Andina Dwifatma Sepulang dari swalayan, Ira melihat Martin sedang berjongkok di atas rumput taman belakang rumah mereka. Martin mengenakan kaus putih yang tampak basah dan lengket di bagian punggung. Kedua tangannya sibuk mengotak-atik sesuatu. “Martin,” panggil Ira. “Cepat ke sini dan lihat ini!” balas Martin tanpa menoleh. Ira bergegas menghampiri dan ikut berjongkok menghadapi seekor burung nuri kepala hitam. Martin sedang berusaha memasang mangkuk minum di pinggir kandang. Di punggung tangan Martin ada bekas-bekas luka. “Kenapa tanganmu?” tanya Ira. Hidungnya mengernyit mencium bau campuran tahi burung dan pepaya matang.
“Kena lecet,” Martin mengencangkan kawat besi pengait mangkuk dengan susah payah. “Biasalah, masih liar.” Ira beranjak ke lemari obat. Sayup-sayup didengarnya Martin berseru, “Tapi nanti kalau sudah bisa ngomong, dia akan lucu sekali. Bang Jaya kirim video dia joget menandak-nandak. Aku sudah lihat di YouTube, katanya biar burung nuri cepat ngomong harus sering disetelkan kaset.” “Bang Jaya tetangga kita?” tanya Ira sambil meraih tangan kanan Martin dan mulai membersihkan luka-lukanya dengan kapas yang telah dibasahi alkohol. “Iya. Dia baru pulang dinas dari Papua.” “Bang Jaya yang kasih burung ini?” “Enggak kasih. Aku beli.” “Berapa?” “Tiga juta.” Ira melirik si nuri. Kepalanya hitam seperti rambut manusia. Bulu lehernya merah terang dan sayapnya hijau kebiruan. Matanya berwarna kekuningan, menatap tajam. Si nuri bertengger kaku di atas sebatang kayu yang diselipkan di pinggir jeruji kandang kotak berwarna hitam. Air minum di mangkuk yang baru saja berhasil dipasang Martin, belum disentuhnya. “Kupikir kamu beli di pasar.” “Enggak, dong. Yang ini spesial, diantar langsung dari bandara,” Martin menjawab bangga. “Bulunya cantik sekali, kan?” Ira membubuhkan obat merah ke punggung tangan Martin. Suaminya meringis. Ira kembali mengamati si nuri yang sama sekali tak bergeming. “Memangnya burung bisa dibawa masuk bandara?” “Kalau Bang Jaya yang bawa, ya bisa. Kalau aku, mungkin sudah di-dor.” Martin terkekeh. “Pokoknya akan kulatih burung ini sampai bisa ngomong, Ra. Biar dia bisa jadi temanmu di rumah.” “Aku nggak kesepian.” “Kamu akan kesepian kalau terus menerus menolak punya anak.” Ira menghela napas. Ini lagi yang dibahas. “Aku ke kamar dulu, kepalaku pusing.” “Hmm,” Martin mendengus pendek. === Ira berhenti bekerja sekitar dua tahun lalu ketika Martin dipindahtugaskan ke Pekanbaru. Tadinya Ira enggan meninggalkan kariernya sebagai konsultan humas di Jakarta dan mengusulkan agar mereka sementara berjauhan dulu tapi Martin mati-matian menolak. Aku bisa mati kalau enggak ada kamu. Kita pisah saja sekalian kalau kamu nggak mau ikut. Pada masa awal kepindahan mereka, Martin membantu mencarikan pekerjaan untuk Ira melalui beberapa kenalannya. Ira sempat menjalani beberapa sesi wawancara dan tes masuk perusahaan tapi tidak ada satu pun yang nyangkut. Ira kemudian menjajal beberapa proyek freelance dan akhirnya keterusan. Beberapa kali Martin menawari Ira untuk menjajal program hamil yang ditolak Ira karena ambisinya menjadi ibu nyaris nihil. Dan Martin tahu itu. Sejak awal Martin mengajak menikah, Ira sudah mengajukan syarat: tidak punya anak. Ataukah Martin menganggap itu hanya fase dan seiring dengan usia pernikahan mereka, Ira akan berubah pikiran? “Aku berangkat!” Martin berseru dari balik pagar. Ira berhenti mengaduk kopi, menjulurkan leher dari balik pintu, melambai, lalu menguncinya. Ia kembali ke dapur, mencuci piring dan gelas bekas makan Martin, meneguk air putih, lalu menyesap kopinya pelan-pelan. Sepi. Ia dan Martin mengambil kredit perumahan di kluster yang masih baru. Harganya relatif murah karena jauh dari pusat kota. Penghuninya belum banyak dan pagi hampir selalu senyap begini. Ira memejamkan mata sambil bersandar di kursi makan…. Aaaak! Aaaak! Aaaak! Aaaaak! Ira tergeragap. Teriakan itu begitu nyaring dan memekakkan telinga. Nadanya tinggi dan tajam seolah memang bertujuan merusak pendengaran. Ira memaki-maki. Tergesa-gesa ia menuju taman. Si nuri bergoyang-goyang gelisah di dalam kandang. Ira melongok. Mangkuk makanan dan minumannya kosong melompong. “Sialan,” desisnya. Diraihnya ponsel dan dipencetnya nomor Martin. Tidak diangkat. Ira mengetikkan pesan. Burung belum dikasih makan? Aku enggak tahu caranya, takut digigit. Ira menunggu. Centang satu. Menit-menit berlalu dan… Aaaak! Aaaak! Aaaak! Aaaaak! Ira menutup telinganya sambil meringis. Ia kembali menuju dapur. Ira menyeduh tiga sendok bubur bayi dengan air hangat. Diaduknya bubur pelan-pelan lalu dibawanya ke kandang. Si nuri menatap Ira tajam. Perlahan-lahan tangan Ira bergerak hendak membuka kait kandang tapi si nuri lebih cepat. Dengan gerakan secepat kilat dipatuknya tangan Ira. “Aduh!” Ira hampir saja menjatuhkan gelasnya. Tangannya berdarah sedikit. Ditatapnya si nuri dengan penuh benci. Si nuri memandang Ira dengan tak kalah garang. Ira lalu mengambil ponsel dan memasukkan kata kunci “cara memberi makan nuri tanpa digigit” ke dalam kotak pencarian. Beberapa orang menyarankan memakai sarung tangan super tebal. Ada juga yang memakai selang dan corong. Hmm, ini bisa dicoba. Ira ke garasi mengambil selang dan memotongnya sedikit. Ia lalu mencari-cari corong minyak di gudang, mencucinya dengan air bersih dan sabun, lalu mengeringkannya. Ira mencoba memasukkan bagian ujung bawah corong ke dalam selang, tapi tidak muat. Ira menggunting sedikit keempat sisi selang lalu sekali lagi mencoba memasukkannya ke dalam corong dan kali ini berhasil. Ia kembali ke kandang dengan perasaan menang. Ditunjukkannya senjata baru ke hidung si nuri. “Lihat ini, sebentar lagi kamu bisa makan.” Ira menyelipkan selang dengan hati-hati ke jeruji kandang dan memposisikannya persis di atas mangkuk makan. Si nuri menyergap selang dan menggigitinya dengan ganas. Ira bergidik. Pelan-pelan ia tuangkan bubur hangat dari atas corong yang segera dilahap si nuri. Lidahnya yang berbulu dan membulat di bagian ujung, menjulur dan menyendok dengan cepat. Ira menuangkan air ke mangkuk minum dengan cara yang sama. Sambil menunggui si nuri yang sedang makan dengan lahap, Ira melanjutkan pencariannya di ponsel. Nama latin nuri kepala hitam adalah Lorius lory. Hewan ini termasuk jenis burung paruh bengkok yang dilindungi. Di alam liar, yang merupakan habitat alaminya, nuri kepala hitam hidup damai berpasangan atau dalam kelompok kecil dan bersama-sama mencari makanan seperti nektar, jagung, bunga, buah, dan juga serangga. Burung nuri pandai menirukan suara manusia dan apabila dilatih bisa menjadi sangat jinak. Burung nuri sebaiknya ditempatkan di kandang terbuka dengan kaki dirantai. Usahakan di area yang ramai dilalui anggota keluarga agar cepat beradaptasi dan tidak mudah gugup ketika berada di dekat manusia. Cara tercepat menjinakkan burung nuri adalah membuatnya sangat kelaparan dan memberikan makanan langsung dari tangan Anda. Dengan demikian… Ira berhenti membaca. Sesuatu yang menggumpal, berat, dan hangat, merayapi dada dan akhirnya sampai ke mata. Si nuri berhenti makan dan memandang Ira. Si nuri berjalan perlahan menuju ke mangkuk air dan mulai minum dari sana. Ponsel Ira bergetar. Iya, aku lupa. Nanti pulang kerja aku kasih dia makan. === Martin akan pergi dinas lima hari. Sambil menunggui Ira yang sibuk memasukkan pakaian dan aneka keperluannya ke dalam koper, Martin berbaring di tempat tidur dan bercerita panjang-lebar tentang atasan barunya yang menyebalkan. Ira mendengar, tapi tidak mendengarkan. Suara Martin baginya hanyalah gelombang timbul dan tenggelam yang kebetulan dapat ditangkap oleh telinganya. Benaknya berada di hutan liar dengan pepohonan, sungai, biji-bijian, dan desau angin yang teduh, begitu teduh, bagaikan tiada lagi yang lebih teduh… Tetapi Martin terus berbicara seperti tidak ada hari esok. Dan Ira ham-hem-ham-hem saja. Selesai berkemas, seperti kebiasaannya tiap hendak pergi dinas, Martin mengajak Ira bercinta. Keesokan paginya, Ira mengantar Martin ke bandara sebelum fajar merekah dan kembali ke rumah saat hari sudah terang. Ira mencuci muka, membuat bubur dan mengisi mangkuk air si nuri, lalu melanjutkan tidurnya. Ira bermimpi aneh malam itu. Martin kembali dari dinas dengan membawa bayi dan bilang bahwa ia sudah lelah menunggu Ira setuju memiliki anak. Bayi itu didapatnya dari Bang Jaya dan bisa dilatih bicara juga seperti si nuri. Ira berteriak histeris, “Dan bagaimana cara Bang Jaya menyelundupkan bayi itu? Apakah dia juga dikurung dalam botol air mineral yang sempit, yang diberi lubang-lubang sekadar ia bisa bernapas?” Sebelum Martin dapat menjawab, Ira terbangun. Dadanya berdentam-dentam dan pelipisnya dibanjiri keringat dingin. Dia menatap jam dinding di kamar: pukul dua pagi. Ira keluar kamar menuju dapur. Ia ingin minum segelas air yang sangat dingin. Di dapur, Ira tercenung. Di meja makan ada segelas kopi yang baru diminum separuh. Ira meraba gelas itu. Masih hangat. Di dekat gelas ada sepiring kecil kue yang Ira tidak ingat kapan diletakkan di situ. Ada bekas ceceran kopi dan gula. Sendok bekas mengaduk diletakkan begitu saja di atas meja. Dada Ira kembali berdebar-debar. “Martin?” panggil Ira. Hening. Ira berjingkat-jingkat ke dapur dan mengambil sebilah pisau. “Martin?” panggilnya lagi. Masih tidak ada jawaban. Ira berkeliling ke ruang TV, ruang kerja, dan taman. Kesunyian memantulkan kecemasan Ira. Perempuan itu lalu mengecek kandang. Kosong. Ira seperti bisa mendengar debaran jantung dan helaan napasnya sendiri. Di dapur, terdengar bunyi kresek kresek. Ira meraih sapu dan mengendap-endap ke pintu tengah. Ira tidak akan pernah melupakan pemandangan itu seumur hidupnya. Seorang lelaki berbaju merah dengan lengan panjang hijau kebiruan tengah duduk di kursi makan. Rambutnya sehitam jelaga. Alisnya tebal, menyatu di tengah-tengah. Matanya setajam elang dan ia tengah memandangi kopi dengan tatapan serius. Ira mengintip dari celah pintu tengah sambil menggenggam erat sapu. Perlahan-lahan dia masuk.. “Berapa sih, takaran kopi yang enak?” tanya lelaki itu begitu melihat sosok Ira. Tatapannya tetap tajam, nyaris galak, tetapi auranya sama sekali tidak berbahaya. Ia mengernyitkan dahi, menunggu jawaban Ira. “Eh, eh… dua sendok penuh, gulanya dua sendok kecil,” jawab Ira terbata-bata. Lelaki itu mengusap rambutnya, lalu hendak menambahkan sesendok kopi ke gelasnya. Ira mencegah. “Airnya harus panas mendidih.” Ira melangkah pelan-pelan ke dapur dan mendidihkan air dengan pemanas. Lelaki itu duduk dengan punggung tegak, mengamati setiap gerakan Ira. “Tuang segini, lalu siram air begini,” Ira mencontohkan. “Tunggu sebentar, lalu beri gula. Aduk pelan-pelan.” Lelaki itu menyeruput kopi bikinan Ira. “Enak,” pujinya. Ira mengambil segelas air putih. Mereka minum berdua di dapur. Ira menghidangkan kue coklat dari kulkas dan dua buah garpu. Lelaki itu mengambil kue dan dengan hati-hati mengunyahnya. “Enak,” pujinya lagi. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang terlampau lama, Ira tersenyum. === Martin pulang membawa oleh-oleh gaun cantik dan sepasang anting berkilauan. Ira mencoba memakai keduanya dan berputar di hadapan Martin, yang bersiul lalu mencium pipinya. Martin menghabiskan sepanjang sore bermain dengan si nuri dan dengan ngotot mengajarinya bicara. Malamnya, setelah selesai bercinta, Martin berbaring sambil menatap langit-langit. Ira menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Martin melirik istrinya. “Mama menelepon lagi kemarin malam,” Martin membuka pembicaraan. Ira tidak menjawab. Martin menghela napas, lalu melanjutkan. “Calonnya sudah ada. Tinggal butuh izinmu saja.” “Lakukanlah apa yang kau mau.” “Kau tahu apa yang aku mau, Ra.” “Tapi aku tidak bisa memberikannya.” “Tidak bisa, atau tidak mau?” Ira menoleh, menatap Martin. “Bagian mana yang tidak jelas bagimu, Tin?” Martin menggeleng-geleng. “Kalau ini tentang pamanmu yang bejat itu, sudahlah Ra, maafkan dia. Aku sudah mengajakmu pergi ke psikolog, tapi kau tidak mau. Apakah aku harus mengubur impianku karena apa yang sudah dia lakukan padamu? Aku butuh penerus, Ra. Dan aku sudah capek dengar keluarga besarku protes terus kayak kaset rusak.” Ira berbalik memunggungi Martin. Setitik air menetes dari sudut matanya. === Lelaki itu hanya muncul ketika Martin tidak ada—hal ini belakangan diketahui Ira setelah menghabiskan bermalam-malam menunggu di dapur sementara Martin mengorok di kamar tidur mereka. Tapi, persis di malam pertama dinas Martin berikutnya, lelaki itu muncul lagi. Baju merah dengan lengan panjang hijau kebiruannya tidak pernah berubah. Ira suka rambutnya yang sehitam jelaga, alisnya yang bertaut dan matanya yang tajam. Ira menyeduh dua cangkir kopi dan menghidangkan martabak keju dan mereka mengobrol. Lelaki itu pendengar yang baik dan tidak menghakimi. Kepadanya Ira mempercayakan ketakutannya, harapannya, dan kesedihannya selama ini. Ira bahkan menceritakan berbagai memori pahit yang selama ini tidak pernah ia ceritakan pada orang lain, termasuk suaminya sendiri. Lelaki itu mengerti Ira. Apabila cuaca sedang bagus, Ira membawa lelaki itu jalan-jalan berkeliling kota dengan mobilnya, menjajal aneka jajanan yang buka hingga subuh atau gerai-gerai makanan fast food 24 jam. Untuk pertama kalinya sejak tiba di kota ini, Ira bahagia. Ira mulai menunggu-nunggu saat Martin pergi dinas agar ia bisa berdua saja dengan lelaki itu. Martin mulai bertanya-tanya kenapa Ira semakin tidak fokus dan sering gelisah saat mereka berdua di rumah. Diam-diam ia mulai mengecek ponsel Ira, menghubungkan akun pesan Ira dengan komputernya, memasang CCTV dan pelacak di mobil Ira. Tapi, tidak ada yang aneh. Ira beraktivitas seperti biasa: bekerja di depan laptop, memasak, membersihkan rumah, memberi makan burung nuri, dan sesekali pergi jalan-jalan. Berbulan-bulan mengintai tanpa hasil, Martin merasa semakin terasing dari istrinya. Rutinitas dan perilaku Ira tidak berubah tetapi Martin tidak bisa mengusir kegelisahan di lubuk hatinya: ada yang aneh. Perlahan-lahan, Martin dan Ira mulai tidur saling memunggungi. Untuk pertama kalinya sejak hampir sepuluh tahun pernikahan, Martin berhenti membujuk Ira mengubah keputusannya untuk tidak memiliki anak. Martin juga tidak bertanya kenapa istrinya terlihat begitu bersemangat ketika menyiapkan koper untuknya setiap dia harus pergi dinas. Dan Ira berhenti bertanya ke mana Martin pergi. Pada minggu ketiga bulan Desember yang basah, Martin mengajak seorang perempuan muda ke rumah dan memperkenalkannya pada Ira. Perempuan itu tengah hamil delapan minggu. Ira tidak punya pilihan lain selain mengangguk. Dia memiliki sesuatu yang tidak bisa kuberikan padamu. Malam itu Martin tidak menginap di rumah. Malam berikutnya, dan malam berikutnya juga. Martin hanya kadang-kadang pulang kalau ia kangen masakan Ira dan ingin bermain dengan si nuri. Tapi, Ira tidak protes karena itu berarti dia bisa lebih sering bertemu dengan lelakinya. “Kau punya rokok?” tanya lelaki itu suatu malam. Dia dan Ira tengah tidur saling berpelukan. Ira merogoh tas tangannya lalu menyalakan sebatang. Lelaki itu menghisap rokok penuh nikmat, lalu menyerahkannya kembali pada Ira. “Kok aku nggak pernah melihatmu merokok sebelumnya?” “Martin tidak suka aku merokok.” “Kenapa?” Ira mengangkat bahu. “Menurut dia rokok tidak baik untuk perempuan.” “Tidak baik?” “Buat rahim,” jelas Ira. “Kau kan tahu, dia menginginkan anak dariku.” “Bukankah dari awal kau sudah bilang tidak mau?” “Ya, tapi kata Martin sudah menjadi insting alami perempuan untuk menjadi ibu. Suatu saat nanti aku pasti akan menginginkan anak.” “Kok Martin bisa tahu? Apa dia punya rahim juga?” Ira terbahak. “Laki-laki sering merasa paling tahu segalanya.” Lelaki itu tertawa. “Kenapa Martin pingin punya anak?” “Ya, sama seperti orang-orang lain pada umumnya. Menghindari tekanan sosial dan ingin ada yang merawat di hari tua.” “Kau bagaimana?” “Aku tidak peduli pada tekanan sosial. Dan Martin toh akan segera mendapatkan apa yang dia inginkan.” Bayangan Martin dan keluarga kecilnya menusuk hati Ira. Ira menekankan ujung rokok ke asbak di nakas samping ranjang, dan terus menekan-nekannya hingga sisa tembakau terburai. Ia menahan tangis. Sejurus kemudian, ia keluar kamar dan melangkah menuju taman. Dengan hati-hati, Ira membuka pintu kandang si nuri. Angin malam mengembuskan hawa dingin dan Ira menggigil. Langit mendung malam ini. *** Andina Dwifatma lahir di Jakarta, 1986. Andina memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2012 melalui novelnya, “Semusim, dan Semusim Lagi” (Gramedia Pustaka Utama, 2013). Novel keduanya, “Lebih Senyap dari Bisikan” terpillih sebagai Buku Pilihan Tempo 2021 Kategori Prosa. Andina bekerja sebagai dosen di Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, dan saat ini sedang menempuh studi doktoral di Monash University, Australia, melalui skema Herb Feith PhD Scholarship. Andina bisa disapa lewat Twitter di @andinadwifatma atau melalui surel di [email protected] Comments are closed.
|
AuthorKumpulan Cerpen Archives
October 2024
Categories |