Dwi Rizky A. N. (Mahasiswa Filsafat, Universitas Gajah Mada) Film Berbagi Suami (2006) disutradarai Nia Dinata dan diproduksi oleh Kalyana Shira Films, karya ini menerima beberapa penghargaan, salah satunya Penghargaan Golden Orchid Award sebagai Film Berbahasa Asing Terbaik di Festival Film Hawaii pada tahun 2007. Film ini terbagi dalam tiga segmen cerita yang saling terkait dan memiliki satu premis yang menjadi tema utama, yaitu kisah tentang tiga perempuan yang menjalani kehidupan poligami dengan latar belakang usia, status sosial, dan etnis yang berbeda. Perempuan-perempuan yang menjadi tokoh utama dalam film ini harus berjuang untuk mempertahankan kehidupan mereka dan anak-anak mereka di tengah kehidupan yang penuh dengan konflik dan problematika rumah tangga dengan identitas sebagai gender yang liyan. Kisah pertama adalah cerita milik Salma (Jajang C. Noer), seorang dokter ahli kandungan yang memiliki suami politisi (El Manik) dan satu anak laki-laki bernama Nadim (Winky Wiryawan). Suaminya kerap melakukan poligami tanpa konsensus di antara keduanya. Salma mempertanyakan moralitas poligami. Namun, sebagai seorang Muslim yang taat, dan dengan narasi patriarkis klise seperti ‘menghindari zina’ yang digunakan suaminya, ia harus menerima kenyataan dan dipoligami. Meski hal ini menimbulkan dampak yang buruk bagi Nadim, sang anak yang akhirnya tumbuh menjadi pribadi yang sinis, juga bagi Salma sendiri, yang terinternalisasi doktrin sesat dan harus tunduk dan mengalah akan sesuatu yang ia tidak betul-betul inginkan.
Cerita kedua adalah mengenai Siti (Shanty) seorang gadis desa yang diboyong oleh Paklik atau pamannya (Lukman Sardi) dari kampung ke Jakarta. Niat Siti ke Jakarta adalah untuk mengejar mimpinya dan kursus kecantikan. Naas, Siti terjebak oleh tipuan Pak Lik yang selalu bergaya bak orang penting di industri perfilman dengan memamerkan foto-fotonya bersama aktor-aktor terkenal. Kenyataannya, ia hanyalah seorang sopir studio film dengan gaji pas-pasan dan dua istri tua. Siti yang sebatang kara di kota metropolitan itu mau tidak mau setuju untuk dipersunting Pakliknya agar dapat bertahan hidup. Sebagai istri muda, Siti terpaksa menunda cita-citanya dengan merawat anak-anak dari Sri (Ria Irawan) dan Dwi (Rieke Diah Pitaloka). Pada suatu kondisi, Paklik mendapat tuntutan pekerjaan dan harus pergi jauh dari rumah untuk meliput tsunami Aceh. Selama suami mereka pergi, Siti dan Dwi menjalin hubungan romantis hingga kemudian merencanakan pelarian dari rumah itu bersama dengan membawa dua anak. Siti yang belum sempat hamil, mengantar Sri ke dokter kandungan yang memberitakan bahwa Sri terkena gonorhea akibat suaminya. Hal itu membuat Siti dan Dwi semakin yakin untuk kabur. Akhirnya Paklik pulang dari Aceh, kali ini dengan membawa istri baru bernama Santi (Janna Soekasah). Tanpa pikir panjang, Dwi dan Siti melancarkan aksinya untuk pergi dan hidup bersama. Cerita terakhir mengungkap kisah Ming (Dominique), seorang gadis umur 19 tahun keturunan Tionghoa. Ia bekerja disebuah restoran bebek milik Koh Abun (Tio Pakusadewo). Koh Abun adalah lelaki yang telah memiliki istri bernama Cik Linda (Ira Maya Sopha) yang menjadi pengurus keuangan restoran dan dianggap Koh Abun sebagai pembawa hoki bagi dirinya. Kehadiran Ming sebagai pelayan restoran menambah pelanggan restoran bebek yang sedari dulu memang sudah laris. Kecantikan Ming membuat banyak lelaki terpesona termasuk Koh Abun dan teman Ming yang berprofesi sebagai sutradara, yaitu Firman (Reuben Elishama). Popularitas Ming di kalangan laki-laki membuat Koh Abun tidak tahan dan menikahi Ming. Tentu Koh Abun menikahi Ming secara sembunyi-sembunyi karena tidak berani mengatakan yang sebenarnya kepada Cik Linda. Diberikannya Ming fasilitas berupa apartemen dan mobil oleh sang suami. Suatu hari Firman mendatangi Ming dan berkata bahwa jalan hidup Ming masih panjang dan tidak pantas untuk langsung hidup enak. Firman menawarkan Ming untuk belajar akting dan mengikuti casting film panjang perdananya. Ming akhirnya setuju dan berani mengambil risiko untuk menjalani peran sebagai istri simpanan sekaligus calon aktris. Sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya tetap tercium juga. Di suatu pagi, ia dilabrak oleh Cik Linda dan anak-anaknya yang baru pulang dari Amerika. Hal ini terjadi akibat dari sikap Ming dan Koh Abun yang mesra, dicurigai banyak pihak hingga sampai ke kuping Cik Linda. Akhirnya, Koh Abun sekeluarga pindah ke Amerika karena Green Card yang lama mereka ajukan lolos. Segala aset Ming dijual karena semuanya beratasnamakan Koh Abun. Koh Abun masih berbaik hati dan memberikan Ming sejumlah uang untuk terakhir kalinya. Ming pun memulai kehidupan baru dengan peninggalan terakhir yang diberikan. Meskipun cerita fiksi, film ini sangat menarik untuk dianalisis menggunakan kacamata feminisme karena narasi yang dibawa sangat realistis dan begitu dekat dengan kehidupan. Kita dapat dengan mudah mendeteksi akar permasalahan yang menjadi dalang di balik subordinasi dan ketidakberdayaan perempuan di hadapan cinta dan relasi dalam rumah tangga. Heteronormativitas telah menjadi status quo yang mengakar kuat dalam konstruksi sosial masyarakat kita. Heteronormativitas mempertahankan hierarki sosial biner yang beracun, karena melanggengkan dan memperkuat stereotip gender yang berbahaya dan dinamika kekuasaan juga ketimpangan relasi yang dapat mengarah pada diskriminasi, marginalisasi, dan kekerasan terhadap individu yang tidak mematuhi norma-norma gender tradisional. Terlebih ketika heteronormativitas bertemu dengan konsep poligami. Perpaduan dari dua hal tersebut kemudian menjadi suatu pusaran kuat yang dapat menelan perempuan ke dalam palung subordinasi. Heteronormativitas dan poligami sama-sama berasal dari struktur kekuasaan yang hierarkis dan peran gender tradisional yang akhirnya menimbulkan ketimpangan relasi kuasa. Persoalan ketimpangan relasi berkaitan dengan kultur patriarkis yang ada di masyarakat. Kultur yang dimaksud di sini adalah kultur yang meletakkan perempuan pada posisi yang subordinat. Perempuan dan laki-laki tidak berada dalam posisi tawar yang sama. Cinta dalam budaya patriarki berhubungan dengan kepemilkan yang memosisikan laki-laki dan perempuan dalam dominasi dan penundukan (hooks 2000, h. 234). Hal ini diperkuat oleh sistem, seperti dalam Undang-Undang Perkawinan yang menegaskan bahwa kepala keluarga adalah laki-laki dan istri adalah ibu rumah tangga. Sistem dan kultur memberikan legitimasi untuk superioritas laki-laki dalam rumah tangga. Secara detail terkandung aturan tentang peran gender tradisional yang berbunyi “Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Istri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.” Dalam pendefinisian dan pembagian perannya saja, posisi keduanya sudah terkondisikan dan tidak imbang, perempuan tidak memiliki opsi untuk dapat mandiri dan berdaya di atas kaki sendiri, sehingga menempatkan perempuan pada posisi rentan. Perlu adanya pembongkaran terhadap kerja ideologis yang menyubordinasi perempuan dalam cinta. Simone de Beauvoir dalam The Second Sex (1949) memperingatkan bahwa cinta dapat dirasakan secara sama oleh sepasang kekasih, tetapi dapat memberi pemaknaan yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan. Beauvoir lalu mengutip Byron bahwa laki-laki menempatkan cinta sebagai entitas yang terlepas dari dirinya, sementara bagi perempuan cinta merupakan keseluruhan eksistensinya. Bagi laki-laki, jatuh cinta membuat mereka menginginkan objek yang dicinta menjadi miliknya dan mendaku diri sebagai subjek yang berdaulat untuk memiliki dan mengendalikan sang objek, sedangkan bagi perempuan, jatuh cinta adalah meleburkan diri atau menyerahkan segalanya kepada objek yang dicinta (Beauvoir 1956). Singkatnya, jatuh cinta bagi laki-laki adalah penaklukkan sementara bagi perempuan adalah sebuah devosi. Perbedaan memaknai cinta ini menjadi akar kesalahpahaman sekaligus kekerasan antara laki-laki dan perempuan dalam berelasi. Relasi macam inilah yang digambarkan pada film Berbagi Suami. Satu persamaan yang dilakukan peran suami dalam film ini adalah bahwa mereka melakukan tindakan poligami tanpa melibatkan konsensus istri-istri mereka. Hal ini tercermin pada bagaimana heteronormativitas dan poligami menegasikan suara, posisi dan pemikiran perempuan bahkan dalam tatanan rumah tangga yang mana merupakan bentuk ikatan relasi paling privat. Dengan struktur kuasa yang hierarkis, kultur heteronormativitas beracun yang mengakar ini telah menyebabkan relasi rumah tangga menjadi relasi yang-mendominasi dan yang-tersubordinasi. Salma harus menelan pahitnya narasi sesat atas nama agama untuk menjadi istri yang baik dihadapan suami dan merelakan agensinya. Siti harus mempertaruhkan dirinya sendiri sebagai jaminan untuk tetap hidup dan untuk bisa mencapai mimpinya, hanya untuk pada akhirnya menjadi istri ketiga yang menghabiskan waktu menjalani peran-peran domestik hingga kemudian angkat kaki secara diam-diam. Ming dihadapkan dengan nasibnya yang dipertaruhkan di persimpangan dependensi dan kebebasan diri. Realita kehidupan perempuan yang tercipta dari konstruksi sosial yang patriarkis melimitasi ruang gerak perempuan mulai dari tatanan publik hingga tatanan privat. Keterbatasan ini membelenggu perempuan hanya pada pilihan untuk tunduk.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
September 2024
Categories |