Nurul Aisyah
13 Maret 1998 Kepada Ytc. Anakku, Anakku, apa kabarmu? Sudah lama sekali sejak kau menelepon Ibu untuk terakhir kalinya… “Semur ikan kesukaanku, ya, Ibu?” Ibu cuma tertawa waktu itu, dan, “Ya, ya, ya… makanya, apa Ibu bilang, cepatlah pulang ke sini… Kamu, kan, sedang liburan?” Tiba-tiba kau terdiam, jarang sekali kau seperti itu, membiarkan pulsa telepon berjalan begitu saja tanpa mencandai Ibu, kemudian, “Seandainya aku tidak sibuk, Ibu. Tapi semester depan… aku akan libur panjang di sana, bersamamu…” Sebastian Partogi
(Wartawan The Jakarta Post) sebastianpartogi@gmail.com Aku berlari untuk membuang nyawa sisaku. Sebagai perempuan, dalam hidupku aku telah dibunuh berkali-kali. Dan bagaikan kucing, aku memiliki sembilan kesempatan untuk mati. Delapan nyawa telah terbuang. Masih ada satu lagi namun aku sudah tidak tertarik lagi untuk menyimpannya. Untuk apa lagi aku hidup? Toh kesilauan dan kebisingan dunia ini hanya menorehkan luka yang tidak pernah sembuh. Bhadrika Dirgantara
bhadrikadirgantara@gmail.com 6 Januari 2016 (Pesan dari Rastri) Sudah hukumnya, bahwa segala yang terang pasti akan redup, lalu tenggelam dalam gelap. Namun, tak ada hukum yang berlaku bagi seorang Bendhoro. ”Tak boleh ada gelap”, ujarnya. Maka ia memberikan dua pilihan, mati dan seluruh keluargamu mati, atau terus hidup dalam pasungan. Lalu senja datang, dan yang terang pasti menjadi gelap. Hikmat Gumelar
Sutradara Teater Prung dan aktif di Institut Nalar Jatinangor. Pernah kuliah di Universitas Padjajaran Bandung serta aktif di dunia penulisan dan penerbitan. Depan pagar putih 1,25 m x 1 m, Surti berhenti. Ia lihat lagi arloji. Dua kurang seperempat. Tapi mustahil masih jaga. Biasa juga paling telat jam sepuluh sudah masuk kamar. Surti pun menghembus nafas panjang. Hati-hati buka pintu besi. Sukses tanpa derit. Ia lalu buka pantopel. Sijingkat ke pintu muka. Memutar anak kunci. Pun hati-hati. Klik. Daun pintu putih didorong pelan. Surti terkesiap. Cahyaning ternyata tengah duduk di sofa. Dan di ujung dekat pintu kamarnya. “Kok ibu masih merajut?” Shantined
Beberapa puisi Shantined telah diterbitkan dalam antologi Perkawinan Batu (DKJ, 2004), Surat Putih 2 (2004), Surat Putih3 (2005), Dian Sastro for President (Insist Pers), Selendang Pelangi (ed. Toety Heraty, 2005); dan beberapa cerpennya termuat dalam Bingkisian Petir (JPK, 2005), Samarinda Kota Tercinta (JPK, 2007). Sore cerah. Matahari tak menyengat lagi. Angin sepoi membelai belai wajahku. Pepohonan yang rindang di kanan kiri jalanan menambahku ingin berkendara lebih lambat lagi. Agak ngantuk sebenarnya, dan tentu pula lelah. Tapi hati ini riang gembira. Ups, selembar daun kering yang luruh dari sebatang pohon terbang hampir menampar wajahku. Refleks kutangkis dengan tangan kiriku. |
AuthorKumpulan Cerpen Archives
November 2023
Categories |