![]() Ayom Mratita Purbandani (Mahasiswi S1 Filsafat, Universitas Gadjah Mada) “Tuhan melangkah keluar dari surga, menjelma, dan melakukan hal baru di antara orang-orang yang tertindas untuk mengubah seluruh dunia.” – Pamela R. Lightsey Pamela R. Lightsey menulis buku ringkas sepanjang 128 halaman berjudul Our Lives Matter: A Womanist Queer Theology (2015) yang terdiri atas tujuh bagian yang mengekplorasi penindasan yang terjadi pada kelompok LGBTQIA+ kulit hitam. Tak banyak buku yang membahas mengenai kelompok queer kulit hitam. Untuk alasan itulah, Lightsey membangun pemikirannya dalam buku ini. Dalam pengantar buku tersebut, kalimat pertama yang Lightsey tuliskan merupakan identifikasi atas identitas dirinya: “I am a black queer lesbian womanist scholar and Christian minister” (Lightsey, 2015: 6). Karenanya, jawaban atas pertanyaan dalam judul ulasan saya ini, dielaborasikan oleh Lightsey sepanjang bukunya. Melalui ragam pengalaman sebagai perempuan kulit hitam yang berkelindan dengan identitas minoritas seksual, ia menggunakan pendekatan metodologis perempuan ‘womanist’. Lightsey berupaya menyajikan bacaan eksplorasi pada pembaca mengenai dampak penindasan terhadap perempuan kulit hitam LGBTQIA+, sembari memperkenalkan pada sebuah gerakan intelektual yang dikenal sebagai teologi queer.
Our Lives Matter menggunakan tenor protes nasional tahun 2014 yang muncul sebagai respons terhadap kekuatan polisi yang berlebihan terhadap orang kulit hitam dan membingkai buku tersebut dalam tradisi diskursif teologi pembebasan secara umum, dan teologi womanist secara khusus. Buku ini bermaksud untuk merekam ragam pengalaman perempuan kulit hitam LGBTQI+ yang hidup setiap hari dikelilingi oleh kekerasan, yang untuknya kelangsungan hidup tidak begitu saja diberikan, yang bagi mereka ini persoalan hidup dan mati. Lightsey menulis bahwa karyanya ini digerakkan oleh tiga fokus penelitian: pengumpulan kisah-kisah untuk mengembangkan pengetahuan empiris, analisis interseksional, dan kajian lintas disipliner (Lightsey, 2015: 20). Lightsey membawa pembaca dalam sebuah perjalanan untuk mengeksplorasi perdebatan kontemporer seperti pernikahan sesama jenis dan hak-hak penahbisan. Ia mengingatkan para pembacanya akan sebuah premis dasar—identitas seksual tidaklah pernah tetap. Menurut Lightsey, salah satu dari sekian banyak manfaat menggunakan kerangka kerja teologi womanist adalah bahwa kerangka kerja ini menyediakan sumber-sumber teologis bagi perempuan kulit hitam dengan cara-cara yang tidak mengistimewakan kulit putih atau patriarki. Pendekatan Womanist Saja, Tak Adekuat Teologi Kulit Hitam (Black Theology), Gereja Kulit Hitam (Black Church), maupun Komunitas Kulit Hitam sebagai diskursus dalam teologi pembebasan memandang interpretasi injil dari kulit putih dengan penuh kecurigaan, bahkan mereka mengabaikan ayat-ayat kitab suci yang berkaitan dengan perbudakan yang digunakan sebagai justifikasi perbudakan mereka. Meskipun demikian, sifat homofobia dari komunitas kulit hitam tetaplah bersifat patriarkal, platonis, dan hegemonik. Oleh karena itu, meskipun bermisikan pembebasan, tetapi hal tersebut bagi Lightsey tidaklah cukup untuk mengakomodir semua kelompok, karena gereja-gereja kulit hitam masih didominasi oleh pemimpin laki-laki yang membuatnya bagaimanapun syarat akan male-gaze. Pengistimewaan terhadap pengalaman keseharian perempuan kulit hitam merupakan prinsip penting dalam metodologi womanist, utamanya ketika meninjau kembali doktrin-doktrin gereja. Terkhusus untuk mengkritisi Black Theology yang tetap bersifat patriarkal. Teologi womanist merupakan sebuah pendekatan dalam teologi yang memusatkan pengalaman dan perspektif perempuan kulit hitam—utamanya perempuan Afrika-Amerika (Mitchem: 2002). Bagi Lightsey mengutip Alice Walker dalam In Search of Our Mothers’ Garden (1983), teologi womanist memiliki beberapa lapisan makna ‘perempuan’, yakni adalah cara-cara perempuan mencintai rakyat (‘the folk’) dan orang yang berkomitmen untuk kelangsungan hidup dan keutuhan seluruh makhluk. Karena itu, berkomitmen pada analisis yang bersifat interseksional; rasial, kelas, dan seksualitas. Meskipun demikian, para pemikir womanist juga mengeksplorasi seksualitas manusia, tetapi mereka belum sepenuhnya memproduksi manuskrip teologi queer sebagai komitmen terhadap lesbian, transgender, maupun perempuan queer kulit hitam. Karenanya, Lightsey menilai metodologi womanist saja tidaklah cukup. Lightsey mengutip Renee Hill dalam sebuah artikel berjudul “Who Are We For Each Other? Sexism, Sexuality, and Womanist Theology” mengkritisi para womanist Kristiani yang menghindari definisi persoalan seksualitas dan orientasi seksual dengan selektif dalam mengambil definisi “womanist” Alice Walker. Sentralitas pengalaman perempuan kulit hitam saja, bagi Lightsey, merupakan penanda esensialisme. Sentralitas ini tidak meninjau lebih lanjut pengalaman perempuan dengan orientasi seksual minoritas. Lightsey banyak merujuk Sexuality and Black Church: A Womanist Perspective (1999) dari Kelly Brown Douglas yang menekankan bahwa seksualitas perlu dilihat sebagai pemberian dari Tuhan. Teologi Queer: Menentang Heteronormativitas Lightsey melacak istilah queer dalam bagian “The Philosophical Foundations of Queer Theology” melalui para pemikir pascastrukturalisme. Lebih lanjut, ia kemudian juga melacaknya dari konsep Saussure mengenai oposisis biner yang mengkritisi bagaimana artikulasi dikotomi. Bagi Saussure, makna, seperti yang ditafsirkan dalam teks, tidak pernah tetap. Inilah yang kemudian mengilhami gagasan queerness yang dimunculkan Lightsey. Meskipun, gagasan queer tidak pernah distingtif, serta memiliki sejarah panjang yang menyakitkan. Queer, seperti apa yang dikatakan Lightsey, merupakan upaya untuk menyatakan keengganan mereka untuk ditempatkan dalam kategori seksual yang stagnan, juga mempertahankan ambiguitas dalam definisi istilah (Lightsey, 2015: 68). Untuk mengidentifikasikan diri sebagai queer artinya untuk menegaskan fluiditas, terutama dalam hal seksualitas (Loughlin, 2007). Ia tidak hanya menolak dirinya berada dalam posisi biner antara perempuan dan laki-laki ataupun either/or, tetapi juga mempertahankan bahwa seksualitas merupakan sesuatu yang tidak pernah statis dan natural, ia terus berkembang dan menemui bentuk-bentuk barunya. Untuk itu, pengalaman dan identitas menjadi poin sentral dalam teologi queer womanist. Teologi womanist memercayai bahwa cara-cara kita mengenal Tuhan hadir melalui pengalaman dengan Tuhan. Berkaca dari ketidakstagnanan, teologi queer womanist menyatakan bahwa Tuhan tidak dapat dibatasi. Tuhan tidak terbatas. Tuhan tidak terdeterminasi seperti halnya kita makhluk ciptaan. Oleh karena itu, seperti yang dikemukakan Smith dalam Womanist Sass and Talk Back: Social (in)justice, Intersectionality, and Biblical Interpretation (2018), Tuhan tidak dapat ditundukkan pada pengalaman manusia atau pada teks yang ditulis dan ditafsirkan oleh manusia (Smith, 2018). Lalu, bagaimana menjadi bagian dari kelompok tertindas dapat memengaruhi cara pandang terhadap Tuhan? Sebagaimana, sebuah kutipan yang saya tuliskan di awal dalam sebuah khotbah Lightsey, langkah Tuhan untuk keluar dari surga untuk mengakhiri segala opresi merupakan sebuah semangat yang semua makhluk harus pegang dan pertahankan. Karena kita telah mengalami dan mengenal Tuhan dengan penuh cinta, maka para queer womanist kulit hitam harus mengabaikan tafsiran teologi apa pun yang dianggap sesat—yang menyatakan bahwa Tuhan mengatakan kelompok minoritas seksual sebagai bagian dari kekuatan jahat. Lightsey menginterogasi cara-cara kaum queer yang beriman dan mencari pemahaman tentang Tuhan. Kaum queer Kristen womanist memahami Tuhan sebagai Pencipta Ilahi dari segala sesuatu, Penyebab dari Segala Keberadaan. Sebagaimana teolog Karl Barth, Lightsey percaya bahwa Allah dinyatakan dalam "siapa Dia dalam karya-karya-Nya" (who She is in Her works). Ia menemani pembaca ke tema-tema mengenai kisah penciptaan untuk mengingatkan beberapa orang dan memberi tahu yang lain bahwa Tuhan, "membentuk dunia yang teratur dan menentukan dan melakukannya tanpa materi yang sudah ada sebelumnya" (creatio ex nihilo). Tuhan menciptakan semua orang dengan segala perbedaan yang ada, tentu saja termasuk warna kulit, orientasi seksual, dan identitas gender. Alkitab menegaskan fakta ini berulang kali. Kisah Para Rasul 17:29 hanyalah salah satu dari sekian banyak pernyataan tersebut: "Allah...menciptakan dunia dan segala isinya...Kita adalah keturunan Allah." Lusinan ayat-ayat Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru menyatakan hal yang serupa. Buku ini, bagi saya, menawarkan sebuah diskursus yang menarik dengan memperhitungkan kelompok minoritas seksual dan queer dalam teologi womanist dengan. Bahwa tafsiran laki-laki patriark bukan hanya kemudian menyakiti dan menindas perempuan, tetapi juga perempuan dan identitas gender di luar konsepsi heteronormatif. Meskipun memiliki jumlah halaman yang dapat dikatakan sedikit, buku ini bagi saya juga cukup rumit. Setidaknya, dibutuhkan pembacaan terhadap teks-teks lain yang terlibat dalam diskursus ini seperti teologi kulit hitam, teologi womanist, dan teologi queer. Melalui buku ini, Lightsey menyerukan kepada kita semua, terutama orang kulit hitam dan LGBTQIA+, tetapi sesungguhnya juga semua orang, untuk bersentuhan dengan diri dan menegaskan pusat spiritual yang menyatukan kita semua. Atas refleksi dan interogasi yang dilakukan oleh Lightsey, mungkinkah kita membangun sistem teologi yang menjamin keadilan bagi kehidupan orang kulit hitam, queer, termasuk semua kehidupan?
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
January 2025
Categories |