![]() Wanda Roxanne Ratu Pricillia (Mahasiswa Pascasarjana Kajian Gender, Universitas Indonesia) Tahun lalu, Penerbit Odise menerbitkan buku saya dengan judul “Menjadi Perempuan Lajang Bukan Masalah”. Ada 20 artikel dalam buku saya, dan dua diantaranya membahas mengenai kelajangan, yaitu “Stigma, Penghalang Potensi Perempuan Lajang” dan “Menjadi Perempuan Lajang Bukan Masalah”. Dengan judul itu, saya memberikan penekanan bahwa menjadi lajang memang bukan masalah, di tengah masyarakat yang mempermasalahkan kelajangan itu sendiri. Jadi, menjadi perempuan lajang itu masalah atau bukan? Saya pernah diundang untuk membahas buku ini. Dalam pembahasan itu, penanggap buku saya menyampaikan bahwa tidak masalah menjadi perempuan lajang asal melakukan hal-hal yang bermanfaat dan meyakini jika pada suatu saat akan menemukan pasangan yang tepat. Saya setuju, sekaligus tidak. Pada akhirnya, kehidupan ideal tentang pernikahan dalam masyarakat adalah norma dan normal bagi kita. Masyarakat tidak dapat menerima orang-orang yang melajang atau selibat (celibate) seumur hidupnya. “Kita mengondisikan anak-anak gadis kita untuk mencita-citakan pernikahan, tapi kita tidak mengondisikan anak laki-laki dengan cara yang sama, artinya sedari awal sudah ada ketidakseimbangan yang mengerikan. Gadis-gadis akan tumbuh menjadi seorang perempuan yang sibuk memikirkan pernikahan. Anak laki-laki akan tumbuh menjadi pria yang santai saja soal pernikahan”, menurut Chimamanda Ngozi Adichie dalam buku “A Feminist Manifesto”. Kita dikondisikan untuk membentuk harga diri salah satunya melalui pernikahan atau status berpasangan. Sejak kecil kita diajarkan dan disosialisasikan di rumah, keluarga, sekolah, pemerintahan, dan semua tempat di Indonesia bahkan sejak kecil bahwa suatu saat kita pasti akan menikah. Sebagai perempuan, kita diajarkan sedini mungkin juga untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, bermain peran menjadi istri atau ibu, dan semua ekspektasi gender lainnya yang dilekatkan pada kita. Stigma dan Stereotip Pada Lajang Menjadi lajang seringkali dipermasalahkan dan status lajang itu sendiri memiliki stigma dan stereotip yang menyertai. beberapa penelitian (DePaulo & Morris, 2006; Morris, DePaulo, Hertel, & Taylor), pada penelitian pertama menunjukkan bahwa orang-orang yang sudah menikah dideskripsikan secara positif daripada orang-orang yang melajang seperti dianggap baik, penyayang, stabil, bahagia dan puas. Para lajang dideskripsikan dengan negatif seperti rasa tidak aman, kesepian, keras kepala dan jelek, dan deskripsi positifnya seperti lebih independent, mudah bergaul dan lebih seru (Pignotti dan Abell, 2009). Pada penelitian kedua, orang-orang yang menikah dianggap lebih mudah beradaptasi, matang secara sosial, lebih seru hidupnya. Sedangkan para lajang dianggap self-centered, iri hati, dan berorientasi pada karir. Penelitian-penelitian ini sesuai dengan hal-hal yang saya alami sendiri dan juga orang-orang di sekitar saya. Beberapa hari lalu saya bertanya pada teman-teman saya di Instagram mengenai stereotip pada orang-orang yang melajang atau jomblo. Mereka dianggap terlalu memilih, akan dianggap perawan tua, tidak laku, expired, tidak bahagia, kesepian, dianggap homoseksual, dibandingkan dengan yang sudah memiliki pasangan, dianggap aneh, tidak normal, dianggap tidak bisa bergaul, menyedihkan, dan akan dikasihani karena tidak segera menikah. Saya juga mengalami semua hal yang telah dikatakan teman-teman saya di atas. Banyak nasihat yang diberikan juga kepada saya seperti “jangan terlalu memilih”, padahal untuk membeli buah saja kita pasti memilih yang terbaik, apalagi dengan pasangan. Stigma bahwa perempuan akan menjadi perawan tua, tidak laku atau expired berhubungan langsung dengan penghargaan diri dan ekspektasi gender pada perempuan untuk menikah dan memiliki anak. Masyarakat dengan norma heteroseksual menganggap bahwa semua orang pasti ingin menikah dan ingin memiliki anak secara biologis. Sama seperti para lajang pada umumnya, sebagai perempuan di “usia menikah”, sebagian anggota keluarga saya juga mendorong saya untuk segera memiliki pasangan dan segera menikah. Salah satu dari mereka mengatakan, “Kalau kamu nikah usia 30, kamu akan tua saat anakmu sudah sekolah. Jaraknya terlalu jauh dan udah gak sekuat saat muda”. Mereka menganggap saya sudah pasti menginginkan anak secara biologis, sama seperti mereka dan semua keluarga saya. Kelajangan dan Kebahagiaan Tren global menunjukkan bahwa menjadi lajang adalah sebuah gaya hidup yang semakin lama semakin bertambah persentasenya. Di Amerika, Australia, dan Asia menunjukkan peningkatan jumlah orang-orang yang melajang dan pernikahan menjadi kurang diminati meski secara normatif masih diharapkan pada orang dewasa (Himawan dkk, 2017). Indonesia juga menunjukkan tren yang sama dengan global, meski proporsi melajang tidak sebesar negara-negara tetangga seperti Hong Kong, Jepang, Taiwan dan Singapura, namun angka orang-orang yang melajang menjadi meningkat (Gull, 2002; Jones, 2010). Bersama dengan peningkatan jumlah orang-orang yang melajang, diikuti juga dengan peningkatan kualitas hidup diantara para lajang (Himawan dkk, 2007). Berbagai penelitian menunjukkan hasil yang beragam antara kebahagiaan orang-orang yang melajang dan yang menikah. Penelitian Myers (2000) menunjukkan bahwa orang yang menikah lebih bahagia daripada para lajang. Data Badan Pusat Statistik (2015) yang menunjukkan bahwa level kebahagiaan para lajang 68,77% dan level kebahagiaan yang sudah menikah 68,74% (Himawan dkk, 2017). Namun pada penelitian lain menunjukkan bahwa para lajang lebih bahagia yaitu 65,31% dan yang menikah 64,99%. Seperti yang disampaikan teman-teman saya mengenai stereotip menjadi lajang, saya juga pernah dikasihani, dianggap kesepian dan dianggap tidak sempurna kebahagiaan saya karena melajang. Padahal kesepian adalah manusiawi serta manusia tidak bisa selalu bahagia setiap saat, saya memiliki banyak teman, banyak aktivitas yang bisa dilakukan para lajang selain pekerjaan atau sekolah, juga tentu saja dapat sepenuhnya bahagia sendirian. Teman-teman saya juga mengatakan bahwa melajang juga menyenangkan karena hidup mereka lebih bebas menentukan keinginan mereka, memiliki waktu untuk mengenal diri lebih banyak, memiliki kesempatan untuk memaksimalkan potensi diri, dan mencoba hal-hal baru. Ester Lianawati dalam bukunya “Ada Serigala betina dalam Diri Setiap Perempuan” mengatakan bahwa kehidupan lajang itu sendiri tidak membuat mereka tertekan, malah bisa jadi sangat memuaskan. Perempuan tidak tertekan oleh kelajangannya, ia tertekan oleh pandangan dan perlakuan orang-orang di sekitarnya terkait kelajangan mereka (Lianawati, 2020). Masyarakat masih tidak bisa menerima bahwa para lajang terutama perempuan, bisa sepenuhnya bahagia dengan status lajang mereka dan mereka masih menganggap bahwa pasangan terutama dalam pernikahan akan membuat hidup mereka lengkap atau sempurna.
3 Comments
![]() Seli Muna Ardiani (Mahasiswi Pascasarjana Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia) Enam tahun yang lalu, disebuah perbincangan, saya bersama beberapa rekan saling bertukar cerita mengenai pengalaman mendapatkan sexual harassment atau pelecehan seksual di masa remaja. Tentu penyebutan istilah ini kami sematkan setelah cukup mengetahui apa itu pelecehan seksual. Ingatan samar kami berisikan penilaian masa lalu terhadap tubuh yang tersakiti, kotor, menjijikkan, bahkan berdosa. Hampir keseluruhan dari kami menyimpan anggapan tersebut bertahun-tahun, tanpa sedikitpun pemahaman mengenai apa itu pelecehan dan kekerasan seksual. Kisah-kisah tersebut membuat kami menyimpulkan bahwa, sangat mungkin perempuan telah mengalami pelecehan tanpa tahu otonomi atas tubuhnya dilanggar. Melalui perbincangan inilah saya kemudian tertarik untuk mengetahui bagaimana awal mula istilah ‘sexual harassment’ dirumuskan. Sejarah Awal dan Diskusi yang Berkembang Sebelum periode 1970-an, istilah pelecehan seksual ternyata belum ditemui baik dalam naskah akademik, laporan, maupun surat kabar. Istilah tersebut baru dirumuskan oleh dua tokoh besar gerakan feminisme di Amerika, yakni Lin Farley dan Catharine A. MacKinnon. Reva B. Siegel dalam tulisannya A Short History of Sexual Harassment menyebut bahwa dua tokoh ini membawa pengaruh besar dalam sejarah perumusan dan implementasi konsep pelecehan seksual di dalam kebijakan Amerika pada saat itu. Meski secara istilah baru diformulasi pada periode 70-an, laporan pekerja buruh perempuan sudah mencatatkan pengalaman-pengalaman yang kemudian disebut sebagai pelecehan seksual. Catatan pertama tersebut dituliskan oleh Helen Campbell pada tahun 1887 yang berjudul “Women Wage Workers”. Dalam laporan ini, Campbell sudah mengidentifikasi bentuk-bentuk pemerasan seksual (sexual extortion) yang dialami perempuan pekerja pabrik dan industri garmen di Amerika. Berbekal dari pelbagai pengalaman buruh perempuan, Farley dalam sesi pengajarannya di Universitas Cornell tahun 1975 melakukan survey bersama Working Women United. Mereka menemukan suatu pola: kebanyakan para pekerja perempuan berhenti atau dipecat dari pekerjaan karena mereka dibuat tidak nyaman oleh perilaku laki-laki. Upaya perumusan juga dilakukan oleh MacKinnon dalam bukunya “Sexual Harassment of Working Women” (1979). Melalui karya inilah MacKinnon mempopulerkan istilah pelecehan seksual yang ia amati dalam lingkungan kerja. Ia medefiniskan pelecehan seksual sebagai “sexual harassment, most broadly defined, refers to the unwanted imposition of sexual requirements in the context of a relationship of unequal power”. Melalui definisi MacKinnon, pelecehan seksual mensyaratkan suatu kondisi tindakan yang tidak diinginkan dan dibawah ketimpangan kekuasaan. Pendefinisian inilah yang kemudian menjadi capaian gerakan feminisme Amerika, karena untuk pertama kalinya perlindungan terhadap pelecehan seksual mampu dimasukkan dalam Title VII atau Undang-Undang Hak Sipil di Amerika. Sebagai definisi, kategori situasi yang tidak diinginkan dan relasi kuasa adalah terobosan cemerlang dari MacKinnon. Namun dalam perkembangan intelektual feminisme, teori ini terus mengalami evaluasi. Salah satu gagasan yang mengoreksi pandangan MacKinnon datang dari Anita M. Superson. Ia tidak sependapat bahwa parameter tindakan pelecehan seksual dilihat dari situasi yang tidak diinginkan. Batasan ini dianggap bermasalah karena tidak cukup menggambarkan dampak buruk yang menimpa jenis kelas tertentu yakni perempuan. Bagi Superson, seorang korban tidak perlu lagi ditanyai apakah ia mengingankan atau tidak tindakan terhadapnya (Superson, 1993). Superson melalui definisi objektifnya mendapatkan dukungan dari beberapa pemikir seperti Jenna Tomasello dan Carol Hay. Sementara itu, diskusi yang lebih mutakhir seperti pandangan Vicki Schultz dan Margaret A. Crouch. Keduanya sama-sama mengoreksi pandangan MacKinnon yang dinilai heterosentris (Crouch, 2001). Schultz dan Crouch memahami bahwa pelecehan seksual dapat diterima siapa saja. Selain itu, hampir sama dengan gagasan Superson bahwa dengan melihat dampak buruk pelecehan seksual suatu tindakan juga berlaku sama terhadap suatu kelompok kelas. Melalui pemahaman ini dapat disimpulkan bahwa pelecehan seksual terhadap perempuan juga berarti pelecehan terhadap seluruh kelompok perempuan. Silang pendapat konsep pelecehan seksual di dalam tubuh feminisme agaknya terus berkembang hingga saat ini. Bahkan Crouch sendiri dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada definisi tunggal mengenai pelecehan seksual. Perkembangan Konsep Pelecehan Seksual di Indonesia Dalam perkiraan kasar saya, publik Indonesia mulai mengakrabi istilah pelecehan seksual sejak periode tahun 90-an akhir dan awal 2000-an. Rentang waktu tersebut saya ketahui ketika mulai melacak kembali pelbagai laporan kekerasan terhadap perempuan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan). Tentu perkiraan ini bisa saja keliru, sebab saya hanya mengukurnya dengan parameter penggunaan istilah di dalam laporan akademik. Terlepas dari kemungkinan itu, laporan-laporan berikut ini menjadi catatan awal bagi publik untuk mengenali sejarah diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia. Pada bulan November tahun 1999, istilah pelecehan seksual dipakai dalam seri dokumen kunci Komnas Perempuan. Seri ini berisikan temuan tim gabungan pencari fakta peristiwa kerusuhan Mei 1998. Dalam cakupan yang lebih umum, pelecehan seksual hanyalah satu bagian dari beberapa kategori kekerasan seksual yang banyak menimpa perempuan etnis Tionghoa. Kejahatan seksual masal lainnya adalah perempuan korban peristiwa 1965. Kebanyakan dari mereka adalah istri tahanan politik serta yang dilabeli dengan Gerwani. Laporan yang terakhir ini diterbitkan oleh Komnas Perempuan pada tahun 2007. Kemudian pada laporan tahun 2010, pelecehan seksual dimasukkan dalam 15 bentuk kekerasan seksual meliputi: Perkosaan; Intimidasi Seksual; Pelecehan Seksual; Eksploitasi Seksual; Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual; Prostitusi Paksa; Perbudakan Seksual; Pemaksaan Perkawinan; Pemaksaan Kehamilan; Pemaksaan Aborsi; Pemaksaan Kontrasepsi dan Sterilisasi; Penyiksaan Seksual; Penghukuman Tidak Manusiawi yang Bernuansa Seksual; Praktik Tradisi Bernuansa Seksual yang Membahayakan dan Mendiskriminasi; serta Kontrol Seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moral dan agama. 15 bentuk kekerasan seksual inilah yang kemudian dirumuskan dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) pada 2017. Melalui jalan terjal, RUU PKS yang diganti judul menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) berhasil disahkan menjadi UU TPKS pada 12 April 2022 dengan hanya mengakomodir 9 jenis kekerasan seksual. Antara Bahasa Hukum dan Perdebatan Akademik Bahasa hukum adalah bahasa kesepakatan, sementara bahasa akademik dipenuhi dengan perdebatan. Kendati konsep pelecehan seksual sudah masuk di dalam 9 jenis kekerasan seksual UU TPKS, perdebatan akademik mengenai konsep tersebut patut terus dikaji. Bukan hanya pada konsep pelecehan seksual saja yang telah dibahas oleh pemikir feminis selama ini, namun juga konsep kekerasan seksual secara umum. Di ruang akademik, perdebatan konsep pelecehan seksual jauh lebih sengit karena menghadapkan berbagai perspektif. Sebagaimana penjelasan saya di atas mengenai pendefinisian awal oleh MacKinnon, definisi pelecehan seksual terus diperiksa. Sementara istilah hukum lebih berupa bahasa objektif yang secara fungsional digunakan sebagai payung penegakan keadilan. Kebutuhannya didesak oleh nasib para korban di lapangan. Tentu perdebatan pendefinisian pelecehan seksual di dalam teori feminisme akan memengaruhi suatu kebijakan hukum. Namun saya melihatnya sebagai suatu proses berkelindan yang lagi-lagi terus mengevaluasi diri. Baik dalam segi pengembangan teori feminisme maupun konsep pelecehan seksual yang tersedia dalam bahasa hukum. Melalui pemahaman ini setidaknya kita menyadari bahwa pelecehan seksual bukanlah konsep final. Di ruang akademik, silang pendapat tentu tidak bisa dilepaskan dari landasan utama konseptualisasi ini. Yakni mengupayakan keadilan bagi korban pelecehan seksual. Spirit inilah yang kiranya akan melapangkan dada setiap pemerhati isu pelecehan seksual. Bahwa konsep ini akan terus dikaji ulang dan memungkinkan pengetahuan bagi semua individu. ![]() Ni Putu Putri Wahyu Cahyani (Mahasiswi Prodi Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia) Sebagai suatu negara yang besar dengan 16.771 pulau, hingga saat ini, Indonesia masih menjadi salah satu tujuan berlibur wisatawan mancanegara. Salah satu daya tarik yang menonjol ialah karena kehidupan masyarakat Indonesia yang tetap berpegang teguh dengan nilai-nilai adat-istiadat. Indonesia juga menjadi salah satu negara dengan keragaman pulaunya yang memiliki keindahan pantai dan pegunungan, souvenir yang menarik, hingga tak lupa nilai-nilai seni dan budaya yang turut tak pernah lekang. Melalui keberagaman pesona dari pulau-pulau di Indonesia, tak jarang kemudian ia disebut bagaikan “Surga Dunia”. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, surga dapat didefinisikan sebagai alam akhirat yang membahagiakan roh manusia yang tinggal didalamnya. Dengan mengadopsi definisi ini, kemudian lebih lanjutnya melalui elaborasi dengan term dunia, maka agaknya kita dapat berandai-andai bahwa hal yang membahagiakan tersebut bukan lagi akhirat, tetapi dunia atau realitas sebagai cerminan alam kehidupan manusia saat ini. Namun, layaknya sikap skeptis terhadap kebenaran indrawi ketika memandang pohon yang jauh di depan, perihal “Surga Dunia” itu pun tak selamanya dapat dipercaya. Realitanya, beberapa hal justru dapat menipu diri kita dengan aspek-aspek materialnya, tak terkecuali term ini. Apabila kita telisik lebih dalam lagi, Indonesia masih memiliki beragam sisi gelap yang tak banyak diselami oleh orang-orang. Pada konteks ini, keberpihakan term surga perlu kita pertimbangkan kembali. Orang-orang yang memiliki dominasi, agaknya itulah pihak-pihak yang mampu menikmati kebahagiaan tersebut. Kebahagiaan sendiri pada konteks ini bersangkut paut dengan ketentraman, kebebasan, pun keberuntungan yang bersifat lahir batin. Pada saat yang bersamaan, pihak-pihak dengan kedudukan dominanlah yang kemudian mampu berada di kondisi tersebut. Dalam sebagian besar kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di daerah-daerah, pihak-pihak itu merupakan orang yang berjenis kelamin laki-laki. Dengan menimbang ada orang-orang yang dominan pada konteks ini, maka pada saat yang bersamaan, munculah kedudukan yang marginal di sisi lainnya. Orang-orang yang berada pada posisi itu adalah perempuan. Sebagian besar perempuan Indonesia masih bagaikan orang yang berada di dalam penjara dan terikat kuat oleh hal yang secara lebih lanjut akan kita sampaikan sebagai budaya patriarki. Budaya patriarki merupakan suatu sistem sosial yang menempatkan laki-laki pada kedudukan yang dominan terhadap perempuan (Young 1990). Kesadaran utama yang dipegang dalam masyarakat patriarki adalah bahwa mereka mendefinisikan perempuan hanya sebatas objek, bahkan tubuh belaka. Lebih lanjut, perempuan juga seringkali dianggap menjadi “barang” milik suaminya, artinya semua tergantung dengan laki-laki. Penindasan-penindasan terhadap kaum yang berada pada kondisi marginal inilah yang kemudian menjadi cerminan implikasi dari budaya patriarki. Pada sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama di daerah-daerah, kesadaran yang serupa turut melekat dalam kehidupan mereka. Meskipun saat ini perlahan telah ada progresivitas pemikiran terkait dengan konteks ini, tetapi beberapa masih memandang laki-laki sebagai tuan yang harus dilayani oleh perempuan. Saking tingginya kedudukan dominasi laki-laki, dalam kehidupan sehari-harinya, apabila terdapat keluarga yang melahirkan anak perempuan, maka kekecewaan akan meringkus diri mereka. Sebaliknya, dalam suatu keluarga, apabila keturunan mereka mampu melahirkan anak laki-laki, maka ia akan menjadi anak emas sepanjang hidupnya. Mereka akan lebih disayang, pun diberikan kebebasan dalam kesehariannya. Hal ini salah satunya tercermin melalui akses pendidikan. Hingga saat ini, sebagian besar masyarakat Indonesia masih percaya bahwa pendidikan setinggi-tingginya hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Dengan demikian, seringkali anak perempuan memiliki keterbatasan dalam memilih langkah mereka ketika melanjutkan pendidikan. Konstruksi sosial turut mendorong pembentukan kesadaran bagi sebagian besar masyarakat Indonesia bahwa hanya laki-laki lah yang berhak melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya, hanya laki-laki yang bisa memimpin, serta hanya laki-laki yang pantas berprestasi. Bahkan, ketika seharusnya anak perempuan didukung untuk berkembang dalam perjalanan intelektualnya, mereka diekspektasikan untuk berakhir pada pekerjaan domestik semata. Anak perempuan dalam konteks ini lagi-lagi harus berlabuh pada sumur, dapur, dan kasur. Pada akhirnya, laki-laki membutuhkan karir, sementara perempuan membutuhkan suami, itulah ungkapan yang mencerminkan kondisi patriarki tersebut. Pendidikan merupakan instrumen yang memiliki pengaruh besar dalam memberikan perubahan pada kehidupan perempuan secara keseluruhan. Selain untuk mendapatkan pengetahuan, informasi, dan ide yang baru, pendidikan juga turut memiliki peranan penting dalam mengembangkan kemampuan kognitif perempuan. Secara bersamaan, melalui kemampuan kognitif yang berkembang, mereka juga akan mampu untuk merenung, mempertanyakan, hingga memutuskan suatu kehendak dalam kehidupannya. Dalam suatu budaya patriarki, kemampuan untuk merenung dan mempertanyakan merupakan langkah awal yang dapat dilakukan oleh perempuan untuk bergerak menuju progresivitas, dalam hal ini keluar dari “keterpenjaraannya”. Dengan hal tersebut, seseorang akan mulai untuk menyadari kondisi mereka yang terkekang dan marginal. Ini dapat tercermin melalui langkah awal untuk membandingkan kondisi mereka dengan kondisi perempuan di negara lain, pun dielaborasi melalui wawasan yang semakin luas, sehingga pada akhirnya kondisi yang selama ini mereka rasakan, turut direnungkan dan dipertanyakan jalan keluarnya. Dengan begitu, perempuan akan mampu bergerak untuk perubahan. Perempuan yang berpendidikan juga cenderung lebih kecil kemungkinannya untuk menerima kekerasan dalam berumah tangga (Kabeer 2005). Lebih lanjut, dengan pendidikan, perempuan akan lebih mampu untuk memberikan keputusan ketika suami melakukan tindakan kekerasan. Dalam konteks ini, perempuan akhirnya diandaikan akan jauh lebih memiliki kapasitas menjalankan kontrol dalam hidup secara independen. Tidak hanya itu, hal yang tidak kalah penting ialah bahwa perempuan yang berpendidikan, apabila kelak memilih untuk menjadi seorang ibu, maka pada saat yang bersamaan, ia akan menjadi sekolah pertama bagi anaknya. Dengan perempuan berpendidikan, maka pendekatan yang digunakan untuk mendidik anaknya pun akan cenderung lebih baik. Oleh karena anak merupakan tongkat estafet dari masa depan bangsa, maka sesungguhnya perempuan yang mendidik anaknya merupakan orang-orang yang berperan dalam pembentukan karakter calon pemimpin bangsa. Pada akhirnya, melalui penjelasan yang ada, maka dapat disampaikan bahwa reputasi Indonesia sebagai “Surga Dunia” agaknya masih menimbulkan kontradiksi di dalamnya. Sebagai “Surga Dunia”, budaya patriarki di sebagian besar kehidupan masyarakat Indonesia sendiri justru mengimplikasikan dunia layaknya penjara yang mengikat erat sisi perempuan. Kebahagiaan, pun kebebasan, agaknya masih menjadi suatu angan-angan bagi beberapa perempuan Indonesia, terutama di daerah, hingga hari-hari ini. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran kolektif dan kerja sama dalam diri individu untuk terus memberikan ruang bagi perempuan, salah satunya melalui pendidikan. Pada akhirnya, pendidikan tidak akan hanya berguna untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, tetapi juga mempersiapkan perempuan untuk mendapatkan tempat yang lebih setara dalam ekonomi dan masyarakat pada umumnya. ![]() Rizki Alya Putri Rahmadani (Mahasiswi Prodi Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia) Istilah good looking jika dikaji dengan menggunakan kamus bahasa inggris pada umumnya seperti Cambridge Dictionary akan memberikan arti bahwa ada sebuah paras yang rupawan. Konteks rupawan dalam good looking dijadikan sebagai sebuah ajektif yang memberikan citra atributif terhadap suatu hal dengan memperhatikan tata bahasa terkait. Good looking juga menjadi sebuah acuan pembanding antara dua hal, sehingga ada posisi lebih baik A daripada B. Ada peranan komparatif dari terminologi good looking, tatanan kalimat seperti ini biasanya digolongkan sebagai superlative degree yang menunjukan hierarkis ‘paling’ di antara posisi lain yang menjadi pembanding. Citra terminologi good looking yang disajikan pada kamus tersumpah sepertinya mulai diadaptasi oleh generasi millenial dan gen Z dalam pergaulan mereka. Ada kamus gaul yang turut memasukan kata good looking sebagai salah satu kata yang sangat umum dan wajar digunakan dalam pergaulan saat kini. Ungkapan good looking bisa kita temui di mana saja, salah satunya pada kanal media sosial yang sudah menjadi perpanjangan tangan dari manusia moderen. Pengguna Twitter, Instagram, Facebook bahkan TikTok berbondong-bondong menggunakan kata good looking dalam interaksi sehari-hari.Kegunaan kata good looking dalam memberikan perlindungan atas beberapa hal mungkin juga sering kita gunakan. Terlebih ketika kita melihat seorang public figure yang memiliki paras rupawan dan diiringi dengan tata sikap yang juga rupawan. Pada kesempatan lain, mungkin saja kita menggunakan kata good looking ketika kita kagum melihat individu lain yang hadir dalam kehidupan kita. Di lain sisi, kata good looking juga sering kita gunakan sebagai kalimat merendahkan diri sendiri ketika diri kita tidak sesuai dengan patokan standar kecantikan. Terminologi good looking menjadi sebuah budaya populer yang diagung-agungkan oleh banyak pihak. Bahkan good looking menjadi salah satu prasyarat seseorang untuk memiliki kesempatan dalam mendapatkan sesuatu. Popularitas kata good looking berkembang menjadi sebuah jurang pemisah antara sosok individu yang rupawan dengan yang tidak. Sontak kata good looking menjadi sebuah bungkus baru dari standar kecantikan yang berlaku selayaknya ideologi kesadaran palsu. Konteks good looking digunakan untuk menilai ‘harga’ dari seorang individu. Apalagi saat ini sudah banyak sekal pihak-pihak yang menginginkan sosok dengan good looking ada dalam kehidupannya. Penggunaan konteks good looking semakin ‘gila’ lagi lantaran ada privilege tertentu yang disematkan pada orang-orang yang dinilai good looking. Seperti orang yang dinilai good looking lebih memiliki kesempatan untuk berekspresi di ruang publik dibandingkan yang tidak. Internalisasi konteks terminologi good looking yang meluas menjadi sebuah ancaman baru dalam memandang manusia sebagai individu. Tentu akan ada beberapa problem dilematis mengenai kebebasan berpendapat dengan batasan untuk tidak menilai ataupun mengobjektifikasi individu lain. Keterbatasan yang diberikan oleh good looking dengan dukungan konstruksi sosial yang bobrok terlihat sangat menggerogoti kehidupan manusia dalam peradabannya. Terlebih pemahaman yang keliru atas good looking malah akan membuat beberapa pihak merasa termarjinalkan, khususnya dalam cara sosietas memandang perempuan. Konteks good looking seolah menjadi salah satu alat legitimasi untuk mendukung pembentukan perempuan yang bisa diatur. Ini semakin menguatkan kata rather become a woman yang sempat disinggung oleh Simone de Beauvoir. Lantas mengapa standar kecantikan dalam balutan good looking masih lazim dan diamini oleh banyak orang? dan bagaimana cara kita memandang diluar daripada konteks ini? Patut kita selidiki bagaimana beauty standard sangat disukai oleh banyak pihak. Standard kecantikan pada kehidupan masyarakat zaman now memberikan keuntungan dalam berbagai macam rupa. Ada pihak yang merasa bahwa sosok yang good looking dan memenuhi kriteria standar kecantikan itu lebih menjanjikan dibandingkan yang tidak. Dalam konteks pembahasan yang lebih jauh, kredibilitas seseorang bahkan mampu dinilai terlebih dahulu melalui konteks good looking. Seperti pada kasus-kasus yang saya sering temui sendiri ketika sedang berada di mall besar. Banyak orang yang masuk dengan pakaian oke dan terlihat rupawan dilayani dengan lebih baik dibandingkan dengan orang yang masuk ke mall ala kadarnya. Beragam alasan yang digunakan dalam memvalidasi tindakan screening semacam ini, salah satunya alasan bahwa orang dengan penampilan yang oke terlihat lebih punya kemampuan untuk membeli barang di mall dibandingkan yang tidak. kesannya keberadaan good looking sangat membantu dan menyediakan privilege-privilege yang menjanjikan. Tapi siapa sangka sesungguhnya keberadaan standard kecantikan dengan kedok good looking hanya semakin menjerat manusia dalam kekangan taraf kecantikan tertentu. Thompson (1995) pernah mengatakan kalau ada perasaan puas kepada orang yang memiliki visual bagus sesuai dengan tuntutan standard kecantikan. Namun sesungguhnya juga terdapat sebuah kekecewaan di balik keharusan untuk memenuhi tuntutan standard kecantikan. Terlebih bagi perempuan ini akan menjadi sebuah penjara emas ketika mengikuti standard kecantikan. Perihal seperti promosi iklan perawatan kecantikan, perhiasan, barang mewah cenderung memperlihatkan citra flaw dari diri seseorang tanpa hal-al tersebut. Seolah manusia tanpa hal seperti itu tidak layak untuk disebut sebagai manusia utuh. Perihal semacam ini juga mendukung konsep standard kecantikan yang menguntuk kulit putih, badan kurus, lemah gemulai, dan sebagai macamnya. Bahkan hal ini bisa membuat sebuah ideologi yang mengharuskan manusia untuk mengikuti keberadaan standard kecantikan semacam ini. Seharusnya sudah menjadi pembicara yang sangat modern bagaimana standard kecantikan terbentuk oleh masyarakat yang mengadopsi konstruksi maskulinitas sehingga terbentuk budaya patriarki. Titik tumpu pertanyaan berada dalam bagaimana sebuah konstruksi dari zaman dahulu tidak jua runtuh hingga saat ini? Apabila kita selidiki maka kita dapat mulai lebih peka dengan adanya konteks patriarki yang membudaya sehingga menjadi hegemoni. Hegemoni absolut dari tatanan patriarki membantu lenggangnya berbagai pernyataan tentang standard kecantikan. Kecantikan menjadi salah satu aspek yang seakan sangat penting daripada perihal lainnya. Tolok ukur seseorang pun lebih condong dilihat hanya berdasarkan kesesuaian mereka berada dalam standard kecantikan. Kiranya ini hanya membuat individu merasa sangat terkekang dan tidak mendapatkan kebebasan sama sekali. Seharusnya dalam konteks yang sangat maju sekarang ini, terlebih kita sudah memasuki pada era kekecewaan atas peradaban, meta narasi untuk mendebatkan patriarki dan standard kecantikan sudah sangat sering disuarakan. Seharusnya ada semangat untuk menghancurkan narasi besar yang berupa hegemoni. Terutama hegemoni yang membangun citra berdasarkan standard kecantikan semata. ![]() Naufaludin Ismail (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi FISIP UI) Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat (AS) yang ke-45 yang menjabat selama 4 tahun lamanya mulai dari tanggal 20 Januari 2017 – 20 Januari 2021. Sejak masa kampanye, Donald Trump sudah menjadi ‘malapetaka’ dan mimpi buruk tidak hanya bagi warga negara AS, namun juga seluruh penduduk di muka bumi. Pemerintahan Trump berubah menjadi Pertunjukan Horor Amerika yang menakutkan bagi banyak orang. Kellner (2017) adalah pemikir yang membahas secara lengkap dosa-dosa politik Trump selama ia mencalonkan diri hingga terpilih menjadi Presiden AS dalam bukunya yang berjudul American Horror Show: Election 2016 and the Ascent of Donald J. Trump Kellner (2017) secara detail dalam setiap pembahasan bukunya tentang bagaimana Trump melakukan peperangan terhadap media, sistem peradilan, dan institusi demokrasi di AS, hingga membuat banyak kebijakan Trump yang ditentang dan dilawan oleh rakyatnya pada minggu-minggu awal pemerintahannya. Dari sekian banyak tindakan politik Trump tidak etis yang dilakukan oleh Trump seperti yang dijabarkan di buku Kellner (2017) adalah bagaimana secara tidak etis menjatuhkan lawan politiknya, Hillary Clinton, dengan berbagai serangan secara verbal dan tindakan yang dianggap tidak etis sama sekali selama proses kampanye berlangsung. Erichsen et al., (2020) membahas bagaimana pendukung Trump mudah sekali bertutur kasar kepada Clinton, terutama dalam konteks ia sebagai perempuan. Apa yang dilakukan oleh pendukung Trump ini sebenarnya adalah cerminan dari sikap Trump yang kerap kali melecehkan prempuan, seksis, misoginis, dan patriarkis. Frasa ‘Nasty Women’ menjadi populer setelah Trump secara terang-terangan menyerang Clinton sedemikian kasarnya namun, yang menjadi miris ketika seorang calon pemimpin negara bisa dengan sadar bersikap tidak etis di depan publik dan jelas-jelas memengaruhi pendukungnya untuk bersikap yang sama kasarnya dengan dirinya. Richardson-Self (2018) membahas bagaimana kebencian terhadap perempuan dengan sangat mudah dilakukan dalam bentuk ujaran kebencian atau hate speech. Richardson-Self (2018) berpendapat bahwa politik anti-patriarki yang berkaitan dengan ujaran kebencian terhadap perempuan telah diabaikan oleh para akademisi. Padahal, ujaran kebencian adalah salah satu kategori konseptual terpenting dalam politik anti-penindasan dan politik seringkali hanya dicurahkan untuk mengidentifikasi, mengkarakterisasi, menentang, dan (terkadang) menghukum ujaran kebencian, tetapi selalu ada celah untuk menempatkan pidato atau orasi yang sangat patriarkis. Kebencian yang diujarkan Trump kepada Clinton selama masa pemilihan presiden AS kemarin jelas tidak etis dan melanggar sisi kemanusiaan atau humanis. Lantas, mengapa semua perlakukan tidak etis ini bisa dibenarkan secara moral dan bahkan bisa membawa Trump menjadi presiden AS? Apa yang salah dengan publik hingga sangat toleran terhadap perbuatan seksis, misoginis, dan patriarkis dari calon pemimpin AS ini? Patut kita selidiki mengapa pelaku komunikasi politik yang jelas-jelas tidak etis justru sangat dicintai oleh banyak orang. Hegemoni Maskulinitas: Tantangan Postmodernisme Diskursus mengenai apakah masih relevan untuk membahas patriarki dalam kaitannya dengan ketidakadilan, opresi, dan ketimpangan mungkin akan sangat sangat terbentur dengan narasi postmodernisme yang diagung-agungkan oleh para pemikirnya. Dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak postmodernisme menjadi isu yang seksi di beberapa kalangan akademis, pertanyaan-pertanyaan seputar agenda feminis dan ilmu sosial menjadi semakin sering diperdebatkan. Rasanya kita tidak perlu berdebat panjang lebar mengenai seluk beluk pemikiran postmodernisme, tetapi beberapa argumen kunci dalam tren baru ini. Bagi sebagian orang, perbincangan mengenai feminisme di era postmodern ini dipandang sebagai salah satu tantangan terbesar feminisme – adalah penolakan Jean-Francois Lyotard terhadap meta-narasi sejarah dan sosial yang menyangsikan segala bentuk struktural di dalam kehidupan. Target utama Lyotard adalah Marxisme dan upayanya untuk mengembangkan kritik terhadap hubungan ketidaksetaraan berbasis luas di sekitar kelas dan hubungan properti. Konsepsi Marxis tentang masyarakat dikritik sebagai reduktif, menutup keragaman dan pluralitas perbedaan sosial (Murray, 2005). Goldzwig & Sullivan (2011) dengan gamblang menyebutkan bahwa dalam memahami era postmodern hari ini, perspektif feminis haruslah menjadi landasan untuk memahami etika politik. Para sarjana yang berteori tentang etika dan postmodernitas menanyakan apa artinya terlibat dalam dialog dan berkomunikasi secara etis di era ketidakpastian, perbedaan, dan keragaman yang tidak begitu memiliki banyak kesamaan. Nyatanya, tindakan misoginis, seksis, dan patriarkis yang jelas-jelas melecehkan perempuan terjadi secara gamblang pada komunikasi dan tindakan politik yang dilakukan oleh Trump kepada Clinton dan bahkan kepada para perempuan secara umum. Politik hari ini tidak akan pernah menguntungkan perempuan, karena hegemoni maskulinitas dan politik akan selalu diasosiasikan dengan kekuatan, arogan, kasar, tegas, kaku, dan tangguh tidak pernah berhenti menggerus keterlibatan perempuan dalam politik sehingga akan sangat mudah bagi komunikator (terutama laki-laki) untuk terlihat ‘keren’ dan ‘gagah’ ketika memperlakukan perempuan sebagai individu yang lebih rendah dari laki-laki sehingga label ‘tidak etis’ tidak akan melekat pada sang komunikator politik, seperti yang Trump lakukan. Etika Komunikasi Politik Feminis Sebagai Jalan Keluar Toxic masculinity adalah jawaban paling general dan umum untuk bisa menjelaskan mengapa Trump begitu banyak pendukung dan bisa memenangkan kursi presiden AS. Padahal, konsep retorika yang disampaikan oleh Trump di setiap kampanye nya selalu melecehkan Clinton.Foss dan Griffin (1995) dalam perspektif feminis menekankan perhatian pada konteks dan dialog, dan dalam beberapa hal paralel dengan teori postmodern tentang retorika, etika, dan politik. Sarjana feminis beralih ke pengalaman perempuan untuk mengidentifikasi kualitas komunikasi yang disampaikan oleh komunikator politik dan jelas Trump tidak melakukan orasi yang berperspektif feminis. Hutchings (2017) menambahkan bahwa perlakuan tidak etis yang menyasar kelompok perempuan dalam konteks politik bisa disebut sebagai salah satu bentuk tindakan kekerasan politik. Hallstein (1999) dengan gamblang menjelaskan bahwa jalan keluar dari etika komunikasi politik untuk menjawab tantangan postmodernisme hari ini adalah etika komunikasi politik feminis yang berdasarkan dari etika kepedulian. Model etika komunikasi yang muncul dari teori sudut pandang feminis paling tepat digambarkan sebagai revisi atas etika kepedulian postmodern yang menggabungkan gagasan tentang keragaman, perbedaan moral, dan penalaran. Hal ini harus direvisi karena perspektif feminis mengubah dasar tradisional dari etika kepedulian namun tanpa mengubah sisi fundamental dari etika kepedulian. Caranya adalah dengan mengoreksi tiga masalah utama etika kepedulian yaitu persoalan tentang laki-laki yang tidak bisa mengamalkan etika kepedulian, ketidakmampuan untuk memanfaatkan nalar, dan logika saat mengamalkan etika kepedulian, dan kesulitan menggunakan rasionalitas saat menunjukkan kepedulian. Kesimpulan Hanya dengan menggunakan common sense, seharusnya perlakuan Trump terhadap Clinton tidak bisa dibenarkan dari sisi apapun baik etis sampai hukum sekalpun. Merendahkan perempuan sebagai jalan untuk meraih kemenangan dalam politik sangat jauh dari kata etis. Harusnya kita paham bahwa perlakuan seksis, misoginis, dan patriarkis tidak bisa dilabeli etis hanya karena kultur patriarki yang sudah mendarah daging di berbagai bidang kehidupan termasuk politik. Mengutip Buzzanell (2011) tentang bagaimana etika feminis hari ini (Buznell menyebutnya sebagai etika diskursif feminis) dikaitkan dengan politik hari ini, ada enam proses yang saling terkait dalam etika diskursif feminis yang dapat dipertimbangkan kembali: (1) konteks konstruksi sosial; (2) mempromosikan dialog melalui nilai-nilai kemanusiaan; (3) merancang visi; (4) membingkai ulang; (5) iterasi penyematan; dan (6) membuat proses dan hasil menjadi transparan. Empat yang pertama menggambarkan pelaksanaan etika feminis; dua yang terakhir bertindak sebagai proses akar yang mendasari etika feminis. Secara bersama-sama, proses ini memungkinkan peserta dan pemangku kepentingan lainnya perlu memposisikan gender sebagai dasar pertimbangan etis di dalam dan di seluruh konteks komunikasi untuk memengaruhi interaksi sehari-hari dan perubahan kebijakan global (Buzzanell et al., 2009). Meski begitu, proses etika diskursif feminis sulit dicapai dengan berbagai tantangannya. Tantangan-tantangan ini meliputi: tanggapan feminis dan sikap proaktif terhadap isu-isu etika dan hak asasi manusia transkultural dan internasional, pengakuan atas peran keragaman dan marginalisasi dalam proses dan hasil etis, kekerasan gender, privasi, keamanan, dan dilema identitas yang ditimbulkan oleh dunia maya, game, dan jejaring sosial (Johannesen, 2001). Sarjana komunikasi seharusnya menawarkan cara unik untuk memunculkan, menginterogasi, dan menyelesaikan dilema etika untuk dunia saat ini. Etika feminis hari ini harusnya menjadi esensial diperbincangkan dan banyak dibahas oleh para sarjana komunikasi hari ini untuk bisa membangung sebuah gagasan untuk mewujudkan etika komunikasi politik yang humanis. ![]() Asriyati Nadjamuddin (Ketua Perkumpulan SALAM - Gorontalo, Indonesia) Judul di atas adalah topic utama PUAN TALK 2022 dalam rangka perayaan Hari Perempuan Internasional 2022. PUAN TALK 2022 yang digagas sekaligus menjadi narasumber oleh beberapa non-governmental organization (NGO) Salam Puan, Perkumpulan JAPESDA, Asosiasi Kelompok Wanita Tani Wonosari, Komunitas Segala Sagela dan Pusat Studi Kajian Pengembangan dan Pemberdayaan Ekonomi, PUSKAPPEK yang berkolaborasi dengan lembaga nasional Jurnal Perempuan dan Gender Consortium Flinders University. Fokus PUAN TALK kali ini beririsan dengan tema kampanye Hari Perempuan Internasional 2022 yakni hilangkan diskriminasi (break the bias). Kampanye yang dilakukan setiap tahun ini diharapkan dapat menguatkan perempuan secara kolektif dalam mengatasi berbagai bentuk masalah perempuan dan menjadi kekuatan untuk kemajuan perempuan. Beberapa intisari pembicara dalam perbincangan PUAN TALK mengulas tentang peran gender, relasi gender, kesenjangan gender, pengurangan beban perempuan dan pemberdayaan. Peran gender laki-laki dan perempuan berada dalam lingkup ranah: reproduksi, produksi dan masyarakat. Secara umum peran laki-laki sebagai ayah, pencari nafkah utama, pimpinan dalam lingkup legislatif, yudikatif dan eksekutif yang seringkali formal dan biasanya dibayar. Sementara itu, peran perempuan: ibu dan istri, tidak mencari nafkah atau hanya pencari uang tambahan bekerja secara sukarela sebagai perluasan peran reproduksi, seringkali informal dan biasanya tidak dibayar. Peran gender utama perempuan adalah menjadi ibu dan istri. Peran ini digunakan oleh perempuan untuk mendefinisikan dirinya dan bahkan sering mengevaluasi tingkat kesuksesan seorang perempuan dengan melihat kesuksesan aktivitas peran ibu dan istri. Situasi ini membuat perempuan mengalami beban ganda, pekerjaan domestik mapun pekerjaan yang dibayar. Aktivitas sebagai ibu dilakukan dalam waktu 24 jam penuh, walaupun perempuan bekerja di sektor formal. Jadi perempuan menjalankan lebih dari satu peran dalam satu waktu. Jika anak sakit atau terdapat masalah dalam rumah tangga, maka perempuan yang bekerja tetap diharapkan dapat menangani langsung sampai masalah selesai. Aktivitas perempuan dalam konteks pemeliharaan rumah tangga bila ditilik mendalam adalah pekerjaan dan bisa produktif – memiliki nilai ekonomi. Artinya, memasak, mengurus orangtua, mengasuh anak bisa saja dikerjakan oleh orang lain dan mendapatkan upah. Faktanya di Indonesia ini adalah pekerjaan yang tidak dibayar, karena asumsi bahwa fungsi utama perempuan pada lini domestik dan reproduksi. Apabila ada perempuan yang bekerja pada sektor ini secara produktif, umumnya bergaji rendah. Sebaliknya peran gender utama laki-laki adalah pencari nafkah bagi keluarga dan definisi kesuksesan laki-laki alat ukurnya dari peran ini. Sehingga, ketika laki-laki sedang bekerja tak bisa diganggu dengan perannya sebagai suami atau ayah. Ketimpangan peran gender ini melahirkan ketidakadilan gender dalam berbagai bentuk, dari lingkup terkecil yakni keluarga hingga terluas dalam masyarakat. Pada bentuk ketidakadilan gender seperti marjinalisasi dalam aktivitas pembangunan masyarakat, subordinasi perempuan, diskriminasi, beban ganda, stereotip dan meningkatnya kekerasan terhadap perempuan. Dalam memperbaiki dampak subordinasi, marjinalisasi dan diskriminasi terhadap perempuan, diperlukan gerakan bersama untuk menguatkan posisi perempuan setara dengan laki-laki. Bisa diawali dengan pengakuan dan penghargaan atas ekonomi pemeliharaan rumah tangga yang menjadi beban perempuan dan mengurangi beban perempuan dengan mengalihkan sebagian beban kepada laki-laki/suami, masyarakat dan pemerintah. Dalam lingkup keluarga perlu dibangun budaya pembagian kerja pemeliharaan rumah tangga antara suami dan istri maupun anggota keluarga lainnya yang hidup satu atap. Masyarakat membangun lingkungan yang kondusif dalam relas antar warga dan perkembangan anak dan remaja. Pemerintah melalui programnya, perlu mengurangi beban perempuan dalam bentuk dukungan regulasi kebijakan strategis yang mendukung perempuan, utamanya yang bekerja di luar rumah. Masa millennium dengan semakin terbukanya akses pengetahuan melalui fasilitas teknologi internet, memberi pencerahan terhadap generasi millennium atau disebut juga generasi Y (generasi lahir awal tahun 1980 hingga awal 2000) terkait relasi gender dan kepentingan strategis gender. Hal ini secara umum juga memberi pengaruh terhadap kebijakan strategis gender di lingkup pendidikan maupun pemerintah. Beberapa program telah dirintis oleh pemerintah, walaupun belum merata, seperti tempat penitipan anak, ruang menyusui, regulasi komunal terkait kekerasan seksual dan lain sebagainya. Selain itu, kekerasan terhadap perempuan yang terungkap semakin meningkat. Sebagaimana data terakhir yang dipublikasikan oleh Komnas Perempuan dalam CATAHU bahwa pengaduan ke Komnas Perempuan meningkat secara signifikan sebesar 80 % dari 2.134 kasus pada tahun 2020 mejadi 3.838 kasus pada tahun 2021. Peningkatan angka ini juga menunjukan kesadaran perempuan untuk melakukan perlawanan melalui pengaduan formal ke lembaga maupun institusi terkait. Catatan diatas adalah sedikit dari perbincangan yang dibahas dalam PUAN TALK dengan kesimpulan sebagai berikut:
Peran Salam Puan dalam Mewujudkan Kesetaraan Gender Salam Puan yang genap usia 7 tahun pada 15 April 2022 merupakan salah satu non-governmental organization yang memiliki salah satu tujuan untuk menghimpun berbagai potensi dalam rangka pemenuhan perlindungan dan perbaikan kehidupan dan kesejahteraan perempuan. Dalam kurun waktu 7 tahun, Salam Puan masih berfokus pada agenda promotif dan preventif terkait perlindungan perempuan, anak, dan keluarga, dengan lokus layanan di daerah Provinsi Gorontalo dan sekitarnya. Salah satu strategi program yang dilakukan adalah dalam bentuk literasi gender dengan melaksanakan Sekolah Puan secara offline maupun online. Sekolah Puan dibuat dengan tujuan khalayak perempuan maupun laki-laki dapat mengakses pengetahuan dan meningkat kapasitas/keahlian kehidupannya dalam bingkai kesetaraan gender. Aktivitas ini dilaksanakan secara terbuka dengan akses yang mudah karena gratis. Sekolah Puan ini terbagi dalam berbagai kelas seperti kelas gender yang memuat dan mengasah pengetahuan peserta tentang feminisme dan gender. Kelas lainnya dikhususkan untuk ibu hamil dan menyusui, kelas anak, kelas khusus ketrampilan dalam pengelolaan RT. Mulai bulan September Tahun 2021, Salam Puan membuka layanan konseling secara online melalui whatsapp yang diasuh oleh konselor dan psikolog. Selain itu, Salam Puan memiliki agenda promotif melalui media sosial dengan konten yang memuat tentang perlindungan anak dan perempuan, relasi gender, kampanye lingkungan dan berkolaborasi dengan lembaga masyarakat yang memiliki tujuan yang sama dengan Salam Puan. Aktifitas nirlaba ini bisa berjalan lancar karena sokongan pegiat dan relawan Salam Puan yang terpanggil dalam berkontribusi untuk mewujudkan kesetaraan dalam kehidupan bermasyarakat. ![]() Nadya Karima Melati (Writer and Historian - Bonn, Germany) "No theory, no history" - Werner Sombart dalam Modern Capitalism (1903) Tulisan ini dibuat untuk merespon pameran Selidik Jurik yang diinisiasi oleh Ressa Ria dan Khemal Andrias. Bekerja sama dengan seniman Fefia Suh dan Rininta, pasangan ini menyajikan sebuah pameran tentang fenomena perempuan hantu berjudul Selidik Jurig. Pameran tersebut memperlihatkan bagaimana masyarakat Indonesia memandang konsep hantu perempuan. Ressa dan Khemal memberikan deskripsi tentang fenomena hantu, bahwa identitas keperempuanan yang menjebak mereka menjadi hantu yang mengerikan. Mulai dari kuntilanak yang diperkosa, sundel bolong yang meninggal saat melahirkan atau suster ngesot yang dituduh penyihir. Sebagai antropolog mereka menyajikan persepsi masyarakat terhadap ketakutan dengan identitas perempuan, hal ini senada dengan yang saya kemukakan dalam buku saya Membicarakan Feminisme (Melati, 2020: 137). Saya terkesan dengan pameran yang diadakan secara luring dan daring ini, walau saya jauh di Jerman, saya tetap bisa menikmati pameran hantu-hantu perempuan yang disajikan melalui website selidikjurig.org dan Zine yang diterbitkan. Pameran ini menjelaskan bagaimana patriarki menyebabkan monsterisasi hantu-hantu perempuan namun belum cukup utuh untuk menjelaskan kapan monsterisasi terhadap hantu-hantu perempuan terjadi. Untuk itu, saya sebagai sejarawan menyumbang dimensi analisis tentang monsterisasi hantu-hantu perempuan dalam lingkup waktu. Menggunakan konsep Longue Durée untuk melihat posisi perempuan di masyarakat Kalimat "tanpa teori, tidak ada sejarah" dari Werner Sombart menjadi kalimat pertama yang dikutip Fernand Braudel dalam pengantar buku "Capitalism and Material Life 1500-1800." Menurut bapak dari metode penulisan sejarah Annales ini, penulisan sejarah membutuhkan sebuah model untuk menjelaskan sekumpulan peristiwa-peristiwa, entah baik atau buruk, untuk menjadi sebuah landasan interpretasi jalannya sejarah manusia. Buku tersebut juga menjadi seri perdana dari tiga serangkai buku Civilization and Capitalism. Tiga buku tersebut menjelaskan sebuah proses pertumbuhan ekonomi dunia, yang berpusat pada Eropa dan imperialismenya. Fernand Braudel melalui buku-bukunya mempopulerkan sebuah metode untuk melihat kesinambungan antara ketimpangan ekonomi pada hari ini melalui proses periodisasi yang panjang. Dimulai pada awal pertumbuhan kapitalisme di Eropa akibat lonjakan populasi, terbentuknya kota-kota yang saling terhubung, urbanisasi dan konsentrasi kekuasaan, kelas dan modal. Periode modern awal 1500-1800 menjadi titik baginya untuk melihat bagaimana ekonomi dan ketimpangan bisa dijelaskan pada hari ini. Dalam History and Social Science: The Longue Durée yang diterjemahkan oleh Immanuel Wallerstein, Fernand Braudel memusatkan perhatian analisis dari sebuah krisis dan mempersepsikan sejarah sebagai sebuah proses keberlanjutan. Metode Longue Durée yang ditawarkan Braudel berbeda dengan penulisan sejarah yang biasanya terpenjara pada peristiwa-peristiwa detil dan mencoba mencari pola yang berulang. Ia menawarkan untuk terlebih dahulu memulai bertolak pada krisis, misalnya ketimpangan ekonomi, dan kemudian menyelidiki struktur penyebab krisis dalam masyarakat dengan bantuan ilmu sosial. Penyelidikan struktur ini kemudian dijadikan landasan untuk melihat pola dari detail peristiwa-peristiwa yang terjadi (Braudel, 1958: 178). Pameran Selidik Jurig menggunakan pendekatan feminisme untuk melihat ketakutan masyarakat terhadap hantu perempuan sehingga kita bisa membuat asumsi bahwa ada krisis terhadap perempuan. Krisis ini kemudian harus kita telaah melalui metode ilmu sosial seperti feminisme. Dengan feminisme pula kita dapat menyelidiki struktur yang menyebabkan krisis terhadap perempuan. Struktur tersebut bisa dengan cepat kita katakan patriarki yang secara langsung juga membuat kategorisasi antara manusia dan hantu/monster. Sebagaimana yang ditampilkan dalam penggambaran monster di Selidik Jurig, bagian-bagian tubuh perempuan dan pengalaman perempuan menjadi sebuah monster yang penampakannya menakutkan. Payudara, darah menstruasi, rambut panjang menggambarkan sebuah ketakutan dialami oleh perempuan dan ditangkap sebagai peristiwa fenomena hantu perempuan di masyarakat Bandung oleh Ressa dan Khemal. Dengan memosisikan patriarki sebagai penyebab, perlahan-lahan kita bisa melihat terbentuknya sebuah struktur dan ketakutan di masyarakat yang menyasar tubuh dan identitas perempuan sebagai monster. Untuk menyelidiki struktur, kita harus memperluas lokus dan pola. Sebab patriarki ini terjadi tidak hanya di mata masyarakat Bandung, tapi juga masyarakat Asia Tenggara dan Oseania, di mana pola tentang hantu perempuan juga muncul di tengah-tengah masyarakat. Fenomena Kuntilanak yang menjadi asal usul kota Pontianak juga dijelaskan Timo Duile, Antropolog Jerman. Dalam jurnal Kuntilanak: Ghost Narratives and Malay Modernity in Pontianak, Indonesia, Timo menjelaskan bagaimana posisi Kuntilanak dalam persepsi orang Kalimantan Melayu tentang relasi modernisasi lingkungan sekitar (ecology) dengan roh setelah kehadiran Islam Melayu (Duile, 2002: 282). Gambaran hantu perempuan menyeramkan dengan detail rambut panjang, gaun putih dan wajah pucat dipopulerkan oleh film-film horor. Dari masa ke masa gambaran hantu sebagai sosok perempuan menakutkan ditawarkan oleh beberapa film-film, sebut saja Suzana yang populer pada 1960-1970, Kuntilanak dari Rizal Mantovani pada 2000an awal hingga Joko Anwar Pengabdi Setan (2017). Pola dari film-film horor yang menawarkan sosok seram hantu perempuan kurang lebih serupa: perempuan digambarkan sensual dan jelita. Kemudian perempuan cantik ini mengalami tragedi yang disebabkan oleh keperempuanannya: perkosaan, hamil, melahirkan, menyusui. Pertanyaannya adalah, sejak kapan unsur-unsur keperempuanan menjadi hal yang menakutkan dalam masyarakat? Mengapa pengalaman menjadi perempuan seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui menjadi hal yang menakutkan? Krisis terhadap persepsi tubuh perempuan yang menjadi monster harus ditelisik lebih jauh, sebelum periode ketika film-film horor diproduksi atau foklore masyarakat terbentuk. Hal ini bisa ditelisik dalam karya sejarawan perempuan Asia Tenggara pada masa pra-modern seperti Barbara Andaya dan antropolog lain yang meneliti tentang kehadiran monoteisme dan pergeseran relasi manusia dan roh. Ambiguitas Perempuan masa Pra Modern Salah satu penelitian komprehensif tentang sejarah perempuan sebelum abad ke-20 yang baru-baru ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah buku Kuasa Rahim: Reposisi Perempuan Asia Tenggara Periode Modern Awal 1400-1800 karya Barbara Andaya. Buku ini berusaha menggali posisi perempuan pada masa modern awal, jauh sebelum ide tentang negara merdeka di Asia Tenggara hadir dan identitas perempuan digabungkan melalui pengalaman-pengalaman tubuhnya. Barbara Andaya tidak menyajikan generalisasi tetapi ia menawarkan satu konsep yang terjadi pada perempuan-perempuan di masa tersebut yakni ambiguitas. Ambiguitas di sini berarti posisi perempuan tidak bisa serta merta digeneralisasikan tinggi atau rendah, melainkan ada kondisi-kondisi tertentu yang memainkan peran dan mengubahnya. Ia mengambil contoh tentang peran perempuan sebagai penyembuh dalam bab "Perempuan dan Perubahan Kepercayaan/keagamaan". Dalam bab ini, dijelaskan tentang posisi perempuan penyembuh di wilayah masyarakat yang masih menganut kepercayaan lokal. "Dari semua cairan tubuh, darah menstruasi dianggap yang paling sakti" (Andaya, 2006: 72). Perempuan pada masa pra modern, menurut Barbara Andaya memegang posisi penting khususnya dalam upacara kepercayaan lokal. Identitas keperempuanan dan kelelakian menjadi perpaduan unik simbol harmonisasi alam gaib dan manusia. Hal itu yang membuat sosok bissu, memegang posisi penting di masyarakat Sulawesi Selatan. Selain itu sosok perempuan baya/menopause (berhenti mengeluarkan darah menstruasi) juga penting untuk memimpin upacara-upacara yang menghubungkan roh dan manusia. Sebab perempuan yang sudah selesai menstruasi dianggap sakti dan memegang posisi tinggi dalam upacara dan rumah tangga. Namun, pada bab "Menjadi Perempuan" pengalaman keperempuanan seperti kematian saat melahirkan menyebabkan perempuan menjadi hantu. Pontianak, menurutnya, adalah legenda khas Melayu yang juga ditemukan dalam bahasa-bahasa Austronesia. Pada umumnya, tidak ada gambaran jelas bagaimana sosok roh perempuan dideskripsikan kecuali pada karya hikayat Abdullah Munshi yang menggambarkan bagaimana sosok pontianak bergentayangan dengan usus menjuntai dan menghisap darah bayi yang baru lahir (Andaya, 2006: 213). Perbandingan antara dua posisi perempuan dan pengalaman keperempuanannya menjadi semakin kentara dan tergeser ke arah monsterisasi, khususnya setelah kehadiran agama-agama monoteisme yang membabat habis sistem kepercayaan lokal dan menggantinya dengan ketuhanan yang esa. Kehadiran agama monoteisme menjadi wahana modernisasi yang juga memperkenalkan konsep patriarki, pemuka agama yang dicirikan dengan identitas laki-laki dan kemudian meminggirkan identitas perempuan dan identitas non-biner (bissu). Kehadiran Monoteisme dan Monsterisasi Perempuan Kehadiran monoteisme di wilayah Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya harus dilihat sebagai proses panjang yang berangsur-angsur. Dalam proses panjang ini, perubahan-perubahan dalam struktur sosial dan peran-peran di masyarakat berubah. Termasuk dengan bagaimana patriarki menginfiltrasi posisi perempuan. Barbaya Andaya mengemukakan bahwa setelah abad ke-14, sosok perempuan sebagai raja tidak bisa lagi di temukan di wilayah Asia Tenggara. Perempuan ditaklukkan melalui agensi pernikahan dan tunduk terhadap posisi laki-laki sebagai pemimpin keagamaan di masyarakat. Agama monoteisme seperti Islam dan Kristen diperkenalkan bersamaan dengan patriarki. Mereka memperkenalkan konsep ketuhanan yang maskulin, menggeser kemudian menghancurkan kepercayaan lokal yang berhubungan dengan roh dan alam. Perjalanan struktur ekonomi-sosial masyarakat yang sebagaimana dikisahkan dalam Civilization and Capitalism Fernand Braudel berada dalam satu garis linear menuju apa yang disebut peradaban. Peradaban dalam konteks Asia Tenggara sering disebut dengan istilah pembangunan atau modernisasi. Sebagaimana yang disebutkan oleh Timo Duile dalam konteks Melayu Kalimantan, proses modernisasi adalah adaptasi masyarakat dengan agama Islam. Menjadi modern adalah ketika sultan membuka hutan, mengusir kuntilanak dengan suara azan (Duile, 2020: 290). Peradaban yang dimulai dari infiltrasi agama monoteis-patriarki membentuk posisi perempuan dan tubuhnya pada hari ini. Sebuah pendapat yang kuat tentang evolusi roh sebagai hantu/monster di wilayah Indonesia dan Oceania dijabarkan oleh antropolog Jeannette Marie Maego and Alan Howard dalam buku Spirits in Culture, History and Mind (1996). Menurut mereka, kehadiran monoteisme tidak menghilangkan sosok dan relasi masyarakat dengan roh (spirits) sebagai kepercayaan asli mereka secara total, namun mengubah peran roh dalam masyarakat dan menjadikannya monster/hantu. Dalam kepercayaan lokal sebelum kehadiran agama monoteis, roh hidup berdampingan dan saling berkomunikasi. Roh berbeda dengan dewa yang memiliki kekuatan. Roh pada umumnya memiliki berbagai sifat sebagaimana manusia pada umumnya: ada yang baik, ada yang jahat atau ada yang netral. Untuk itu dibutuhkan perantara dari dunia manusia untuk bisa berkomunikasi dengan dunia roh. Perantara tersebut adalah sosok yang sakti seperti perempuan, sebab mereka menstruasi atau sosok dengan identitas harmonis seperti bissu. Kehadiran monoteisme menolak adanya sosok spiritual lain selain Tuhan. Monoteisme mengganti peran dewa-dewi menjadi sosok panteon, santa atau manusia super. Sementara roh dengan posisi yang setara manusia bergeser menjadi hantu/monster. Keagamaan monoteis-patriarkis juga mengajarkan biner antara baik dan buruk. Hal ini berimbas pada posisi identitas perempuan, laki-laki dan gender lainnya di masyarakat. Patriarki menggeser posisi identitas laki-laki sebagai pemimpin agama semakin ke atas dan berimbas pada posisi perempuan dan gender lainnya yang sebelumnya memegang peran sebagai perantara komunikasi dengan roh. Binaritas yang dijadikan landasan berpikir monoteisme hanya memperbolehkan kekuatan spirit Tuhan yang bernilai baik sementara kekuatan roh bernilai jahat. Dan ajaran biner membuat surga tidak bisa hadir tanpa keberadaan neraka. Monoteisme memosisikan roh sebagai sosok yang jahat, berbahaya, berasal dari neraka dan menakutkan disandingkan dengan ketuhanan yang baik dan penyelamat surga. Pergeseran ini membuat peran perempuan yang sebelumnya sebagai perantara roh menjadi dukun atau penyihir karena sebelumnya perempuan mampu berkomunikasi dan memerintahkan roh. Selain itu, upacara-upacara kepercayaan yang menggunakan metode komunikasi dengan roh seperti kegiatan yang berhubungan dengan proses transenden, diterjemahkan dalam agama monoteis sebagai kesurupan (possesion). Perempuan dianggap sebagai sosok yang lemah dan mudah dirasuki oleh roh jahat, atau roh jahat itu berwujud seperti perempuan. Perempuan tidak dihalangi untuk beribadah secara monoteis, tetapi tentu kesulitan untuk menembus posisi sebagai pemimpin keagamaan monoteisme. Tidak adanya pengakuan perempuan sebagai pemimpin agama monoteis, menyebabkan struktur patriarki dalam agama monoteis sempurna dan semakin meminggirkan perempuan. Kesimpulan Pameran Selidik Jurig menyampaikan pesan: perempuan mengalami krisis dalam masyarakat. Patriarki telah melakukan monsterisasi terhadap pengalaman perempuan bahkan setelah perempuan mati. Perempuan dipuja atas sensualitas dan kecantikannya di sisi lain dijadikan hantu jahat dan menyeramkan ketika ia meninggal. Kita harus melihat monsterisasi perempuan dalam jangka waktu yang panjang dan berangsur-angsur. Alih-alih menyasar bahwa hantu perempuan adalah dampak dari patriarki, kita harus menelisik patriarki sebagai sebuah sistem dan ilmu sejarah dan antropologi berperan untuk menggali penyebab terbentuknya sistem yang merugikan perempuan tersebut. Dalam penyelidikan periode yang panjang, patriarki sebagai sistem sosial di masyarakat hadir bersamaan dengan masuknya agama monoteisme. Agama monoteisme memperkenalkan sistem biner, memberikan penghargaan lebih kepada laki-laki dan meminggirkan gender lainnya. Tidak hanya perempuan dan gender lainnya, monoteisme-patriarki juga melakukan monsterisasi terhadap roh. Monsterisasi terhadap roh membuat perempuan dan pengalaman keperempuanan menjadi hal yang misterius dan menakutkan. Dan peradaban manusia, dibangun di atas ketakutan terhadapnya. ![]() Siti Lutfiyah Azizah (Cases Analyst - The National Commission on Violence Against Women) “Saya takut, Mbak. Buat (ber)cerita begini saja, saya butuh waktu lama. Saya terus-menerus berpikir untuk mati. Semua orang menyalahkan saya.” Suaranya bergetar. Terkadang tangis pelannya terdengar. Berkali-kali ia menyalahkan dirinya atas peristiwa traumatis yang dialami, perkosaan oleh pasangan yang (dianggap) tidak mungkin melakukannya. Sejak hari pertama saya memutuskan terlibat di Komnas Perempuan, beragam kisah korban yang dikecam dan dibungkam dengan berbagai alasan memang sering saya dengar, termasuk alasan cinta. Pengalamannya bisa lebih buruk jika korban dan pelaku berada dalam ikatan pernikahan atau pacaran. Terkadang orang sekitar, termasuk keluarga dan penegak hukum, melihat kekerasan yang terjadi sebagai konflik hubungan biasa. Contohnya jika terjadi perkosaan oleh pacar, anggapan yang dihadirkan adalah konflik akibat hubungan seks berlandaskan cinta, bukan kekerasan. Munculnya stigma sebagai perempuan murahan menjadikan Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) pun dapat berakhir dengan pernikahan yang dipaksakan. Korban yang ditinggalkan begitu saja oleh pelaku tentu jauh lebih banyak. Kekerasan dalam ikatan pernikahan pun tak jauh berbeda. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), apalagi kalau ‘hanya’ kekerasan psikis, dianggap sekadar konflik pasutri yang akan memudar seiring dengan menguatnya cinta dan komitmen. Stigma korban KDRT pun bukan main parahnya. Dari mulai dianggap melebih-lebihkan kekerasan yang terjadi, tidak bersyukur, hingga dituduh durhaka dan pembongkar aib keluarga. Seorang penyintas yang saya kenal dikecam lebay karena bercerai sebagai upayanya memutus KDRT yang didapat. Ia dianggap hanya mau menerima value baik yang penuh cinta kasih dari orang tuanya, hingga tidak bisa menerima pasangannya yang abusive dan manipulatif. Bayangkan, kamu dididik orang tuamu dengan penuh cinta, kemudian kamu memilih orang yang salah untuk menikah karena ternyata suamimu pelaku KDRT, namun justru kamu dan didikan orang tuamu lah yang disalahkan saat memutuskan bercerai. Yang membuat itu semakin menyakitkan justru karena komentar itu datang dari pihak yang saya pikir akan berada di sisi korban, mendukung pemulihannya. Ternyata pihak tersebut justru merendahkannya sedemikian rupa dan menyebarkannya ke banyak pihak. Tak sedikit yang menuduhnya terjebak romantisme ala drama korea (drakor) sehingga tidak mau melihat bahwa perilaku abusive pasangannya adalah cinta. Ia yang tadinya seorang korban KDRT, harus kembali menjadi korban atas jahatnya komentar orang-orang sekitar dan mengalami trauma berulang. Victim Blaming bukan Dukungan, tapi Reviktimisasi Korban Kecaman dan hinaan berulang pada korban KDP dan KDRT seringkali bertameng bentuk kepedulian dan dukungan pada korban. Apalagi jika sudah menikah dan memiliki anak. Mereka yang mengecam akan semakin menekan dengan alasan, “Kasihan anakmu kalau orang tuanya bercerai/ayahnya dipenjara. Lagipula harusnya kamu mengerti kalau seperti itulah kasih sayang suamimu.” Orang-orang tersebut luput melihat bahwa memaknai kekerasan sebagai cinta adalah bagian dari manipulasi – manipulasi adalah bagian dari kekerasan psikis. Korban dipaksa menerima bahwa kekerasan adalah cinta. Hal buruk yang dialaminya dinafikan, ditolak sebagai kekerasan. Semua tuduhan dan kecaman wajib dianggap saran dan dukungan penuh cinta buat dirinya. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah korban mengalami viktimisasi sekunder atau reviktimisasi. Reviktimisasi pada korban sendiri merupakan upaya menstigma korban yang memperburuk kondisinya karena tidak mendapatkan respon positif sesuai harapan. Reviktimisasi terjadi saat korbanlah yang dituntut bertanggung jawab atas kekerasan tersebut. Bentuk reviktimisasi tentu saja bisa bermacam-macam. Dari mulai meragukan cerita korban, menyalahkannya, serta bentuk perlakuan negatif lainnya yang tidak sesuai dan jelas berbeda jauh dengan makna dukungan penuh empati dan cinta. Pada akhirnya, reviktimisasi membuat korban KDP dan KDRT pun semakin tak berdaya. Dalam beberapa kasus yang saya temui, dampak psikologis karena mengalami reviktimisasi bervariasi. Dari mulai munculnya trauma kembali, depresi, hingga berulang kali melukai diri dan mencoba bunuh diri. Kerentanan korban mengalami reviktimisasi tak jarang mengakibatkan korban makin ketakutan untuk melapor dan memproses kasusnya secara hukum. Kekerasan Bukanlah Cinta, Berikan Dukungan yang Tepat Adanya pede dan geer dengan mengira bahwa victim blaming adalah dukungan positif untuk korban tentu menyebalkan. Bahkan bisa berubah bahaya karena membuat pelaku jemawa. Alasan cinta semakin kerap disalahgunakan. Seorang pacar bisa memukul, melarang dan membatasi aktivitas korban, hingga memperkosa pasangannya dengan alasan cinta. Seorang suami bisa menampar, memaksa berhubungan seksual sesuka hatinya, menyetop nafkah, menuntut banyak hal pada istrinya dengan alasan cinta berbasis kepatuhan. Belum ditambah adanya dalil-dalil agama yang disalahgunakan secara serampangan untuk menguatkan posisinya sebagai pelaku kekerasan. Mirisnya saat korban berusaha mencari bantuan, kita semua tahu kalau tidak sedikit orang, termasuk tokoh agama, mengecam dan menyamakannya dengan membongkar aib suami. Padahal KDP dan KDRT tidak sesederhana yang bisa kita pahami. Adanya ikatan personal antara korban dan pelaku sering membuat korban berpikir ulang untuk mencari bantuan. Ada yang tidak sadar kalau dirinya adalah korban dan menelan bulat-bulat bahwa kekerasan tersebut adalah bentuk cinta pelaku. Banyak juga yang sadar namun terpaksa tetap bertahan karena beragam alasan. Salah satunya, stigma dan victim blaming dari sekitar. Itu kenapa, mari berhenti menyalahkan korban. Apalagi ikut campur memberi pendapat dan nasihat tanpa diminta. Kalau kita tidak mengenal atau mendengar cerita langsung dari korban, dukunglah korban dengan menahan diri berkomentar yang tidak perlu, juga menegur orang yang malah mengecam korban. Itu jauh lebih baik daripada ikut menyebarkan gosip kekerasan yang dialami korban dengan bumbu fitnah. Selain tidak sensitif, itu semakin menunjukkan betapa buruknya keberpihakan kita pada kasus kekerasan, khususnya KDP dan KDRT. Kalaupun korban memercayakan ceritanya pada kita, hal yang penting dilakukan adalah dengar, dengar, dan dengar. Mendengarkan yang baik dan empati ini kunci penting dalam memahami dan memulai dukungan tepat pada korban. Kita juga bisa memberikan apresiasi atas keberaniannya bercerita kepada kita. Katakan bahwa apa yang ia alami bukanlah kesalahannya dan itu bukanlah bentuk cinta dari pelaku. Kita bisa menanyakan kondisi dan perasaannya, tanpa memaksa. Karena tidak semua korban mampu bercerita setelah mengalami KDP atau KDRT dalam jangka waktu panjang. Saat korban merasa siap, kita bisa mengajak korban mencari bantuan. Entah itu akses bantuan hukum, psikologis, rumah aman, dan lain-lain sesuai yang dibutuhkannya. Bahwa kita ada dan bersedia membantu semampu kita saat mereka membutuhkan. Pada intinya, korban akan semakin yakin bahwa cinta tidak pernah diposisikan serendah perilaku kekerasan. Kita juga akan semakin belajar bahwa mengecam korban bukanlah dukungan beralibi cinta dan sayang, melainkan reviktimisasi yang justru ikut menjadikan kita sebagai pelaku kekerasan. Terima kasih untuk para penyintas yang telah berani bersuara, terkhusus seseorang yang mengizinkan kisahnya untuk saya cantumkan. You all are warriors. ![]() Iqraa Runi Aprilia (Manager Subscription Jurnal Perempuan) Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) adalah wadah bagi banyak orang untuk menimba Ilmu dan berbagi cerita. Saya adalah salah satu mantan SJP yang kemudian menjadi Subscription Manager Jurnal Perempuan. Kisah ini terbilang unik sebab awalnya saya hanyalah seorang mahasiswa S1 Ilmu Filsafat Universitas Indonesia yang memiliki peminatan feminisme. Ketertarikan saya pada isu-isu gender dipicu oleh seorang dosen tempat saya berkuliah – Gadis Arivia – Beliau juga adalah salah satu pendiri Yayasan Jurnal Perempuan (YJP). Saya masih ingat dengan jelas bagaimana semangatnya saya pada hari pertama penyelenggaraan kelas Paradigma Feminis yang diampu oleh ibu Gadis. Saya mencoba menunjukan performa terbaik dengan memperlihatkan bagaimana baiknya saya dalam menerima materi pada setiap perkuliahan – bisa dikatakan ambisius. Namun sepertinya ibu Gadis menangkap sinyal tersebut sehingga beliau mengajak saya dan rekan-rekan lain di kelas untuk bergabung pada acara International Women’s Day yang diadakan oleh Yayasan Jurnal Perempuan pada tahun 2016 di Amigos, Kemang. Saat itu kami datang ke acara tanpa membayar apapun namun bu Gadis berkali-kali mengingatkan kami untuk menikmati hidangan yang telah disediakan. Saya secara pribadi begitu mengagumi integritas beliau pada isu feminisme sebab kepeduliannya bukan hanya pada hal teknis universitas namun meluas pada hal-hal remeh seperti nasib anak didiknya yang sudah makan atau belum. Sejak saat itu saya tidak bisa berhenti memikirkan tentang skripsi saya yang harus bertemakan feminisme dan dibimbing oleh bu Gadis. Sejujurnya motivasi saya menjadi SJP adalah bu Gadis. Setelah saya menjadi SJP saya terkejut karena alasannya bukan tentang bu Gadis lagi namun karena saya melihat bagaimana YJP memperlakukan saya – yang saat itu SJP – dengan sangat baik. Setiap acara Kajian Filsafat dan Feminisme (KAFFE) mereka telah mempersiapkan hidangan, Himah Solihah atau yang dikenal dengan mba Ima (Koordinator SJP) tidak pernah lupa menyisipkan kartu ucapan selamat ulang tahun pada edisi terdekat dengan ulang tahun SJP. Mungkin saya salah satu mahasiswa yang beruntung karena dapat menyelesaikan kuliah tepat waktu dengan tema dan dosen pembimbing yang saya idam-idamkan. Saya lulus dengan nilai tugas akhir sangat memuaskan 8,9 melalui skripsi yang berjudul “Central Human Functional Capabilities: Memberdayakan Kebijakan Publik Nondiskriminatif Melalui Pendekatan Kapabilitas Martha Nussbaum”. Setelah lulus saya tidak menyangka bu Gadis meminta saya untuk bergabung dengan YJP untuk membantu Abby Gina – yang pada saat itu adalah Program Officer. Saya dengan sangat senang mengiyakan dan saya dapat mengenal lebih jauh tentang YJP. Ternyata YJP adalah sebuah wadah dimana orang-orang penuh tekad berkumpul. Pada video Jurnal Perempuan edisi ke-100 saya diminta menjadi host yang mewawancarai 3 narasumber luar biasa dan penuh kisah yaitu Meutia Hatta (Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan 2004-2009), Nur Iman Subono (Dewan Pengawas JP), dan Marianna Amiruddin (Direktur Eksekutif JP 2007-2014). Pada pembuatan video tersebut saya mengetahui banyak cerita tentang YJP yang tidak diketahui banyak orang seperti bagaimana perjuangan pendiri dan dewan pengawas agar Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ini tetap berdiri. Sebagai jurnal feminis satu-satunya di Indonesia Jurnal perempuan telah melakukan banyak hal. Jurnal Perempuan telah mengulas tentang isu-isu perempuan yang masih dianggap tabu oleh Sebagian masyarakat. Jurnal Perempuan berani membongkar pemikiran konservatif mengenai siapa itu nelayan dengan menghadirkan penelitian dan dokumentasi mengenai perempuan nelayan. Kecintaan saya terhadap YJP semakin bertumbuh saat saya bergabung menjadi badan pekerjanya sebab YJP tidak terasa sebagai kantor melainkan rumah. Video Fisherwomen/ Perempuan Nelayan (https://www.youtube.com/watch?v=gzSyPW2D73o&t=1359s ). Video Jurnal Perempuan Mencapai Edisi 100 (https://www.youtube.com/watch?v=AA5Vx25ket0 ). ![]() By Emmi Roche (International Friends of JP Since 2021) I have a passion for seeing women be happy, have power in creating the lives they want for themselves and their family where they are heard and have the freedom to have what they want in life and make their own decisions powerfully. So, when Gadis Arivia, the founder of Jurnal Perempuan shared with me about Jurnal Perempuan’s work, I embraced the mission instantly and I was eager to help the cause. I like the research-based advocacy work and the idea of creating a space for women scholars and activists to write and document gender issues in Indonesia. As we all know, women are seldom supported in research that pertains to gender issues. It is research that is never considered important in academia and our society. At least when I was a lecturer at Brawijaya University in East Java in the 1980s, hardly any gender issues were discussed at that time. When I went to college in Bogor, I realized for the first time that I was being raised in a matrilineal culture, where women inherited property from their mothers. Later on, I became aware of gender issues when I traveled the world. I met my husband at the University of Brawijaya, and soon after, we went to the Philippines for 18 years and then retired to the US. My family is a multicultural family where east meets west, and we raised our children grounded in both worlds. My husband is a US citizen, and I am originally from West Sumatera, of the Minangkabau tribe, with a solid matrilineal family. In my culture, women inherited lands from their mothers. My mother was a teacher and wanted me to get a higher education. From the time I was a small girl, she promised me if need be, to sell a piece of land in order to send me to college. Women have full authority over the land. In that sense, naturally, women have the power to make decisions. I realized how lucky I was to have grown up in a culture that valued women and gave them a strong role in household decision-making and the public sphere. Currently, I am taking a 2-year course in Team Management and Leadership Program. In this course, I am being trained to become an effective leader who can produce results in any area of life with freedom, and create a team and teamwork in any situation. For me, leadership skills are essential in empowering others. When I see a woman struggling in their relationship with others (family members, coworkers, community, etc.), I can feel their pain. I have empathy and compassion for them. I want them to feel heard, and the least I can do is listen to them generously. By being there for them, they feel that someone cares; they are not alone. Through my course, love, compassion generosity, and solidarity are emphasized. We are here to support and empower each other. Indonesia is no longer my home country, but it is home in my heart. Through the work of Jurnal Perempuan, I am a part of a community that values women’s research, thinking, and being. I am committed to helping Jurnal Perempuan expand women's knowledge and apply it to create change and transformation. We all can help or chip in whatever way we can. I encourage you to visit Jurnal Perempuan's donation page today. |
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
July 2023
Categories |