Sebuah Cerpen oleh Mia Olivia
Sabtu, genap dua minggu Ibu mengurung diri di rumah. Sepanjang empat belas hari itu tidak ada seulas senyum-pun di wajah Ibu. Makanan yang dimasak di meja hampir-hampir tak disentuhnya kecuali barang satu dua suapan saja. Beberapa temannya menelepon menanyakan kabarnya dan dari balik pintu kamarnya aku bisa mendengar suara jawaban Ibu, sedang kurang enak badan. Satu dua orang tetangga juga datang bertandang tetapi Ibu menolak menerima dan menyuruhku mengatakan bahwa Ibu sedang sakit.
0 Comments
![]() Esa Geniusa (Mahasiswi S1 Filsafat, Universitas Gadjah Mada) Seiring berjalannya zaman, saya mengamati bahwa terdapat berbagai bentuk pergerakan yang diinisiasi oleh masyarakat dunia, baik nasional maupun internasional. Secara pribadi saya menyadari bahwa kehidupan di dunia tidak dapat terlepas dari propaganda. Hidup dalam keluarga yang erat dengan isu-isu pergerakan menjadikan saya sebagai pribadi yang peduli pada bentuk pergerakan itu sendiri. Terjadinya pergerakan di Indonesia sering sekali dilandasi dengan dasar rasa persatuan dan kesetaraan yang dirasakan, hal ini salah satunya terbentuk pada model pergerakan perempuan. Bentuk dari pergerakan perempuan di Indonesia telah mengalami kemajuan. Pernyataan ini didukung dengan hadirnya berbagai pergerakan yang muncul, baik dari skala kecil maupun besar serta melalui platform media hingga orasi yang didengungkan. Berdasarkan hal ini tanpa disadari membuat saya ingin melihat lebih jauh bagaimana sejatinya bentuk dari pergerakan perempuan di Indonesia, serta bentuk perkembangan dan persoalan yang hadir di dalamnya. ![]() Nurma Yulia Lailatusyarifah (Mahasiswi Prodi Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia) Beranjak dewasa, saya belajar bahwa mengekspresikan amarah tidaklah mudah. Amarah adalah suatu bentuk emosi intens yang melambangkan ketidaknyamanan dan ketidaksenangan terhadap seseorang atau sesuatu yang dinilai salah. Akan tetapi, amarah sebagai emosi alamiah manusia kerap dilabeli sebagai emosi yang maskulin. Laki-laki dan amarah merupakan dua gagasan yang jika diposisikan berdampingan tidak perlu dipertanyakan kesesuaiannya. Berbeda halnya dengan perempuan. Sejak kecil, sebagian besar perempuan didukung untuk merawat karakter-karakter feminin, seperti kelemah lembutan, kepedulian, dan kepatuhan. Perempuan diwajibkan untuk mengendalikan dirinya dengan baik agar tidak menunjukkan emosi seperti amarah karena perempuan yang menunjukkan amarah dipandang sebagai perempuan yang tidak stabil, pembangkang, dan tidak feminin. ![]() Sebuah Cerpen oleh Mia Olivia (Mantan Badan Pekerja Komnas Perempuan dan Pengembang Safe Circle, Komunitas Pemberdaya Jiwa untuk Perempuan dan Minoritas) Apakah seorang seperti aku diperbolehkan semesta untuk jatuh cinta? Apakah seorang pekerja seks seperti aku mampu mendapat kasih sayang alam untuk bisa bersama dengan orang yang aku cintai? Jika takdir bisa mempersatukan orang yang bahkan tidak saling cinta selama puluhan tahun, kenapa takdir tidak berkenan untuk menyatukan aku dan dia? ![]() Retno Daru Dewi G. S. Putri (Tim Redaksi Jurnal Perempuan) Tepat pada Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, saya dan seorang teman menonton film berjudul Smile. Film garapan Parker Finn tersebut bercerita tentang seorang psikolog, Rose, yang mengalami delusi setelah menyaksikan pasiennya bunuh diri dengan mengenaskan. Ia dihantui oleh berbagai macam sosok yang membuatnya juga ingin menghabisi nyawanya sendiri. Setelah dicari tahu, Rose menemukan bahwa delusi tersebut dialami secara berantai oleh orang-orang yang bunuh diri sebelumnya. ![]() Kadek Ayu Ariningsih (Mahasiswa Pascasarjana Filsafat, Universitas Gajah Mada) Sebagai perempuan asal Bali yang setahun terakhir menghabiskan lebih banyak waktu di pulau Jawa, tepatnya Yogyakarta, saya merasakan intensi keindahan budaya Jawa. Batik menjadi salah satu budaya Jawa yang menjadi favorit saya. Intensi saya terhadap batik dimulai ketika saya menonton Pagelaran Wayang Topeng Panji di Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Batik sendiri sebenarnya bukanlah hal yang asing bagi saya, toko-toko penjual Batik di Bali cukup mudah ditemukan. Saya sendiri memiliki sebuah atasan Batik yang sesekali saya gunakan dalam acara tertentu. Selama menyaksikan Pagelaran Wayang Topeng Panji, saya mengamati busana para penari yang berpadu padan dengan Batik. Saya melihat bahwa adanya situasi yang ‘agung’ selama pagelaran turut didukung oleh keberadaan Batik yang dikenakan oleh para penarinya. Relatif singkatnya waktu saya di Jogja dan interaksi saya yang minim dengan batik mengarahkan saya melakukan penelusuran literatur tentang Batik. Pembacaan literatur tersebut masih sangat terbatas, meski demikian, ini adalah upaya untuk memahami subjektifitas pribadi saya sendiri terhadap keindahan Batik. Penelusuran tersebut bukanlah suatu yang terkategori sebagai aktifitas ilmiah namun menjadi cukup menarik untuk sedikit menulis dan membagikannya. ![]() Wanda Roxanne Ratu Pricillia (Mahasiswa Pascasarjana Kajian Gender, Universitas Indonesia) Tahun lalu, Penerbit Odise menerbitkan buku saya dengan judul “Menjadi Perempuan Lajang Bukan Masalah”. Ada 20 artikel dalam buku saya, dan dua diantaranya membahas mengenai kelajangan, yaitu “Stigma, Penghalang Potensi Perempuan Lajang” dan “Menjadi Perempuan Lajang Bukan Masalah”. Dengan judul itu, saya memberikan penekanan bahwa menjadi lajang memang bukan masalah, di tengah masyarakat yang mempermasalahkan kelajangan itu sendiri. Jadi, menjadi perempuan lajang itu masalah atau bukan? Saya pernah diundang untuk membahas buku ini. Dalam pembahasan itu, penanggap buku saya menyampaikan bahwa tidak masalah menjadi perempuan lajang asal melakukan hal-hal yang bermanfaat dan meyakini jika pada suatu saat akan menemukan pasangan yang tepat. Saya setuju, sekaligus tidak. Pada akhirnya, kehidupan ideal tentang pernikahan dalam masyarakat adalah norma dan normal bagi kita. Masyarakat tidak dapat menerima orang-orang yang melajang atau selibat (celibate) seumur hidupnya. “Kita mengondisikan anak-anak gadis kita untuk mencita-citakan pernikahan, tapi kita tidak mengondisikan anak laki-laki dengan cara yang sama, artinya sedari awal sudah ada ketidakseimbangan yang mengerikan. Gadis-gadis akan tumbuh menjadi seorang perempuan yang sibuk memikirkan pernikahan. Anak laki-laki akan tumbuh menjadi pria yang santai saja soal pernikahan”, menurut Chimamanda Ngozi Adichie dalam buku “A Feminist Manifesto”. Kita dikondisikan untuk membentuk harga diri salah satunya melalui pernikahan atau status berpasangan. Sejak kecil kita diajarkan dan disosialisasikan di rumah, keluarga, sekolah, pemerintahan, dan semua tempat di Indonesia bahkan sejak kecil bahwa suatu saat kita pasti akan menikah. Sebagai perempuan, kita diajarkan sedini mungkin juga untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, bermain peran menjadi istri atau ibu, dan semua ekspektasi gender lainnya yang dilekatkan pada kita. Stigma dan Stereotip Pada Lajang Menjadi lajang seringkali dipermasalahkan dan status lajang itu sendiri memiliki stigma dan stereotip yang menyertai. beberapa penelitian (DePaulo & Morris, 2006; Morris, DePaulo, Hertel, & Taylor), pada penelitian pertama menunjukkan bahwa orang-orang yang sudah menikah dideskripsikan secara positif daripada orang-orang yang melajang seperti dianggap baik, penyayang, stabil, bahagia dan puas. Para lajang dideskripsikan dengan negatif seperti rasa tidak aman, kesepian, keras kepala dan jelek, dan deskripsi positifnya seperti lebih independent, mudah bergaul dan lebih seru (Pignotti dan Abell, 2009). Pada penelitian kedua, orang-orang yang menikah dianggap lebih mudah beradaptasi, matang secara sosial, lebih seru hidupnya. Sedangkan para lajang dianggap self-centered, iri hati, dan berorientasi pada karir. Penelitian-penelitian ini sesuai dengan hal-hal yang saya alami sendiri dan juga orang-orang di sekitar saya. Beberapa hari lalu saya bertanya pada teman-teman saya di Instagram mengenai stereotip pada orang-orang yang melajang atau jomblo. Mereka dianggap terlalu memilih, akan dianggap perawan tua, tidak laku, expired, tidak bahagia, kesepian, dianggap homoseksual, dibandingkan dengan yang sudah memiliki pasangan, dianggap aneh, tidak normal, dianggap tidak bisa bergaul, menyedihkan, dan akan dikasihani karena tidak segera menikah. Saya juga mengalami semua hal yang telah dikatakan teman-teman saya di atas. Banyak nasihat yang diberikan juga kepada saya seperti “jangan terlalu memilih”, padahal untuk membeli buah saja kita pasti memilih yang terbaik, apalagi dengan pasangan. Stigma bahwa perempuan akan menjadi perawan tua, tidak laku atau expired berhubungan langsung dengan penghargaan diri dan ekspektasi gender pada perempuan untuk menikah dan memiliki anak. Masyarakat dengan norma heteroseksual menganggap bahwa semua orang pasti ingin menikah dan ingin memiliki anak secara biologis. Sama seperti para lajang pada umumnya, sebagai perempuan di “usia menikah”, sebagian anggota keluarga saya juga mendorong saya untuk segera memiliki pasangan dan segera menikah. Salah satu dari mereka mengatakan, “Kalau kamu nikah usia 30, kamu akan tua saat anakmu sudah sekolah. Jaraknya terlalu jauh dan udah gak sekuat saat muda”. Mereka menganggap saya sudah pasti menginginkan anak secara biologis, sama seperti mereka dan semua keluarga saya. Kelajangan dan Kebahagiaan Tren global menunjukkan bahwa menjadi lajang adalah sebuah gaya hidup yang semakin lama semakin bertambah persentasenya. Di Amerika, Australia, dan Asia menunjukkan peningkatan jumlah orang-orang yang melajang dan pernikahan menjadi kurang diminati meski secara normatif masih diharapkan pada orang dewasa (Himawan dkk, 2017). Indonesia juga menunjukkan tren yang sama dengan global, meski proporsi melajang tidak sebesar negara-negara tetangga seperti Hong Kong, Jepang, Taiwan dan Singapura, namun angka orang-orang yang melajang menjadi meningkat (Gull, 2002; Jones, 2010). Bersama dengan peningkatan jumlah orang-orang yang melajang, diikuti juga dengan peningkatan kualitas hidup diantara para lajang (Himawan dkk, 2007). Berbagai penelitian menunjukkan hasil yang beragam antara kebahagiaan orang-orang yang melajang dan yang menikah. Penelitian Myers (2000) menunjukkan bahwa orang yang menikah lebih bahagia daripada para lajang. Data Badan Pusat Statistik (2015) yang menunjukkan bahwa level kebahagiaan para lajang 68,77% dan level kebahagiaan yang sudah menikah 68,74% (Himawan dkk, 2017). Namun pada penelitian lain menunjukkan bahwa para lajang lebih bahagia yaitu 65,31% dan yang menikah 64,99%. Seperti yang disampaikan teman-teman saya mengenai stereotip menjadi lajang, saya juga pernah dikasihani, dianggap kesepian dan dianggap tidak sempurna kebahagiaan saya karena melajang. Padahal kesepian adalah manusiawi serta manusia tidak bisa selalu bahagia setiap saat, saya memiliki banyak teman, banyak aktivitas yang bisa dilakukan para lajang selain pekerjaan atau sekolah, juga tentu saja dapat sepenuhnya bahagia sendirian. Teman-teman saya juga mengatakan bahwa melajang juga menyenangkan karena hidup mereka lebih bebas menentukan keinginan mereka, memiliki waktu untuk mengenal diri lebih banyak, memiliki kesempatan untuk memaksimalkan potensi diri, dan mencoba hal-hal baru. Ester Lianawati dalam bukunya “Ada Serigala betina dalam Diri Setiap Perempuan” mengatakan bahwa kehidupan lajang itu sendiri tidak membuat mereka tertekan, malah bisa jadi sangat memuaskan. Perempuan tidak tertekan oleh kelajangannya, ia tertekan oleh pandangan dan perlakuan orang-orang di sekitarnya terkait kelajangan mereka (Lianawati, 2020). Masyarakat masih tidak bisa menerima bahwa para lajang terutama perempuan, bisa sepenuhnya bahagia dengan status lajang mereka dan mereka masih menganggap bahwa pasangan terutama dalam pernikahan akan membuat hidup mereka lengkap atau sempurna. ![]() Seli Muna Ardiani (Mahasiswi Pascasarjana Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia) Enam tahun yang lalu, disebuah perbincangan, saya bersama beberapa rekan saling bertukar cerita mengenai pengalaman mendapatkan sexual harassment atau pelecehan seksual di masa remaja. Tentu penyebutan istilah ini kami sematkan setelah cukup mengetahui apa itu pelecehan seksual. Ingatan samar kami berisikan penilaian masa lalu terhadap tubuh yang tersakiti, kotor, menjijikkan, bahkan berdosa. Hampir keseluruhan dari kami menyimpan anggapan tersebut bertahun-tahun, tanpa sedikitpun pemahaman mengenai apa itu pelecehan dan kekerasan seksual. Kisah-kisah tersebut membuat kami menyimpulkan bahwa, sangat mungkin perempuan telah mengalami pelecehan tanpa tahu otonomi atas tubuhnya dilanggar. Melalui perbincangan inilah saya kemudian tertarik untuk mengetahui bagaimana awal mula istilah ‘sexual harassment’ dirumuskan. Sejarah Awal dan Diskusi yang Berkembang Sebelum periode 1970-an, istilah pelecehan seksual ternyata belum ditemui baik dalam naskah akademik, laporan, maupun surat kabar. Istilah tersebut baru dirumuskan oleh dua tokoh besar gerakan feminisme di Amerika, yakni Lin Farley dan Catharine A. MacKinnon. Reva B. Siegel dalam tulisannya A Short History of Sexual Harassment menyebut bahwa dua tokoh ini membawa pengaruh besar dalam sejarah perumusan dan implementasi konsep pelecehan seksual di dalam kebijakan Amerika pada saat itu. Meski secara istilah baru diformulasi pada periode 70-an, laporan pekerja buruh perempuan sudah mencatatkan pengalaman-pengalaman yang kemudian disebut sebagai pelecehan seksual. Catatan pertama tersebut dituliskan oleh Helen Campbell pada tahun 1887 yang berjudul “Women Wage Workers”. Dalam laporan ini, Campbell sudah mengidentifikasi bentuk-bentuk pemerasan seksual (sexual extortion) yang dialami perempuan pekerja pabrik dan industri garmen di Amerika. Berbekal dari pelbagai pengalaman buruh perempuan, Farley dalam sesi pengajarannya di Universitas Cornell tahun 1975 melakukan survey bersama Working Women United. Mereka menemukan suatu pola: kebanyakan para pekerja perempuan berhenti atau dipecat dari pekerjaan karena mereka dibuat tidak nyaman oleh perilaku laki-laki. Upaya perumusan juga dilakukan oleh MacKinnon dalam bukunya “Sexual Harassment of Working Women” (1979). Melalui karya inilah MacKinnon mempopulerkan istilah pelecehan seksual yang ia amati dalam lingkungan kerja. Ia medefiniskan pelecehan seksual sebagai “sexual harassment, most broadly defined, refers to the unwanted imposition of sexual requirements in the context of a relationship of unequal power”. Melalui definisi MacKinnon, pelecehan seksual mensyaratkan suatu kondisi tindakan yang tidak diinginkan dan dibawah ketimpangan kekuasaan. Pendefinisian inilah yang kemudian menjadi capaian gerakan feminisme Amerika, karena untuk pertama kalinya perlindungan terhadap pelecehan seksual mampu dimasukkan dalam Title VII atau Undang-Undang Hak Sipil di Amerika. Sebagai definisi, kategori situasi yang tidak diinginkan dan relasi kuasa adalah terobosan cemerlang dari MacKinnon. Namun dalam perkembangan intelektual feminisme, teori ini terus mengalami evaluasi. Salah satu gagasan yang mengoreksi pandangan MacKinnon datang dari Anita M. Superson. Ia tidak sependapat bahwa parameter tindakan pelecehan seksual dilihat dari situasi yang tidak diinginkan. Batasan ini dianggap bermasalah karena tidak cukup menggambarkan dampak buruk yang menimpa jenis kelas tertentu yakni perempuan. Bagi Superson, seorang korban tidak perlu lagi ditanyai apakah ia mengingankan atau tidak tindakan terhadapnya (Superson, 1993). Superson melalui definisi objektifnya mendapatkan dukungan dari beberapa pemikir seperti Jenna Tomasello dan Carol Hay. Sementara itu, diskusi yang lebih mutakhir seperti pandangan Vicki Schultz dan Margaret A. Crouch. Keduanya sama-sama mengoreksi pandangan MacKinnon yang dinilai heterosentris (Crouch, 2001). Schultz dan Crouch memahami bahwa pelecehan seksual dapat diterima siapa saja. Selain itu, hampir sama dengan gagasan Superson bahwa dengan melihat dampak buruk pelecehan seksual suatu tindakan juga berlaku sama terhadap suatu kelompok kelas. Melalui pemahaman ini dapat disimpulkan bahwa pelecehan seksual terhadap perempuan juga berarti pelecehan terhadap seluruh kelompok perempuan. Silang pendapat konsep pelecehan seksual di dalam tubuh feminisme agaknya terus berkembang hingga saat ini. Bahkan Crouch sendiri dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada definisi tunggal mengenai pelecehan seksual. Perkembangan Konsep Pelecehan Seksual di Indonesia Dalam perkiraan kasar saya, publik Indonesia mulai mengakrabi istilah pelecehan seksual sejak periode tahun 90-an akhir dan awal 2000-an. Rentang waktu tersebut saya ketahui ketika mulai melacak kembali pelbagai laporan kekerasan terhadap perempuan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan). Tentu perkiraan ini bisa saja keliru, sebab saya hanya mengukurnya dengan parameter penggunaan istilah di dalam laporan akademik. Terlepas dari kemungkinan itu, laporan-laporan berikut ini menjadi catatan awal bagi publik untuk mengenali sejarah diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia. Pada bulan November tahun 1999, istilah pelecehan seksual dipakai dalam seri dokumen kunci Komnas Perempuan. Seri ini berisikan temuan tim gabungan pencari fakta peristiwa kerusuhan Mei 1998. Dalam cakupan yang lebih umum, pelecehan seksual hanyalah satu bagian dari beberapa kategori kekerasan seksual yang banyak menimpa perempuan etnis Tionghoa. Kejahatan seksual masal lainnya adalah perempuan korban peristiwa 1965. Kebanyakan dari mereka adalah istri tahanan politik serta yang dilabeli dengan Gerwani. Laporan yang terakhir ini diterbitkan oleh Komnas Perempuan pada tahun 2007. Kemudian pada laporan tahun 2010, pelecehan seksual dimasukkan dalam 15 bentuk kekerasan seksual meliputi: Perkosaan; Intimidasi Seksual; Pelecehan Seksual; Eksploitasi Seksual; Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual; Prostitusi Paksa; Perbudakan Seksual; Pemaksaan Perkawinan; Pemaksaan Kehamilan; Pemaksaan Aborsi; Pemaksaan Kontrasepsi dan Sterilisasi; Penyiksaan Seksual; Penghukuman Tidak Manusiawi yang Bernuansa Seksual; Praktik Tradisi Bernuansa Seksual yang Membahayakan dan Mendiskriminasi; serta Kontrol Seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moral dan agama. 15 bentuk kekerasan seksual inilah yang kemudian dirumuskan dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) pada 2017. Melalui jalan terjal, RUU PKS yang diganti judul menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) berhasil disahkan menjadi UU TPKS pada 12 April 2022 dengan hanya mengakomodir 9 jenis kekerasan seksual. Antara Bahasa Hukum dan Perdebatan Akademik Bahasa hukum adalah bahasa kesepakatan, sementara bahasa akademik dipenuhi dengan perdebatan. Kendati konsep pelecehan seksual sudah masuk di dalam 9 jenis kekerasan seksual UU TPKS, perdebatan akademik mengenai konsep tersebut patut terus dikaji. Bukan hanya pada konsep pelecehan seksual saja yang telah dibahas oleh pemikir feminis selama ini, namun juga konsep kekerasan seksual secara umum. Di ruang akademik, perdebatan konsep pelecehan seksual jauh lebih sengit karena menghadapkan berbagai perspektif. Sebagaimana penjelasan saya di atas mengenai pendefinisian awal oleh MacKinnon, definisi pelecehan seksual terus diperiksa. Sementara istilah hukum lebih berupa bahasa objektif yang secara fungsional digunakan sebagai payung penegakan keadilan. Kebutuhannya didesak oleh nasib para korban di lapangan. Tentu perdebatan pendefinisian pelecehan seksual di dalam teori feminisme akan memengaruhi suatu kebijakan hukum. Namun saya melihatnya sebagai suatu proses berkelindan yang lagi-lagi terus mengevaluasi diri. Baik dalam segi pengembangan teori feminisme maupun konsep pelecehan seksual yang tersedia dalam bahasa hukum. Melalui pemahaman ini setidaknya kita menyadari bahwa pelecehan seksual bukanlah konsep final. Di ruang akademik, silang pendapat tentu tidak bisa dilepaskan dari landasan utama konseptualisasi ini. Yakni mengupayakan keadilan bagi korban pelecehan seksual. Spirit inilah yang kiranya akan melapangkan dada setiap pemerhati isu pelecehan seksual. Bahwa konsep ini akan terus dikaji ulang dan memungkinkan pengetahuan bagi semua individu. ![]() Ni Putu Putri Wahyu Cahyani (Mahasiswi Prodi Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia) Sebagai suatu negara yang besar dengan 16.771 pulau, hingga saat ini, Indonesia masih menjadi salah satu tujuan berlibur wisatawan mancanegara. Salah satu daya tarik yang menonjol ialah karena kehidupan masyarakat Indonesia yang tetap berpegang teguh dengan nilai-nilai adat-istiadat. Indonesia juga menjadi salah satu negara dengan keragaman pulaunya yang memiliki keindahan pantai dan pegunungan, souvenir yang menarik, hingga tak lupa nilai-nilai seni dan budaya yang turut tak pernah lekang. Melalui keberagaman pesona dari pulau-pulau di Indonesia, tak jarang kemudian ia disebut bagaikan “Surga Dunia”. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, surga dapat didefinisikan sebagai alam akhirat yang membahagiakan roh manusia yang tinggal didalamnya. Dengan mengadopsi definisi ini, kemudian lebih lanjutnya melalui elaborasi dengan term dunia, maka agaknya kita dapat berandai-andai bahwa hal yang membahagiakan tersebut bukan lagi akhirat, tetapi dunia atau realitas sebagai cerminan alam kehidupan manusia saat ini. Namun, layaknya sikap skeptis terhadap kebenaran indrawi ketika memandang pohon yang jauh di depan, perihal “Surga Dunia” itu pun tak selamanya dapat dipercaya. Realitanya, beberapa hal justru dapat menipu diri kita dengan aspek-aspek materialnya, tak terkecuali term ini. Apabila kita telisik lebih dalam lagi, Indonesia masih memiliki beragam sisi gelap yang tak banyak diselami oleh orang-orang. Pada konteks ini, keberpihakan term surga perlu kita pertimbangkan kembali. Orang-orang yang memiliki dominasi, agaknya itulah pihak-pihak yang mampu menikmati kebahagiaan tersebut. Kebahagiaan sendiri pada konteks ini bersangkut paut dengan ketentraman, kebebasan, pun keberuntungan yang bersifat lahir batin. Pada saat yang bersamaan, pihak-pihak dengan kedudukan dominanlah yang kemudian mampu berada di kondisi tersebut. Dalam sebagian besar kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di daerah-daerah, pihak-pihak itu merupakan orang yang berjenis kelamin laki-laki. Dengan menimbang ada orang-orang yang dominan pada konteks ini, maka pada saat yang bersamaan, munculah kedudukan yang marginal di sisi lainnya. Orang-orang yang berada pada posisi itu adalah perempuan. Sebagian besar perempuan Indonesia masih bagaikan orang yang berada di dalam penjara dan terikat kuat oleh hal yang secara lebih lanjut akan kita sampaikan sebagai budaya patriarki. Budaya patriarki merupakan suatu sistem sosial yang menempatkan laki-laki pada kedudukan yang dominan terhadap perempuan (Young 1990). Kesadaran utama yang dipegang dalam masyarakat patriarki adalah bahwa mereka mendefinisikan perempuan hanya sebatas objek, bahkan tubuh belaka. Lebih lanjut, perempuan juga seringkali dianggap menjadi “barang” milik suaminya, artinya semua tergantung dengan laki-laki. Penindasan-penindasan terhadap kaum yang berada pada kondisi marginal inilah yang kemudian menjadi cerminan implikasi dari budaya patriarki. Pada sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama di daerah-daerah, kesadaran yang serupa turut melekat dalam kehidupan mereka. Meskipun saat ini perlahan telah ada progresivitas pemikiran terkait dengan konteks ini, tetapi beberapa masih memandang laki-laki sebagai tuan yang harus dilayani oleh perempuan. Saking tingginya kedudukan dominasi laki-laki, dalam kehidupan sehari-harinya, apabila terdapat keluarga yang melahirkan anak perempuan, maka kekecewaan akan meringkus diri mereka. Sebaliknya, dalam suatu keluarga, apabila keturunan mereka mampu melahirkan anak laki-laki, maka ia akan menjadi anak emas sepanjang hidupnya. Mereka akan lebih disayang, pun diberikan kebebasan dalam kesehariannya. Hal ini salah satunya tercermin melalui akses pendidikan. Hingga saat ini, sebagian besar masyarakat Indonesia masih percaya bahwa pendidikan setinggi-tingginya hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Dengan demikian, seringkali anak perempuan memiliki keterbatasan dalam memilih langkah mereka ketika melanjutkan pendidikan. Konstruksi sosial turut mendorong pembentukan kesadaran bagi sebagian besar masyarakat Indonesia bahwa hanya laki-laki lah yang berhak melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya, hanya laki-laki yang bisa memimpin, serta hanya laki-laki yang pantas berprestasi. Bahkan, ketika seharusnya anak perempuan didukung untuk berkembang dalam perjalanan intelektualnya, mereka diekspektasikan untuk berakhir pada pekerjaan domestik semata. Anak perempuan dalam konteks ini lagi-lagi harus berlabuh pada sumur, dapur, dan kasur. Pada akhirnya, laki-laki membutuhkan karir, sementara perempuan membutuhkan suami, itulah ungkapan yang mencerminkan kondisi patriarki tersebut. Pendidikan merupakan instrumen yang memiliki pengaruh besar dalam memberikan perubahan pada kehidupan perempuan secara keseluruhan. Selain untuk mendapatkan pengetahuan, informasi, dan ide yang baru, pendidikan juga turut memiliki peranan penting dalam mengembangkan kemampuan kognitif perempuan. Secara bersamaan, melalui kemampuan kognitif yang berkembang, mereka juga akan mampu untuk merenung, mempertanyakan, hingga memutuskan suatu kehendak dalam kehidupannya. Dalam suatu budaya patriarki, kemampuan untuk merenung dan mempertanyakan merupakan langkah awal yang dapat dilakukan oleh perempuan untuk bergerak menuju progresivitas, dalam hal ini keluar dari “keterpenjaraannya”. Dengan hal tersebut, seseorang akan mulai untuk menyadari kondisi mereka yang terkekang dan marginal. Ini dapat tercermin melalui langkah awal untuk membandingkan kondisi mereka dengan kondisi perempuan di negara lain, pun dielaborasi melalui wawasan yang semakin luas, sehingga pada akhirnya kondisi yang selama ini mereka rasakan, turut direnungkan dan dipertanyakan jalan keluarnya. Dengan begitu, perempuan akan mampu bergerak untuk perubahan. Perempuan yang berpendidikan juga cenderung lebih kecil kemungkinannya untuk menerima kekerasan dalam berumah tangga (Kabeer 2005). Lebih lanjut, dengan pendidikan, perempuan akan lebih mampu untuk memberikan keputusan ketika suami melakukan tindakan kekerasan. Dalam konteks ini, perempuan akhirnya diandaikan akan jauh lebih memiliki kapasitas menjalankan kontrol dalam hidup secara independen. Tidak hanya itu, hal yang tidak kalah penting ialah bahwa perempuan yang berpendidikan, apabila kelak memilih untuk menjadi seorang ibu, maka pada saat yang bersamaan, ia akan menjadi sekolah pertama bagi anaknya. Dengan perempuan berpendidikan, maka pendekatan yang digunakan untuk mendidik anaknya pun akan cenderung lebih baik. Oleh karena anak merupakan tongkat estafet dari masa depan bangsa, maka sesungguhnya perempuan yang mendidik anaknya merupakan orang-orang yang berperan dalam pembentukan karakter calon pemimpin bangsa. Pada akhirnya, melalui penjelasan yang ada, maka dapat disampaikan bahwa reputasi Indonesia sebagai “Surga Dunia” agaknya masih menimbulkan kontradiksi di dalamnya. Sebagai “Surga Dunia”, budaya patriarki di sebagian besar kehidupan masyarakat Indonesia sendiri justru mengimplikasikan dunia layaknya penjara yang mengikat erat sisi perempuan. Kebahagiaan, pun kebebasan, agaknya masih menjadi suatu angan-angan bagi beberapa perempuan Indonesia, terutama di daerah, hingga hari-hari ini. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran kolektif dan kerja sama dalam diri individu untuk terus memberikan ruang bagi perempuan, salah satunya melalui pendidikan. Pada akhirnya, pendidikan tidak akan hanya berguna untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, tetapi juga mempersiapkan perempuan untuk mendapatkan tempat yang lebih setara dalam ekonomi dan masyarakat pada umumnya. ![]() Rizki Alya Putri Rahmadani (Mahasiswi Prodi Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia) Istilah good looking jika dikaji dengan menggunakan kamus bahasa inggris pada umumnya seperti Cambridge Dictionary akan memberikan arti bahwa ada sebuah paras yang rupawan. Konteks rupawan dalam good looking dijadikan sebagai sebuah ajektif yang memberikan citra atributif terhadap suatu hal dengan memperhatikan tata bahasa terkait. Good looking juga menjadi sebuah acuan pembanding antara dua hal, sehingga ada posisi lebih baik A daripada B. Ada peranan komparatif dari terminologi good looking, tatanan kalimat seperti ini biasanya digolongkan sebagai superlative degree yang menunjukan hierarkis ‘paling’ di antara posisi lain yang menjadi pembanding. Citra terminologi good looking yang disajikan pada kamus tersumpah sepertinya mulai diadaptasi oleh generasi millenial dan gen Z dalam pergaulan mereka. Ada kamus gaul yang turut memasukan kata good looking sebagai salah satu kata yang sangat umum dan wajar digunakan dalam pergaulan saat kini. Ungkapan good looking bisa kita temui di mana saja, salah satunya pada kanal media sosial yang sudah menjadi perpanjangan tangan dari manusia moderen. Pengguna Twitter, Instagram, Facebook bahkan TikTok berbondong-bondong menggunakan kata good looking dalam interaksi sehari-hari.Kegunaan kata good looking dalam memberikan perlindungan atas beberapa hal mungkin juga sering kita gunakan. Terlebih ketika kita melihat seorang public figure yang memiliki paras rupawan dan diiringi dengan tata sikap yang juga rupawan. Pada kesempatan lain, mungkin saja kita menggunakan kata good looking ketika kita kagum melihat individu lain yang hadir dalam kehidupan kita. Di lain sisi, kata good looking juga sering kita gunakan sebagai kalimat merendahkan diri sendiri ketika diri kita tidak sesuai dengan patokan standar kecantikan. Terminologi good looking menjadi sebuah budaya populer yang diagung-agungkan oleh banyak pihak. Bahkan good looking menjadi salah satu prasyarat seseorang untuk memiliki kesempatan dalam mendapatkan sesuatu. Popularitas kata good looking berkembang menjadi sebuah jurang pemisah antara sosok individu yang rupawan dengan yang tidak. Sontak kata good looking menjadi sebuah bungkus baru dari standar kecantikan yang berlaku selayaknya ideologi kesadaran palsu. Konteks good looking digunakan untuk menilai ‘harga’ dari seorang individu. Apalagi saat ini sudah banyak sekal pihak-pihak yang menginginkan sosok dengan good looking ada dalam kehidupannya. Penggunaan konteks good looking semakin ‘gila’ lagi lantaran ada privilege tertentu yang disematkan pada orang-orang yang dinilai good looking. Seperti orang yang dinilai good looking lebih memiliki kesempatan untuk berekspresi di ruang publik dibandingkan yang tidak. Internalisasi konteks terminologi good looking yang meluas menjadi sebuah ancaman baru dalam memandang manusia sebagai individu. Tentu akan ada beberapa problem dilematis mengenai kebebasan berpendapat dengan batasan untuk tidak menilai ataupun mengobjektifikasi individu lain. Keterbatasan yang diberikan oleh good looking dengan dukungan konstruksi sosial yang bobrok terlihat sangat menggerogoti kehidupan manusia dalam peradabannya. Terlebih pemahaman yang keliru atas good looking malah akan membuat beberapa pihak merasa termarjinalkan, khususnya dalam cara sosietas memandang perempuan. Konteks good looking seolah menjadi salah satu alat legitimasi untuk mendukung pembentukan perempuan yang bisa diatur. Ini semakin menguatkan kata rather become a woman yang sempat disinggung oleh Simone de Beauvoir. Lantas mengapa standar kecantikan dalam balutan good looking masih lazim dan diamini oleh banyak orang? dan bagaimana cara kita memandang diluar daripada konteks ini? Patut kita selidiki bagaimana beauty standard sangat disukai oleh banyak pihak. Standard kecantikan pada kehidupan masyarakat zaman now memberikan keuntungan dalam berbagai macam rupa. Ada pihak yang merasa bahwa sosok yang good looking dan memenuhi kriteria standar kecantikan itu lebih menjanjikan dibandingkan yang tidak. Dalam konteks pembahasan yang lebih jauh, kredibilitas seseorang bahkan mampu dinilai terlebih dahulu melalui konteks good looking. Seperti pada kasus-kasus yang saya sering temui sendiri ketika sedang berada di mall besar. Banyak orang yang masuk dengan pakaian oke dan terlihat rupawan dilayani dengan lebih baik dibandingkan dengan orang yang masuk ke mall ala kadarnya. Beragam alasan yang digunakan dalam memvalidasi tindakan screening semacam ini, salah satunya alasan bahwa orang dengan penampilan yang oke terlihat lebih punya kemampuan untuk membeli barang di mall dibandingkan yang tidak. kesannya keberadaan good looking sangat membantu dan menyediakan privilege-privilege yang menjanjikan. Tapi siapa sangka sesungguhnya keberadaan standard kecantikan dengan kedok good looking hanya semakin menjerat manusia dalam kekangan taraf kecantikan tertentu. Thompson (1995) pernah mengatakan kalau ada perasaan puas kepada orang yang memiliki visual bagus sesuai dengan tuntutan standard kecantikan. Namun sesungguhnya juga terdapat sebuah kekecewaan di balik keharusan untuk memenuhi tuntutan standard kecantikan. Terlebih bagi perempuan ini akan menjadi sebuah penjara emas ketika mengikuti standard kecantikan. Perihal seperti promosi iklan perawatan kecantikan, perhiasan, barang mewah cenderung memperlihatkan citra flaw dari diri seseorang tanpa hal-al tersebut. Seolah manusia tanpa hal seperti itu tidak layak untuk disebut sebagai manusia utuh. Perihal semacam ini juga mendukung konsep standard kecantikan yang menguntuk kulit putih, badan kurus, lemah gemulai, dan sebagai macamnya. Bahkan hal ini bisa membuat sebuah ideologi yang mengharuskan manusia untuk mengikuti keberadaan standard kecantikan semacam ini. Seharusnya sudah menjadi pembicara yang sangat modern bagaimana standard kecantikan terbentuk oleh masyarakat yang mengadopsi konstruksi maskulinitas sehingga terbentuk budaya patriarki. Titik tumpu pertanyaan berada dalam bagaimana sebuah konstruksi dari zaman dahulu tidak jua runtuh hingga saat ini? Apabila kita selidiki maka kita dapat mulai lebih peka dengan adanya konteks patriarki yang membudaya sehingga menjadi hegemoni. Hegemoni absolut dari tatanan patriarki membantu lenggangnya berbagai pernyataan tentang standard kecantikan. Kecantikan menjadi salah satu aspek yang seakan sangat penting daripada perihal lainnya. Tolok ukur seseorang pun lebih condong dilihat hanya berdasarkan kesesuaian mereka berada dalam standard kecantikan. Kiranya ini hanya membuat individu merasa sangat terkekang dan tidak mendapatkan kebebasan sama sekali. Seharusnya dalam konteks yang sangat maju sekarang ini, terlebih kita sudah memasuki pada era kekecewaan atas peradaban, meta narasi untuk mendebatkan patriarki dan standard kecantikan sudah sangat sering disuarakan. Seharusnya ada semangat untuk menghancurkan narasi besar yang berupa hegemoni. Terutama hegemoni yang membangun citra berdasarkan standard kecantikan semata. |
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
February 2023
Categories |