![]() Alfiyah Sudira ( Mahasiswi Pascasarjana, STFI Sadra) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “perempuan” berasal dari kata “empu”. Dalam Bahasa Jawa Kuno, yang kemudian diserap dalam Bahasa Melayu, yang berarti “tuan, mulia, hormat”. Kata empu tersebut mengalami pengimbuhan dengan penambahan “per-“ dan “-an” yang kemudian membentuk “perempuan”. Dalam Bahasa Jawa, perempuan disebut wadon alias wadahe adon-adon, yang memiliki arti tempat dibentuknya sesuatu. Perempuan secara biologis bermakna orang yang mengalami menstruasi, memiliki rahim, hamil dan menyusui. Dengan pembawaan alaminya, pengalaman reproduksi perempuan sudah demikian kompleks dan bermacam rupa.
0 Comments
![]() Ayom Mratita Purbandani (Mahasiswi S1 Filsafat, Universitas Gadjah Mada) “Tuhan melangkah keluar dari surga, menjelma, dan melakukan hal baru di antara orang-orang yang tertindas untuk mengubah seluruh dunia.” – Pamela R. Lightsey Pamela R. Lightsey menulis buku ringkas sepanjang 128 halaman berjudul Our Lives Matter: A Womanist Queer Theology (2015) yang terdiri atas tujuh bagian yang mengekplorasi penindasan yang terjadi pada kelompok LGBTQIA+ kulit hitam. Tak banyak buku yang membahas mengenai kelompok queer kulit hitam. Untuk alasan itulah, Lightsey membangun pemikirannya dalam buku ini. Dalam pengantar buku tersebut, kalimat pertama yang Lightsey tuliskan merupakan identifikasi atas identitas dirinya: “I am a black queer lesbian womanist scholar and Christian minister” (Lightsey, 2015: 6). Sebuah Cerpen oleh Mia Olivia
Hariman bingung saat pamannya, Lik Kung, mengatakan ia akan memberinya uang sebesar satu juta rupiah. Awalnya Hariman heran darimana Lik Kung mendapatkan uang karena setahu Hariman ia tidak punya uang dan yang lebih mengherankan lagi, bagaimana ia bersedia membagi uang yang ia dapatkan. Lik Kung terkenal sangat amat pelit bahkan untuk bersedekah dua ribu perak di masjid saja ia bisa membahasnya sampai tiga kali sholat Jumat. Mulut Hariman sudah ingin menanyakan tapi urung, entah kenapa ia merasa segan. Seakan gayung bersambut, Lik Kung membuka sendiri dari mana uang itu datang. Sebuah Cerpen oleh Mia Olivia
Sabtu, genap dua minggu Ibu mengurung diri di rumah. Sepanjang empat belas hari itu tidak ada seulas senyum-pun di wajah Ibu. Makanan yang dimasak di meja hampir-hampir tak disentuhnya kecuali barang satu dua suapan saja. Beberapa temannya menelepon menanyakan kabarnya dan dari balik pintu kamarnya aku bisa mendengar suara jawaban Ibu, sedang kurang enak badan. Satu dua orang tetangga juga datang bertandang tetapi Ibu menolak menerima dan menyuruhku mengatakan bahwa Ibu sedang sakit. ![]() Esa Geniusa (Mahasiswi S1 Filsafat, Universitas Gadjah Mada) Seiring berjalannya zaman, saya mengamati bahwa terdapat berbagai bentuk pergerakan yang diinisiasi oleh masyarakat dunia, baik nasional maupun internasional. Secara pribadi saya menyadari bahwa kehidupan di dunia tidak dapat terlepas dari propaganda. Hidup dalam keluarga yang erat dengan isu-isu pergerakan menjadikan saya sebagai pribadi yang peduli pada bentuk pergerakan itu sendiri. Terjadinya pergerakan di Indonesia sering sekali dilandasi dengan dasar rasa persatuan dan kesetaraan yang dirasakan, hal ini salah satunya terbentuk pada model pergerakan perempuan. Bentuk dari pergerakan perempuan di Indonesia telah mengalami kemajuan. Pernyataan ini didukung dengan hadirnya berbagai pergerakan yang muncul, baik dari skala kecil maupun besar serta melalui platform media hingga orasi yang didengungkan. Berdasarkan hal ini tanpa disadari membuat saya ingin melihat lebih jauh bagaimana sejatinya bentuk dari pergerakan perempuan di Indonesia, serta bentuk perkembangan dan persoalan yang hadir di dalamnya. ![]() Nurma Yulia Lailatusyarifah (Mahasiswi Prodi Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia) Beranjak dewasa, saya belajar bahwa mengekspresikan amarah tidaklah mudah. Amarah adalah suatu bentuk emosi intens yang melambangkan ketidaknyamanan dan ketidaksenangan terhadap seseorang atau sesuatu yang dinilai salah. Akan tetapi, amarah sebagai emosi alamiah manusia kerap dilabeli sebagai emosi yang maskulin. Laki-laki dan amarah merupakan dua gagasan yang jika diposisikan berdampingan tidak perlu dipertanyakan kesesuaiannya. Berbeda halnya dengan perempuan. Sejak kecil, sebagian besar perempuan didukung untuk merawat karakter-karakter feminin, seperti kelemah lembutan, kepedulian, dan kepatuhan. Perempuan diwajibkan untuk mengendalikan dirinya dengan baik agar tidak menunjukkan emosi seperti amarah karena perempuan yang menunjukkan amarah dipandang sebagai perempuan yang tidak stabil, pembangkang, dan tidak feminin. ![]() Sebuah Cerpen oleh Mia Olivia (Mantan Badan Pekerja Komnas Perempuan dan Pengembang Safe Circle, Komunitas Pemberdaya Jiwa untuk Perempuan dan Minoritas) Apakah seorang seperti aku diperbolehkan semesta untuk jatuh cinta? Apakah seorang pekerja seks seperti aku mampu mendapat kasih sayang alam untuk bisa bersama dengan orang yang aku cintai? Jika takdir bisa mempersatukan orang yang bahkan tidak saling cinta selama puluhan tahun, kenapa takdir tidak berkenan untuk menyatukan aku dan dia? ![]() Retno Daru Dewi G. S. Putri (Tim Redaksi Jurnal Perempuan) Tepat pada Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, saya dan seorang teman menonton film berjudul Smile. Film garapan Parker Finn tersebut bercerita tentang seorang psikolog, Rose, yang mengalami delusi setelah menyaksikan pasiennya bunuh diri dengan mengenaskan. Ia dihantui oleh berbagai macam sosok yang membuatnya juga ingin menghabisi nyawanya sendiri. Setelah dicari tahu, Rose menemukan bahwa delusi tersebut dialami secara berantai oleh orang-orang yang bunuh diri sebelumnya. ![]() Kadek Ayu Ariningsih (Mahasiswa Pascasarjana Filsafat, Universitas Gajah Mada) Sebagai perempuan asal Bali yang setahun terakhir menghabiskan lebih banyak waktu di pulau Jawa, tepatnya Yogyakarta, saya merasakan intensi keindahan budaya Jawa. Batik menjadi salah satu budaya Jawa yang menjadi favorit saya. Intensi saya terhadap batik dimulai ketika saya menonton Pagelaran Wayang Topeng Panji di Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Batik sendiri sebenarnya bukanlah hal yang asing bagi saya, toko-toko penjual Batik di Bali cukup mudah ditemukan. Saya sendiri memiliki sebuah atasan Batik yang sesekali saya gunakan dalam acara tertentu. Selama menyaksikan Pagelaran Wayang Topeng Panji, saya mengamati busana para penari yang berpadu padan dengan Batik. Saya melihat bahwa adanya situasi yang ‘agung’ selama pagelaran turut didukung oleh keberadaan Batik yang dikenakan oleh para penarinya. Relatif singkatnya waktu saya di Jogja dan interaksi saya yang minim dengan batik mengarahkan saya melakukan penelusuran literatur tentang Batik. Pembacaan literatur tersebut masih sangat terbatas, meski demikian, ini adalah upaya untuk memahami subjektifitas pribadi saya sendiri terhadap keindahan Batik. Penelusuran tersebut bukanlah suatu yang terkategori sebagai aktifitas ilmiah namun menjadi cukup menarik untuk sedikit menulis dan membagikannya. ![]() Wanda Roxanne Ratu Pricillia (Mahasiswa Pascasarjana Kajian Gender, Universitas Indonesia) Tahun lalu, Penerbit Odise menerbitkan buku saya dengan judul “Menjadi Perempuan Lajang Bukan Masalah”. Ada 20 artikel dalam buku saya, dan dua diantaranya membahas mengenai kelajangan, yaitu “Stigma, Penghalang Potensi Perempuan Lajang” dan “Menjadi Perempuan Lajang Bukan Masalah”. Dengan judul itu, saya memberikan penekanan bahwa menjadi lajang memang bukan masalah, di tengah masyarakat yang mempermasalahkan kelajangan itu sendiri. Jadi, menjadi perempuan lajang itu masalah atau bukan? Saya pernah diundang untuk membahas buku ini. Dalam pembahasan itu, penanggap buku saya menyampaikan bahwa tidak masalah menjadi perempuan lajang asal melakukan hal-hal yang bermanfaat dan meyakini jika pada suatu saat akan menemukan pasangan yang tepat. Saya setuju, sekaligus tidak. Pada akhirnya, kehidupan ideal tentang pernikahan dalam masyarakat adalah norma dan normal bagi kita. Masyarakat tidak dapat menerima orang-orang yang melajang atau selibat (celibate) seumur hidupnya. “Kita mengondisikan anak-anak gadis kita untuk mencita-citakan pernikahan, tapi kita tidak mengondisikan anak laki-laki dengan cara yang sama, artinya sedari awal sudah ada ketidakseimbangan yang mengerikan. Gadis-gadis akan tumbuh menjadi seorang perempuan yang sibuk memikirkan pernikahan. Anak laki-laki akan tumbuh menjadi pria yang santai saja soal pernikahan”, menurut Chimamanda Ngozi Adichie dalam buku “A Feminist Manifesto”. Kita dikondisikan untuk membentuk harga diri salah satunya melalui pernikahan atau status berpasangan. Sejak kecil kita diajarkan dan disosialisasikan di rumah, keluarga, sekolah, pemerintahan, dan semua tempat di Indonesia bahkan sejak kecil bahwa suatu saat kita pasti akan menikah. Sebagai perempuan, kita diajarkan sedini mungkin juga untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, bermain peran menjadi istri atau ibu, dan semua ekspektasi gender lainnya yang dilekatkan pada kita. Stigma dan Stereotip Pada Lajang Menjadi lajang seringkali dipermasalahkan dan status lajang itu sendiri memiliki stigma dan stereotip yang menyertai. beberapa penelitian (DePaulo & Morris, 2006; Morris, DePaulo, Hertel, & Taylor), pada penelitian pertama menunjukkan bahwa orang-orang yang sudah menikah dideskripsikan secara positif daripada orang-orang yang melajang seperti dianggap baik, penyayang, stabil, bahagia dan puas. Para lajang dideskripsikan dengan negatif seperti rasa tidak aman, kesepian, keras kepala dan jelek, dan deskripsi positifnya seperti lebih independent, mudah bergaul dan lebih seru (Pignotti dan Abell, 2009). Pada penelitian kedua, orang-orang yang menikah dianggap lebih mudah beradaptasi, matang secara sosial, lebih seru hidupnya. Sedangkan para lajang dianggap self-centered, iri hati, dan berorientasi pada karir. Penelitian-penelitian ini sesuai dengan hal-hal yang saya alami sendiri dan juga orang-orang di sekitar saya. Beberapa hari lalu saya bertanya pada teman-teman saya di Instagram mengenai stereotip pada orang-orang yang melajang atau jomblo. Mereka dianggap terlalu memilih, akan dianggap perawan tua, tidak laku, expired, tidak bahagia, kesepian, dianggap homoseksual, dibandingkan dengan yang sudah memiliki pasangan, dianggap aneh, tidak normal, dianggap tidak bisa bergaul, menyedihkan, dan akan dikasihani karena tidak segera menikah. Saya juga mengalami semua hal yang telah dikatakan teman-teman saya di atas. Banyak nasihat yang diberikan juga kepada saya seperti “jangan terlalu memilih”, padahal untuk membeli buah saja kita pasti memilih yang terbaik, apalagi dengan pasangan. Stigma bahwa perempuan akan menjadi perawan tua, tidak laku atau expired berhubungan langsung dengan penghargaan diri dan ekspektasi gender pada perempuan untuk menikah dan memiliki anak. Masyarakat dengan norma heteroseksual menganggap bahwa semua orang pasti ingin menikah dan ingin memiliki anak secara biologis. Sama seperti para lajang pada umumnya, sebagai perempuan di “usia menikah”, sebagian anggota keluarga saya juga mendorong saya untuk segera memiliki pasangan dan segera menikah. Salah satu dari mereka mengatakan, “Kalau kamu nikah usia 30, kamu akan tua saat anakmu sudah sekolah. Jaraknya terlalu jauh dan udah gak sekuat saat muda”. Mereka menganggap saya sudah pasti menginginkan anak secara biologis, sama seperti mereka dan semua keluarga saya. Kelajangan dan Kebahagiaan Tren global menunjukkan bahwa menjadi lajang adalah sebuah gaya hidup yang semakin lama semakin bertambah persentasenya. Di Amerika, Australia, dan Asia menunjukkan peningkatan jumlah orang-orang yang melajang dan pernikahan menjadi kurang diminati meski secara normatif masih diharapkan pada orang dewasa (Himawan dkk, 2017). Indonesia juga menunjukkan tren yang sama dengan global, meski proporsi melajang tidak sebesar negara-negara tetangga seperti Hong Kong, Jepang, Taiwan dan Singapura, namun angka orang-orang yang melajang menjadi meningkat (Gull, 2002; Jones, 2010). Bersama dengan peningkatan jumlah orang-orang yang melajang, diikuti juga dengan peningkatan kualitas hidup diantara para lajang (Himawan dkk, 2007). Berbagai penelitian menunjukkan hasil yang beragam antara kebahagiaan orang-orang yang melajang dan yang menikah. Penelitian Myers (2000) menunjukkan bahwa orang yang menikah lebih bahagia daripada para lajang. Data Badan Pusat Statistik (2015) yang menunjukkan bahwa level kebahagiaan para lajang 68,77% dan level kebahagiaan yang sudah menikah 68,74% (Himawan dkk, 2017). Namun pada penelitian lain menunjukkan bahwa para lajang lebih bahagia yaitu 65,31% dan yang menikah 64,99%. Seperti yang disampaikan teman-teman saya mengenai stereotip menjadi lajang, saya juga pernah dikasihani, dianggap kesepian dan dianggap tidak sempurna kebahagiaan saya karena melajang. Padahal kesepian adalah manusiawi serta manusia tidak bisa selalu bahagia setiap saat, saya memiliki banyak teman, banyak aktivitas yang bisa dilakukan para lajang selain pekerjaan atau sekolah, juga tentu saja dapat sepenuhnya bahagia sendirian. Teman-teman saya juga mengatakan bahwa melajang juga menyenangkan karena hidup mereka lebih bebas menentukan keinginan mereka, memiliki waktu untuk mengenal diri lebih banyak, memiliki kesempatan untuk memaksimalkan potensi diri, dan mencoba hal-hal baru. Ester Lianawati dalam bukunya “Ada Serigala betina dalam Diri Setiap Perempuan” mengatakan bahwa kehidupan lajang itu sendiri tidak membuat mereka tertekan, malah bisa jadi sangat memuaskan. Perempuan tidak tertekan oleh kelajangannya, ia tertekan oleh pandangan dan perlakuan orang-orang di sekitarnya terkait kelajangan mereka (Lianawati, 2020). Masyarakat masih tidak bisa menerima bahwa para lajang terutama perempuan, bisa sepenuhnya bahagia dengan status lajang mereka dan mereka masih menganggap bahwa pasangan terutama dalam pernikahan akan membuat hidup mereka lengkap atau sempurna. |
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
May 2023
Categories |