Oleh: Esty Pratiwi Lubarman Aku tidak mengenal nama Marry Wollstonecraft dalam sejarah bisu yang menuangkan secangkir keuntungan untuk perempuan kulit putih. Tapi, barangkali pernah tiba nama Drupadi yang setia dan menderita di tubuh mbokku yang tidak sempat membaca. Pernah kubisikkan teluh Calon Arang yang kepalanya dibakar akibat menjaga rahimnya. Pernah sekali, harus ku cangkul tubuhku untuk menemukan yang tersisa dari nestapa ketika kelahiran kami dirayakan dengan mantra dan air mata. Di sini semua orang memindahkan peradaban, seolah memilih rumah baru dan meninggalkan yang usang. Padahal barangkali kekuasaan pecah di kening kami. Ini bukan sekadar nasib yang sering kali membawa kami bermimpi bahwa selalu ada hari besok untuk kehidupan yang lebih baik. Bukan! Wacana pemindahan ibu kota Indonesia, sudah sampai di seluruh pintu rumah kami. Sepaku, Kalimantan Timur. Di sinilah aku lahir, tempat di mana aku belajar memahami situasi kami yang cukup terbelakang. Ketika aku kuliah dan mengharuskan ke kota, aku melihat banyak kesenjangan yang terjadi. Aku mengulik dan mempelajarinya, satu hal yang sangat mengusikku adalah ketimpangan peran perempuan di ranah sosial. Hal ini membawaku untuk merefleksi beberapa hal yang terjadi dalam hidupku. Mengapa banyak anak-anak perempuan seusiaku yang tinggal di daerahku banyak memutuskan menikah di usia yang relatif muda? Mengapa aku terus menerus melihat mamak dan mbokku mengurus hal-hal domestik ketika mereka bahkan baru saja pulang membantu mengurus lahan sawah milik kami? Sementara, aku melihat banyak anak laki-laki selalu diajarkan membuat alat produksi atau bahkan mereka dipaksa bekerja di luar rumah. Sepanjang aku tinggal di sini, perkelahian di rumah tetanggaku menjadi hal biasa yang kami dengar. Atau bahkan tangisan anak-anak mereka yang ketakutan akibat melihat perkelahian itu. Hal lainnya yang sering kali menjadi gosip-gosip di lingkunganku ialah kehamilan tidak terencana yang dialami anak-anak gadis mereka. Aku melihat wajah-wajah politik di pohon, di tiang listrik, dan di kayu yang tegak pada pinggir selokan. Aku melihat potret perempuan hanya sebagai pendukung di spanduk yang mereka tampilkan. Sementara, banyak gelisah yang berserakan di pundak para petani, anak-anak, dan mbokku. Kedatangan mereka sama dengan mesin penghacur hutan, aku tidak mengerti bekas luka apalagi yang akan tertinggal. Situasi ini membuatku jengah, sejak kuliah aku mulai memikirkan bagaimana aku bisa memberikan pendidikan gratis untuk perempuan-perempuan di sini. Tentu ini juga sebagai salah satu cara menghilangkan rasa jenuh serta membangun kesadaran mereka. Banyak cara yang aku coba lakukan untuk bisa merealisasikan mimpiku. Setidaknya memberikan kebebasan perempuan untuk bisa memilih yang mereka senangi. Aku hanya sebagian kecil individu yang beruntung di tengah kondisi masyarakat yang sangat kesulitan. Ketika lulus kuliah aku memutuskan kembali ke rumah yang selalu menungguku untuk pulang. Aku membangun les-lesan gratis untuk siapa pun, tidak terhalang oleh usia. Khususnya memberikan kesempatan bagi anak-anak dan perempuan. Banyak cara yang aku lakukan agar mereka tertarik dengan yang aku suguhkan. Aku sering kali memanggil tetangga-tetanggaku untuk sekadar masak-masak di rumah mbokku. Ya, setelah orang tuaku meninggal akibat penyakit yang menjadi momok di negeri ini, aku harus tinggal bersama mbokku. Aku membantu dia mengurus beberapa lahan peninggalan bapak dan memanfaatkannya sebagai sumber ekonomi kami. “Mbak Suri,” ketika aku sedang asyik menuliskan soal untuk mereka membaca, kami kedatangan tamu. “Iya, Pak.” “Bisa bicara sebentar?” Sudah kupastikan ini bukan orang-orang yang tinggal di daerah sini. Pakaiannya sangat rapi, aku tidak mengenali satu pun dari mereka. “Oh, bisa Pak.” aku lekas menghampiri mereka dan mengajak mereka ke ruang tamu. Kebetulan mbok tidak ada di rumah dan aku sedikit kebingungan ada maksud apa orang-orang ini. Perkenalan singkat mereka semakin membuatku kebingungan dan resah. Mereka adalah salah satu orang partai yang sering kali aku lihat balihonya di pinggir jalan. Aku seperti tahu pada akhirnya apa yang mereka inginkan. Akan tetapi ada perkataan yang cukup membuatku harus berpikir keras. “Kami mengetahui informasi tentang Mbak Suri dari Ketua RT, kebetulan kami sedang menawarkan masyarakat yang ingin terlibat dalam pemilihan umum sebentar lagi. Nah, kebetulan infonya juga Mbak ini sudah sarjana dan memang sangat berkontribusi di masyarakat ya. Mungkin salah satunya yang di depan tadi ya, Mbak, les-lesan. Memberikan wadah edukasi untuk masyarakat. Itu bagus sekali loh, Mbak.” “Kami ingin ada keterlibatan anak muda dan juga perempuan untuk dapat menyampaikan aspirasinya. Ya, tentu saja buat kemajuan kita bersama. Barangkali juga Mbak bisa mendorong masyarakat di sini supaya bisa ikut memilih dan terlibat dalam pemilihan umum nanti. Ya, karena tampaknya Mbak mampu melihat dari apa yang Mbak lakukan.” Sudah kupastikan ini persoalan politik! Sebenarnya ini yang kuhindari sejak saat kuliah. Tapi, ini soal peluang untuk bisa merealisasikan cita-citaku juga. Tapi, aku khawatir jika nantinya harus meninggalkan mbok dan rumahku. “Assalamualaikum,” mbok sudah pulang dari pasar. Ia terlihat heran karena rumah kami jarang sekali kedatangan tamu kecuali ketika aku sedang mengumpulkan tetangga-tetangga untuk belajar. Mbok tidak banyak berbicara dengan orang-orang ini. Ia memutuskan untuk ke dapur karena ia pikir mereka adalah tamuku dari kota. Aku kembali ngobrol dengan orang-orang ini. Aku tidak ingin terburu-buru untuk mengambil keputusan. Aku mengatakan mereka untuk bisa bertemu dua hari lagi. *** “Mbok, kalo Suri gak tinggal di rumah ini lagi gimana?” aku bertanya dengan kekhawatiran yang menumpuk di keningku. “Loh, Suri mau pergi ke mana memangnya?” ia menatap wajahku dan berhenti melipat pakaiannya. “Hmm, itu Mbok. Orang-orang yang kemarin ke sini. Dia nawarin kerjaan,”aku bingung menjelaskan tawaran kemarin ke mbok seperti apa. Aku menyadari, dahulu ia tidak memiliki kesempatan yang sama untuk bisa mengenyam pendidikan seperti aku. Tapi… “Ya, ya. Mbok ada dengar kemarin dari dapur. Walaupun Mbok juga tidak banyak mengerti, tapi ku pikir ini kesempatanmu, Sur. Masih muda dan masih banyak jalan yang harus kamu lalui. Kalau memang niatmu baik, insya Allah gak ada yang bisa halangin kamu, Sur.” “Mbok ini gak bisa baca tulis, Sur. Tapi Mbok bangga punya cucu yang pinter.” Aku mengelus tangannya, kurasakan kulitnya yang tua. Tapi aku masih merasakan semangat di wajahnya yang tidak pernah meninggalkan senyumnya sendiri. *** Alam membawa kami menjadi individu yang kuat dan pemberani. Karena ia membawa kami pada ketenangan dan kenyamanan yang lain. Aku merasa ini adalah rumah, bukan sekadar bangunan tapi tempat aku merasa aman. Ini juga yang menguatkan aku untuk bisa membangun rumahku agar lebih baik lagi, agar kita bisa benar-benar mendapatkan hak yang adil sebagai manusia. “Untuk tawaran yang kemarin sepertinya saya belum bisa untuk terlibat dalam kerja-kerja partai. Tapi, saya punya tawaran yang lain, Pak.” Aku tidak ingin ini terkesan sebagai permintaan agar kebebasan atas hak suara yang kugunakan pada pemilihan umum nanti diambil. Tapi aku ingin masyarakat di sini lebih sejahtera dan setara! “Hmm, apa itu, Mbak Suri?” “Ya, walaupun saya tahu memang Bapak berasal dari satu partai. Tapi, saya ingin sekali barangkali Bapak atau teman-teman Bapak nantinya bisa memberikan pendidikan politik untuk masyarakat di sini. Ya, tujuannya agar masyarakat bisa sadar untuk pentingnya terlibat dalam pemilihan umum.” “Yah, saya paham orang seperti Bapak ini lebih kompeten untuk bisa menyampaikan itu ketimbang saya yang hanya lulusan S1. Nanti biar saya bantu kumpulkan masyarakat di sini." Ini adalah langkah taktisku agar bisa memajukan lingkunganku, aku meyakini dimulai dari pendidikan. Keterlibatan masyarakat penting untuk bisa menghadirkan bangsa yang memiliki ideologi kuat. Mungkin banyak hal yang akan kuhadapi kedepannya, tapi setidaknya aku memulai. “Itu tawaran menarik, Mbak Suri, nanti saya akan sampaikan dahulu ke teman-teman saya.” Aku tersenyum kecil. Ini adalah awal tapi aku sudah melakukan langkah yang baik untuk bisa melepaskan nasib yang nestapa tentang perempuan! *** Hari berlalu, aku melihat cuaca tidak menentu. Katanya sedang terjadi perubahan cuaca yang ekstrem. Tapi, di sini aku melihat banyak anak-anak dan perempuan sudah bisa membaca dan mereka sangat peduli dengan pendidikan mereka sendiri. Setelah pembicaraan saat itu, banyak yang berubah di tempatku. Aku melihat banyak senyum di sini. Aku diangkat menjadi Ketua RT karena masyarakat percaya akan perubahan yang dibutuhkan di sini. Les-lesan kecil yang kubangun sekarang sudah semakin masif dan banyak masyarakat yang datang. Aku memanfaatkan situasi ini untuk kemajuan masyarakat di sini, aku percaya harus ada perubahan. Aku mulai mengusahakan juga ada penyuluhan kesehatan setiap dua minggu sekali agar ibu hamil dan anak-anak di sini mendapatkan gizi yang baik. Pendidikan politik yang kuusungkan juga berhasil, masyarakat mulai peduli untuk memberikan hak suara yang tepat. Pada pemilihan umum saat itu mereka berpartisipasi dengan sukarela. Sering kali pula mereka bertanya kepadaku tentang beberapa hal isu politik yang terjadi. Aku percaya kesadaran berpolitik harus dibangun, tidak cukup dengan wajah-wajah kekuasaan yang ditempel di pinggir jalan. Barangkali benar, sejarah gagal menuliskan perempuan. Kami bukan ikan yang memuntahkan gelembung karang. Kami memegang belati untuk menggoreskan hidup dan mati pada setiap sayap anak-anak yang akan menemukan jalannya sendiri. Jika keberanian hanya kisah yang dibisikkan tetapi keberhasilan kami adalah tulang pribumi yang dituliskan dalam lontar-lontar. Tidak sekadar untuk dibacakan akan tetapi untuk ditanamkan dalam masing-masing diri kami. BIODATA PENULIS Esty Pratiwi Lubarman, lahir di Samarinda 28 November 1999. Alumni Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman. Aktif di komunitas pegiat sastra bernama Mantra Etam dan komunitas penanganan korban kekerasan seksual sebagai sekretaris bernama Savrinadeya Support Group. Pada tahun 2019 pernah menerbitkan antologi puisi berjudul Perempuan Dikekang Malam. Pada tahun 2022 terlibat dalam penerbitan antologi puisi berjudul Cermin Lain Di Balik Pintu Lamin. Aktif menjadi kontributor di salah satu koran populer Kalimantan Timur bernama Kaltim Post. Beberapa tulisan lainnya juga dimuat di media online bernama Sketsa Unmul dan Korkal. Comments are closed.
|
AuthorKumpulan Cerpen Archives
July 2024
Categories |