Naufaludin Ismail (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi FISIP UI) Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat (AS) yang ke-45 yang menjabat selama 4 tahun lamanya mulai dari tanggal 20 Januari 2017 – 20 Januari 2021. Sejak masa kampanye, Donald Trump sudah menjadi ‘malapetaka’ dan mimpi buruk tidak hanya bagi warga negara AS, namun juga seluruh penduduk di muka bumi. Pemerintahan Trump berubah menjadi Pertunjukan Horor Amerika yang menakutkan bagi banyak orang. Kellner (2017) adalah pemikir yang membahas secara lengkap dosa-dosa politik Trump selama ia mencalonkan diri hingga terpilih menjadi Presiden AS dalam bukunya yang berjudul American Horror Show: Election 2016 and the Ascent of Donald J. Trump Kellner (2017) secara detail dalam setiap pembahasan bukunya tentang bagaimana Trump melakukan peperangan terhadap media, sistem peradilan, dan institusi demokrasi di AS, hingga membuat banyak kebijakan Trump yang ditentang dan dilawan oleh rakyatnya pada minggu-minggu awal pemerintahannya. Dari sekian banyak tindakan politik Trump tidak etis yang dilakukan oleh Trump seperti yang dijabarkan di buku Kellner (2017) adalah bagaimana secara tidak etis menjatuhkan lawan politiknya, Hillary Clinton, dengan berbagai serangan secara verbal dan tindakan yang dianggap tidak etis sama sekali selama proses kampanye berlangsung. Erichsen et al., (2020) membahas bagaimana pendukung Trump mudah sekali bertutur kasar kepada Clinton, terutama dalam konteks ia sebagai perempuan. Apa yang dilakukan oleh pendukung Trump ini sebenarnya adalah cerminan dari sikap Trump yang kerap kali melecehkan prempuan, seksis, misoginis, dan patriarkis. Frasa ‘Nasty Women’ menjadi populer setelah Trump secara terang-terangan menyerang Clinton sedemikian kasarnya namun, yang menjadi miris ketika seorang calon pemimpin negara bisa dengan sadar bersikap tidak etis di depan publik dan jelas-jelas memengaruhi pendukungnya untuk bersikap yang sama kasarnya dengan dirinya. Richardson-Self (2018) membahas bagaimana kebencian terhadap perempuan dengan sangat mudah dilakukan dalam bentuk ujaran kebencian atau hate speech. Richardson-Self (2018) berpendapat bahwa politik anti-patriarki yang berkaitan dengan ujaran kebencian terhadap perempuan telah diabaikan oleh para akademisi. Padahal, ujaran kebencian adalah salah satu kategori konseptual terpenting dalam politik anti-penindasan dan politik seringkali hanya dicurahkan untuk mengidentifikasi, mengkarakterisasi, menentang, dan (terkadang) menghukum ujaran kebencian, tetapi selalu ada celah untuk menempatkan pidato atau orasi yang sangat patriarkis. Kebencian yang diujarkan Trump kepada Clinton selama masa pemilihan presiden AS kemarin jelas tidak etis dan melanggar sisi kemanusiaan atau humanis. Lantas, mengapa semua perlakukan tidak etis ini bisa dibenarkan secara moral dan bahkan bisa membawa Trump menjadi presiden AS? Apa yang salah dengan publik hingga sangat toleran terhadap perbuatan seksis, misoginis, dan patriarkis dari calon pemimpin AS ini? Patut kita selidiki mengapa pelaku komunikasi politik yang jelas-jelas tidak etis justru sangat dicintai oleh banyak orang. Hegemoni Maskulinitas: Tantangan Postmodernisme Diskursus mengenai apakah masih relevan untuk membahas patriarki dalam kaitannya dengan ketidakadilan, opresi, dan ketimpangan mungkin akan sangat sangat terbentur dengan narasi postmodernisme yang diagung-agungkan oleh para pemikirnya. Dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak postmodernisme menjadi isu yang seksi di beberapa kalangan akademis, pertanyaan-pertanyaan seputar agenda feminis dan ilmu sosial menjadi semakin sering diperdebatkan. Rasanya kita tidak perlu berdebat panjang lebar mengenai seluk beluk pemikiran postmodernisme, tetapi beberapa argumen kunci dalam tren baru ini. Bagi sebagian orang, perbincangan mengenai feminisme di era postmodern ini dipandang sebagai salah satu tantangan terbesar feminisme – adalah penolakan Jean-Francois Lyotard terhadap meta-narasi sejarah dan sosial yang menyangsikan segala bentuk struktural di dalam kehidupan. Target utama Lyotard adalah Marxisme dan upayanya untuk mengembangkan kritik terhadap hubungan ketidaksetaraan berbasis luas di sekitar kelas dan hubungan properti. Konsepsi Marxis tentang masyarakat dikritik sebagai reduktif, menutup keragaman dan pluralitas perbedaan sosial (Murray, 2005). Goldzwig & Sullivan (2011) dengan gamblang menyebutkan bahwa dalam memahami era postmodern hari ini, perspektif feminis haruslah menjadi landasan untuk memahami etika politik. Para sarjana yang berteori tentang etika dan postmodernitas menanyakan apa artinya terlibat dalam dialog dan berkomunikasi secara etis di era ketidakpastian, perbedaan, dan keragaman yang tidak begitu memiliki banyak kesamaan. Nyatanya, tindakan misoginis, seksis, dan patriarkis yang jelas-jelas melecehkan perempuan terjadi secara gamblang pada komunikasi dan tindakan politik yang dilakukan oleh Trump kepada Clinton dan bahkan kepada para perempuan secara umum. Politik hari ini tidak akan pernah menguntungkan perempuan, karena hegemoni maskulinitas dan politik akan selalu diasosiasikan dengan kekuatan, arogan, kasar, tegas, kaku, dan tangguh tidak pernah berhenti menggerus keterlibatan perempuan dalam politik sehingga akan sangat mudah bagi komunikator (terutama laki-laki) untuk terlihat ‘keren’ dan ‘gagah’ ketika memperlakukan perempuan sebagai individu yang lebih rendah dari laki-laki sehingga label ‘tidak etis’ tidak akan melekat pada sang komunikator politik, seperti yang Trump lakukan. Etika Komunikasi Politik Feminis Sebagai Jalan Keluar Toxic masculinity adalah jawaban paling general dan umum untuk bisa menjelaskan mengapa Trump begitu banyak pendukung dan bisa memenangkan kursi presiden AS. Padahal, konsep retorika yang disampaikan oleh Trump di setiap kampanye nya selalu melecehkan Clinton.Foss dan Griffin (1995) dalam perspektif feminis menekankan perhatian pada konteks dan dialog, dan dalam beberapa hal paralel dengan teori postmodern tentang retorika, etika, dan politik. Sarjana feminis beralih ke pengalaman perempuan untuk mengidentifikasi kualitas komunikasi yang disampaikan oleh komunikator politik dan jelas Trump tidak melakukan orasi yang berperspektif feminis. Hutchings (2017) menambahkan bahwa perlakuan tidak etis yang menyasar kelompok perempuan dalam konteks politik bisa disebut sebagai salah satu bentuk tindakan kekerasan politik. Hallstein (1999) dengan gamblang menjelaskan bahwa jalan keluar dari etika komunikasi politik untuk menjawab tantangan postmodernisme hari ini adalah etika komunikasi politik feminis yang berdasarkan dari etika kepedulian. Model etika komunikasi yang muncul dari teori sudut pandang feminis paling tepat digambarkan sebagai revisi atas etika kepedulian postmodern yang menggabungkan gagasan tentang keragaman, perbedaan moral, dan penalaran. Hal ini harus direvisi karena perspektif feminis mengubah dasar tradisional dari etika kepedulian namun tanpa mengubah sisi fundamental dari etika kepedulian. Caranya adalah dengan mengoreksi tiga masalah utama etika kepedulian yaitu persoalan tentang laki-laki yang tidak bisa mengamalkan etika kepedulian, ketidakmampuan untuk memanfaatkan nalar, dan logika saat mengamalkan etika kepedulian, dan kesulitan menggunakan rasionalitas saat menunjukkan kepedulian. Kesimpulan Hanya dengan menggunakan common sense, seharusnya perlakuan Trump terhadap Clinton tidak bisa dibenarkan dari sisi apapun baik etis sampai hukum sekalpun. Merendahkan perempuan sebagai jalan untuk meraih kemenangan dalam politik sangat jauh dari kata etis. Harusnya kita paham bahwa perlakuan seksis, misoginis, dan patriarkis tidak bisa dilabeli etis hanya karena kultur patriarki yang sudah mendarah daging di berbagai bidang kehidupan termasuk politik. Mengutip Buzzanell (2011) tentang bagaimana etika feminis hari ini (Buznell menyebutnya sebagai etika diskursif feminis) dikaitkan dengan politik hari ini, ada enam proses yang saling terkait dalam etika diskursif feminis yang dapat dipertimbangkan kembali: (1) konteks konstruksi sosial; (2) mempromosikan dialog melalui nilai-nilai kemanusiaan; (3) merancang visi; (4) membingkai ulang; (5) iterasi penyematan; dan (6) membuat proses dan hasil menjadi transparan. Empat yang pertama menggambarkan pelaksanaan etika feminis; dua yang terakhir bertindak sebagai proses akar yang mendasari etika feminis. Secara bersama-sama, proses ini memungkinkan peserta dan pemangku kepentingan lainnya perlu memposisikan gender sebagai dasar pertimbangan etis di dalam dan di seluruh konteks komunikasi untuk memengaruhi interaksi sehari-hari dan perubahan kebijakan global (Buzzanell et al., 2009). Meski begitu, proses etika diskursif feminis sulit dicapai dengan berbagai tantangannya. Tantangan-tantangan ini meliputi: tanggapan feminis dan sikap proaktif terhadap isu-isu etika dan hak asasi manusia transkultural dan internasional, pengakuan atas peran keragaman dan marginalisasi dalam proses dan hasil etis, kekerasan gender, privasi, keamanan, dan dilema identitas yang ditimbulkan oleh dunia maya, game, dan jejaring sosial (Johannesen, 2001). Sarjana komunikasi seharusnya menawarkan cara unik untuk memunculkan, menginterogasi, dan menyelesaikan dilema etika untuk dunia saat ini. Etika feminis hari ini harusnya menjadi esensial diperbincangkan dan banyak dibahas oleh para sarjana komunikasi hari ini untuk bisa membangung sebuah gagasan untuk mewujudkan etika komunikasi politik yang humanis.
0 Comments
|
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
October 2024
Categories |