Dian Agustini (Mahasiswi Ilmu Filsafat, Universitas Gadjah Mada) Ketika saya lebih muda, saya banyak menghabiskan waktu dengan membaca karya sastra klasik. Mencuri-curi kutipan untuk caption pada media sosial, sebagaimana yang dilakukan remaja kebanyakan. Saya tidak memperhatikan sebelumnya, tetapi belakangan menyadari bahwa hampir semua sastra klasik yang saya baca ditulis oleh laki-laki. Fakta ini cukup mengganggu, jujur saja, sebab banyak sekali karya klasik yang mengeksplorasi pikiran perempuan dan ditulis dengan brilian, tetapi penulisnya adalah seorang laki-laki yang bahkan tidak tahu cara memperlakukan perempuan dengan benar. Salah satu karya klasik yang cukup membuat saya tidak terlalu nyaman karena ditulis oleh laki-laki adalah karya fenomenal The Devil in the Flesh oleh Raymond Radiguet (1903–1923). The Devil in Flesh bercerita tentang skandal perselingkuhan seorang perempuan yang ditinggalkan suaminya untuk berperang pada Perang Dunia I. Karya ini benar-benar menggambarkan perasaan dan pengalaman perempuan ketika dihadapkan dengan sebuah dilema, sehingga sulit untuk melihatnya sebagai sesuatu yang ditulis oleh laki-laki. Saya mengetahui belakangan bahwa karya tersebut sebagian besarnya merupakan autobiografi, dengan narasinya dicuri Radiguet dari buku harian kekasihnya, bukan karyanya sendiri.
Penulis lain yang saya rasa perlu untuk disebut dalam tulisan ini adalah F. Scott Fitzgerald (1896-1940), yang terkenal dengan karya The Great Gatsby. Selain karyanya, Fitzgerald juga terkenal di masanya karena menikahi Zelda Sayre (1900-1948). Zelda pada awalnya dikenal sebagai flappers, sebuah generasi perempuan muda yang menentang norma dan secara terang-terangan mengabaikan apa yang dianggap sebagai "perilaku yang dapat diterima" pada saat itu. Mereka tidak memakai korset, mengenakan rok selutut (hal ini dianggap skandal pada masa itu), memotong rambut bob, mendengarkan musik jazz, dan minum alkohol di depan umum. Namun, apa yang tidak diketahui banyak orang adalah bahwa Fitzgerald berhutang banyak kepada Zelda atas kontribusinya terhadap tulisan Fitzgerald. Fitzgerald tidak hanya memanfaatkan Zelda sebagai inspirasi, tetapi juga mencuri ide dan tulisannya. Fitzgerald mengambil buku harian Zelda, kemudian mengambil kutipan dari sana dan memasukkannya ke dalam bukunya tanpa sepengetahuan Zelda. Bahkan, salah satu kutipan dari tokoh Daisy dalam The Great Gatsby, “I hope she's beautiful and silly, a beautiful little fool,” diambil Fitzgerald dari kalimat yang diucapkan Zelda kepada putri pertama mereka tanpa seizin Zelda. Ini juga mengingatkan saya pada salah satu penulis klasik dari Rusia, Leo Tolstoy (1828–1910), dan istrinya, Sophia Tolstaya (1844–1919). Meskipun kehidupan pernikahan Sophia dan Tolstoy dianggap sebagai salah satu pernikahan paling tidak bahagia dalam sejarah sastra, tetapi peran Sophia dalam kehidupan dan karier sastra Tolstoy tidak bisa diragukan eksistensinya. Ketika hidup Tolstoy sedang terpuruk dan ia harus berhenti menulis, Sophia lah yang membantunya bangkit dengan membangun kantor penerbitan agar karya-karya Tolstoy bisa didistribusikan. Sophia rela meminjam uang dari ibunya, bahkan sampai pergi ke St. Petersburg (perkebunan keluarga Tolstoy berada di Tula, sebuah obslat yang berjarak 902 km dari St. Petersburg) untuk meminta nasihat dari Anna Dostoyevsky yang telah lama berkecimpung di dunia penerbitan. Pada tahun-tahun sebelumnya, Sophia juga telah menghabiskan sepanjang hidupnya untuk menjadi istri yang baik. Setelah menikahi Tolstoy pada usia 18 tahun, ia melahirkan 13 anak, kemudian membesarkan 8 orang sampai dewasa, serta mengelola Yasnaya Polyana, sebuah tanah perkebunan seluas 4.000 hektar seorang diri karena Tolstoy tidak membantunya sama sekali. Di samping itu, Sophia juga lah yang berjasa membuat manuskrip War and Peace yang disalin dari catatan Tolstoy yang hampir tidak terbaca. Draf tersebut berjumlah 3000 halaman, yang Sophia salin sebanyak tujuh kali dengan tulis tangan sembari mengoreksi ejaan dan tata bahasa serta memberikan saran dan kritik terhadap alur cerita. Beberapa sumber juga menyebut bahwa Tolstoy sebelumnya menulis draf tentang keluarga Rostov pada War and Peace dengan inspirasi dari buku harian Sophia. Seharusnya, dengan beban kerja yang sedemikian banyaknya, Sophia lah yang akan dianggap paling berjasa dalam karier sastra Tolstoy. Namun, beberapa bulan sebelum kematiannya, alih-alih Sophia, Tolstoy justru menyebut teman laki-lakinya yang berperan dalam penerbitan karya-karyanya. Bahkan, di akhir hidupnya, Tolstoy mengubah hak cipta atas karyanya yang semula dimiliki oleh kantor penerbitan Sophia menjadi domain publik. Itulah mengapa ia kemudian menulis dalam buku hariannya, “Sekarang saya disingkirkan karena tidak ada gunanya lagi, meskipun saya, bagaimanapun diharapkan untuk melakukan hal-hal mustahil.” Jadi, sekarang, ketika beberapa orang mempertanyakan mengapa tidak ada perempuan yang menjadi seniman atau penulis hebat di masa lalu, saya selalu ingin meminta mereka membaca kisah-kisah yang tidak banyak dibicarakan seperti kisah para istri atau kekasih penulis besar. Mereka adalah epitome dari betapa banyak karya perempuan yang dicuri dan betapa banyak kerja perempuan yang tidak dihargai, atau betapa perempuan juga memiliki kualitas yang sama dengan pria, tetapi tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri. Dalam buku hariannya, Sophia Tolstaya pernah mempertanyakan hal yang sama, yang kemudian ia jawab bahwa semua semangat dan kemampuan perempuan habis ditelan oleh keluarga, cinta, suaminya—dan terutama anak-anaknya. Kemampuan perempuan yang lain tidak berkembang, mereka tetap menjadi embrio dan berhenti tumbuh. Ketika perempuan sudah selesai melahirkan dan mendidik anak-anaknya, kebutuhan artistiknya bangkit, tetapi ketika momen itu datang, semuanya sudah terlambat. Perempuan telah tua dan yang tersisa hanyalah kelelahan akibat masa muda yang diambil paksa. (Dian Agustini)
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
October 2024
Categories |