Kezia Krisan (Mahasiswi Prodi Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia) Tidak dipungkiri, kontestasi Pemilu 2024 telah diwarnai oleh banyak pertikaian serta tegangan antara pejabat politik dengan masyarakat. Para elite politik seolah hanya pada kepentingan diri mereka semata. Ini tampak pada tindakan para elite politik, mulai dari penyimpangan konstitusi, nepotisme, polarisasi kelompok, kebohongan publik, penggiringan opini, hingga narasi kebencian dihadirkan di tengah rangkaian Pemilu. Kekacauan ini diberi panggung oleh para elite guna menyukseskan kepentingannya. Lalu masyarakat hanya hadir sebagai alat pemasok suara, daripada titik pusat dari pesta demokrasi Indonesia. Rakyat diposisikan sebagai yang Liyan, yang inferior. Akibatnya, banyak masyarakat yang merasa khawatir soal keputusan politik yang hendak diambil. Orang-orang dibuat cemas melalui narasi dan situasi politik saat ini. Bahkan tak jarang, banyak orang mengungkapkan ketakutannya soal kondisi politik Indonesia melalui media sosial. Seruan untuk menolak penyelewengan kekuasaan juga disuarakan oleh para akademisi. Masyarakat harus berhadapan dengan rasa takut terhadap nasib ke depannya. Hasil akhir Pemilu bisa memperburuk kondisi mereka, apalagi kelompok rentan, termasuk perempuan.
Perhatian para politisi terhadap kekuasaannya semata telah menyingkirkan urgensi isu perempuan di politik 2024. Padahal isu perempuan seharusnya menjadi fokus di tengah Pemilu ini. Mengingat CATAHU 2023 dari Komnas Perempuan mencatat kekerasan terhadap perempuan di ranah publik dan negara mengalami peningkatan, yakni pada ranah publik meningkat 44 persen, dan di ranah negara terjadi peningkatan hingga sebanyak 176 persen. Tidak menutup kemungkinan penyingkiran isu perempuan yang dilakukan oleh elite politik, berpotensi meningatkan angka kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan di kemudian hari. Jika pemangku kekuasaan yang terpilih tidak peka terhadap isu gender, penindasan terhadap perempuan mungkin meningkat. Seperti efek domino, ini memengaruhi kebijakan apa yang dihasilkan dan siapa saja yang ada di pemerintahan. Kebijakan dan politisi yang hadir selanjutnya bisa melanggengkan budaya kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Kondisi di atas merupakan dampak dari politik ketakutan atau secara umum dipahami sebagai politik yang menciptakan iklim ketakutan pada masyarakat untuk tujuan tertentu. Melalui skema politik yang dilakukan oleh para pejabat, politik ketakutan dilanggengkan sebagai alat untuk mendominasi dalam rangkaian Pemilu. Situasi politik Indonesia ini mengingatkan saya soal wawancara terhadap Martha Nussbaum, feminis dan filsuf asal Amerika Serikat, tentang politik ketakutan yang muncul saat Pemilu 2016 di Amerika Serikat. Artikel pendek berjudul “Martha Nussbaum: Overcoming Fear, Embracing Democracy” memuat wawancara Nussbaum dalam rangka mengenalkan buku terbarunya yang bertajuk, “The Monarchy of Fear: A Philosopher Looks at Our Political Crisis” yang terbit pada 2018 lalu. Secara garis besar, Nussbaum menuliskan tentang peran rasa takut di tengah krisis politik serta alasannya mengapa hal ini merupakan suatu bahaya yang serius bagi demokrasi. Nussbaum dalam artikel wawancaranya berpendapat bahwa rasa takut memiliki sifat dasar yang mudah berubah dan rentan dibajak oleh retorika. Nussbaum (2018) memaknai ketakutan digambarkan sebagai hal-hal terkait ‘mimpi buruk’, layaknya pengalaman seperti seorang bayi baru lahir, yang tidak berdaya dan apa adanya. Kita secara kognitif sudah cukup dewasa dan berkesadaran, tetapi secara bersamaan, kita tidak mampu melakukan apapun untuk mendapatkan yang kita inginkan. Layaknya seperti situasi ingin segera terbangun dari mimpi buruk. Kita tidak dapat bergerak, tidak dapat melakukan apa pun, dan tidak dapat berteriak, padahal ingin bebas dari situasi tersebut. Elite politik menyadari rasa takut berdampak besar bagi kehidupan seseorang. Rasa takut bisa memengaruhi keputusan politik seseorang untuk memilih atau tidak memilih si calon politik dalam Pemilu. Nussbaum mengaitkannya dengan Pemilu 2016 di AS. Trump menggunakan narasi misoginis dengan menyebarkan kebohongan dan meremehkan Hillary Clinton untuk mengambil banyak suara laki-laki di Pemilu. Nussbaum yakin bahwa narasi permusuhan terhadap perempuan di ranah kepemimpinan politik ini, berakar dari rasa takut akan kesuksesan perempuan, perubahan peran tradisional perempuan, dan kondisi biologis perempuan. Rasa takut dipakai oleh Trump untuk menyakinkan publik bahwa salah jika Hillary Clinton menjadi presiden, dimana semata akan menyingkirkan “peran pengasuhan perempuan” dan dianggap tidak mumpuni di politik. Berkaca dari kondisi Pemilu di AS yang disampaikan oleh Nussbaum, perempuan menjadi sosok yang rentan dikambinghitamkan. Rasa takut dimanfaatkan oleh elite politik untuk menyebar kebencian dan menggiring opini. Pada akhirnya, politik ketakutan mangancam ruang aman bagi kelompok rentan, termasuk perempuan. Ketakutan yang Nussbaum gambarkan, saya alami selama rangkaian Pemilu kemarin. Tidak dipungkiri, saya, perempuan biasa berusia 20-an merasakan ketidakberdayaan di hadapan kondisi politik saat ini. Konstitusi seolah dipermainkan guna melindungi penguasa, dari pada rakyat. Dampaknya, masyarakat dan kelompok rentan, termasuk perempuan (juga saya) semakin dipinggirkan dan diabaikan. Terlebih, ketakutan mampu mengancam perempuan melalui narasi misoginis, yang disebarkan oleh elite politik yang tidak berperspektif gender. Saya merasa khawatir dan tidak berdaya terhadap masa depan demokrasi, keselamatan diri, dan status saya sebagai perempuan di tengah publik. Saya menyadari bahwa situasi politik saat ini tidak ramah bagi rakyat. Ruang aman tidak hadir untuk masyarakat luas, apalagi saya dan banyak perempuan lainnya. Praktik abuse of power yang marak telah menimbulkan ketegangan dan ketakutan terhadap masyarakat. Nussbaum yakin bahwa momen ini digunakan oleh penguasa untuk mendapatkan kekuatan melalui rasa takut tersebut melalui momen pelemahan demokrasi. Rasa takut mengikis kepercayaan antarindividu dan hubungan timbal-balik di dalamnya, padahal hal-hal ini diperlukan jika demokrasi ingin terus dipertahankan (Nussbaum, 2018). Perpecahan di dalam kelompok masyarakat bisa dimanfaatkan oleh penguasa untuk melangsungkan kepentingannya, melalui penyebaran ketakutan dalam politik dan usaha pengalihan fokus rakyat. Pendekatan yang konstruktif dan kooperatif dalam demokrasi kian terkikis. Kemungkinan terburuknya, demokrasi untuk kepentingan bersama, semakin lama digantikan oleh mekanisme pertahanan semata demi kelangsungan kehidupan pribadi. Kemudian, tidak wajar bagi kita sebagai masyarakat menerima situasi ketakutan ini dengan begitu saja. Diskriminasi yang sistemik mungkin terwujud, jika penyuaraan pendapat untuk kepentingan bersama tidak digalakkan. Tentu solusinya, perlu ada perawatan dalam penyuaraan hak dan gugatan terhadap politik ketakutan. Feminis menawarkan salah satu langkah mengatasi masalah ini, yakni melalui politik harapan. Menurut Sadikin (2023), politik harapan dalam feminisme merupakan konsep yang menekankan perubahan sosial dan politik yang menyeluruh, dimana ada penekanan terhadap kesetaraan dan keadilan untuk melawan segala bentuk diskriminasi. Saya percaya, politik harapan mampu mengatasi segala bentuk penindasan di ranah politik, terkhususnya politik ketakutan. Fokus terhadap kesetaraan dan keadilan dapat mengangkat suara yang diabaikan dan pengalaman yang tidak berkeadilan. Zournazi dalam Sadikin (2023) menambahkan hasrat terhadap harapan, yang diwujudkan dalam kegiatan di keseharian serta politik menjadi pondasi dasat bagi masyarakat untuk bangkit dari posisi yang subordinat, yang inferior, dan yang Liyan. Oleh karena itu, demi terwujudnya ruang aman bagi semua, penyuaraan terhadap penindasan dan ketidakadilan sudah seharusnya dirawat oleh masyarakat, terkhususnya perempuan yang sampai saat ini masih mengalami diskriminasi. “Kalau menurut saya jangan takut. Karena teman-teman pasti ngerasain, deh, memang yang diciptakan ini politik ketakutan,” ujar Bivitri Susanti di Aksi Kamisan ke-805 saat wawancara bersama Kumparan (15/2/2024). Orang bijak bilang keberanian itu sesuatu yang menular. Mati satu tumbuh seribu, bersinergi selalu demi atasi diskriminasi. “Jadi, saya berharap teman-teman terus berani. Kan kita yang benar. Ibaratnya ada orang nyolong, terus kita bilang, 'dia nyolong, lo', terus yang disalah-salahin kita, terus kita takut. Padahal kita enggak salah. Itu, kan, dunia yang aneh,” tegas Bivitri. Sumber: Nussbaum, M. C. (2018). Monarchy of Fear: A Philosopher Looks at Our Political Crisis. Simon & Schuster. Sadikin, U. (2023). Sinergi Politik Harapan: Interseksionalitas politik Pemuda Dalam Feminisme. Jurnal Perempuan, 28(2), 133–147. https://doi.org/10.34309/jp.v28i2.850 Reese, H. (2018, July 25). Martha Nussbaum: Overcoming fear, embracing democracy - JSTOR DAILY. https://daily.jstor.org/martha-nussbaum-overcoming-fear-embracing-democracy/ Imam, R. (2024, February 15). Bivitri Ajak Anak Muda Dan Perempuan Tak Takut suarakan pendapat. kumparan. https://kumparan.com/kumparannews/bivitri-ajak-anak-muda-dan-perempuan-tak-takut-suarakan-pendapat-22Ai7COft3R/full Komnas Perempuan. (2024, March 7). Siaran Pers Komnas Perempuan tentang Peluncuran Catatan Tahunan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2023. Komnas Perempuan | Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-tentang-peluncuran-catatan-tahunan-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-tahun-2023
3 Comments
25/3/2024 08:05:31 am
1. Kita sebagai rakyat, rasanya kok kembali ke kesulitan lagi. terutama masalah pendapatan, pekerjaan, dan kesenjangan.
Reply
17/5/2024 04:20:43 pm
Nice for information
Reply
22/5/2024 03:04:23 pm
How can individuals actively engage in nurturing a political landscape focused on progress and inclusivity?
Reply
Leave a Reply. |
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
October 2024
Categories |