Kantor polisi bukanlah tempat yang nyaman. Bangku keras, polisi acuh, birokrasi menyesatkan, mesin ketik kuno raksasa yang bergerak begitu lambat merekam kesaksian kita, membuat kita harus mengulangi berkali-kali kisah mengerikan kejahatan yang ingin kita lupakan saja. Asap rokok yang mencekik leher, orang-orang berpakaian preman yang berlagak lebih tahu daripada yang berseragam, dll. Sekarang, bayangkan Anda seorang perempuan dan Anda bukan baru saja kecolongan DVD player dari kamar kos Anda yang jendelanya lupa ditutup. Di sini, Anda kehilangan keperawanan Anda yang dirampas laki-laki yang menerjang pintu yang sudah Anda kunci rapat-rapat. Tempat terakhir yang ingin anda kunjungi sekarang adalah kantor polisi tadi. Ini bukan hal yang tidak disadari oleh polisi sendiri. Polwan, paling tidak. Irawati Harsono, seorang perwira Polri, sepuluh tahunan yang lalu membaca sebuah buku yang dipinjamkan oleh temannya seorang polisi Belanda. Buku itu menjelaskan konsep Police Women’s Desk, sebuah meja (atau ruangan) khusus dalam sebuah pos polisi untuk menangani pengaduan perempuan yang mengalami kejahatan, diawaki juga oleh polisi-polisi perempuan. Sejak itu, Irawati ingin membuat sistem serupa di kantor-kantor polisi di Indonesia. Ia menamakannya Ruang Pelayanan Khusus atau RPK. Bisa ditebak, ini bukan ide yang terus disambut hangat sampai kemudian, huru-hara Mei ‘98 pecah. Irawati menganggap inilah saatnya angin mulai bertiup ke arahnya, “Dan saya sadar, tidak mungkin juga memulai semua ini top-down, kita bikin bottom-up saja. Coba saja enam bulan dulu, terus kita evaluasi. Tapi, tentu saja saya juga merayu Bu Rusmanhadi, istri Kapolri waktu itu, teman saya waktu di PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian). Hahaha.” Dengan menggabungkan gerilya bottom-up dan lobi top level ini, Irawati mulai bergerak. Dibantu, antara lain oleh Saparinah Sadli, ia mulai melatih para Polwan di polres-polres (Kapolresnya telah ditelepon oleh Kapolda, Kapolda telah ditelepon oleh Kapolri, dan Kapolri telah dibujuk oleh Bu Kapolri). Setelah tanggal 1 September 1998 mendirikan Lembaga Bantuan Perlindungan Perempuan dan Anak DERAP–WARAPSARI (Lembaga Swadaya Masyarakat yang didirikan oleh para pensiunan Polwan), akhirnya sebanyak sembilan RPK dibuka di seantero Jakarta pada lima hari sebelum Hari Kartini, 16 April 1999. Namun, setelah enam bulan berjalan, ternyata masalah pertama yang muncul adalah sulitnya memasarkan konsep RPK ini sebagai cara tepat untuk menangani kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual. “Banyak laki- laki yang merasa dipojokkan, polisi itu sendiri yang kemarin baru saja berantem dengan istrinya, misalnya,” jelas Irawati. Di sinilah masalah perdagangan orang jadi penting. “Kongres Amerika ternyata punya sebuah komisi yang memeriksa kesigapan negara-negara menangani kasus perdagangan orang. Sebenarnya, ini masalah uang. Kongres berusaha mengurangi jumlah bantuan yang harus diloloskannya. Soal perdagangan orang, ini bisa dijadikan alasan,” kata Irawati. “Waktu itu tahun 2002, tidak ada UU tentang perdagangan orang dan tidak ada data. Karena statistik kriminal Mabes Polri, kan, mengacu pada KUHP, kriminalitas di situ, ya, berarti pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, pemalsuan dokumen, dll. Sementara, perdagangan orang, kan, ya, semuanya itu!” jelasnya lagi. Berdasarkan laporan komisi kongres itu, Indonesia ditempatkan di Tier 3, tingkat paling rendah. “Itu sama saja negara kita dianggap tak beradab. Ya, memang benar kalau kita lihat gadis-gadis berumur 14 tahun sudah dilacurkan di Batam,” komentar Irawati. Seperti biasa, soal status dan reputasi bisa langsung membugarkan birokrasi yang tadinya terkantuk-kantuk. Menko Kesra langsung membuat Rencana Aksi Nasional atau RAN yang mengatur tentang apa yang harus dilakukan polisi, Departemen Sosial, dan LSM-LSM untuk memecahkan masalah perdagangan orang ini. Pada praktiknya, RAN berguna untuk melatih kerja sama antara polisi-polisi di berbagai tempat, kerja sama yang diperlukan untuk melacak perdagangan orang yang lincah berpindah-pindah tempat, kerja sama yang tidak biasa dilakukan bintara-bintara Indonesia. “Misalnya, seorang bapak di Indramayu lapor, ‘Pak, anak saya kemarin telepon dari Riau, ia dipaksa jadi pelacur.’ Mungkin sekali si Polisi akan bereaksi, ‘Lho, Pak, itu, kan, kejahatannya terjadi di sana, itu, kan, kerjaannya polisi sana,’” contoh Irawati. Berkat RAN ini, peringkat Indonesia dinaikkan ke Tier 2. Akan tetapi, hal ini justru membuat Irawati kecewa. “Saya bilang sama orang kongres itu, ‘Saya menyesal Anda sudah menaikkan Indonesia ke Tier 2. Sekarang semua orang pasti jadi puas, nanti tidak akan terjadi apa-apa.’ Dan, benar, kan?” Memang, ternyata dengan tidak adanya UU yang mengatur, RAN yang ditetapkan Menko Kesra tersebut menjadi tidak ada hasilnya. Tetap tidak banyak kasus perdagangan orang yang sampai ke meja polisi (apalagi ke meja RPK) dan prosesnya seperti biasa juga, tetap digerogoti korupsi di mana-mana karena aparat yang seharusnya menjalankan RAN itu, justru sering menjadi pos-pos penting dalam perdagangan orang, seperti untuk menyediakan paspor dan KTP palsu. “Tidak mungkin itu terjadi tanpa campur tangan pegawai negeri,” kata Irawati. Awal 2006, Indonesia diturunkan peringkatnya menjadi 2.5 “Sebenarnya tetap 2, tapi masuk watchlist,” jelas Irawati. Irawati berpendapat bahwa perdagangan orang, seperti juga pemasyarakatan RPK tadi, adalah masalahyang menyatudengan masalah kebudayandan kemiskinan di Indonesia. Memisahkannya sama susahnya dengan memisahkan bayi kembar siam. Mungkin sebaiknya jangan. Ia memberi contoh, “Soal memulangkan korban, misalnya, enggak gampang. Enggak bisa kitaselalu langsung memulangkan mereka ke rumahnya. Kalau dulu ia dijual sama bapaknya, bagaimana?” Irawati menganggap bahwa budaya patriarki Indonesia sering membenarkan kesewenangan bapak kepada anak perempuannya. Kesewenangan yang pastinya lahir dari himpitan kemiskinan juga. Irawati menceritakan satu contoh lagi, “Tahu Rawa Malang? Itu lokalisasi pelacuran pindahan dari Kramat Tunggak, di pinggir sungai yang sudah mengendap-endap, hitam. Ada seorang bapak yang datang ke situ seminggu sekali untuk minta nafkah dari anaknya yang jadi pelacur.” Irawati juga menyebutkan bahwa banyak gadis pelacur seperti itu, “diijon” bapaknya pada usia 14 tahun, karena indoktrinasi agama yang tidak benar. Jadi, gadis pelacur itu berpikir bahwa yang dilakukannya, walaupun menyiksa, tetap sebuah bentuk pengabdian kepada orang tua yang nantinya akan diganjar pahala. Karena berbagai keruwetan moral di atas, satu-satunya hal yang bisa disimpulkan sekarang tentang perdagangan orang menurut Irawati adalah bahwa semua ini terlalu kompleks untuk ditangani secara dramatis. Dengan demikian, masalah perdagangan orang yang tadinya coba digunakan untuk mempopulerkan RPK, ternyata masih perlu dipopulerkan juga. Paling tidak, semua orang harus sadar bahwa perdagangan orang adalah salah satu bentuk modern slavery atau perbudakan modern dan yang dirugikannya—terutama— adalah perempuan. Mempersiapkan masyarakat untuk bisa menerima ide baru memang problem klasik Indonesia. Irawati mengumpamakan RPK tadi seperti jantung baru yang ditempelkan ke tubuh lama. Tugas penggerak-penggerak perempuanlah yang mempersiapkan tubuh lama untuk dapat menerima jantung barunya, antara lain dengan menyadarkan mereka tentang gawatnya masalah perdagangan orang sehingga setiap kantor polisi sebaiknya punya sebuah RPK kalau mereka memang ingin masalah ini ditangani secara serius dan manusiawi; juga mengawasi kerja RPK-RPK begitu mulai berfungsi dan distrukturisasi oleh undang-undang. Seperti halnya sebuah jantung baru, ia ada bukan berarti ia akan otomatis bekerja. Sebagai seorang pensiunan Polwan, Irawati bisa bersaksi bahwa sejarah kepolwanandi Indonesiapenuhdengankisahperjuanganpembaruanyang membara sebentar, kemudian redup lagi karena sikap dingin patriarki dan maskulinitas yang tetap mendominasi Polri (Polwan hanya 3% dari seluruh polisi dan 70% dari mereka adalah bintara, perwira rendah). Penggerak-penggerak perempuan ini harus mengawasi hal-hal yang mungkin kelihatan kecil, tapi sebenarnya vital untuk kelangsungan RPK; bahwa di situ korban yang melapor boleh menangis, boleh minum dulu, boleh istirahat dulu, dan selalu dilayani dengan empati dan sabar. Seorang Polwan, si minoritas berpangkat rendah tadi, mungkin bisa melihat seorang korban dilayani tengah malam oleh polisi laki-laki yang mungkin malah melontarkan komentar-komentar seksis, tetapi ia tidak bisa melakukan apa-apa.Seperti kata Irawati tadi ketika ia sedang berbicara tentang pengaruh Komisi Perdagangan Orang Kongres Amerika, “RPK tidak bakal jalan tanpa tekanan dari luar.” (Mikael Johani) Catatan Belakang: Tulisan ini dibuat pada tahun 2006 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 46 2006 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Orientasi seksual lesbian telah dipandang sebagai orientasi yang “lian” oleh masyarakat. Sebabnya, menurut Siti Musdah Mulia, seorang tokoh feminis muslimah yang progresif, terletak pada konstruksi yang dicitrakan dalam budaya patriarki sehingga baik atau buruk, benar atau salah, tergantung dari sudut pandang laki-laki dan bukan dari kalangan perempuan. Berikut ini perbincangan Dewi Setyarini dari Jurnal Perempuan dengan perempuan kelahiran Bone, 50 tahun lalu, yang pada tahun 2007 kemarin mendapatkan penghargaan International Women of Courage Award dari pemerintah Amerika Serikat. Jurnal Perempuan (JP): Menurut Anda, apa itu seksualitas dan bagaimana pandangan masyarakat terhadap isu ini? Siti Musdah Mulia (SMM): Masyarakat cenderung memandang seksualitas sebagai hal yang menjijikkan sehingga tidak pantas atau tabu dibicarakan di ruang publik, apalagi di hadapan anak-anak remaja. Menurut saya, seksualitas adalah sebuah proses sosial yang menciptakan dan mengarahkan hasrat atau berahi. Seksualitas adalah sesuatu yang dikonstruksikan secara sosial (the socially constructed expression of erotic desire). Sesuatu yang bersifat positif dalam hidup manusia. JP: Seksualitas perempuan acap kali salah dimengerti, apa sebabnya, dan bagaimana seharusnya seksualitas perempuan diperbincangkan? SMM: Seksualitas perempuan adalah suatu hal yang independen dan menjadi hak perempuan sepenuhnya. Moralitas perempuan tidak dapat dinilai dari seksualitasnya dan tidak dapat dinilai berdasarkan sudut pandang laki-laki. Ia memiliki keunikan sendiri dan juga normalitas sendiri sebagai individu sebagaimana halnya laki-laki. Akan tetapi, ideologi patriarki memiliki peran yang menentukan dalam mengonstruksi citra publik tentang tubuh perempuan. Konstruksi patriarki tentang tubuh perempuan telah sedemikian merasuk ke dalam benak masyarakat. Tidak heran jika sudut pandang laki-laki lalu menjadi standar nilai dalam melihat tubuh perempuan. Standar inilah kemudian menjadi acuan menilai tubuh perempuan dalam semua aspek kehidupan. Setiap manusia punya hak dan kebebasan atas tubuhnya. Perempuan mempunyai hak dan kebebasan atas tubuhnya sendiri, ia berhak atas kesehatan dan kenikmatan tubuhnya. Tubuh perempuan bukan sesuatu yang tabu, melainkan sesuatu yang positif. Perempuan punya hak untuk mengapresiasi dan mengekspresikan tubuhnya sendiri. Tubuh perempuan bukan sumber dosa dan keonaran sebagaimana sering diungkapkan dalam masyarakat. Pikiran dan pandangan yang kotor tentang tubuh itulah sumber malapetaka yang sesungguhnya. Nilai-nilai moral yang dideskripsikan oleh laki-laki ini sangat timpang karena dibuat berdasarkan asumsi laki-laki. Penilaian moralitas yang tidak adil ini membawa kepada lahirnya berbagai stereotip tentang tubuh perempuan. Tubuh perempuan selalu dianggap sebagai penggoda, perusak kesucian laki-laki, pembawa bencana, dan sejumlah stereotip negatif lainnya. JP: Ada anggapan seksualitas itu natural dan disesuaikan dengan pasangannya, misalnya seksualitas perempuan disesuaikan dengan pasangan laki-lakinya, apa komentar Anda? SMM: Bagi saya pendapat tadi keliru. Sejatinya, seksualitas selalu berkaitan dengan konstruksisosial. Konstruksisosial mengenai seksualitas mengikuti pola relasi gender, yakni relasi gender yang masih sangat timpang. Mengapa? Relasi gender masih didominasi oleh ideologi dan sistem patriarki. Sistem patriarki yang bersifat paternalistis masih membelenggu perempuan. Sistem patriarki membenarkan laki-laki menguasai, mengontrol kehidupan perempuan dalam seluruh aspeknya: sosial, hukum, politik, moral, dan agama. Sistem ini pada ujungnya melahirkan pembagian peran dan posisi yang sangat diskriminatif antara laki-laki dan perempuan. Seksualitas selalu dipahami dalam konteks maskulinitas. Laki-laki selalu harus dalam posisi subjek. Sebaliknya, perempuan hanyalah objek, yaitu objek seks. Inilah yang membuat masyarakat menginginkan laki-laki harus agresif dan wajar jika perempuan dijadikan objek seks, dan pada gilirannya pandangan ini melegitimasi laki-laki melakukan pelecehan, perkosaan, dan kekerasan seksual. JP: Islam dipahami sangat memusuhi homoseksual yang konon diambil dari kisah umat Nabi Luth, bagaimana tanggapan Anda? SMM: Sepanjang bacaan saya terhadap kisah Nabi Luth yang dikisahkan dalam Al-Qur’an (QS. Al-A’raf: 80—84 dan QS. Hud: 77—82) ini, tidak ada larangan secara eksplisit, baik untuk homo maupun lesbian. Yang dilarang adalahperilaku seksual dalam bentuk sodomi atau liwath. Umumnya, masyarakat mengira setiap homo pasti melakukan sodomi untuk pemuasan nafsu biologisnya, padahal tidaklah demikian. Sodomi bahkan dilakukan juga oleh orang-orang hetero. JP: Apa tanggapan Anda tentang pernikahan homoseksual—gay atau lesbian—bagaimana Islam memandang prinsip-prinsip pernikahan? SMM: Penelitian saya terhadap 106 ayat Al-Qur’an yang bicara soal perkawinan dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip perkawinan Islam menganut prinsip monogami (tawahhud al-zawj). Perkawinan dilakukan atas prinsip kerelaan (al- taraadli), kesetaraan (al-musaawah), keadilan (al-’adaalah), kemaslahatan (al- mashlahat), pluralisme (al-ta’addudiyyah), dan demokratis (al-dimuqrathiyyah). Tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera (sakiinah) berlandaskan cinta dan kasih sayang (mawaddah dan rahmah); dan untuk memenuhi kebutuhan biologis secara legal, sehat, aman, nyaman, dan bertanggung jawab. Konsekuensinya, pengertian perkawinan menjadi: ‘Akad yang sangat kuat (mitsaaqan ghaliidzan) yang dilakukan secara sadar oleh dua orang untuk membentuk keluarga yang pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak.’ Bahkan, menarik sekali membaca ayat-ayat Al-Qur’an soal hidup berpasangan (QS. Ar-Rum: 21, QS. Az-Zariyat: 49, dan QS. Yasin: 36), di sana tidak dijelaskan soal jenis kelamin biologis, yang ada hanyalah soal gender (jenis kelamin sosial). Artinya, berpasangan itu tidak mesti dalam konteks hetero, tetapi bisa homo dan bisa lesbian. Maha Suci Allah yang menciptakan manusia dengan orientasi seksual yang beragam. Sayangnya, tidak banyak manusia mau memahami ciptaan-Nya. JP: Apa kritik Anda terhadap pandangan miring dan perlakuan yang meminggirkan lesbian? SMM: Masyarakat kita senang dipuji sebagai masyarakat religius, tetapi religiusitas mereka sangat terkait dengan simbol-simbol agama, bukan dengan esensi agama itu sendiri. Esensi ajaran agama adalah memanusiakan manusia, menghormati manusia, dan memuliakannya. Tidak peduli apa pun ras, suku, warna kulit, jenis kelamin, status sosial, dan orientasi seksualnya. Bahkan, tidak peduli apa pun agamanya. Masyarakat cenderung menilai kesalehan atau ketakwaan seseorang berdasarkan pada aspek-aspek susila ketimbang sosial. Tidak heran jika kalangan agama lebih peka pada persoalan lesbian, pornografi, prostitusi, homoseksualitas daripada problem sosial yang nyata, seperti kekerasan, kemiskinan, busung lapar, korupsi, kerusakan lingkungan, dan trafficking. Itulah ironisnya! JP: Apakah dengan menjadi seorang lesbian seseorang kehilangan agamanya? SMM: Setiap manusia, apa pun orientasi seksualnya sangat potensial untuk menjadi religius. Sayangnya, penilaian religiusitas di masyarakat cenderung mengandalkan simbol-simbol agama yang pada gilirannya membawa seseorang lebih mementingkan aspek luar, seperti jenis kelamin, orientasi seksual, dan semacamnya. Pemahaman keagamaan yang kehilangan esensinya sangat berbahaya. Sebab, yang tersisa hanyalah simbol-simbol yang dapat digunakan oleh siapa saja, di mana saja, dan untuk kepentingan apa saja. Setiap orang lalu mengklaim simbol-simbol tadi sebagai indikasi perilaku kesalehan atau ketakwaan, dan di sinilah awal mula kehancuran dalam peradaban manusia. Agama yang hidup di masyarakat sama sekali tidak memberikan pilihan kepada manusia. Dalam hal orientasi seksual, misalnya, hanya ada satu pilihan, heteroseksual. Homoseksual, lesbian, biseksual, dan orientasi seksual lainnya dinilai menyimpang dan distigma sebagai dosa. Perkawinan pun hanya dibangun untuk pasangan lawan jenis, tidak ada koridor bagi pasangan sejenis. Perkawinan lawan jenis meski penuh diwarnai kekerasan, esksploitasi, dan kemunafikan lebih dihargai ketimbang perkawinan sejenis walaupun penuh dilimpahi cinta, kasih sayang, dan kebahagiaan. JP: Bagaimanakah seorang lesbian dapat tetap menghayati agamanya? SMM: Tidak ada perbedaan antara lesbian dan bukan lesbian di hadapan Tuhan. Tuhan melihat manusia semata-mata berdasarkan takwa, bukan pada suku, agama, dan orentasi seksualnya. Bicara soal takwa, hanya Tuhan yang punya hak prerogatif menilai, bukan manusia. Manusia cuma bisa berlomba berbuat amal kebajikan sesuai perintah Tuhan (fastabiqul khayrat). Islam mengajarkan bahwa seorang lesbian sebagaimana manusia lainnya sangat berpotensi menjadi orang yang saleh atau takwa selama dia menjunjung tinggi nilai-nilai agama, yaitu tidak menduakan Tuhan (syirik), meyakini kerasulan Muhammad SAW., serta menjalankan ibadah yang diperintahkan. Ia tidak menyakiti pasangannya dan berbuat baik kepada sesama manusia, baik kepada sesama makhluk, dan peduli kepada lingkungannya. Seorang lesbian yang bertakwa akan mulia di sisi Allah, saya yakin ini. (Dewi Setyarini) Catatan Belakang: [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2008 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 58, 2008 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Meskipun sudah hampir 21 tahun kita meratifikasi Konvensi CEDAW, namun kita masih mempunyai sejumlah kelemahan, khususnya mengenai implementasi Konvensi CEDAW ini. Pemerintah telah menunjuk Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KPP) untuk menjadi leading sector pelaksanaan konvensi ini. Sebagai kementerian nonteknis, tugas ini bukanlah mudah, karena harus bersinergi dengan departemen-departemen teknis lainnya. Bukan saja menghadapi masalah struktur yang berat, menghadapi pola pikir jajaran instansi terkait yang masih menganggap remeh isu perempuan juga menjadi hambatan yang sangat serius. Bagaimana sejauh ini implementasinya dan apa yang menjadi hambatan utama KPP dalam mengimplementasikan Konvensi CEDAW? Berikut pemaparan Dra. Sri Danti, M.A., Asisten Deputi Urusan Pendidikan Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan tahun 2006 dalam wawancaranya dengan jurnalis Jurnal Perempuan, Eko Bambang Subiyantoro[1]. Jurnal Perempuan (JP): Apa yang bisa dilaporkan dari implementasi konvensi CEDAW ini? Sri Danti (SD): Selama 21 tahun ada banyak yang dilakukan, ya. Kita bisa melihat dari sejumlah kebijakan publik. Kalau kita bicara kesetaraan gender, sebetulnya kita sudah ada di Inpres No. 9 tahun 2000. Ada juga undang-undang mengenai HAM yang juga mengimplementasikan CEDAW, yaitu UU Pemilu dan sejumlah kebijakan-kebijakan mengenai kelembagaan. Fungsi KPP sendiri dalam implementasi CEDAW adalah berkoordinasi dengan instansi teknis terkait, seperti pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan sebagainya. KPP bukan sebagai pihak yang melakukan karena KPP bukan implementing agency. KPP adalah koordinator yang fungsinya merumuskan kebijakan-kebijakan untuk penghapusan diskriminasi. Kenapa perlu lembaga yang mengoordinasikan? Karena isu perempuan itu cross cuting, ya, atau lintas sektor yang tidak hanya dilakukan oleh satu departemen, tetapi oleh semua departemen terkait. Sama halnya dengan konvensi CEDAW, kalau kita lihat, di dalam konvensi itu banyak macamnya, yaitu pendidikan, kesehatan, politik, trafficking, keluarga, lembaga perkawinan, dan sebagainya. JP: Selama ini apa yang menjadi hambatan dalam pelaksanaanya? SD: Terus-terang, masih banyak hambatan dalam pelaksanaan konvensi CEDAW itu. Pertama, belum banyak orang paham isi konvensi tersebut. Ini karena konvensi yang diratifikasi 21 tahun lalu, namun sosialisasinya kita akui masih lemah; karena yang menangani CEDAW, terus terang, tadinya tidak jelas di mana, jadi akhirnyasekarang kitaangkatkembali dengan strategi baru. Konvensi ini pernah kita terjemahkan, namun sosialisasinya masih terbatas karena kekurangan dana dan belum banyak harapan untuk mensosialisasikannya, itu yang menjadi permasalahan kedua. JP: Bagaimana dengan instansi terkait lainnya berkaitan dengan implementasi konvensi ini? SD: Departemen terkait lainnya masih perlu pembenahan. Dengan adanya mutasi sistem dan struktur yang terus berubah-ubah, akhirnya substansi konvensi CEDAW pemahamannya tidak melembaga, maka implementasinya masih terhambat. Tetapi, bukan berarti mereka tidak melaksanakan. Mereka melaksanakan, walaupun mereka tidak tahu bahwa apa yang dilakukan merupakan langkah CEDAW. Misalnya, mereka melaksanakan pengarusutamaan gender, itu, kan, dalam kerangka pelaksanaan CEDAW juga. Begitu pula dengan pembentukan gender focal point di masing-masing instansi untuk mengoordinasikan pelaksanaan, program yang responsif gender, dan sekarang sudah hampir di semua sektor. Jadi, yang muncul di permukaan adalah PUG (Pengarusutamaan Gender), bukan CEDAW, padahal payungnya itu, ya, CEDAW itu sendiri. JP: Bagaimana seharusnya bentuk implementasi CEDAW ini untuk instansi terkait? SD: Mestinya terlembaga, ya. Jadi, kalau pejabatnya pindah, substansinya tidak berubah dan sudah dipahami. Jika dalam struktur departemen terlembaga, maka jika orang yang bertanggung jawab menjadi focal point itu pindah, tentu lembaga yang ditinggalkannya tetap. Selama ini orangnya pindah, instansinya ikut hilang juga. Persoalannya juga, rata-ratayang menjadi focal point, apalagi di daerah-daerah itu, bukan eselon 2 yang tidak punya fungsi koordinasi. Padahal, namanya focal point itu, ya, harus decision maker yang bisa mengoordinasikan orang dan pemahaman-pemahamanyang tidak gampang itu. Orang ngomongin gender, orang selalu mikirnya perempuan, dan kalau sudah perempuan, mereka seolah-olah malas untuk membahasnya. JP: Ada perbedaan signifikan antara pemahaman CEDAW dan PUG? SD: Sangat signifikan, mereka itu tidak paham bahwa CEDAW itu landasan payungnya PUG sehingga mereka lebih memahami Inpres No. 9 tahun 2000 tentang PUG. Kita paham, kita memang tidak terlalu mensosialisasikan konvensi itu. Jadi ada jurang memang, tetapi sekarang sudah harus mulai diperkenalkan lagi karena memang orang yang tidak paham substansi hukum itu, kan, agak sulit memahami konvensi ini. JP: Apa dengan demikian signifikansinya akan mempengaruhi pelaksanaan? SD: Tidak, tidak apa-apa. PUG itu sebenarnya strategi untuk melaksanakan CEDAW. Konvensi CEDAW itu, kan, penghapusan diskriminasi, maka mereka sudah ada program, misalnya pendidikan untuk penghapusan buta huruf perempuan, kesehatan penurunan AKI, atau perdagangan perempuan, mereka sudah melakukan semua, tetapi mereka tidak menyadari bahwa payungnya adalah CEDAW. Jadi, yang harus diutamakan oleh kita sekarang adalah mengintensifkan sosialisasi Konvensi CEDAW tersebut. JP: Apa aspek penting bagi bangsa Indonesia dengan meratifikasi Konvensi CEDAW ini? SD: CEDAW itu, kan, landasan internasional. Kenapa kita ratifikasi, karena tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, itu yang pertama. Namun, yang lebih penting lagi karena konvensi ini digunakan untuk menegakkan hak asasi manusia dengan pendekatan right based, pendekatan kemanusiaan, laki-laki dan perempuan itu sama, yaitu manusia dan sangat universal. Jadi, pentingnya memahami konvensi ini adalah sebagai pendekatan payung pemberdayaan perempuan yang dijalankan. JP : Bagaimana dengan aparatur penegak hukum? SD: Mereka belum paham. Kita akui sosialisasi memang kurang, tetapi sedang kita intensifkan. Kita ingin, mereka yang sudah tersosialisasi terpilih, kita beri mereka TOT (Training of Trainers). Seharusnya, mereka yang sudah mendapatkan training bisa mensosialisasikan ke orang lain, bukan untuk dirinya sendiri. Belum lagi menghadapi kendala-kendala fokus program yang berbeda dan ini menjadi hambatan di hampir sejumlah departemen. JP: Adakah persoalan lain yang menjadi hambatan utama? SD: Ada, yaitu advokasi. Kalau kita advokasi, kan, harus mengubah pola pikir pejabat, nih, masalahnya, ketika kita mengundang pejabat, mereka selalu mewakilkan, jadi tidak pernah mereka sendiri yang duduk di situ, karena sekali lagi, mereka menganggap masalah perempuan adalah masalah perempuan sendiri, bukan masalah kita bersama. Mereka tidak membayangkan bahwa kalau kita memberdayakan perempuan, maka separuh masalah di Indonesia, sebetulnya, bisa terselesaikan, karena perempuan Indonesia, hampir separuh penduduk Indonesia, dan yang miskin banyak juga terjadi pada perempuan. Itu yang belum dipahami oleh pejabat-pejabat di sejumlah instansi. JP: Lalu apa strategi ke depan dalam mensosialisasikan CEDAW ini? SD: Kita akan mensosialisasikan ini ke beberapa provinsi. Kita harapkan setelah mereka dapat sosialisasi, bisa dilanjutkan sosialisasinya ke bawah. Namun, tidak hanya sosialisasi, tetapi juga bisa diimplementasikan dan itu menjadi tanggung jawab departemen teknis. JP: Lalu bagaimana mengawasinya? SD: Kita punya program kerja untuk menyusun laporan, monitoring pelaksanaan CEDAW, dan anggotanya sendiri dari instansi terkait. JP: Sudah siapkah infrastruktur dan sistem yang mendukung pelaksanaan ini? SD: Terus terang, capacity building-nya masih kurang. Selama ini hanya memakai suatu kelembagaan. Misalnya, di departemen kami sudah ada focal point, kita pakai dan kita tambah ilmunya. Lalu, mereka yang di daerah, ada biro PP (Biro Pemberdayaan Perempuan). Kalau selama ini yang disosialisasikan materinya PUG, maka kita tambahkan ilmunya pada substansi CEDAW. Tentu saja kementerian kita memfasilitasi apa yang dapat kita beri, seperti bantuan teknis, maka kita memberikan pelatihan. Karena kita tidak semuanya pintar dalam hal ini, maka kita bekerja sama dengan para mantan pejabat, NGO, atau pihak asing sebagai fasilitator. Kita mengharapkan mereka bisa melanjutkan ke bawah karena tangan kita terbatas, dana kita juga terbatas. JP: Kapan Indonesia terakhir melaporkan implementasi CEDAW di Indonesia ini ke PBB? SD: Kita sudah melaporkan yang pertama, kedua dan ketiga digabung, dan terakhir untuk laporan keempat dan kelima tahun 1995—2003, kita sudah mengirimkannya tahun 2005 lalu, dan kita sekarang sedang menunggu komentar mereka. JP: Dalam laporan kemarin apa saja hambatannya? SD: Hambatannya data itu, kita sangat lemah untuk laporan, terutama untuk departemen terkait karena mereka tidak mengerti CEDAW. Yang kedua, kebanyakan dari mereka hanya project oriented, setelah membuat kegiatan, ya, begitu saja, tidak ada laporan, tidak ada data, dan sebagainya. Lalu, mereka tidak ada data terpilah, data terpilah itu lemah sekali di departemen karena untuk membuat data terpilah mahal sehingga kita cukup sulit sekali untuk mengukur keberhasilan yang sudah dicapai. Laporan kita itu banyak yang kualitatif dan mestinya, kan, ada statistiknya juga. Sekali lagi, kelemahan kita sesungguhnya di reporting dan recording. JP: Apa strategi baru untuk mengatasi masalah tersebut? SD: Salah satu cara kita untuk pertama kali adalah membentuk Pokja, orangnya juga kita harapkan tidak ganti-ganti. Kedua, kalau dulu bikinnya borongan dalam jangka waktu delapan tahun—karena tidak ada yang bertanggung jawab untuk menyusun, padahal mestinya ada yang incharge laporan ini—maka, sekarang ini kita mulai bikin tahunan, mulai 2004—2008. Saya juga menunggu data dari teman-teman, dan kenyataannya sulit. Saya tidak tahun mengapa, padahal CEDAW ini bukan pemerintah, melainkan negara, dan kalau negara itu elemennya banyak, termasuk NGO, aparat penegak hukum, dan sebagainya. Kita hanya diserahi tugas untuk melaporkan saja. Anehnya, kalau sudah persoalan laporan, biasanya pada lari semua. JP: Dibandingkan dengan negara lain, bagaimana implementasi CEDAW di Indonesia? SD: Indonesia relatif maju karena kita sudah ada lembaga yang menangani perempuan, di negara lain belum tentu. Kita dianggap sudah maju, kita punya institusinya, menterinya, peraturan kebijakan lain yang mendukung, strategi, dan infrastruktur di daerah. Namun, karena kita besar, maka tidak semua tertangani dengan cepat. (Eko Bambang Subiyantoro) Catatan Belakang: [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2006 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 45, 2006 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Semangat yang membidani lahirnya kajian wanita atau women’s studies (bisa juga disebut kajian perempuan atau kajian feminis) di Indonesia tidak berbeda jauh dengan semangat bangkitnya women’sstudies di tempat-tempat lain, yakni semangat untuk mengenal lebih jauh pengalaman kaum perempuan (Indonesia) serta untuk menjadikan keberadaan kaum perempuan dan kondisi hidupnya lebih kasat mata. Waktu lahir, women’s studies di Indonesia langsung memasuki tahap keempat (menurut kategori Bogdon). Tahap ini ditandai dengan ramainya kegiatan penelitian tentang perempuan dengan fokus gender differences (perbedaan gender) dan analisis ilmiah dengan perspektif perempuan[1]. Tahap ini memang fase yang penting mengingat penelitian-penelitian sebelumnya lebih didominasi oleh laki-laki dengan topik atau masalah yang hanya penting untuk mereka. Penelitian-penelitian baru ini akan menghasilkan berbagai data empiris berdasarkan pilihan topik atau analisis hasil penelitian yang tidak androsentris (berpusat pada laki-laki). Permasalahan yang diangkat women’s studies di Indonesia awalnya dipengaruhi oleh tema-tema dalam seminar yang diadakan menyambut Dasawarsa Tahun Internasional Wanita pada tahun 1975 di Meksiko. Saat itu, tema-tema yang diangkat secara tidak langsung menyinggung persoalan kaum perempuan di negara-negara berkembang. Topik yang paling populer adalah perempuan dan pembangunan. Berdasarkan data empiris yang didapatkan dari hasil penelitian sejak tahun ’70-an, ilmuwan perempuan barat yang aktif dalam gerakan women’s studies menemukan bahwa banyak program pembangunan di negara berkembang yang merugikan perempuan. Proses pembangunan cenderung mengabaikan peran produktif yang secara tradisional telah dimainkan oleh perempuan. Dalam tulisannya di Jurnal STRI, Prof. Dr. Saparinah Sadli yang biasa disapa Ibu Sap, mencatat adanya beberapa kelompok women’s studies yang berkembang di beberapa universitas. Mereka tergabung dalam lembaga-lembaga tertentu, seperti Lembaga Kependudukan Universitas Gajah Mada, Lembaga Riset Universitas Brawijawa, dan Lembaga Riset Universitas Hasanuddin. Perkembangan ini didu- kung ketentuan GBHN 1988 tentang perlunya mendirikan Pusat Studi Wanita. Kajian Wanita Di Universitas Indonesia, pada tahun 1989 Prof. Dr. Sujudi, Rektor UI waktu itu, menggagas berdirinya studi wanita di tingkat pascasarjana dengan nama Program Kajian Wanita Pascasarjana Universitas Indonesia (selanjutnya disebut Kajian Wanita). Satu keputusan yang menurut Ibu Sap sendiri tidak mengejutkan. Sejumlah dosen perempuan, yang telah lama merintis mata ajaran pilihan seperti Wanita dan Pembangunan di Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Politik (FISIP) dan Psikologi Wanita di Fakultas Psikologi, menyambut hangat terobosan ini. Dukungan penuh juga diberikan pimpinan program pascasarjana, yakni direktur yang dijabat oleh Prof. Dr. Iskandar Wahidiyat dan wakil direktur I yang dijabat oleh Prof. Dr. Farid Moeloek. “Gagasan berdirinya Program Kajian Wanita timbul ketika Program Studi Multidisiplin ingin ditumbuhkan. Kita membutuhkan program-program studi yang perlu dan langsung bisa dipakai atau digunakan di masyarakat. Bagi beberapa ilmuwan, pertumbuhan ilmu itu selalu dilihat dari akar, batang, atau cabangnya. Padahal, perkembangan pemikiran ilmu yang baru, mungkin saja tidak tumbuh dari satu akar, tapi dari beberapa dan tentu saja ini menunjukkan adanya kepentingan- kepentingan tertentu, baik itu kepentingan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada di masyarakat maupun kepentingan-kepentingan lainya,” demikian komentar Prof. Dr. Farid Moeloek dalam buku Perjalanan 15 Tahun Program Kajian Wanita (2005). Selain menjadi salah satu pengajar, Ibu Sap diserahi tampuk kepemimpinan selama sepuluh tahun pertama (November 1990 sampai Mei 2000). Ini bukanlah tanggung jawab yang mudah. Antusiasme tidak serta merta datang dari seluruh jajaran akademisi. Menurut Ibu Sap, Kajian Wanita dirongrong sikap para akademisi yang meragukan kejelasan pohon ilmu yang menjadi kiblat Kajian Wanita. Tapi, Prof. Dr. Iskandar Wahidiyat mengatakan bahwa salah besar harus ada pohon ilmu. “Kenapa harus cari yang ada pohon ilmu?” tanyanya, “Itu tidak benar. Sekarang ilmu jadi begitu berkembang, tidak perlu dari S1 yang sama. Bahwa untuk pascasarjana harus sarjana dulu, itu benar. S3 harus S2 dulu. Tapi, tak usah dari bidang ilmu yang sama. Pemikiran itu harus diubah.” Keraguan dan kendala hadir mengiringi perjalanan Kajian Wanita. Satu komentar datang dari seorang dosen senior perempuan, “Sap, jangan kamu jadikan mereka (mahasiswa) feminis,” demikian pesannya pada acara pembukaan resmi Kajian Wanita. Ibu Sap terkejut mendengar kalimat itu. Dalam sejarah perkembangannya, studi wanita di tingkat universitas di luar negeri berkembang dengan bertumpu pada konsep dan teori feminisme. Pesan tadi membuat Ibu Sap waktu itu bertanya-tanya, apa salahnya menjadi feminis? “Feminisme masih belum diterima seperti sekarang. Gerakan feminis masih dilihat sebagai “hantu”. Saya disadarkan, jangankan kata feminis, kata gender saja belum diterima,” ungkapnya. Kajian Wanita berdiri tanpa dibarengi kurikulum di tingkat sebelumnya, S1. Ini tantangan tersendiri bagi Ibu Sap. Ia dipaksa menghadapi mahasiswa-mahasiswa baru yang sebagian besar belum pernah mempelajari women’s studies secara formal sebelumnya. “Orang luar negeri yang dulu membantu saya menganggap saya punya ambisi yang terlalu gila karena background-nya tidak ada,” kenangnya. Ibu Sap menyadari, justru mengembangkan perspektif gender dalam diri mahasiswa itulah tantangan terbesarnya. Ia berinisiatif meluncurkan program baru yang dinamakan Latihan Sensitivitas Gender, diberikan kepada setiap mahasiswa angkatan baru selama lima hari. “Kalau dulu tidak ada seperti itu. Latihan ini terbukti membantu sekali dalam mengajar. Mereka lebih mudah menerima bahan ajar yang diberikan. Dulu kita tidak pernah memikirkan itu. Jadi, susah sekali, apalagi dengan latar belakang mereka yang berbeda-beda. Ada sosiologi, antropologi, agama, pendidikan, dan lain-lain.” Akan tetapi, Ibu Sap optimis. Dan terbukti, meskipun mahasiswa-mahasiswa baru tersebut tidak pernah belajar women’s studies sebelumnya, mereka tetap dapat menyelesaikan pendidikan di Kajian Wanita selama empat semester dengan tesis- tesis yang bagus. Diakui oleh Ibu Sap pada masa awal berdirinya Kajian Wanita, para pengajar pun masih mencari sistem yang tepat untuk menyampaikan materi-materi women’s studies. Kesulitan inilah yang membuat Ibu Sap punya ide untuk membuat suatu program kerja sama (linkage program). Kajian Wanita bergandengan dengan Women’s Studies dari Memorial University Of Newfoundland, Kanada, mencoba meningkatkan profesionalitas dosen, staf administrasi, dan staf perpustakaan dalam program “Support to Women’s Studies Graduate Programme at the University of Indonesia”. Proyek yang dirancang dan dikembangkan selama dua tahun (1990—1992) itu keseluruhan dananya ditanggung Canada International Development Agency (CIDA). Dalam kurun empat tahun— setengah dimulai pada bulan September 1992 dan berakhir pada bulan April 1997— program tersebut mengadakan berbagai kegiatan, misalnya pengiriman dua staf junior Kajian Wanita ke Memorial University untuk studi tingkat S2 pada tahun 1993 dan 1994; pelatihan pengembangan profesionalitas di Kanada bagi sejumlah staf Kajian Wanita; juga penguatan pengembangan kurikulum, metode pengajaran, teori, dan metode penelitian melalui serangkaian workshop. Di samping itu, ada juga berbagai proyek penelitian yang dikerjakan. Dalam hubungan kerja sama tersebut banyak pengalaman berarti dan nyata yang didapat tentang, misalnya, kesetaraan, relasi setara, dan kerja sama nonhierarkis sejumlah prinsip yang menjadi landasan perspektif feminis. Selain membantu “engendering” atau “men-gender-kan” (meminjam istilah Ibu Sap) berbagai orang yang terlibat dalam Kajian Wanita, kerja sama ini juga “men-gender-kan” kurikulum Kajian Wanita. Perkembangan Pemikiran Selepas menduduki kepemimpinan Kajian Wanita, Ibu Sap tetap sibuk. Ia pernah memimpin Komnas Perempuan dan masih dilibatkan dalam proses kaderisasi. Ia juga mengajar di kepolisian untuk mata ajar Hak Asasi Perempuan yang menjadi bagian dari mata ajar Hak Asasi Manusia. Di luar kesibukan-kesibukan tersebut, Ibu Sap terlibat dalam riset bersama World Health Organization tentang hak reproduksi perempuan. Berdasarkan hasil risetnya, Ibu Sap mengungkapkan bahwa perempuan Indonesia, ditinjau dari sisi kesehatan, sangat terpuruk. Angka Kematian Ibu, yang dipergunakan sebagai indikator, sangat tinggi. Keadaan ini bukan baru saja terjadi, melainkan sudah 30 tahun terakhir ini. Padahal, kesehatan perempuan yang rendah itu berdampak juga pada anak-anak yang dilahirkan. Seharusnya menurunkan Angka Kematian Ibu menjadi prioritas, usulnya; pendidikan untuk setiap anak perempuan juga. Dua hal tersebut penting agar perempuan dapat memainkan perannya dengan lebih baik. Mereka juga akan menambah lapangan kerja untuk perempuan yang sekarang sangat terbatas, baik pilihan maupun keamanannya. Tidak seharusnya, seperti yang terjadi selama ini, perempuan bekerja tanpa perlindungan, padahal itu adalah hak yang seharusnya ia dapatkan. Namun, Ibu Sap menolak untuk bersikap pesimis, “Meskipun cuma 1%, kita tidak bisa menghapus kemajuan yang sudah diraih oleh perempuan Indonesia. Kita pernah punya presiden perempuan, sekarang ada menteri-menteri perempuan, anggota DPR perempuan juga ada, meskipun kuantitasnya tidak mencapai kuota. Banyak juga perempuan-perempuan yang aktif di ruang publik memperjuangkan hak perempuan. Itu juga sesuatu yang harus diakui semua pihak.” Ibu Sap pun angkat bicara tentang perda-perda syariat yang membelit perempuan Indonesia, “Itulah konsekuensi dari otonomi daerah, pusat tidak mempunyai wewenang untuk meniadakkan atau mengiyakan. Mereka mempunyai kewenangan tersendiri. Masalahnya, memang begitu banyak perda mengatasnamakan agama, tapi yang disasar itu sebenarnya perempuan, itu yang merisaukan. Misalnya, perda Tangerang yang tidak membolehkan perempuan ada di jalanan setelah jam sembilan malam, itu, kan, dibuat atas nama agama. Padahal, sesungguhnya, untuk meminggirkan seksualitas perempuan.” Begitu juga dengan RUU Pornografi. Masyarakat kita, menurut Ibu Sap, dikacaukan oleh pengertian pornografi dan RUU pornografi. Mereka tidak dapat membedakan dua hal tersebut. Ibu Sap yakin setiap perempuan setuju pornografi itu harus dihapuskan karena pornografi itu memojokkan dan melecehkan perempuan. Akan tetapi, dengan adanya RUU tersebut perempuan malah makin dipojokkan dan dilecehkan. Usia boleh saja senja, namun Ibu Sap terus meremajakan pemikiran-pemikiran dan intelektualitasnya. Ia selalu mengikuti perkembangan (dan kemunduran) hidup perempuan di Indonesia serta tetap aktif dalam beragam organisasi, diskusi, dan penelitian. Semua ini demi kesetaraan dan kemajuan perempuan Indonesia. (Henny Irawati) Catatan Belakang: Tulisan ini dibuat pada tahun 2006 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 48, 2006 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Diambil dari “Studi Wanita: Pengembangan dan Tantangannya” dalam Stri, Jurnal Studi Wanita Vol. 1 No. 1, Januari 2002. |
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |