Retno Daru Dewi G. S. Putri (Tim Redaksi Jurnal Perempuan) Tepat pada Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, saya dan seorang teman menonton film berjudul Smile. Film garapan Parker Finn tersebut bercerita tentang seorang psikolog, Rose, yang mengalami delusi setelah menyaksikan pasiennya bunuh diri dengan mengenaskan. Ia dihantui oleh berbagai macam sosok yang membuatnya juga ingin menghabisi nyawanya sendiri. Setelah dicari tahu, Rose menemukan bahwa delusi tersebut dialami secara berantai oleh orang-orang yang bunuh diri sebelumnya. Trauma adalah kata kunci yang muncul di pikiran saya ketika berusaha memberanikan diri bersiteguh di dalam bioskop dengan mengenyampingkan rasa takut. Secara pribadi, film horor memang bukan genre favorit. Namun kali ini yang disuguhkan adalah horor psikologis, jadi saya mau bertahan. Teman saya mengutarakan intisari lain yang ia dapatkan; bahwa kesehatan mental yang buruk dapat menular.
Pernyataan teman tersebut membuat saya berpikir bahwa ada kalanya betul energi negatif bisa terpancar dan merugikan orang lain. Mungkin kita pernah berada di sekitar 'vampir energi' yang hanya mengeluh dan menyedot habis energi positif di sekelilingnya sehingga kita ikutan bete atau tidak mood. Namun Smile isunya adalah bunuh diri. Menularkah? Jawabannya tentu tidak. Namun trauma yang tadi disinggung memang tidak bisa dielakkan. Seorang sahabat, misalnya, memiliki kebiasaan untuk memperhitungkan segala risiko pengambilan keputusan dalam pekerjaan. Padahal rekan-rekannya sudah menyepakati dan berkenan membantu rencana yang sudah ia susun dengan sangat baik. Teman lain menunjukkan sifat overthinking yang membuatnya sulit untuk melupakan segala interaksi dengan orang lain setiap harinya. Hal tersebut tentunya dibarengi dengan rasa penyesalan dan menyalahkan diri sendiri yang dianggap keliru dalam menyampaikan opininya. Padahal menurut saya apa yang dia sampaikan baik-baik saja. Selama tidak ada isu sensitif yang menyinggung lawan bicaranya, maka dia tidak perlu khawatir akan tutur katanya. Selain dua contoh tersebut, teman lain sempat dimanipulasi pasangannya selama bertahun-tahun. Dimanfaatkan secara mental, waktu, dan energi namun tidak diberikan perlakuan yang sama baiknya. Ada kalanya apa yang dilakukan ketiga orang terdekat saya tersebut mungkin terlihat sepele dan bodoh. Akan tetapi apa yang kita anggap mudah seringkali sulit mereka eksekusi akibat trauma yang lekat dengan mereka. Teman pertama, misalnya. Membuat keputusan bukanlah hal yang bisa dilakukannya dengan sederhana. Hal tersebut dikarenakan selama tumbuh dewasa kedua sosok orang tua yang ia miliki tidak pernah memberikan kesempatan untuk mengambil keputusan bagi dirinya sendiri. Kepercayaan yang rendah dari ayah dan ibu membuatnya selalu ragu. Tidak hanya itu, jika pilihannya tidak berjalan dengan baik maka ia akan disalahkan. Akhirnya terbentuk trauma yang terlihat seperti ketidaktegasan dalam bersikap. Overthinking teman kedua dihasilkan oleh tekanan keluarga yang berbeda. Memiliki orang tua akademisi ternyata tidak menjamin pola pikir progresif dalam berkeluarga. Kesalahan-kesalahan kecil dalam berkomunikasi tidak boleh dilakukan dan harus disampaikan secara serius. Keluarganya jauh dari karakter jenaka. Sehingga ketika terjun ke dalam masyarakat, sulit bagi orang lain untuk menerima teman saya karena dianggap tidak bisa bercanda. Trauma ketika bertumbuh besar dan akibatnya tersebut membentuk rasa penyesalan yang dialami dalam setiap interaksi. Teman yang terakhir adalah korban perceraian. Menyaksikan ayah dan ibu yang jauh dari konsep kasih sayang menumbuhkan kebingungan akan figur yang mampu menjalin relasi dengan sehat. Yang dipahaminya sejak kecil adalah pemakluman dari kekerasan dan pengkhianatan dalam relasi dengan pasangan. Sehingga sikap yang terlihat pasrah menjadi akibat dari trauma yang membuat teman saya ini terlibat dengan orang-orang yang toxic. Lantas apakah kita mampu menghindari trauma? Jika mengacu pada film Smile, trauma diteruskan dari satu orang ke orang lainnya. Bisa jadi plot tersebut merepresentasikan parenting yang tidak ideal sehingga sifat negatif dari proses tersebut menurun ke anak. Atau bisa saja trauma yang ditunjukkan oleh Smile memperlihatkan relasi antar manusia yang berbenturan akibat trauma setiap orang yang tidak diproses dan ditangani dengan sehat. Memproses trauma dan kesehatan jiwa bukalah hal yang mudah bagi semua orang. Secara pribadi, saya tipe orang yang mudah bercerita ke orang-orang terdekat. Dengan berbagi pikiran, tidak hanya beban yang terangkat namun juga solusi dan ketenangan bisa didapatkan. Selain itu, konseling secara rutin dengan psikolog juga saya lakukan. Karena terbiasa curhat maka konsultasi di klinik psikologi juga cukup mudah bagi saya. Sayangnya kemudahan yang saya alami belum tentu menjadi pengalaman orang lain. Tutur kata yang terbungkam orang tua atau pengasuh ketika tumbuh kembang dapat mempersulit seseorang dalam bercerita. Jangankan ke psikolog, ke teman saja belum tentu bisa. Pun mereka terbiasa berbagi pikiran, belum tentu mereka memiliki privilege dikelilingi keluarga, teman, dan sahabat yang supportive seperti saya. Privilege lain yang saya miliki adalah modal untuk membayar konseling dengan pakar. Bagi mereka yang tidak memiliki anggaran untuk kesehatan jiwa mungkin bisa berkeluh kesah melalui aplikasi kesehatan di ponsel mereka. Akan tetapi bercerita melalui teks tentunya berbeda dengan bertemu dan berbicara langsung dengan psikolog pilihan kita. Hal lain yang menghambat penanganan kesehatan jiwa adalah stigma. Walaupun kondisi sudah lebih baik dibandingkan generasi sebelumnya, masih ada orang-orang yang enggan berbagi beban mentalnya. Kekhawatiran dianggap lemah menjadi salah satu alasannya. Selain itu, peran gender tradisional turut memperburuk situasi ini. Selain laki-laki yang tidak boleh menunjukkan kelemahan, contoh berikutnya adalah perempuan yang menjadi ibu harus kuat dan mampu mengurus anak dan keluarga. Padahal tidak semua perempuan bisa beradaptasi dengan mudah ketika menjadi ibu baru. Sayangnya paksaan tersebut tidak disadari dan malah dinormalisasi. Sehingga terkadang orang terdekatlah yang menyakiti perasaan para ibu baru dan menambah beban mental mereka. Masih dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, ada harapan agar pemahaman bahwa sehat fisik saja tidak cukup dianut oleh semua orang. Kesadaran akan kesehatan jiwa serta usaha untuk berempati dan tidak memaksakan kehendak kepada orang lain juga harus ditumbuhkan. Trauma perlu untuk disadari, diakui, ditangani, dan diperbaiki. Sehingga, belajar dari dampak trauma pada film Smile, tidak ada lagi kekeruhan kondisi jiwa yang membebani diri sendiri dan orang lain di sekitar kita.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
September 2024
Categories |