Maria Noviyanti Meti (Mahasiswi Pascasarjana Atma Jaya Yogyakarta)
Wacana tentang budaya patriarki kerap dibicarakan secara berdekatan dengan subordinasi peran perempuan. Di wilayah Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), perempuan memiliki peran yang sangat terbatas dalam sejumlah urusan adat dan rumah tangga. Perempuan dalam budaya semacam ini “dibeli” oleh laki-laki untuk menjadi miliknya, milik sukunya, dan milik keluarga besarnya (Kleden, 2017:25). Ia harus tunduk kepada suaminya karena telah menerima belis yaitu mahar yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada perempuan sebelum pernikahan. Dengan kondisi demikian, maka terbuka kemungkinan bahwa laku hidup dan peran perempuan ditentukan sepenuhnya oleh laki-laki. Pertanyaannya, bagaimana melihat sisi lain perempuan Sikka dalam mempertahankan kedudukan dan peran mereka berhadapan dengan sistem patriarki? Adakah sikap resisten yang dapat dijadikan sebagai contoh dalam menangkal dominasi patriarki?
0 Comments
![]() Lisa Aulia (Mahasiswi Kajian Gender Universitas Brawijaya) Konflik Palestina-Israel sekali lagi kembali bergemuruh dan meluluh-lantakkan bukan hanya bangunan namun juga hari esok yang tidak terjangkau harganya. Beralih dari pengapnya situasi politik internasional tentang perebutan kepentingan meniti satu demi satu wilayah di muka bumi, konflik ini harus kembali dibawa ke sang tuan rumah salah satunya melalui novel Where the Streets Had a Name. Randa Abdel Fattah selaku penulis menghadirkan kisah sesosok anak perempuan yaitu Hayaat yang berteman dekat dengan Samy. Pertemanan mereka tidak lazim karena perbedaan jenis kelamin dan juga perbedaan agama. Tidak hanya Hayaat, novel ini juga mengisahkan perempuan lain dari keluarganya yaitu Nur (ibu) serta Zeynab (neneknya). Uniknya, interaksi ketiganya mengundang gelak tawa alih-alih isak tangis. ![]() Asri Pratiwi Wulandari (Mahasiswa Pascasarjana Kajian Gender, Universitas Indonesia) Bagi saya, membaca fiksi selalu merupakan pengalaman yang amat menarik. Saya suka kisah yang membuat saya termenung, memikirkan sesuatu yang belum pernah saya pikirkan sebelumnya, atau dari sudut pandang yang benar-benar berbeda. Saya ingat-ingat kembali, sepertinya salah satu pertemuan saya dengan gagasan feminis pun berawal dari cerpen “Perempuan Berbaju Bunga-Bunga” karya Nenden Lilis yang menggambarkan bagaimana pemaksaan perempuan untuk hanya di kasur, sumur, dan dapur itu sungguh memenjara. Kisah itu membantu saya berpikir kritis tentang peran domestik yang dibebankan pada perempuan, tanpa perlu mengalaminya terlebih dahulu. ![]() Hany Fatihah Ahmad (Mahasiswi S1 UIN Syarif Hidyatullah) Feminisme, sebuah kata dengan banyak stigma dan menimbulkan berbagai persepsi di dalam ruang dialektika masyarakat. Mengenai pengertian feminisme, tentu pembaca artikel ini dapat menelusuri langsung karya-karya tokoh feminis seperti Nawal el-Saadawi, Simone de Beauvoir, Marry Wollstonecraft dan masih banyak lagi. Pilihan lainnya, pembaca juga dapat menyimak video kuliah tokoh feminis Indonesia seperti Gadis Arivia atau Rocky Gerung di Youtube. Atau membaca ribuan jurnal penelitian mengenai gagasan ini di internet. ![]() Alfiyah Sudira ( Mahasiswi Pascasarjana, STFI Sadra) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “perempuan” berasal dari kata “empu”. Dalam Bahasa Jawa Kuno, yang kemudian diserap dalam Bahasa Melayu, yang berarti “tuan, mulia, hormat”. Kata empu tersebut mengalami pengimbuhan dengan penambahan “per-“ dan “-an” yang kemudian membentuk “perempuan”. Dalam Bahasa Jawa, perempuan disebut wadon alias wadahe adon-adon, yang memiliki arti tempat dibentuknya sesuatu. Perempuan secara biologis bermakna orang yang mengalami menstruasi, memiliki rahim, hamil dan menyusui. Dengan pembawaan alaminya, pengalaman reproduksi perempuan sudah demikian kompleks dan bermacam rupa. ![]() Ayom Mratita Purbandani (Mahasiswi S1 Filsafat, Universitas Gadjah Mada) “Tuhan melangkah keluar dari surga, menjelma, dan melakukan hal baru di antara orang-orang yang tertindas untuk mengubah seluruh dunia.” – Pamela R. Lightsey Pamela R. Lightsey menulis buku ringkas sepanjang 128 halaman berjudul Our Lives Matter: A Womanist Queer Theology (2015) yang terdiri atas tujuh bagian yang mengekplorasi penindasan yang terjadi pada kelompok LGBTQIA+ kulit hitam. Tak banyak buku yang membahas mengenai kelompok queer kulit hitam. Untuk alasan itulah, Lightsey membangun pemikirannya dalam buku ini. Dalam pengantar buku tersebut, kalimat pertama yang Lightsey tuliskan merupakan identifikasi atas identitas dirinya: “I am a black queer lesbian womanist scholar and Christian minister” (Lightsey, 2015: 6). Sebuah Cerpen oleh Mia Olivia
Hariman bingung saat pamannya, Lik Kung, mengatakan ia akan memberinya uang sebesar satu juta rupiah. Awalnya Hariman heran darimana Lik Kung mendapatkan uang karena setahu Hariman ia tidak punya uang dan yang lebih mengherankan lagi, bagaimana ia bersedia membagi uang yang ia dapatkan. Lik Kung terkenal sangat amat pelit bahkan untuk bersedekah dua ribu perak di masjid saja ia bisa membahasnya sampai tiga kali sholat Jumat. Mulut Hariman sudah ingin menanyakan tapi urung, entah kenapa ia merasa segan. Seakan gayung bersambut, Lik Kung membuka sendiri dari mana uang itu datang. Sebuah Cerpen oleh Mia Olivia
Sabtu, genap dua minggu Ibu mengurung diri di rumah. Sepanjang empat belas hari itu tidak ada seulas senyum-pun di wajah Ibu. Makanan yang dimasak di meja hampir-hampir tak disentuhnya kecuali barang satu dua suapan saja. Beberapa temannya menelepon menanyakan kabarnya dan dari balik pintu kamarnya aku bisa mendengar suara jawaban Ibu, sedang kurang enak badan. Satu dua orang tetangga juga datang bertandang tetapi Ibu menolak menerima dan menyuruhku mengatakan bahwa Ibu sedang sakit. ![]() Esa Geniusa (Mahasiswi S1 Filsafat, Universitas Gadjah Mada) Seiring berjalannya zaman, saya mengamati bahwa terdapat berbagai bentuk pergerakan yang diinisiasi oleh masyarakat dunia, baik nasional maupun internasional. Secara pribadi saya menyadari bahwa kehidupan di dunia tidak dapat terlepas dari propaganda. Hidup dalam keluarga yang erat dengan isu-isu pergerakan menjadikan saya sebagai pribadi yang peduli pada bentuk pergerakan itu sendiri. Terjadinya pergerakan di Indonesia sering sekali dilandasi dengan dasar rasa persatuan dan kesetaraan yang dirasakan, hal ini salah satunya terbentuk pada model pergerakan perempuan. Bentuk dari pergerakan perempuan di Indonesia telah mengalami kemajuan. Pernyataan ini didukung dengan hadirnya berbagai pergerakan yang muncul, baik dari skala kecil maupun besar serta melalui platform media hingga orasi yang didengungkan. Berdasarkan hal ini tanpa disadari membuat saya ingin melihat lebih jauh bagaimana sejatinya bentuk dari pergerakan perempuan di Indonesia, serta bentuk perkembangan dan persoalan yang hadir di dalamnya. ![]() Nurma Yulia Lailatusyarifah (Mahasiswi Prodi Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia) Beranjak dewasa, saya belajar bahwa mengekspresikan amarah tidaklah mudah. Amarah adalah suatu bentuk emosi intens yang melambangkan ketidaknyamanan dan ketidaksenangan terhadap seseorang atau sesuatu yang dinilai salah. Akan tetapi, amarah sebagai emosi alamiah manusia kerap dilabeli sebagai emosi yang maskulin. Laki-laki dan amarah merupakan dua gagasan yang jika diposisikan berdampingan tidak perlu dipertanyakan kesesuaiannya. Berbeda halnya dengan perempuan. Sejak kecil, sebagian besar perempuan didukung untuk merawat karakter-karakter feminin, seperti kelemah lembutan, kepedulian, dan kepatuhan. Perempuan diwajibkan untuk mengendalikan dirinya dengan baik agar tidak menunjukkan emosi seperti amarah karena perempuan yang menunjukkan amarah dipandang sebagai perempuan yang tidak stabil, pembangkang, dan tidak feminin. |
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |