Merlinda Santina Ximenes (Alumni Prodi Komunikasi, Universitas Nusa Cendana) Jika mendengar kata “Pemimpin” dan “Perempuan”, siapa yang muncul di benak kalian? Dalam negeri, tokoh-tokoh seperti Retno Marsudi, Sri Mulyani, Susi Pudjiastuti, dan Najwa Shihab kerap menghiasi media massa maupun media sosial dalam merepresentasikan kepemimpinan perempuan. Di tingkat ASEAN, ada Maria Ressa dari Filipina dan Trang Nguyen dari Vietnam sebagai pemimpin perempuan yang juga mengangkat isu-isu dan keresahan soal perempuan. Bagaimana dengan ruang internasional? Apakah perempuan benar-benar dilibatkan secara penuh? Di permukaan, partisipasi perempuan terkesan sudah terlihat. Realitanya, saat ini sudah banyak perempuan telah menduduki jabatan sebagai pemimpin, dimulai dari tingkat desa, kecamatan, kelurahan, hingga di bidang pendidikan, komunitas, dan lembaga swadaya masyarakat. Perempuan juga aktif di lembaga pemerintahan dan bahkan sebagai pemimpin keluarga. Namun, persentase kepemimpinan perempuan secara keseluruhan masih jauh dibandingkan dengan persentase laki-laki sebagai pemimpin. Mengapa demikian? Salah satu akar dari permasalahan ini adalah budaya patriarki, sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas sentral dalam komunitas dan organisasi sosial. Posisi laki-laki lebih tinggi daripada perempuan dalam segala aspek kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi, yang memberikan mereka privilese dalam hal kepemimpinan. Namun, apakah dengan adanya budaya patriarki yang masih lekat, ketakutan untuk bersuara dan melawan budaya ini harus ada? Hal ini justru menjadi bahan refleksi bagi kita semua! Bukti yang terkumpul dari seluruh dunia menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan di setiap sektor, dimulai dari tata kelola hingga kepemimpinan akar rumput, mengindikasikan bahwa perempuan cenderung memiliki kecerdasan relasional yang lebih tinggi. Perempuan juga memiliki kapasitas untuk mengantisipasi konsekuensi dengan cara yang berbeda dari kebanyakan laki-laki. Berdasarkan pengalaman, penulis pernah menduduki posisi pemimpin dalam komunitas Forum Remaja Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Nusa Tenggara Timur yang mengangkat isu Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi. Bagi penulis, kepemimpinan perempuan menjadi salah satu kekuatan pendorong di balik banyak inisiatif dan perubahan dalam komunitas. Ketika perempuan terlibat dalam proses pengambilan keputusan, pola kepemimpinan yang ada membawa perspektif unik yang sering kali terabaikan dalam sistem yang didominasi oleh laki-laki. Partisipasi aktif perempuan dalam komunitas tidak hanya memajukan kesetaraan gender, tetapi juga memperkuat tatanan sosial dengan menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan beragam. Pelibatan perempuan dalam komunitas dimulai dari pemberdayaan perempuan di tingkat lokal, yang mencakup pelatihan kepemimpinan, akses ke pendidikan, dan dukungan dari berbagai organisasi sosial. Upaya ini memberikan peran penting dalam mengembangkan kemampuan kepemimpinan perempuan. Di banyak desa dan juga kota, kita telah melihat perempuan mengambil peran penting sebagai pemimpin komunitas, kepala desa, bahkan sebagai anggota dewan. Di banyak komunitas, bahkan juga level nasional, perempuan yang terlibat dalam kepemimpinan dapat juga mengadvokasi kebijakan yang mendukung kesehatan ibu dan anak, pendidikan anak perempuan, serta pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kepemipinan perempuan mampu menjembatani kesenjangan antara kebutuhan komunitas dan kebijakan pemerintah, memastikan bahwa suara-suara yang sering tidak terdengar mendapatkan perhatian yang layak karena perempuan juga merasakan hal tersebut. Namun, perjalanan menuju kesetaraan dan kepemimpinan perempuan tidaklah mudah. Masih banyak hambatan yang harus dihadapi, termasuk stereotip gender, diskriminasi, dan kurangnya dukungan dari berbagai segmen masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak baik pemerintah, organisasi non-pemerintah, maupun masyarakat secara keseluruhan untuk terus mendukung dan mempromosikan pelibatan perempuan dalam semua aspek kehidupan komunitas. Pelibatan perempuan tidak hanya dalam aspek pelaksanaan saja, tetapi dalam keseluruhan aspek sehingga isu dan suara perempuan bisa diambil dan mewakili suara perempuan lain. Pemikiran feminis melihat kepemimpinan perempuan sebagai langkah advokasi yang meyakini perempuan memiliki kemampuan dan hak yang sama untuk memimpin seperti halnya laki-laki. Ini termasuk menghilangkan hambatan struktural dan budaya yang menghalangi perempuan untuk mencapai posisi kepemimpinan. Kepemimpinan perempuan dilihat sebagai cara untuk membawa perspektif dan pengalaman yang berbeda ke dalam pengambilan keputusan. Perempuan sering menghadapi tantangan dan pengalaman yang unik, dan kepemimpinan dapat memperkaya dan memperluas pemahaman serta solusi terhadap isu-isu yang dihadapi masyarakat. Referensi: Holly Corbett. 2023.”Women’s History Month: Women, Power And Why We Need To Redefine Leadership”. Diakses melalui https://www.forbes.com/sites/hollycorbett/2023/03/29/womens-history-month-women-power-and-why-we-need-to-redefine-leadership/
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
September 2024
Categories |