tenggelam dalam palung jiwanya. Apakah anak perempuannya ini baik-baik saja? Pudak sesungguhnya menangkap keanehan dan beribu-ribu pertanyaan di mata ibunya. Tetapi Pudak paham betul ibunya bukan perempuan nyinyir, perempuan itu hanya bisa terdiam, menatap mata anak perempuan semata wayangnya yang telah tumbuh dewasa itu dengan perasaan dan pikiran yang tidak bisa ditebak. Sebagai sesama perempuan Pudak tahu ibunya ingin bertanya lebih banyak padanya. Kadang Pudak berpikir kenapa ibunya selalu membiarkan ide-idenya mengalir liar dan tidak bisa di stop. Ibunya tidak pernah membantah, tidak juga berusaha meluruskan pikiran-pikiran yang dimiliki, tetapi sebagai sesama perempuan dari mata Ibu, Pudak paham perempuan itu merasa was-was, atau mungkin sangat takut dengan jalan masa depan yang akan dibentangkan semesta di depan hidup anaknya. “Apakah Meme selama ini membuatmu susah?” “Ada apa, Meme. Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?” “Meme takut.” “Takut pada apa?” “Setan? Atau Orang-orang kota yang sering membuat masalah sehingga air yang mengaliri sawah kita sering terhambat? Air sumur berbau. Mata air sulit diakses? Apa yang Meme takutkan? Aku bisa menjaga Meme, aku bisa berkelahi. Aku memiliki sabuk hitam, jika lomba sejak kanak aku tidak pernah kalah. Meme ingat itu kan? Aku bisa melakukan apa saja untuk Meme. Meme harus percaya padaku. Apakah karena aku perempuan Meme juga tidak percaya dengan kata-kataku, kekuatanku? Apakah hanya lelaki yang bisa menjamin masa depan hidup kita? Hidup perempuan? Sejak aku dilahirkan, aku tidak pernah melihat lelaki di rumah ini. Meme yang merawatku, menyekolahkan aku, sampai selesai sekolahku. Meme membiarkan aku kuliah dan hidup di Denpasar agar aku bisa hidup lebih baik dari hidup Meme. Sebagai sesama perempuan, Meme harus yakin dengan kekuatan perempuan. Apalagi Meme seorang Ibu.” Pudak berkata sedikit lirih. Seolah kata-kata itu juga hibah untuk menyakinkan dirinya sendiri kekuatan perempuan itu tidak sederhana. Selama ini Pudak merasa persoalan paling berat untuk membangun kehidupan yang lebih baik, lebih ramah, lebih menguntungkan bagi perempuan untuk membuat perempuan percaya dengan sesama perempuan. Perempuan saling mendukung tanpa curiga niat baik perempuan untuk kebaikan perempuan. Kadang memang sulit berkomunikasi dengan sesama perempuan. Andaikata perempuan bisa bicara lebih cair dan tanpa rasa curiga tentu sangat membantu kemajuan perempuan juga. Jika perempuan bersatu, dan saling memahami dengan tulus, tentu masa depan kehidupan ini lebih baik. Pudak menarik nafas. Teringat kata-kata seniornya di rumah sakit. “Perempuan kok tidak malu pacaran dengan suami orang. Perempuan kok mau dipelihara seperti binatang di apartemen-apartemen…” Dan banyak lagi kata-kata yang menyakitkan bagi Pudak sendiri. Pudak menatap kembali mata ibunya berusaha memberi kekuatan pada perempuan yang masih terlihat cantik itu. “Kau tahu, sawah kita kadang tidak mendapatkan air?” Pudak tercekat. Sejak dia menyelesaikan kuliah kedokteran di Denpasar, Pudak memang fokus belajar dengan keras agar kuliahnya bisa gratis. Sesekali dia mengambil beberapa pekerjaan sebagai tukang catat pasien di tempat praktek dokter-dokter senior. Akhirnya seorang dokter spesialis anak mengangkatnya sebagai pegawai tetap dengan waktu kerja fleksibel juga menyediakan sebuah rumah kecil lengkap dengan fasilitas yang membuat Pudak tidak perlu menyisihkan uang untuk bayar tempat kost. Pudak juga bisa lebih fokus belajar. Dan melanjutkan pendidikan spesialis anak dengan beasiswa, bahkan ditawarkan untu mengajar di almamaternya. Cita-citanya sesungguhnya sangat sederhana, Pudak ingin merawat desanya , lingkungannya, tanah desanya, Pura Subak, sungai, air …. Juga merawat anak-anak di desanya melalui pelayanan kesehatan Puskesmas. *** “Bali itu memang unik. Suka atau tidak, itulah yang sudah diakui dunia. Orang-orang di luar justru banyak yang tidak tahu Indonesia. Tapi, mereka semua kenal dan banyak tahu tentang Bali. Sebagai orang Bali kita harus bangga. Kita ini sudah jadi masyarakat dunia,” suatu hari kata-kata itu diucapkan di Balai Banjar di desa Pudak oleh seorang calon anggota DPRD yang ingin meraup suara dari para petani di desanya . Mulutnya seperti mulut ikan menyemburkan kata-kata seperti tsunami. Awalnya Pudak enggan datang ke acara-acara seperti ini, kalau saja ibunya tidak memaksanya datang dan berkata ; biasanya yang pidato itu akan memberimu uang, beras, gula pasir, kopi, minyak goreng, dan banyak lagi. Lumayan untuk kebutuhan harian kita, Pudak. Apa susahnya cuma duduk diam. Sambil mendengarkan kau akan dapat nasi kotak dengan menu mewah khas orang kota. Kau pasti suka. Kau juga akan dapat kue kotak. Isinya beragam kue dan minuman kotak. Datanglah, aku sedang tidak enak badan. Biasanya semasa musim kampanye seperti ini, Ibu tidak pernah membeli kebutuhan pokok. Ibu juga tidak pergi ke kebun atau ke sawah. Ibu cukup datang dan duduk manis di Balai Banjar. Harusnya sering-sering mereka datang, sejahtera rakyat kalau seperti ini, gumam Ibu. Kaki Pudak agak kesemutan. Kali ini pidato dari kontestan yang lain. Kontestan sejenis yang baru ingat rakyat desa jika mengunduh suara. “Semua aspek kehidupan masyarakat Hindu Bali itu sangat mulia karena berkaitan erat dengan agama, adat istiadat, seni dan budayanya. Anda semua pasti tahu itu. Semua hal itulah yang menjadi satu kesatuan yang harmonis yang menciptakan suatu keindahan, baik itu alamnya yang asri karena ditanami banyak pohon bunga dan buah, maupun seni tari, lukisan, pahatan, yang mengandung banyak simbol.Demikian juga dalam pertanian, hubungannya dengan Agama Hindu, sangatlah kental. Agama di Bali itu agama bumi. Andalah yang merawatnya di desa. Melalui Bali kita menghidupkan Indonesia.” Pudak menarik nafas, kali ini karena dia duduk paling depan dia bisa melihat lelaki bertubuh tambun itu bicara, betapa pentingnya orang-orang desa bagi pembangunan di Bali. Apakah lelaki klimis itu tahu cara mencangkul? Merawat padi? Merawat pohon? Merawat tanah? Merawat orang desa? Apakah mereka pernah susah-susah menanam satu pohon saja? “Konsep Tri Hita Karana adalah hal yang kita yakini di dalam agama Hindu Bali, yang berarti tiga penyebab terciptanya kebahagiaan. Palemahan, menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam. Menjaga hubungan yang harmonis antara sesama manusia , di sebut Pawongan. Menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhannya, termasuk para dewa yang merupakan sinar suci-NYA, Parhyangan .Semua itu tertuang dalam sistem pengairan areal pertanian, yang dikenal dengan nama Subak. Areal persawahan di mana sistem pengairan itu dibentuk, merupakan simbol dari Palemahan, kemudian para anggota subak (para petani ) merupakan simbol Pawongan. Parhyangan diwakili oleh beberapa pura (tempat suci) yang ada kaitannya dengan pertanian, seperti Pura Subak, Pura Ulun Suwi, termasuk Pura Ulun Danu, dan sebagainya,” kata-kata lelaki tambun berbau wangi dengan jas yang terlihat mahal, sepatu kulit, mobil mewah yang di cat lumpur karena jalan desa belum juga di sentuh aspal. Pudak tersenyum melihat sibuknya para pengawal lelaki tambun itu menuntunnya dan bisa berdiri di aula balai Banjar dengan susah payah. Suara lelaki tambun itu kembali terdengar setelah seseorang memberi minuman kemasan. Nafasnya tersenggal, kelihatan kurang gerak. Pudak tertawa sinis. Sambil mengintip isi tas yang dibagikan lelaki tambun itu, ada amplop. Berarti sebentar lagi dapat duit. Pudak mengangkat wajahnya kembali menatap ke depan. Seolah-olah mendengarkan dengan serius. “Sebagai orang Bali kita akan melihat ada beberapa pura di tengah areal persawahan yang dimiliki oleh setiap kelompok Subak.Juga ada tugu- tugu kecil yang disebut Pelinggih, di setiap petak sawah sesuai dengan kepemilikan petak-petak sawah tersebut. Tempat kita bersyukur atas berkah hidup dari bumi. Sebagai orang Bali kita ini masyarakat paling ramah, masyarakat yang membuat para tamu yang datang betah berlama-lama,” lanjutnya sambil mengusap keringat yang mengucur deras. Lelaki itu membuka jasnya. Seorang lelaki menyodorkan dua lembar kertas untuk dibaca sang calon legislatif. Pudak menggoyangkan kaki kecilnya. Perutnya kenyang, mewakili Ibu yang tidak bisa datang. *** Pelinggih-pelinggih itu ada yang dibuat secara permanen dengan semen, ada pula yang sederhana terbuat dari bambu ataupun batang pohon Dadap.Semua kegiatan keagamaan yang berhubungan dengan pertanian di suatu area, akan diselenggarakan di Pura Subak masing- masing. Sedangkan Pelinggih adalah tempat menghaturkan sesajen bagi pemilik masing-masing sawah. Biasanya, dilakukan pada saat mulai menanam, saat padi mulai keluar bulirnya, dan menjelang panen. Betapa indahnya masa-masa kejayaan itu, ketika tanah dan hutan masih jadi milik seluruh warga banjar, seluruh warga desa. Pada masa itu ritual selalu diadakan untuk memuja Dewi Danu, Dewi Sri, Dewi Uma, dan Dewa Wisnu. Pudak selalu girang menyambut musim tanam, atau musim panen. Biasanya di sawah selalu ada suatu bangunan, berupa suatu tempat yang sangat sederhana, mirip dengan Bale Bengong, tetapi sangat kecil, yang disebut dengan Bale Timbang ini merupakan tempat bagi kelompok petani untuk bertemu dan membicarakan beberapa hal terkait dengan sawah-sawah mereka. Para perempuan menyediakan makanan, minuman nikmatnya menyantap masakan sederhana setelah usai merawat dan memikirkan masa depan sawah. Kami akan membuat rencana kerja , kapan akan membersihkan rumput-rumput serta tanaman liar sehabis panen, kapan mulai menanam, bagaimana pembagian air, dan lain sebagainya. Semua riuh, semua tertawa. Guyup. Anak-anak menikmati permainan menggoyangkan lelakut sambil tertawa girang dan berteriak. Di Bali, orang-orangan sawah atau hantu sawah atau memedi sawah disebut lelakut. Fungsi utama lelakut adalah untuk menakut-nakuti burung-burung pipit yang suka memakan biji padi. Kadang-kadang para orang tua juga sering menggoda anak-anak mereka, jika tidak rajin bersembahyang dan menghaturkan sesaji di Pura Subak lelaku-lelakut itu akan hidup di tengah malam. Makanya anak-anak di desa Pudak rajin merawat pura di sekitar sawah, sekaligus bermain sambil bekerja mengusir burung yang mencuri bulir padi. *** Tidak dapat dipungkiri, di zaman yang terus berubah dan berkembang. Jumlah manusia pun semakin banyak, membuat banyak lahan pertanian termasuk persawahan beralih fungsi, menjadi perumahan dan bangunan lainnya. Banyak pemilik lahan menjual tanah, sawah mereka dengan alasan sudah tidak produktif lagi, atau beralih profesi. Atau merasa bahwa hasil dari bertani tidak bisa memakmurkan mereka dan keluarganya. Efeknya, area Subak terjadi perubahan secara sadis, semua sawah berubah jadi bangunan, tebing-tebing berubah jadi vila yang tidak bisa diakses penduduk lokal. Pantai dan sungai ditutup. Lalu, bagaimana keberadaan dan nasib para leluhur, Pura Subak,Tugu , Bale Timbang? Lelakut? Apakah lelakut hanya berani menakuti anak-anak di desanya? Pudak terdiam. Terbayang masa kecilnya, ketika selesai mengantar Ibu menanam padi, warga desa akan melintasi hutan-hutan dengan riang, saling menggoda dan berkelakar, setiap melintasi hutan-hutan mereka bisa membawa pulang beragam sayur, umbi, kelapa, buah pisang. Semua segar dan nikmat. Tidak tersentuh pestisida. Hidup terasa begitu menggairahkan seperti kata lagu-lagu, konon, kayu kering pun akan menjelma pohon rindang. *** Pudak ingat cerita ibunya, kenapa orang Bali begitu getol merayakan upacara yang diberi nama , tumpek bubuh — “Nini Nini, buin selae dina galungan. Mabuah apang nged… nged… nged.” Begitu ucapan Ibu sembari mengetokkan golok di tangan kanan pada pohon buah yang berbunga. Dia memberi sedikit luka pada batang itu. Hal sama Ibu lakukan juga pada pohon cempaka, belimbing, srikaya, kenanga, dan sejumlah tanaman lain di pekarangan setiap perayaan tumpek wariga. Artinya , nenek nenek, 25 hari lagi Galungan. Berbuahlah agar lebat… lebat… lebat…, begitu arti lagu yang dinyanyikan ibu dalam bahasa Bali. Hari itu ungkapan syukur kepada Tuhan atas kesuburan tanaman hingga tumbuh baik dan menghasilkan buah atau bunga lebat.Tumpek wariga, juga disebut tumpek bubuh, tumpek uduh, tumpek pengatag, dirayakan umat Hindu setiap 210 hari sekali, atau 25 hari sebelum Hari Raya Galungan.Sebagai ucap syukur, umat Hindu mempersembahkan sesaji buah dan bunga, serta bubur sumsum (terbuat dari tepung beras, ditaburi kelapa dan gula merah cair). Tumpek wariga merupakan upacara berkaitan dengan lingkungan, terutama melestarikan pohon. Doa supaya pohon berbuat lebat, berbunga, punya kualitas bagus. Kalau bisa berbuah dan berbunga lebat, bisa untuk upacara hari raya Galungan. Bahkan Ibunya pernah bercerita sebuah cerita yang indah, betapa perempuan sesungguhnya punya peran besar untuk merawat lingkungan; hutan,sungai dan laut. Begini kisah dari ibu, yang tidak akan pernah dilupakan Pudak. Kau juga harus tahu. *** Dikisahkan Bhatara Siwa yang sedang sakit memerintahkan istrinya Dewi Uma untuk turun kebumi, mencari obat untuk mengobati sakit Bhatara Siwa, Dewi Uma kemudian menanyakan obat yang bisa menyembuhkan penyakit Bhatara Siwa. Bhatara Siwa menyuruh Dewi Uma mencari sebuah kayu yang bernama kayu mendep (kayu diam) dan tumbuh-tumbuhan yang ada di muka bumi. Dan tumbuhan atau pohon-pohon itu di minta untuk menjelaskan kegunaan dan penyakit apa yang mampu disembuhkan oleh tumbuh-tumbuhan tersebut, setelah mendengar titah Bhatara Siwa berangkatlah Dewi Uma turun ke dunia untuk menanyakan satu persatu pepohonan apa yang bisa menyembuhkan penyakit. Setelah sampai di muka bumi Dewi Uma segera menuju hutan dan pegunungan untuk bertanya kepada seluruh pohon dan tumbuhan yang ada di hutan. Seluruh tumbuh-tumbuhan memberikan penjelasan kegunaan dan fungsinya sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit tertentu, entah beberapa tumbuhan dan pepohonan yang ditanyakan oleh Dewi Uma, hingga akhirnya beliau sampai ditengah kuburan menemukan sebuah pohon besar yang tak lain adalah pohon kepuh, didalam pohon kepuh tersebut dihuni oleh bhuta yang sangat sakti mandra guna, bhuta tersebut bemama Bhuta Banaspati Raja. Banaspati Raja berwajah sangat menyeramkan menyerupai harimau tetapi juga mirip barong ket (barong rentet versi Bali) Banaspati Raja ini sedang istirahat tidur pulas didalam pohon kepuh tersebut dan kebetulan hari itu pas sedang sandikala kala tepet (pertemuan antara sore dan malam hari) saat itulah Dewi Uma menanyakan pohon kepuh tersebut tentang kegunaanya, tetapi setelah sekian kali bertanya pohon tersebut terdiam, Dewi Uma menduga bahwa ini adalah kayu mendep yang dicarinya, karena ketika ditanyakan berulang-ulang pohon tersebut diam (mendep). Tetapi penghuni pohon tersebut yang bernama Banaspati Raja merasa terganggu dan menyerang Dewi Uma. Dewi Uma kemudian menjelma menjadi Durga untuk mengimbangi kesaktian Banaspati Raja, karena Banaspati Raja perwujudannya adalah badan kasar sedangkan Durga perwujudannya adalah roh, akhirnya Banaspati Raja dapat dikalahkan, tetapi pasukan Banaspati Raja keluar dan menyerang Durga, kemudian Durga merangsuki badan dari pada pasukan Banaspati Raja, pasukan Banas Pati Raja akhirnya menusuk dirinya sendiri Karena Durga ada didalam tubuhnya (dalam versi Bali disebut ngunying). Saat itulah Betara Siwa turun dan melerai perkelahian antara Durga dengan Banaspati Raja dan sabda Betara Siwa bahwa Beliau sudah sembuh karena Betari Uma berhasil menemukan kayu mendep (kayu diam) yang tak lain adalah taru kepuh (tapal jaran) yang dihuni oleh Banaspati Raja. Begitu cerita Ibu tentang perempuan yang bisa berbicara dan bercerita dengan pohon di hutan. Pohon yang memberi petunjuk dan mau mengaku dirinya bisa menjadi obat untuk menyembuhkan penyakit yang diderita manusia. Yang tidak dimengerti Pudak, kenapa Ibu sering meragukan kalau Pudak bisa mendengar suara pohon? Seperti Dewi Uma. *** Pudak menarik nafas dalam-dalam, dulu anak-anak di desanya hidup makmur. Sehat tidak mengalami stunting — gagal tumbuh akibat akumulasi ketidakcukupan zat gizi yang berlangsung lama dari kehamilan sampai usia 24 bulan. Tidak juga mengalami gizi buruk. Karena hutan adat, hutan desa menjadi milik seluruh warga. Air sungai, air laut menjadi tempat bercengkrama. Juga lebih baik kuliasnya dibanding air kemasan saat ini. Tak ada yang kelaparan, seluruh bahan makanan yang tumbuh di hutan menjadi milik seluruh warga desa. Sebagai dokter muda, dan bertugas di Puskesmas desa Pudak merasa getir. Saat ini dia memang sedang sibuk ambil spesialis anak, karena kondisi anak-anak di desanya yang dulu makmur sudah menunjukkan tanda-tanda tidak baik. Memilih menjadi dokter spesialis anak adalah pilihan yang masuk akal untuk mengurus kesehatan anak-anak di desanya kelak. Padahal baru enam tahun lebih dia meninggalkan desanya, setelah mengalami banyak hal-hal berat di dalam hidupnya yang sebatang kara. Masa lalunya yang kelam. Begitu kembali ke desa Pudak terkejut. Masyarakat desanya itu 99 persen petani, kalau tanah hilang, mau kerja apa? Tanah itu adalah penopang kehidupan sekarang dan untuk anak cucu nanti. Pudak merasa harus ikut berjuang karena kaum perempuan adalah yang paling terdampak jika perubahan lingkungan terus terjadi. Pembangunan yang sembarangan demi wisata dan apa pun menyebabkan tata ruang kehidupan hancur dan sumber air bersih hilang. Tanah , hutan , yang menjadi milik desa adat di bukit yang dulu ditanami pohon aren, kelapa, akan hilang sehingga Pudak paham warga desanya tidak bisa lagi membuat gula merah sebagai sumber pendapatan setiap hari. Juga tidak bisa mencari pakis segar untuk sayur, juga jamur, juga buah-buahan, juga beberapa anggrek liar yang bisa dijual ke kota dengan harga tinggi. Apakah melawan pemerintah jika Pudak ingin merawat desanya, merawat hutan desa, merawat kehidupan, dan kesehatan orang-orang desa? Tahukah orang-orang kota yang tidak pernah ikut merawat hutan adat di desanya bahwa kawasan hutan yang mereka rusak merugikan banyak rumah tanga warga desa yang bergantung hidupnya dari keberadaan hutan? *** Pudak kembali terdiam, kali ini sebagai perempuan satu-satunya yang memiliki pendidikan tinggi di desanya. Pudak mengumpulkan seluruh perempuan desa. Terbayang bagaimana dulu Bapaknya berjuang mempertahankan sungai dan tebing. Terbayang ibunya yang sering di teror dan dilecehkan. Kematian mereka bagi Pudak adalah tumbal untuk menyelamatkan bumi. Dan sebagai perempuan muda yang sedang membangun tangga-tangga masa depan, Pudak tahu , paham. Jalan untuk masa depannya pasti akan berliku. Menyelamatkan hutan desa dan hutan adat, berarti menyelamatkan masa depan anak-anak di desanya. Dan bertentangan dengan penguasa. Pudak menarik nafas menyusun kekuatan, dan berharap di dukung perempuan-perempuan yang lebih tua. Perempuan-perempuan yang duduk di parlemen yang nafasnya berbau kembang dan wangi mau turun dan bergelimang lumpur bersamanya. Adakah yang akan membantunya? Sebelum seluruh tanah Bali habis. Pudak memandang langit di desanya yang mulai berubah warna, semoga bukan pertanda buruk. Karena orang-orang di desa mulai melihatnya sebagai manusia yang utuh tanpa melihat wujudnya sebagai perempuan. Tanpa dukungan orang-orang desa yang kompak, tidak mungkin Pudak bisa menjaga, menyelamatkan, merawat tanah tempat mereka tumbuh dan berbiak. Waktunya perempuan menanam benih pemikiran dan kerja keras. Pudak membiarkan air mengalir membasuh matanya yang tajam. Inilah jamnya untuk menunjukkan pada kehidupannya yang penuh liku, tak ada yang tidak bisa dilakukan perempuan. Jika perempuan punya mimpi, memang harus kerja ekstra keras. Pudak percaya di tangan perempuan semesta akan lebih ramah. Pudak sudah rindu memetik pakis di hutan adat dan menumisnya. Pudak juga rindu menjolok kecapi dan mengulumnya dengan girang. Juga berteduh di bawah pohon asam besar menunggu buahnya jatuh. Suara burung, gemercik air. Semoga dia masih bisa menyelamatkan tanah desanya, menyelamatkan butir-butir hidup anak-anak yang masih memerlukan gizi yang baik, kesehatan, dan pendidikan. Pudak mengusap air matanya. Waktunya bekerja! Menyelamatkan bumi miliknya. Di dukung para perempuan desa yang berjuang tulus. Selagi daun-daun mempersiapkan kematian , berapa petak tanah kausisakan untuk penguburan ini? Denpasar, 12 Pebruari 2022 Tentang Penulis OKA RUSMINI — lahir di Jakarta, 11 Juli 1967. Tinggal di Denpasar, Bali. Menulis puisi, novel cerita anak, esai dan cerita pendek. Banyak memperoleh penghargaan, antara lain : Penghargaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa , Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (2003 dan 2012), Anugerah Sastra Tantular , Balai Bahasa Denpasar Provinsi Bali (2012). South East Asian (SEA) Write Award , dari Pemerintah Thailand (2012) dan Kusala Sastra Khatulistiwa (2013/2014). Tahun 2017, terpilih sebagai Ikon Berprestasi Indonesia Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila kategori Seni dan Budaya. Tahun 2019 menerima CSR Indonesia Awards kategori Karsa Budaya Prima dan Penghargaan Bali Jani Nugraha kategori pengabdi bidang sastra,atas pengabdian kerja kreatif serta kontribusinya dalam bidang pegembangan Seni Modern, inovatif atau kontemporer untuk penguatan dan pemajuan kebudayaan Bali dari Pemerintah Provinsi Bali. Sering diundang dalam berbagai forum sastra nasional dan internasional, antara lain Festival Sastra Winternachten di Den Haag dan Amsterdam, Belanda dan menjadi penulis tamu di Universitas Hamburg, Jerman (2003) dan Universitas Napoli, Italia (2015), Singapore Writers Festival di Singapura (2011), OZ Asia Festival di Adelaide, Australia (2013) , Fankfurt Book Fair , Frankfurt Jerman (2015) dan Asian Literature Creative Workshop di Seoul Art Space Yeonhui, Korea Selatan, 2017. Bukunya yang telah terbit : Monolog Pohon (1997), Tarian Bumi (2000), Sagra (2001), Kenanga (2003), Patiwangi (2003), Warna Kita (2007), Pandora (2008), Tempurung (2010), Akar Pule (2012), Saiban (2014) , Men Coblong (2019) ,Koplak (2019) dan Jerum (2020) Comments are closed.
|
AuthorKumpulan Cerpen Archives
July 2024
Categories |