Nurma Yulia Lailatusyarifah (Mahasiswi Prodi Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia) Beranjak dewasa, saya belajar bahwa mengekspresikan amarah tidaklah mudah. Amarah adalah suatu bentuk emosi intens yang melambangkan ketidaknyamanan dan ketidaksenangan terhadap seseorang atau sesuatu yang dinilai salah. Akan tetapi, amarah sebagai emosi alamiah manusia kerap dilabeli sebagai emosi yang maskulin. Laki-laki dan amarah merupakan dua gagasan yang jika diposisikan berdampingan tidak perlu dipertanyakan kesesuaiannya. Berbeda halnya dengan perempuan. Sejak kecil, sebagian besar perempuan didukung untuk merawat karakter-karakter feminin, seperti kelemah lembutan, kepedulian, dan kepatuhan. Perempuan diwajibkan untuk mengendalikan dirinya dengan baik agar tidak menunjukkan emosi seperti amarah karena perempuan yang menunjukkan amarah dipandang sebagai perempuan yang tidak stabil, pembangkang, dan tidak feminin. Beberapa tahun yang lalu, saya memberanikan diri untuk menyampaikan ketidaknyamanan saya terhadap sikap laki-laki yang kala itu menjadi lawan bicara saya. Setelah mendengarkan saya, alih-alih permintaan maaf atau mencoba memahami, hal pertama yang ia bicarakan adalah saya yang begitu "sensitif" dan sikap saya yang berlebihan. Saya paham mungkin sifat saya yang mudah terganggu dengan hal-hal kecil menjadikan saya tergolong "sensitif", tetapi saya tidak merasa bahwa tindakan saya yang mencoba mengomunikasikan diri dengan tetap bersikap penuh hormat kepadanya merupakan sesuatu yang berlebihan apalagi salah. Lawan bicara saya membuat saya merasa bersalah karena telah memilih untuk melakukan konfrontasi.Hal seperti ini yang membuat saya mempertanyakan Kembali pilihan saya. Benarkah demikian? Apabila yang dimaksud "sensitif" adalah dengan mengatakan kebenaran, salahkah jika saya menjadi "sensitif"? Berlebihankah jika saya menginginkan keadilan?
Sebelum berhasil menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut, saya kembali dihadapkan dengan pengalaman serupa di masa perkuliahan. Pada beberapa kesempatan, saya dipercaya mendampingi teman yang menerima perilaku ofensif – berupa kekerasan seksual dari pelaku yang juga sesama mahasiswa. Meskipun saya berusaha bersikap tenang dan bijak di hadapan publik, di sisi lain saya merasa marah dan kecewa terhadap pelaku. Namun, yang membuat saya semakin marah dan kecewa adalah pandangan yang mengatakan bahwa masalah tersebut merupakan masalah sepele yang tidak perlu dibesar-besarkan, bahwa saya dan teman-teman yang turut mendampingi korban tidak perlu bersikap emosional, bahwa kami seharusnya tidak menyudutkan pelaku dengan kemarahan dan kekecewaan kami. Bahkan di suatu kesempatan, salah satu teman kami yang juga mahasiswa sempat bertanya mengapa perempuan feminis selalu penuh amarah? Penggunaan emosi dan amarah oleh perempuan menjadi pisau bermata dua yang digunakan masyarakat untuk mengkritik sosok perempuan, sementara pada laki-laki hal ini dianggap sebagai bentuk pembelaan diri yang sah terhadap hinaan dan ancaman. Misalnya, pada tahun 2018, Brett Kavanaugh, seorang kandidat hakim agung di Amerika Serikat, tampil dengan penuh amarah saat ia harus memberikan respons terhadap pernyataan Christine Blasey Ford yang mengatakan bahwa Kavanaugh telah melakukan pelecehan seksual pada Ford saat ia masih remaja. Wajah Kavanaugh yang memerah, gesturnya yang merasa terganggu, dan cara bicaranya yang tajam masih dapat diterima oleh publik, khususnya pendukungnya, sebagai reaksi normal bagi seseorang yang mendapat penghinaan. Sementara itu, pada tahun 2019, Greta Thunberg sebagai representasi generasi muda yang menginisiasi gerakan iklim hadir dalam pertemuan yang diadakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Saat itu Thunberg memberikan pidato yang emosional, ia berkata bahwa seharusnya ia berada di sekolah dan tidak hadir dalam kegiatan konferensi yang dihadiri oleh pemimpin-pemimpin dunia. Thunberg mempertanyakan pemimpin yang datang memohon kepadanya dan generasi muda untuk mengemban tugas utama dalam gerakan krisis iklim ketika para pemimpinlah yang telah merebut mimpi dan masa kecilnya dengan omong kosong mereka. Beberapa bulan setelahnya, Donald Trump yang kala itu masih menjabat sebagai presiden Amerika Serikat mengunggah opini di akun pribadi Twitternya yang mengejek Greta Thunberg untuk segera menangani masalah manajemen kemarahannya (anger management problem) setelah Thunberg diangkat menjadi sosok Person of the Year oleh majalah Time. Pada saat yang sama, istilah Social Justice Warrior (SJW) menjadi populer di beberapa platform media sosial, seperti Twitter. Tulisan Gusti Ayu Meisa dalam Magladene.co mengungkapkan bahwa pada tahun 1990-an, SJW memiliki denotasi positif dalam masyarakat dan istilah ini pertama kali digunakan untuk mengapresiasi Michael Chartrand, sosok pemimpin gerakan asosiasi dagang di Quebec, Kanada. Akan tetapi, istilah SJW mengalami pergeseran makna pada tahun 2014 ketika terjadi skandal Gamergate. Skandal ini berpusat pada etika jurnalisme dan peran perempuan dalam industri game yang pada umumnya didominasi oleh laki-laki. Pihak yang mengkritik Gamergate berpendapat bahwa terdapat opresi terhadap perempuan di dalam industri ini, sedangkan pihak yang mendukung berpendapat sebaliknya. Istilah SJW yang disematkan kepada pihak pengkritik oleh para pendukung Gamergate sebagai cemoohan pun menjadi populer di media sosial. Hingga saat ini, istilah SJW dipahami secara luas sebagai label peyoratif bagi mereka yang mempromosikan perspektif progresif. Baik "sensitif", "pemarah" hingga "SJW", ketiga label ini merupakan bukti bagaimana hegemoni patriarki senantiasa berusaha menutup ruang diskusi bagi perempuan. Budaya yang sarat akan kekerasan dan dominasi maskulin mengantagoniskan emosi yang dirasakan oleh perempuan sebagai ancaman terhadap status quo. Hal inilah yang saya pahami setelah membaca refleksi Emily Atkin terhadap kariernya di bidang jurnalistik dalam antologi All We Can Save (2020). Menurut Atkin, kebenaran membutuhkan amarah agar dapat tersampaikan. Amarah dan bentuk emosi "negatif" lain seperti kegelisahan dan kegeraman yang dirasakan perempuan sejatinya merupakan respon alamiah terhadap ketidakadilan. Narasi bahwa amarah merupakan tanda ketidakstabilan dan ancaman terhadap status quo gagal melihat peran amarah sebagai instrumen perubahan sosial yang merepresentasikan harapan kelompok rentan dalam masyarakat yang menginginkan keadilan. Seiring dengan menguatnya gerakan perempuan di berbagai belahan dunia, pemberitaan mengenai amarah perempuan di media massa pun semakin marak. Akan tetapi, kini saya paham bahwa amarah merupakan hal yang wajar untuk saya dan perempuan lain rasakan. Kini saya paham bahwa merasa marah bukanlah suatu kesalahan atau hal yang memalukan. Amarah bukanlah merupakan kelemahan melainkan kekuatan. Ia merupakan tanda bahwa nurani kita masih memiliki kepekaan terhadap ketidakadilan. Setiap orang berhak mengetahui kebenaran dan mendapatkan keadilan. Untuk mencapai cita-cita ini, dunia membutuhkan agen perubahan yang menjalankan tugasnya dengan penuh kejujuran, kegigihan, dan kemarahan.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
October 2024
Categories |