Ni Putu Putri Wahyu Cahyani (Mahasiswi Prodi Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia) Sebagai suatu negara yang besar dengan 16.771 pulau, hingga saat ini, Indonesia masih menjadi salah satu tujuan berlibur wisatawan mancanegara. Salah satu daya tarik yang menonjol ialah karena kehidupan masyarakat Indonesia yang tetap berpegang teguh dengan nilai-nilai adat-istiadat. Indonesia juga menjadi salah satu negara dengan keragaman pulaunya yang memiliki keindahan pantai dan pegunungan, souvenir yang menarik, hingga tak lupa nilai-nilai seni dan budaya yang turut tak pernah lekang. Melalui keberagaman pesona dari pulau-pulau di Indonesia, tak jarang kemudian ia disebut bagaikan “Surga Dunia”. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, surga dapat didefinisikan sebagai alam akhirat yang membahagiakan roh manusia yang tinggal didalamnya. Dengan mengadopsi definisi ini, kemudian lebih lanjutnya melalui elaborasi dengan term dunia, maka agaknya kita dapat berandai-andai bahwa hal yang membahagiakan tersebut bukan lagi akhirat, tetapi dunia atau realitas sebagai cerminan alam kehidupan manusia saat ini. Namun, layaknya sikap skeptis terhadap kebenaran indrawi ketika memandang pohon yang jauh di depan, perihal “Surga Dunia” itu pun tak selamanya dapat dipercaya. Realitanya, beberapa hal justru dapat menipu diri kita dengan aspek-aspek materialnya, tak terkecuali term ini. Apabila kita telisik lebih dalam lagi, Indonesia masih memiliki beragam sisi gelap yang tak banyak diselami oleh orang-orang. Pada konteks ini, keberpihakan term surga perlu kita pertimbangkan kembali. Orang-orang yang memiliki dominasi, agaknya itulah pihak-pihak yang mampu menikmati kebahagiaan tersebut. Kebahagiaan sendiri pada konteks ini bersangkut paut dengan ketentraman, kebebasan, pun keberuntungan yang bersifat lahir batin. Pada saat yang bersamaan, pihak-pihak dengan kedudukan dominanlah yang kemudian mampu berada di kondisi tersebut. Dalam sebagian besar kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di daerah-daerah, pihak-pihak itu merupakan orang yang berjenis kelamin laki-laki. Dengan menimbang ada orang-orang yang dominan pada konteks ini, maka pada saat yang bersamaan, munculah kedudukan yang marginal di sisi lainnya. Orang-orang yang berada pada posisi itu adalah perempuan. Sebagian besar perempuan Indonesia masih bagaikan orang yang berada di dalam penjara dan terikat kuat oleh hal yang secara lebih lanjut akan kita sampaikan sebagai budaya patriarki. Budaya patriarki merupakan suatu sistem sosial yang menempatkan laki-laki pada kedudukan yang dominan terhadap perempuan (Young 1990). Kesadaran utama yang dipegang dalam masyarakat patriarki adalah bahwa mereka mendefinisikan perempuan hanya sebatas objek, bahkan tubuh belaka. Lebih lanjut, perempuan juga seringkali dianggap menjadi “barang” milik suaminya, artinya semua tergantung dengan laki-laki. Penindasan-penindasan terhadap kaum yang berada pada kondisi marginal inilah yang kemudian menjadi cerminan implikasi dari budaya patriarki. Pada sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama di daerah-daerah, kesadaran yang serupa turut melekat dalam kehidupan mereka. Meskipun saat ini perlahan telah ada progresivitas pemikiran terkait dengan konteks ini, tetapi beberapa masih memandang laki-laki sebagai tuan yang harus dilayani oleh perempuan. Saking tingginya kedudukan dominasi laki-laki, dalam kehidupan sehari-harinya, apabila terdapat keluarga yang melahirkan anak perempuan, maka kekecewaan akan meringkus diri mereka. Sebaliknya, dalam suatu keluarga, apabila keturunan mereka mampu melahirkan anak laki-laki, maka ia akan menjadi anak emas sepanjang hidupnya. Mereka akan lebih disayang, pun diberikan kebebasan dalam kesehariannya. Hal ini salah satunya tercermin melalui akses pendidikan. Hingga saat ini, sebagian besar masyarakat Indonesia masih percaya bahwa pendidikan setinggi-tingginya hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Dengan demikian, seringkali anak perempuan memiliki keterbatasan dalam memilih langkah mereka ketika melanjutkan pendidikan. Konstruksi sosial turut mendorong pembentukan kesadaran bagi sebagian besar masyarakat Indonesia bahwa hanya laki-laki lah yang berhak melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya, hanya laki-laki yang bisa memimpin, serta hanya laki-laki yang pantas berprestasi. Bahkan, ketika seharusnya anak perempuan didukung untuk berkembang dalam perjalanan intelektualnya, mereka diekspektasikan untuk berakhir pada pekerjaan domestik semata. Anak perempuan dalam konteks ini lagi-lagi harus berlabuh pada sumur, dapur, dan kasur. Pada akhirnya, laki-laki membutuhkan karir, sementara perempuan membutuhkan suami, itulah ungkapan yang mencerminkan kondisi patriarki tersebut. Pendidikan merupakan instrumen yang memiliki pengaruh besar dalam memberikan perubahan pada kehidupan perempuan secara keseluruhan. Selain untuk mendapatkan pengetahuan, informasi, dan ide yang baru, pendidikan juga turut memiliki peranan penting dalam mengembangkan kemampuan kognitif perempuan. Secara bersamaan, melalui kemampuan kognitif yang berkembang, mereka juga akan mampu untuk merenung, mempertanyakan, hingga memutuskan suatu kehendak dalam kehidupannya. Dalam suatu budaya patriarki, kemampuan untuk merenung dan mempertanyakan merupakan langkah awal yang dapat dilakukan oleh perempuan untuk bergerak menuju progresivitas, dalam hal ini keluar dari “keterpenjaraannya”. Dengan hal tersebut, seseorang akan mulai untuk menyadari kondisi mereka yang terkekang dan marginal. Ini dapat tercermin melalui langkah awal untuk membandingkan kondisi mereka dengan kondisi perempuan di negara lain, pun dielaborasi melalui wawasan yang semakin luas, sehingga pada akhirnya kondisi yang selama ini mereka rasakan, turut direnungkan dan dipertanyakan jalan keluarnya. Dengan begitu, perempuan akan mampu bergerak untuk perubahan. Perempuan yang berpendidikan juga cenderung lebih kecil kemungkinannya untuk menerima kekerasan dalam berumah tangga (Kabeer 2005). Lebih lanjut, dengan pendidikan, perempuan akan lebih mampu untuk memberikan keputusan ketika suami melakukan tindakan kekerasan. Dalam konteks ini, perempuan akhirnya diandaikan akan jauh lebih memiliki kapasitas menjalankan kontrol dalam hidup secara independen. Tidak hanya itu, hal yang tidak kalah penting ialah bahwa perempuan yang berpendidikan, apabila kelak memilih untuk menjadi seorang ibu, maka pada saat yang bersamaan, ia akan menjadi sekolah pertama bagi anaknya. Dengan perempuan berpendidikan, maka pendekatan yang digunakan untuk mendidik anaknya pun akan cenderung lebih baik. Oleh karena anak merupakan tongkat estafet dari masa depan bangsa, maka sesungguhnya perempuan yang mendidik anaknya merupakan orang-orang yang berperan dalam pembentukan karakter calon pemimpin bangsa. Pada akhirnya, melalui penjelasan yang ada, maka dapat disampaikan bahwa reputasi Indonesia sebagai “Surga Dunia” agaknya masih menimbulkan kontradiksi di dalamnya. Sebagai “Surga Dunia”, budaya patriarki di sebagian besar kehidupan masyarakat Indonesia sendiri justru mengimplikasikan dunia layaknya penjara yang mengikat erat sisi perempuan. Kebahagiaan, pun kebebasan, agaknya masih menjadi suatu angan-angan bagi beberapa perempuan Indonesia, terutama di daerah, hingga hari-hari ini. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran kolektif dan kerja sama dalam diri individu untuk terus memberikan ruang bagi perempuan, salah satunya melalui pendidikan. Pada akhirnya, pendidikan tidak akan hanya berguna untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, tetapi juga mempersiapkan perempuan untuk mendapatkan tempat yang lebih setara dalam ekonomi dan masyarakat pada umumnya.
0 Comments
|
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
September 2024
Categories |