Asri Pratiwi Wulandari (Mahasiswa Pascasarjana Kajian Gender, Universitas Indonesia) Bagi saya, membaca fiksi selalu merupakan pengalaman yang amat menarik. Saya suka kisah yang membuat saya termenung, memikirkan sesuatu yang belum pernah saya pikirkan sebelumnya, atau dari sudut pandang yang benar-benar berbeda. Saya ingat-ingat kembali, sepertinya salah satu pertemuan saya dengan gagasan feminis pun berawal dari cerpen “Perempuan Berbaju Bunga-Bunga” karya Nenden Lilis yang menggambarkan bagaimana pemaksaan perempuan untuk hanya di kasur, sumur, dan dapur itu sungguh memenjara. Kisah itu membantu saya berpikir kritis tentang peran domestik yang dibebankan pada perempuan, tanpa perlu mengalaminya terlebih dahulu. Namun, pengalaman membaca Dari Dalam Kubur karya Soe Tjen Marching—kisah yang berfokus pada tragedi 1965 dan sentimen terhadap etnis Tionghoa—bagi saya agak berbeda. Tepatnya amat sangat personal. Dari awal sampai akhir, pengalaman para tokoh membuat saya terngiang kembali pengalaman saya sejak kecil sebagai anak perempuan dari seorang ibu Sunda dan ayah etnis Tionghoa.
Novel “Dari Dalam Kubur” dimulai dengan cerita seorang perempuan bernama Karla, gadis yang selama tumbuh besar di Surabaya mengalami banyak kebingungan mengenai identitas etnisnya. Dari cerita Karla, kita dapat menemukan bagaimana sentimen rasis muncul di percakapan sehari-hari dan berangsur menggembung menjadi berita-berita penjarahan toko-toko. Kisah Karla juga menceritakan peliknya hubungan ibu dan anak perempuan. Di mata Karla, Lydia Maria, ibunya, adalah “monstrous mother”. Karla menganggap ibunya seperti tawon parasit, iblis, dan hal-hal mengerikan lainnya. Kebencian Karla pada keluarga terutama ibunya membuatnya menjauh dari identitasnya sebagai perempuan keturunan Tionghoa. Bahkan ketika kisah bergerak ke peristiwa kerusuhan 1998, waktu mendengar banyak perempuan Tionghoa diperkosa, Karla hanya bersyukur karena ia tidak menjadi korban, selebihnya bersikap acuh tak acuh. Cerita Karla berhenti sejenak ketika ia mencuri autobiografi sang ibu dari seorang feminis yang meneliti tentang kehidupan ibunya. Kisah inilah kisah titular “dari dalam kubur”, yang perlahan menyingkap kisah hidup seorang ibu yang dianggap monster oleh putrinya. Lydia Maria yang ternyata bernama asli Djing Fei, mengubah identitasnya setelah menjadi tahanan politik 1965. Djing Fei menjadi tahanan politik selama empat tahun demi melindungi adik iparnya yang dekat dengan anggota Gerwani. Adik iparnya sendiri dekat dengan empat anggota Gerwani karena mereka yang menyelamatkannya dari KDRT. Djing Fei sendiri tidak dekat dengan mereka, justru cenderung menghindari para perempuan tersebut. Namun, dari pengamatan Djing Fei kita tetap mendapat segelintir bentuk kegiatan Gerwani sebelum ditangkap: membicarakan politik pada arisan ibu-ibu, mengajarkan baca tulis pada masyarakat, dan menolong perempuan yang mengalami KDRT. Gerwani di mata Djing Fei adalah pejuang, yang membuatnya begitu marah ketika propaganda menceritakan mereka sebagai perempuan-perempuan yang menari telanjang dan membunuh jenderal, bahkan berpuluh-puluh tahun setelah ia bebas dari penjara tahanan politik. Kisah Djing Fei selama menjadi tahanan politik menggambarkan dengan jelas bagaimana perempuan mengalami kekerasan berlapis pada situasi konflik. Selama menjadi tahanan, para perempuan menghadapi kekerasan tambahan yaitu kekerasan seksual. Kekerasan seksual tersebut juga berlanjut sampai setelah Djing Fei bebas karena ternyata ia hamil akibat perkosaan yang dialaminya saat masih ditahan, dan orang-orang di sekitarnya pun memaksanya untuk tidak melakukan aborsi. Tragedi yang Djing Fei alami ini menunjukkan bagaimana rahim sebagai organ reproduksi pun turut dijadikan alat penyiksa perempuan dalam masyarakat yang sangat patriarkis. Siksaan yang Djing Fei rasakan kemudian membuatnya lebih awas terhadap ketidakadilan yang harus perempuan alami, bahkan pada keseharian yang bukan situasi konflik. Sebagai perempuan yang mengalami siksaan pada tubuhnya selama bertahun-tahun, ketika merasakan sakit saat melahirkan anak hasil perkosaan, Djing Fei melihat bahwa di luar tahanan pun tubuh perempuan mengalami siksaan yang dianggap wajar. “Kenapa mereka begitu memuliakan kehamilan dan kelahiran, kalau semua ini begitu penuh erangan dan kepedihan?” “Mereka tak peduli pada hancurnya dan robeknya tubuh saya, pada darah yang berceceran di mana-mana.” “Kelahiran dianggap rahmat dan melahirkan adalah kodrat. Karena wanita harus jadi ibu. Siapa pun yang meratapi hal ini adalah perempuan yang ndak tahu diri.” Bagian ini mengingatkan saya pada bacaan lain, “Diary of a Void” oleh Emi Yagi, yang tokohnya juga mempertanyakan mengapa perempuan masih harus amat menderita secara fisik ketika melahirkan, padahal peradaban sudah begitu canggih. Kedua teks ini sama-sama mengajak pembaca menyadari bahwa terdapat konsep-konsep yang digunakan untuk mewajarkan penderitaan yang dialami tubuh perempuan. Penderitaan tubuh begitu dilekatkan dengan identitas perempuan sampai-sampai ada mitos bahwa anak hasil zina mudah dilahirkan, seolah perempuan tidak boleh tidak menderita untuk menjadi sosok ibu ideal. Saya sangat menyukai bagaimana imaji Djing Fei sebagai monstrous mother pada narasi Karla dipatahkan oleh narasi inti novel ini. Penulis seolah berkata bahwa sosok perempuan yang didemonisasi sesungguhnya bersifat multidimensi jika sang perempuan diizinkan menceritakan kisahnya sendiri, dengan suaranya sendiri. Dengan menghadirkan perbedaan realitas yang diketahui Karla dan Djing Fei, penulis dengan efektif menunjukkan bahwa sejarah akan selalu bersifat subjektif, dan karenanya kita perlu selalu mengkritisinya. Saya juga sangat suka bagaimana novel ini menghadirkan bagaimana proses penulisan sejarah yang sangat perempuan: menggunakan sumber-sumber data seperti autobiografi dan buku harian, menggunakan kedekatan personal dan perspektif feminis, proses penulisan yang bersifat kolaboratif antara peneliti dan subjek penelitian. Begitu banyak hal bahan perenungan intelektual yang saya dapatkan dari pembacaan novel ini. Namun, lebih banyak lagi gejolak emosi yang saya rasakan selama membacanya. Saya membacanya setelah belum lama menonton kembali dokumenter The Act of Killing dan The Look of Silence karya Joshua Oppenheimer yang juga membahas tentang 1965. Ketika membaca narasi Djing Fei, saya terngiang bagaimana para algojo di kedua dokumenter tersebut bercerita dengan antusias tentang tindakan menyiksa, membunuh, dan memerkosa khususnya gadis yang masih anak-anak. Entah mengapa, baru pada kali kedua menontonnya saya sadar bahwa ayah saya sudah cukup besar untuk mengetahui apa yang terjadi masa itu. Ketika saya bertanya padanya, baru saat itulah ia bercerita bahwa alasannya tidak lulus sekolah dasar adalah karena sekolah-sekolah Tionghoa ditutup, dan belajar di rumah para guru pun dilarang setelah tragedi 1965. Saya sempat bertanya-tanya mengapa seseorang yang terbilang banyak bicara dan bercerita seperti Papa tidak pernah menyentuh topik ini sama sekali. Setelah membaca buku ini, saya merasa lebih memahami kebungkaman Papa. Sama seperti Djing Fei, mungkin ayah saya takut kalau anaknya sembarangan bicara soal tragedi 1965 sebagai keturunan Tionghoa. Selama dan setelah membaca novel ini, saya memikirkan kembali nama ayah saya yang diganti jadi nama yang lebih Indonesia, pilihannya untuk membuat nama saya sangat Indonesia, betapa lantangnya ia ketika berkata bahwa “Indonesia adalah tanah air”. Hal-hal yang bagi saya merupakan hal kecil, mungkin baginya adalah cara untuk memastikan bahwa diri dan keluarganya selamat. Keesokan harinya setelah membaca novel ini, saya mengontak ayah saya dan meminta maaf kepadanya karena ogah-ogahan belajar bahasa Mandarin ketika dulu ia ingin mengajarinya, sebab dulu saya tidak tahu bahwa bahasa tersebut pernah dilarang begitu lama di negeri ini.
1 Comment
31/7/2024 06:04:54 pm
Nice for information
Reply
Leave a Reply. |
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
September 2024
Categories |