Maria Noviyanti Meti (Mahasiswi Pascasarjana Atma Jaya Yogyakarta) Wacana tentang budaya patriarki kerap dibicarakan secara berdekatan dengan subordinasi peran perempuan. Di wilayah Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), perempuan memiliki peran yang sangat terbatas dalam sejumlah urusan adat dan rumah tangga. Perempuan dalam budaya semacam ini “dibeli” oleh laki-laki untuk menjadi miliknya, milik sukunya, dan milik keluarga besarnya (Kleden, 2017:25). Ia harus tunduk kepada suaminya karena telah menerima belis yaitu mahar yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada perempuan sebelum pernikahan. Dengan kondisi demikian, maka terbuka kemungkinan bahwa laku hidup dan peran perempuan ditentukan sepenuhnya oleh laki-laki. Pertanyaannya, bagaimana melihat sisi lain perempuan Sikka dalam mempertahankan kedudukan dan peran mereka berhadapan dengan sistem patriarki? Adakah sikap resisten yang dapat dijadikan sebagai contoh dalam menangkal dominasi patriarki? Lepo Lorun dan Kisah Heroik Perempuan Sikka
Istilah Lepo Lorun berasal dari bahasa daerah Sikka dan terdiri dari dua suku kata, yakni lepo (rumah) dan lorun (tenun). Secara harafiah, lepo lorun berarti “rumah tenun”. Lepo Lorun adalah nama sebuah kelompok tenun yang beranggotakan para ibu rumah tangga yang berdomisili di Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka. Pendirian Lepo Lorun lahir dari inisiatif Ibu Alfonsa Raga Horeng, seorang perempuan kelahiran Nita, 01 Agustus 1974 (Pantas, 2021). Tujuan awal pendirian Lepo Lorun berkaitan dengan upaya merawat khazanah budaya nenek moyang zaman dahulu dalam bidang tenun ikat tradisional. Ibu Alfonsa menilai bahwa perkembangan zaman modern telah menggerus kecintaan masyarakat pada tenun tradisional. Masyarakat lebih memilih produk industri modern dan lupa pada warisan nenek moyang zaman dahulu. Bertolak dari keinginan tersebut, ia kemudian mengajak sejumlah ibu rumah tangga untuk menjadi anggota di Lepo lorun. Ia menyumbangkan sebidang tanah dan sejumlah uang untuk mendirikan rumah tenun. Bahan tenun semisal kapas dan pewarna alami diambil dari hasil alam. Para anggotanya sangat antusias. Sebagian dari mereka adalah ibu rumah tangga yang kesehariannya bertugas sebagai penjual garam dan ikan di pasar Nita. Sebagian lain adalah para ibu yang ditinggal pergi oleh suaminya ke tempat perantauan. Keinginan yang besar untuk mencari nafkah dan membantu kehidupan rumah tangga menggerakkan mereka untuk tekun bekerja sebagai penenun. Mereka berkumpul di Lepo Lorun sejak jam 08.00 Wita dan baru kembali ke rumah masing-masing pada pukul 17.00 Wita. Saat bekerja, Ibu Alfonsa selaku ketua membagi tugas yang seimbang kepada para anggotanya. Ada yang bertugas mengisarkan biji-biji kapas dari kapas (keho kapa). Ada juga yang bertugas membersihkan kapas dan melakukan pemintalan. Sebagian lain bertugas memberi warna pada kapas yang telah jadi. Sisanya bertugas menenun. Biasanya, proses tenun untuk menghasilkan selembar kain akan menghabiskan waktu selama berbulan-bulan. Mereka harus melakukan seluruh proses dengan ketekunan dan konsentrasi yang tinggi. Mereka juga harus sabar dan cermat dalam melakukan detail tugas yang dipercayakan. Itulah alasan mengapa semua proses pembuatan tenun ikat di kampung-kampung seluruhnya dikerjakan oleh kaum perempuan karena perempuan sering dikenal dengan kecermatan dan ketelatenannya (Timo, 2005: 55). Resistensi Perempuan Sikka di Tengah Budaya Patriarki Kisah tentang para penenun di Lepo Lorun telah menunjukkan sisi heroik sebagian perempuan di Sikka. Mereka tidak tinggal diam di tengah himpitan kebutuhan ekonomi keluarga. Berbekal kemampuan menenun, mereka berusaha untuk menunjang kebutuhan hidup keluarga. Secara kasat mata, para penenun di Lepo Lorun sesungguhnya menunjukkan bahwa pekerjaan mencari nafkah tidak bisa dikonsepsikan hanya pada peran lelaki. Sebagai perempuan, mereka juga bisa mengambil peran penuh dalam mencari nafkah. Beberapa dari mereka yang telah ditinggal pergi oleh suami bahkan bisa menyekolahkan anak sampai ke jenjang SMA dan Perguruan Tinggi. Sebagian lain berhasil membeli sebidang tanah dan mendirikan rumah berkat hasil tenun yang laku terjual. Mereka telah menunjukkan cara yang khas dalam mempertahankan eksistensi dan peran mereka di tengah dominasi budaya patriarki. Resistensi perempuan Sikka di Lepo Lorun dapat diringkas dalam dua wujud berikut. Pertama, kemampuan bertahan dalam pekerjaan yang sulit dan membutuhkan waktu lama. Pekerjaan menenun, sebagaimana dipaparkan sebelumnya adalah jenis pekerjaan yang membutuhkan konsentrasi, kecermatan, daya tahan, dan kesabaran tingkat tinggi. Tidak banyak laki-laki yang bisa mengambil bagian dalam pekerjaan seperti itu. Sebab, secara praktis, laki-laki cenderung terbiasa melakukan pekerjaan dengan cekatan dan terburu-buru. Kedua, kemampuan berjuang memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Para perempuan di Lepo Lorun adalah mereka yang memiliki jiwa besar. Mereka tidak tinggal diam dalam kerangkeng urusan rumah tangga seputar kehidupan dapur. Sebaliknya, mereka berhasil keluar dari “kenyamanan rumah” dan berjuang untuk tampil menggantikan peran laki-laki dalam mencari nafkah. Peran para penenun di Lepo Lorun sesungguhnya berupaya untuk menjebol demarkasi yang membatasi kedudukan dan peran perempuan di tengah masyarakat. Mereka melampaui batasan-batasan umum yang menyatakan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan tidak mampu melakukan pekerjaan berat. Mereka hendak menyuarakan penghargaan atas martabat perempuan sebagai makhluk yang setara dengan laki-laki. Proses tenun yang dilakukan dalam rentang waktu yang lama adalah ekspresi perempuan Sikka yang menuntut kesetaraan gender. Di sini, satu hal yang mendesak untuk dilakukan adalah perubahan cara pandang terhadap perempuan. Orang tua dan keluarga dapat menjadi garda terdepan untuk mengajarkan anak-anak mereka pentingnya rasa hormat, cinta kasih, dan penghargaan terhadap perempuan. Cara sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan memenuhi kebutuhan anak-anak secara seimbang. Anak laki-laki tidak boleh diperlakukan lebih istimewa dari anak perempuan, sebaliknya pun demikian. Dengan cara ini, maka anak akan bertumbuh dalam sikap hormat yang benar satu sama lain. Penutup Para penenun di Lepo Lorun telah menunjukkan cara yang khas dalam mempropagandakan kesetaraan gender. Resistensi mereka dalam bekerja dan mencari nafkah telah menegaskan sejauh mana sikap yang pantas berhadapan dengan dominasi patriarki. Suara mereka mungkin tidak terdengar dan bahasa mereka mungkin terbatas. Namun, ketekunan, kerja keras, daya tahan, dan konsentrasi yang tinggi dalam bekerja memperlihatkan betapa mereka ingin diakui di tengah masyarakat dan berupaya melawan penindasan budaya patriarki. Daftar Pustaka Kleden, Dony. 2017. "Belis dan Harga Seorang Perempuan Sumba (Perkawinan Adat Suku Wewewa, Sumba Barat Daya, NTT)". Dalam Jurnal Studi Budaya Nusantara. Vol.1, No.1. Pantas, Albertus Asteri. 2021. "Kontribusi Lepo Lorun Terhadap Peningkatan Ekonomi dari Anggotanya". Skripsi S1. Ledalero: IFTK Ledalero. Timo, Eben Nuban. 2005. Sidik Jari Allah Dalam Budaya. Maumere: Penerbit Ledalero.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
September 2024
Categories |