Rizki Alya Putri Rahmadani (Mahasiswi Prodi Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia) Istilah good looking jika dikaji dengan menggunakan kamus bahasa inggris pada umumnya seperti Cambridge Dictionary akan memberikan arti bahwa ada sebuah paras yang rupawan. Konteks rupawan dalam good looking dijadikan sebagai sebuah ajektif yang memberikan citra atributif terhadap suatu hal dengan memperhatikan tata bahasa terkait. Good looking juga menjadi sebuah acuan pembanding antara dua hal, sehingga ada posisi lebih baik A daripada B. Ada peranan komparatif dari terminologi good looking, tatanan kalimat seperti ini biasanya digolongkan sebagai superlative degree yang menunjukan hierarkis ‘paling’ di antara posisi lain yang menjadi pembanding. Citra terminologi good looking yang disajikan pada kamus tersumpah sepertinya mulai diadaptasi oleh generasi millenial dan gen Z dalam pergaulan mereka. Ada kamus gaul yang turut memasukan kata good looking sebagai salah satu kata yang sangat umum dan wajar digunakan dalam pergaulan saat kini. Ungkapan good looking bisa kita temui di mana saja, salah satunya pada kanal media sosial yang sudah menjadi perpanjangan tangan dari manusia moderen. Pengguna Twitter, Instagram, Facebook bahkan TikTok berbondong-bondong menggunakan kata good looking dalam interaksi sehari-hari.Kegunaan kata good looking dalam memberikan perlindungan atas beberapa hal mungkin juga sering kita gunakan. Terlebih ketika kita melihat seorang public figure yang memiliki paras rupawan dan diiringi dengan tata sikap yang juga rupawan. Pada kesempatan lain, mungkin saja kita menggunakan kata good looking ketika kita kagum melihat individu lain yang hadir dalam kehidupan kita. Di lain sisi, kata good looking juga sering kita gunakan sebagai kalimat merendahkan diri sendiri ketika diri kita tidak sesuai dengan patokan standar kecantikan. Terminologi good looking menjadi sebuah budaya populer yang diagung-agungkan oleh banyak pihak. Bahkan good looking menjadi salah satu prasyarat seseorang untuk memiliki kesempatan dalam mendapatkan sesuatu. Popularitas kata good looking berkembang menjadi sebuah jurang pemisah antara sosok individu yang rupawan dengan yang tidak. Sontak kata good looking menjadi sebuah bungkus baru dari standar kecantikan yang berlaku selayaknya ideologi kesadaran palsu. Konteks good looking digunakan untuk menilai ‘harga’ dari seorang individu. Apalagi saat ini sudah banyak sekal pihak-pihak yang menginginkan sosok dengan good looking ada dalam kehidupannya. Penggunaan konteks good looking semakin ‘gila’ lagi lantaran ada privilege tertentu yang disematkan pada orang-orang yang dinilai good looking. Seperti orang yang dinilai good looking lebih memiliki kesempatan untuk berekspresi di ruang publik dibandingkan yang tidak. Internalisasi konteks terminologi good looking yang meluas menjadi sebuah ancaman baru dalam memandang manusia sebagai individu. Tentu akan ada beberapa problem dilematis mengenai kebebasan berpendapat dengan batasan untuk tidak menilai ataupun mengobjektifikasi individu lain. Keterbatasan yang diberikan oleh good looking dengan dukungan konstruksi sosial yang bobrok terlihat sangat menggerogoti kehidupan manusia dalam peradabannya. Terlebih pemahaman yang keliru atas good looking malah akan membuat beberapa pihak merasa termarjinalkan, khususnya dalam cara sosietas memandang perempuan. Konteks good looking seolah menjadi salah satu alat legitimasi untuk mendukung pembentukan perempuan yang bisa diatur. Ini semakin menguatkan kata rather become a woman yang sempat disinggung oleh Simone de Beauvoir. Lantas mengapa standar kecantikan dalam balutan good looking masih lazim dan diamini oleh banyak orang? dan bagaimana cara kita memandang diluar daripada konteks ini? Patut kita selidiki bagaimana beauty standard sangat disukai oleh banyak pihak. Standard kecantikan pada kehidupan masyarakat zaman now memberikan keuntungan dalam berbagai macam rupa. Ada pihak yang merasa bahwa sosok yang good looking dan memenuhi kriteria standar kecantikan itu lebih menjanjikan dibandingkan yang tidak. Dalam konteks pembahasan yang lebih jauh, kredibilitas seseorang bahkan mampu dinilai terlebih dahulu melalui konteks good looking. Seperti pada kasus-kasus yang saya sering temui sendiri ketika sedang berada di mall besar. Banyak orang yang masuk dengan pakaian oke dan terlihat rupawan dilayani dengan lebih baik dibandingkan dengan orang yang masuk ke mall ala kadarnya. Beragam alasan yang digunakan dalam memvalidasi tindakan screening semacam ini, salah satunya alasan bahwa orang dengan penampilan yang oke terlihat lebih punya kemampuan untuk membeli barang di mall dibandingkan yang tidak. kesannya keberadaan good looking sangat membantu dan menyediakan privilege-privilege yang menjanjikan. Tapi siapa sangka sesungguhnya keberadaan standard kecantikan dengan kedok good looking hanya semakin menjerat manusia dalam kekangan taraf kecantikan tertentu. Thompson (1995) pernah mengatakan kalau ada perasaan puas kepada orang yang memiliki visual bagus sesuai dengan tuntutan standard kecantikan. Namun sesungguhnya juga terdapat sebuah kekecewaan di balik keharusan untuk memenuhi tuntutan standard kecantikan. Terlebih bagi perempuan ini akan menjadi sebuah penjara emas ketika mengikuti standard kecantikan. Perihal seperti promosi iklan perawatan kecantikan, perhiasan, barang mewah cenderung memperlihatkan citra flaw dari diri seseorang tanpa hal-al tersebut. Seolah manusia tanpa hal seperti itu tidak layak untuk disebut sebagai manusia utuh. Perihal semacam ini juga mendukung konsep standard kecantikan yang menguntuk kulit putih, badan kurus, lemah gemulai, dan sebagai macamnya. Bahkan hal ini bisa membuat sebuah ideologi yang mengharuskan manusia untuk mengikuti keberadaan standard kecantikan semacam ini. Seharusnya sudah menjadi pembicara yang sangat modern bagaimana standard kecantikan terbentuk oleh masyarakat yang mengadopsi konstruksi maskulinitas sehingga terbentuk budaya patriarki. Titik tumpu pertanyaan berada dalam bagaimana sebuah konstruksi dari zaman dahulu tidak jua runtuh hingga saat ini? Apabila kita selidiki maka kita dapat mulai lebih peka dengan adanya konteks patriarki yang membudaya sehingga menjadi hegemoni. Hegemoni absolut dari tatanan patriarki membantu lenggangnya berbagai pernyataan tentang standard kecantikan. Kecantikan menjadi salah satu aspek yang seakan sangat penting daripada perihal lainnya. Tolok ukur seseorang pun lebih condong dilihat hanya berdasarkan kesesuaian mereka berada dalam standard kecantikan. Kiranya ini hanya membuat individu merasa sangat terkekang dan tidak mendapatkan kebebasan sama sekali. Seharusnya dalam konteks yang sangat maju sekarang ini, terlebih kita sudah memasuki pada era kekecewaan atas peradaban, meta narasi untuk mendebatkan patriarki dan standard kecantikan sudah sangat sering disuarakan. Seharusnya ada semangat untuk menghancurkan narasi besar yang berupa hegemoni. Terutama hegemoni yang membangun citra berdasarkan standard kecantikan semata.
3 Comments
|
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
September 2024
Categories |