Dian Agustini (Mahasiswi Ilmu Filsafat, Universitas Gadjah Mada) Jika melihat perempuan merokok di meja batu sepanjang taman dekat fakultas saya, saya biasanya akan memandang sekilas dan memikirkan nilai-nilai yang mereka anut dan apa yang mendorong mereka untuk merokok di depan publik. Sebab mau tak mau, suka tak suka, melihat mereka selalu mengingatkan saya pada sebuah gerakan yang cukup berpengaruh dalam gagasan tentang perlawanan, torches of freedom; obor kebebasan. Obor kebebasan adalah istilah yang diciptakan pada awal abad ke-20 di Amerika Serikat untuk mengkampanyekan emansipasi dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan lewat gerakan merokok di muka umum oleh sekelompok perempuan. Istilah ini sendiri dicetuskan oleh psikoanalis Abraham Brill untuk menggambarkan keinginan natural perempuan untuk merokok, tetapi selalu terkekang oleh tabu sosial (Brandt 2007, hlm. 84). Berangkat dari gerakan tersebut, muncul sebuah konsensus bahwa perempuan yang merokok adalah lambang dari kebebasan perempuan dari konstruksi sosial yang selalu membelenggunya.
Namun, ada sesuatu yang jauh lebih mendalam tentang gerakan ini. Pencetus gerakan ini, Edward Bernays (1891–1995), seorang ahli propaganda Amerika Serikat, pada mulanya membantu Woodrow Wilson dalam meyakinkan masyarakat Amerika untuk bergabung dalam Perang Dunia I. Bernays berhasil meyakinkan rakyat Amerika untuk ikut perang dengan membuat pernyataan bahwa Amerika bisa membawa demokrasi ke Eropa. Propaganda tersebut berhasil, sehingga Bernays dikenal sebagai propagandawan perang paling utama. Ketika Perang Dunia I usai, Bernays mengimplementasikan ide propaganda agar bisa dimanfaatkan di masa damai. Akan tetapi, istilah propaganda sudah tidak bisa lagi digunakan, sebab konotasinya yang berubah menjadi negatif. Dari sana lah, Bernays mempromosikan istilah "hubungan masyarakat". Dari apa yang ia sebut sebagai teknik persetujuan, ia membuka wadah bagi para penguasa untuk bisa mengendalikan dan mengatur massa sesuai dengan kehendak mereka tanpa massa itu sadari. Hal ini berarti Bernays membangun sistem sosial di mana massa tidak diizinkan untuk memerintah, tetapi ia buat seolah-olah mereka masih memiliki kuasa. Inilah yang kita sebut sebagai ilusi demokrasi. Dari karya seminalisnya pada tahun 1928, Propaganda, Bernays menyebutkan bahwa manipulasi yang disengaja dan cerdas dari kebiasaan terorganisir dan opini publik adalah elemen penting dalam masyarakat yang demokratis. Mereka yang memanipulasi mekanisme masyarakat ini membentuk pemerintahan tak terlihat yang merupakan kekuatan penguasa sejati negara—yang kita sebut para elit, bukan pemerintah secara resmi, tetapi kuasanya jauh lebih besar dari mereka yang namanya tercantum dalam struktur pemerintahan. Ini mengindikasikan bahwa kita diperintah, pikiran kita dibentuk, selera kita ditentukan, dan ide-ide kita disetir oleh sebagian besar oleh orang yang namanya bahkan belum pernah kita dengar, yang kita tidak tahu bahwa mereka itu bahkan ada. Satu tahun setelah karya ini ditulis, Bernays menciptakan salah satu aksi paling hebat dalam sejarah propaganda dunia dengan menggunakan pola yang sama. Ia melawan tabu yang telah lama berkembang—bahwa perempuan tidak seharusnya merokok karena tidak feminin. Pada Parade Paskah tahun 1929, Bernays membuat banyak perempuan Amerika merokok di ruang publik—peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah AS. Sebelum abad ke-20, rokok dianggap sebagai produk laki-laki, sementara perempuan yang merokok biasanya dikonotasikan sebagai perempuan yang tidak bermoral, tidak suci, atau bahkan disebut pelacur (Amos & Haglund 2000). Tidak ada yang akan pernah mengira bahwa masa seorang perempuan akan merokok di tempat umum itu akan muncul. Bernays tidak menggunakan logika untuk melawan pemahaman ini, Bernays hanya membayar sekelompok perempuan untuk merokok di ruang publik, sambil secara halus menyebarkan rumor kepada wartawan tentang gerakan yang akan datang ini. Pada hari kejadian, lusinan perempuan berbaris di jalan-jalan membawa "obor kebebasan". Menjadikan rokok, kemudian menjadi simbol kebebasan. Berita itu menyebar seperti api di seluruh Amerika Serikat berkat rumor yang disebarkan Bernays. Para perempuan yang tertarik secara emosional dari rokok dan cerita tentang kebebasan, juga didorong oleh keinginan naluriah untuk sama seperti laki-laki, kemudian secara serentak mulai merokok. Keberhasilan propaganda Bernays di Amerika Serikat ini menginspirasi beberapa perusahaan tembakau di negara lain untuk menggunakan ide kebebasan perempuan dalam iklan mereka. Seperti di Jepang, di mana perusahaan tembakau menjadikan rokok sebagai simbol atas keunikan perempuan. Di Eropa Timur dan Tengah, rokok menjadi simbol atas emansipasi. Di Afrika Selatan, iklan rokok dibuat dengan menunjukkan seorang perempuan kulit hitam yang menerima rokok dari pria kulit putih untuk menunjukkan bahwa rokok bisa merobohkan tembok rasial. Sementara di India, iklan digambarkan dengan perempuan India yang menggunakan fashion Barat untuk menunjukkan bahwa rokok adalah simbol kebebasan dan modernitas (Amos & Haglund 2000). Mendengar kisah ini, kita mungkin akan berpikir bahwa gerakan propaganda Bernays itulah yang memulai gerakan bahwa perempuan-perempuan yang merokok adalah simbol bagi perlawanan terhadap tabu sosial dan aksi untuk menunjukkan tentang kesetaraan. Namun, apa yang perlu diketahui tentang Bernays adalah; dia bukan aktivis. Ideologinya tidak idealis. Obor kebebasan bukan perjuangan soal kelas, bukan perjuangan atas nilai dan status para perempuan yang semula tertindas, melainkan persoalan ekonomi. Ketika Bernays berhasil dalam menjalankan propagandanya, industri tembakau menjadi semakin kaya karena keuntungan mereka meningkat sepuluh kali lipat karena keberhasilan kampanye tersebut. Sebab itulah tujuan awal dari propaganda ini; untuk menarik lebih banyak konsumen perokok, sama sekali tidak bertujuan untuk memperjuangkan kesetaraan perempuan. Dalam kapitalisme, yang dikenal adalah mereka yang tidak bisa atau bisa menghasilkan produk dan uang, bukan mereka yang laki-laki atau yang perempuan. Hal ini berarti bahwa ide-ide kebebasan dan kesetaraan yang digaungkan dalam istilah Obor Kebebasan itu hanya ilusi agar tingkat konsumsi rokok meningkat, yang ujung-ujungnya hanya akan menguntungkan para pemilik usaha tembakau dan pabrik rokok. Kisah ini agak sedikit membuat saya tergelitik, jika tidak marah. Membuat saya mempertanyakan apakah gerakan-gerakan yang menggalakkan tentang kesetaraan gender benar-benar muncul dari kesadaran bahwa masyarakat kita belum setara, ataukah muncul karena perempuan dianggap sebagai target yang tepat untuk meningkatkan pembelian produk, tidak peduli pada hak-hak mereka yang sebenarnya. Referensi: Amos, A. & Haglund, M. 2000. "From Social Taboo to "Torch of Freedom": the Marketing of Cigarettes to Women", Tobacco Control, Vol. 9 (1), hlm. 3–8. Brandt, A. 2007. The Cigarette Century. Basic Books: New York
1 Comment
17/5/2024 04:20:08 pm
Nice for information
Reply
Leave a Reply. |
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
September 2024
Categories |