Siti Lutfiyah Azizah (Cases Analyst - The National Commission on Violence Against Women) “Saya takut, Mbak. Buat (ber)cerita begini saja, saya butuh waktu lama. Saya terus-menerus berpikir untuk mati. Semua orang menyalahkan saya.” Suaranya bergetar. Terkadang tangis pelannya terdengar. Berkali-kali ia menyalahkan dirinya atas peristiwa traumatis yang dialami, perkosaan oleh pasangan yang (dianggap) tidak mungkin melakukannya. Sejak hari pertama saya memutuskan terlibat di Komnas Perempuan, beragam kisah korban yang dikecam dan dibungkam dengan berbagai alasan memang sering saya dengar, termasuk alasan cinta. Pengalamannya bisa lebih buruk jika korban dan pelaku berada dalam ikatan pernikahan atau pacaran. Terkadang orang sekitar, termasuk keluarga dan penegak hukum, melihat kekerasan yang terjadi sebagai konflik hubungan biasa. Contohnya jika terjadi perkosaan oleh pacar, anggapan yang dihadirkan adalah konflik akibat hubungan seks berlandaskan cinta, bukan kekerasan. Munculnya stigma sebagai perempuan murahan menjadikan Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) pun dapat berakhir dengan pernikahan yang dipaksakan. Korban yang ditinggalkan begitu saja oleh pelaku tentu jauh lebih banyak. Kekerasan dalam ikatan pernikahan pun tak jauh berbeda. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), apalagi kalau ‘hanya’ kekerasan psikis, dianggap sekadar konflik pasutri yang akan memudar seiring dengan menguatnya cinta dan komitmen. Stigma korban KDRT pun bukan main parahnya. Dari mulai dianggap melebih-lebihkan kekerasan yang terjadi, tidak bersyukur, hingga dituduh durhaka dan pembongkar aib keluarga. Seorang penyintas yang saya kenal dikecam lebay karena bercerai sebagai upayanya memutus KDRT yang didapat. Ia dianggap hanya mau menerima value baik yang penuh cinta kasih dari orang tuanya, hingga tidak bisa menerima pasangannya yang abusive dan manipulatif. Bayangkan, kamu dididik orang tuamu dengan penuh cinta, kemudian kamu memilih orang yang salah untuk menikah karena ternyata suamimu pelaku KDRT, namun justru kamu dan didikan orang tuamu lah yang disalahkan saat memutuskan bercerai. Yang membuat itu semakin menyakitkan justru karena komentar itu datang dari pihak yang saya pikir akan berada di sisi korban, mendukung pemulihannya. Ternyata pihak tersebut justru merendahkannya sedemikian rupa dan menyebarkannya ke banyak pihak. Tak sedikit yang menuduhnya terjebak romantisme ala drama korea (drakor) sehingga tidak mau melihat bahwa perilaku abusive pasangannya adalah cinta. Ia yang tadinya seorang korban KDRT, harus kembali menjadi korban atas jahatnya komentar orang-orang sekitar dan mengalami trauma berulang. Victim Blaming bukan Dukungan, tapi Reviktimisasi Korban Kecaman dan hinaan berulang pada korban KDP dan KDRT seringkali bertameng bentuk kepedulian dan dukungan pada korban. Apalagi jika sudah menikah dan memiliki anak. Mereka yang mengecam akan semakin menekan dengan alasan, “Kasihan anakmu kalau orang tuanya bercerai/ayahnya dipenjara. Lagipula harusnya kamu mengerti kalau seperti itulah kasih sayang suamimu.” Orang-orang tersebut luput melihat bahwa memaknai kekerasan sebagai cinta adalah bagian dari manipulasi – manipulasi adalah bagian dari kekerasan psikis. Korban dipaksa menerima bahwa kekerasan adalah cinta. Hal buruk yang dialaminya dinafikan, ditolak sebagai kekerasan. Semua tuduhan dan kecaman wajib dianggap saran dan dukungan penuh cinta buat dirinya. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah korban mengalami viktimisasi sekunder atau reviktimisasi. Reviktimisasi pada korban sendiri merupakan upaya menstigma korban yang memperburuk kondisinya karena tidak mendapatkan respon positif sesuai harapan. Reviktimisasi terjadi saat korbanlah yang dituntut bertanggung jawab atas kekerasan tersebut. Bentuk reviktimisasi tentu saja bisa bermacam-macam. Dari mulai meragukan cerita korban, menyalahkannya, serta bentuk perlakuan negatif lainnya yang tidak sesuai dan jelas berbeda jauh dengan makna dukungan penuh empati dan cinta. Pada akhirnya, reviktimisasi membuat korban KDP dan KDRT pun semakin tak berdaya. Dalam beberapa kasus yang saya temui, dampak psikologis karena mengalami reviktimisasi bervariasi. Dari mulai munculnya trauma kembali, depresi, hingga berulang kali melukai diri dan mencoba bunuh diri. Kerentanan korban mengalami reviktimisasi tak jarang mengakibatkan korban makin ketakutan untuk melapor dan memproses kasusnya secara hukum. Kekerasan Bukanlah Cinta, Berikan Dukungan yang Tepat Adanya pede dan geer dengan mengira bahwa victim blaming adalah dukungan positif untuk korban tentu menyebalkan. Bahkan bisa berubah bahaya karena membuat pelaku jemawa. Alasan cinta semakin kerap disalahgunakan. Seorang pacar bisa memukul, melarang dan membatasi aktivitas korban, hingga memperkosa pasangannya dengan alasan cinta. Seorang suami bisa menampar, memaksa berhubungan seksual sesuka hatinya, menyetop nafkah, menuntut banyak hal pada istrinya dengan alasan cinta berbasis kepatuhan. Belum ditambah adanya dalil-dalil agama yang disalahgunakan secara serampangan untuk menguatkan posisinya sebagai pelaku kekerasan. Mirisnya saat korban berusaha mencari bantuan, kita semua tahu kalau tidak sedikit orang, termasuk tokoh agama, mengecam dan menyamakannya dengan membongkar aib suami. Padahal KDP dan KDRT tidak sesederhana yang bisa kita pahami. Adanya ikatan personal antara korban dan pelaku sering membuat korban berpikir ulang untuk mencari bantuan. Ada yang tidak sadar kalau dirinya adalah korban dan menelan bulat-bulat bahwa kekerasan tersebut adalah bentuk cinta pelaku. Banyak juga yang sadar namun terpaksa tetap bertahan karena beragam alasan. Salah satunya, stigma dan victim blaming dari sekitar. Itu kenapa, mari berhenti menyalahkan korban. Apalagi ikut campur memberi pendapat dan nasihat tanpa diminta. Kalau kita tidak mengenal atau mendengar cerita langsung dari korban, dukunglah korban dengan menahan diri berkomentar yang tidak perlu, juga menegur orang yang malah mengecam korban. Itu jauh lebih baik daripada ikut menyebarkan gosip kekerasan yang dialami korban dengan bumbu fitnah. Selain tidak sensitif, itu semakin menunjukkan betapa buruknya keberpihakan kita pada kasus kekerasan, khususnya KDP dan KDRT. Kalaupun korban memercayakan ceritanya pada kita, hal yang penting dilakukan adalah dengar, dengar, dan dengar. Mendengarkan yang baik dan empati ini kunci penting dalam memahami dan memulai dukungan tepat pada korban. Kita juga bisa memberikan apresiasi atas keberaniannya bercerita kepada kita. Katakan bahwa apa yang ia alami bukanlah kesalahannya dan itu bukanlah bentuk cinta dari pelaku. Kita bisa menanyakan kondisi dan perasaannya, tanpa memaksa. Karena tidak semua korban mampu bercerita setelah mengalami KDP atau KDRT dalam jangka waktu panjang. Saat korban merasa siap, kita bisa mengajak korban mencari bantuan. Entah itu akses bantuan hukum, psikologis, rumah aman, dan lain-lain sesuai yang dibutuhkannya. Bahwa kita ada dan bersedia membantu semampu kita saat mereka membutuhkan. Pada intinya, korban akan semakin yakin bahwa cinta tidak pernah diposisikan serendah perilaku kekerasan. Kita juga akan semakin belajar bahwa mengecam korban bukanlah dukungan beralibi cinta dan sayang, melainkan reviktimisasi yang justru ikut menjadikan kita sebagai pelaku kekerasan. Terima kasih untuk para penyintas yang telah berani bersuara, terkhusus seseorang yang mengizinkan kisahnya untuk saya cantumkan. You all are warriors.
1 Comment
|
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
September 2024
Categories |