![]() Pada tanggal 2 Agustus 2019, dari Jurnal Perempuan memberikan Pekerjaan Rumah (PR) kepadaku untuk mendeskripsikan perasaan saat pertama kali masuk lapas. Jujur aku tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya karena perasaannya campur aduk. Masih ingat sekali dalam memoriku yang tidak akan pernah aku lupakan. Pada tanggal 18 Oktober 2016, aku dari Bareskrim Mabes Polri Cawang dipindahkan ke lapas di Jakarta. Sekitar jam 5 sore aku sampai di sini. Kira-kira jam 7 malam aku dimasukkan ke dalam karantina. Saat masuk itu sudah dalam keadaan malam. Ketika sampai, aku langsung bertanya dalam hati, tempat ini sebenarnya penjara atau terminal sih? Waktu aku mau melangkah, ada got kecil seperti tempat penyeberangan seperti saat hendak naik kereta saja. ![]() Dari kecil setiap orang pasti diajarkan untuk tidur sendiri di kamarnya. Yang berarti dari kecil kita sudah punya kamar sendiri. Saya dari kecil diajarkan untuk tidur berdua adik saya. Bagaimana dengan kalian? Pasti mayoritas mempunyai kamar sendiri dan tidur sendiri bukan? Seberapa banyak sih orang yang tidur dalam satu kamar? Maksimal mungkin tiga orang dalam kamar berukuran 3x4 meter. Sekarang bayangkan, dalam satu kamar berukuran 5x6 meter, saya tidur bersama 22 orang lainnya. ![]() Kalimat pertama yang ingin aku tulis adalah kebebasan, yang kata dasarnya ‘bebas’. Kata ini bisa diartikan dengan bebas untuk kemana saja, berbuat apa saja, dan banyak pengertian lain lagi. Dalam kehidupan pribadi setiap orang pastinya mau merasakan kebebasan. Tidak mau dikekang atau diatur oleh siapapun dan apapun, apalagi menyangkut dengan hal yang disukai. Tetapi berbeda dengan kehidupan di dalam penjara. Pasti kebanyakan orang berpikir bahwa penjara itu tempat berkumpulnya para penjahat yang melanggar hukum dan dianggap sebagai sampah masyarakat. Amanatia Junda
(Cerpenis kelahiran Malang. Bergabung dengan Perkawanan Perempuan Menulis dan penerima dana hibah Cipta Media Ekspresi untuk proyek kumpulan cerpen bertema "Merekam Ingatan Perempuan Pasca Reformasi") Suamiku adalah seorang lelaki yang sangat mencintaiku. Suamiku adalah seorang lelaki yang sangat mencintaiku dan tak akan tahan melihatku menderita. Suamiku adalah seorang lelaki yang sangat mencintaiku dan tak akan tahan melihatku menderita, sekaligus menginginkanku untuk membalas cintanya seutuh dirinya mencintai diriku. Seutuh dirinya mencintai tubuhku. Tidak yang lain-lain. Ferry Fansuri
Penulis Lepas ferry_fansuri@yahoo.com Sore menjelang malam dalam ruangan mulai gelap tanpa cahaya, aku berpendar menerangi di dalamnya. Tiap malam seperti malam-malam yang lain aku selalu ada dan hadir, aku masih ingat dimana aku berada. Meja di sudut kamar itu dekat jendela yang terbuat dari jati, bersebelahan dengan tempat tidur. Aku selalu diletakkan di samping buku-buku, kertas serta tinta, aku bisa melihat sekitarku dengan jelas dan tanpa aku semua buta. Inilah pekerjaanku dan tidak pernah bosan. Rena Asyari
rena.asyari@gmail.com (Lecture, founder seratpena) Jam 6 pagi, seperti sekawanan semut yang terkurung dalam kotak selama berjam-jam lalu ketika ada celah sedikit saja mereka akan berebutan keluar, perlahan-perlahan lalu membludak. Seperti itulah kira-kira gambaran di salah satu pabrik yang berlokasi di Jatiwangi Majalengka, per 8 jam sekali pintu-pintu gerbang membuka, karyawan pabrik berganti shif dan karena lokasinya yang berada tepat di sisi jalan nasional/jalan utama maka lalu-lintas pun menjadi macet. Vregina Diaz Magdalena
vregidm@gmail.com Maria lahir sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Ia satu-satunya anak perempuan yang dimiliki sepasang suami istri berdarah Sulawesi Utara. Mereka lama tinggal di surabaya. Maria bukanlah anak perempuan satu-satunya karena ia mempunyai saudara perempuan dari Ibu sebelumnya. Wajah Maria cukup menarik, ia tumbuh dengan tanda lahir di pipi sebelah kanan. Kulitnya berwarna kuning langsat. Damhuri Muhammad
(Cerpenis, esais, dan kolumnis) telah.insyaf@gmail.com Setahun lalu, ia dara perawan. Bercita-cita ingin jadi penari. Sering ia berkhayal, membayangkan trofi-trofi tertata rapi di atas rak kayu di kamar kecilnya, sebagai hadiah atas prestasinya menjuarai festival tari. Kelak, trofi-trofi itu akan dipersembahkannya untuk ibu yang belum sungguh-sungguh yakin anak perempuannnya itu pandai menari. Namun hingga kini, gadis muda belia itu tak pernah beroleh trofi, meski ia masih saja menari. Sepanjang malam, angannya tiada henti menari-nari, mendambakan raut wajah lelaki yang berkenan menikmati gerak dan lenggok tariannya. Bukan di atas pentas, tapi di ranjang hotel berbintang. Nurul Aisyah
13 Maret 1998 Kepada Ytc. Anakku, Anakku, apa kabarmu? Sudah lama sekali sejak kau menelepon Ibu untuk terakhir kalinya… “Semur ikan kesukaanku, ya, Ibu?” Ibu cuma tertawa waktu itu, dan, “Ya, ya, ya… makanya, apa Ibu bilang, cepatlah pulang ke sini… Kamu, kan, sedang liburan?” Tiba-tiba kau terdiam, jarang sekali kau seperti itu, membiarkan pulsa telepon berjalan begitu saja tanpa mencandai Ibu, kemudian, “Seandainya aku tidak sibuk, Ibu. Tapi semester depan… aku akan libur panjang di sana, bersamamu…” Sebastian Partogi
(Wartawan The Jakarta Post) sebastianpartogi@gmail.com Aku berlari untuk membuang nyawa sisaku. Sebagai perempuan, dalam hidupku aku telah dibunuh berkali-kali. Dan bagaikan kucing, aku memiliki sembilan kesempatan untuk mati. Delapan nyawa telah terbuang. Masih ada satu lagi namun aku sudah tidak tertarik lagi untuk menyimpannya. Untuk apa lagi aku hidup? Toh kesilauan dan kebisingan dunia ini hanya menorehkan luka yang tidak pernah sembuh. |
AuthorKumpulan Cerpen Archives
July 2023
Categories |