![]() Laki-laki itu mengendap masuk ke arah sebuah kamar di lokalisasi Kramat Tunggak. Terbayang olehnya gairah dan kenikmatan seksual yang kembali akan disalurkannya di sebuah bilik di antara ratusan bahkan ribuan bilik wilayah bisnis seks terbesar di Jakarta ketika itu. Jantungnya berdegup kencang setelah “Mami” dan beberapa pekerja seks lainnya memberi tahu bahwa yang akan ia ajak adalah “anak baru” yang barusan datang dari kampung. Perlahan ia mengetuk pintu. “Silakan masuk,” demikian jawaban dari dalam kamar. Kamar itu gelap dan menebarkan wangi “khas” bisnis ini. Wangi yang tajam dan terkadang berlebihan untuk ukuran deodoran atau pengharum lainnya. Hidung laki-laki ini sudah sangat akrab dengan segala jenis wewangian di daerah tersebut. Baginya, mungkin juga bagi hidung laki-laki pelanggan lainnya, wangi-wangian ini semakin mendongkrak gairah mereka untuk bercinta. Tiba-tiba saja, hidungnya tidak mencium wewangian itu. Ia kini mencium bau darah, darahnya sendiri. Hidungnya kini benar-benar belang oleh darah yang keluar dan ia usap sendiri. Belum usai kekagetannya, sekonyong-konyong… bak-buk-bak-buk, pukulan itu kini bertubi-tubi menghantam kepalanya, matanya, perutnya, kemaluannya, hingga ia ambruk tersudut. Lampu kamar menyala. Ia temukan dirinya tersungkur di kaki istrinya yang sudah beberapa bulan ia tinggalkan. Sang istri berdiri kokoh sehabis melampiaskan dendamnya “Sebuah pelajaran bagi pengkhianat!” gumamnya lirih. Cerita di atas bukanlah karangan, tapi sebuah kenyataan yang terjadi di tahun 1998 silam. Dituturkan langsung oleh Nur Aziza, sang istri. Ia kesal karena suaminya menghilang begitu saja meninggalkan beban kehidupan di pundaknya. Baginya, pelampiasan kekesalan itu adalah sebuah pelajaran yang harus ia berikan bagi sebuah bentuk ketidakadilan. Dari kejadian itu, ia mendapat pelajaran pertama yang berharga untuk melawan ketidakadilan; mengorganisasi diri dan berkoalisi dengan mereka yang simpati. Nur Aziza sengaja mengatur jebakan itu. Ia korek semua keterangan tentang suaminya, semuanya, secara rinci tanpa ada yang kelewatan. Jam berapa ia datang, kepada siapa ia biasanya minta dibawakan perempuan, kamar mana yang suka ia tempati untuk berkencan, dan lain-lain. Nur Aziza pun menceritakan semua pengalaman sakit hatinya. Ia lantas bekerja sama dengan beberapa PSK (Pekerja Seks Komersial) dan Mami yang bersimpati padanya. Mereka membantu hingga Nur Aziza bisa benar-benar memberi pelajaran pada suaminya itu. Dendam itu ternyata belum padam. Nur Aziza mengorbankan dirinya menjadi seorang PSK hanya untuk membuktikan bahwa dirinya juga mampu merebut hati laki-laki lain. Selama kurang lebih enam bulan ia jalani pekerjaan itu, tentu saja dengan sangat berat. Tak ada yang ia beri tahu, bahkan keluarganya sekali pun. Pengalaman buruk ini ia pendam hingga saat ini. “Tak apa-apa, Mas, nanti saya akan jelaskan kepada keluarga. Saya sekarang sudah siap,” katanya saat ditanya jurnalis Jurnal Perempuan kalau akhirnya keluarga mengetahui hal ini. Bergantian ia layani laki-laki. Ada perasaan gamang yang luar biasa. Di satu sisi, ia berhasil membuktikan bahwa dirinya mampu melakukan seperti yang dilakukan perempuan lain. Namun, di sisi lain, ia sebenarnya sangat tidak rela jika tubuh yang ia miliki harus ditukar dengan beberapa lembar uang. Bangkitnya Kesadaran “Saya tidak bisa menggambarkan apa yang saya pikirkan ketika saya harus tidur dengan laki-laki yang berbeda. Meskipun saya sangat selektif dalam memilih konsumen, saya hanya melayani tiga pelanggan tetap, tapi tetap saja ada perasaan tidak rela setiap kali saya harus berhubungan. Sangat berat rasanya. Saya berpikir ini tidak bisa diteruskan,” tuturnya. Awalnya adalah ketika ia dan beberapa teman seprofesi diberi penyuluhan oleh Yayasan Kesuma Bangsa mengenai bahaya AIDS dan Penyakit Menular Seksual (PMS) lainnya. Apalagi ketika itu, AIDS sudah mulai datang dan menjangkiti beberapa orang di Indonesia. Pada akhir tahun 1998 itu pula ia mengambil keputusan untuk segera berhenti dari profesi yang telah selama enam bulan ia kerjakan. Penyakit yang mematikan itu menjadi semacam blessing in disguise. Ini bencana, tapi juga membuat Nur Aziza tersadar bahwa risiko penyakit yang salah satu penyebarannya melalui hubungan seks ini bisa mengenai siapa saja, termasuk dirinya. Apalagi dengan profesi sebagai PSK, ancaman itu sangatlah terbuka. Di luar ketakutan itu, ia juga mulai memahami bahwa keinginannya untuk membalas dendam atas sakit hatinya mungkin malah berbalik membahayakan dirinya. Pelajaran kedua ia peroleh dalam melawan ketidakadilan adalah kekuatan untuk menahan diri. Ia kemudian bekerja untuk Yayasan Kesuma Bangsa. Berkeliling keluar masuk lokalisasi untuk membagi pengalaman dan pengetahuan tentang pentingnya perlindungan kesehatan reproduksi bagi pekerja seks. Dengan gaji hanya Rp15.000 per minggu, ia bertahan. Godaan untuk aktif lagi sebagai pekerja seks kadang timbul bila mengingat jauhnya perbedaan penghasilan antara menjadi pekerja seks dan menjadi sukarelawan semacam yang ia lakukan di Yayasan Kesuma Bangsa. Dalam diri Nur Aziza ada perkelahian antara kebutuhan hidup dan idealisme. Peperangan itu dimenangkan oleh keinginan besar Nur Aziza untuk memberikan pencerahan pada rekan seprofesinya. Titik balik ini adalah sejarah bagi kehidupan Nur Aziza. “Saya terus mengenangnya.” Saya akan ceritakan bagian kehidupan saya yang satu ini pada siapa pun, bahwa sesungguhnya kita bisa berubah. Dari seorang yang hampir tanpa harapan, terhempas, tertindas, bahkan terjual, kini menjadi seorang yang bisa berguna bagi diri sendiri dan orang lain. “Menjadi seseorang yang bisa membagi pengalaman hidupnya buat pelajaran,” katanya ketika diwawancara beberapa waktu lalu di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan. Masyarakat sekitar tentu saja tidak langsung mempercayainya. Menurut Nur Aziza, PSK baik yang masih aktif maupun yang sudah pensiun labelnya tetap sama, yaitu najis dan tidak bisa dipercaya. “Pernah suatu ketika saya masak makanan agak banyak. Makanan itu saya bagi-bagikan pada tetangga. Mudah-mudahan itu akan menjadi silaturahmi, pikir saya. Tapi, saya sangat sedih ketika keesokan harinya saya melihat makanan yang dibagikan sudah ada di tong-tong sampah dalam keadaan tidak tersentuh,” ujarnya. “Tidak banyak masyarakat yang tahu bahwa sebenarnya tak seorang perempuan pun bercita-cita sebagai pekerja seksyang menjual tubuhnya untuk uang. Semuanya semata-mata keterpaksaan. Memang banyak hal yang jadi penyebabnya, tapi tidak ada yang benar-benar menginginkan pekerjaan ini,” tambahnya. Akan tetapi, tekadnya tidak surut, langkah sudah ditetapkan dan jalan sudah dipilih. Ia bersama dengan Ana Sulikah (kini Direktur Bandungwangi), Titin, dan beberapa teman yang sudah dibekali pengetahuan oleh Yayasan Kesuma Bangsa, membentuk sebuah perkumpulan yang diberi nama Bandungwangi. Di dalamnya adalah mereka yang masih aktif maupun sudah pensiun sebagai pekerja seks. Misinya adalah memberikan pengetahuan tentang perlindungan kesehatan reproduksi bagi para pekerja seks. Tentu saja awalnya sangat berat. Lagi-lagi, masalah kepercayaan. Apa yang bisa dilakukan oleh PSK-PSK yang berpendidikan rata-rata rendah ini untuk meyakinkan orang agar percaya pada misinya? “Mereka (para PSK) sering balik bertanya, ‘Kamu sendiri PSK, kok, malah ngasih penyuluhan pada kita?’” katanya menirukan sebagian suara miring yang dialamatkan padanya. Tapi, di sisi lain, statusnya sebagai mantan PSK juga mempermudah ia dan kawan-kawannya di Bandungwangi untuk melakukan pendekatan. Bandungwangi bisa memberikan pengetahuan tanpa menggurui. Mereka belajar bersama, mengeluarkan segala keresahan, dan mencari pemecahan masalah secara bersama- sama. Bila suatu saat kita berkunjung ke Bandungwangi di daerah Pisangan Lama, Jatinegara, Jakarta Timur, kita akan menjumpai beberapa PSK yang sedang mengerjakan “tugas kelompok” mendata teman-temanya di lapangan. Ada juga yang mengurus tabungan atau simpanan yang suatu saat dimanfaatkan para PSK dampingan, kapan pun mereka membutuhkannya. Mereka sangat dekat satu sama lain hampir tak berjarak. Bandungwangi, organisasiyang ia turut membangunnya, kini menjadi organisasi yang dikenal gigih melawan perdagangan perempuan dan anak. Beberapa organisasi pemberi dana dari luar negeri, seperti ICMC (International Chatolic for Migration Commision) dan Save the Children turut menyokong kegiatan Bandungwangi. Keresahannya Kini Ia bukan lagi sekadar mantan PSK, Nur Aziza yang dilahirkan di Jember, 9 September 1973 itu kini adalah seorang manajer program Bandungwangi sekaligus salah seorang anggota Presidium Wilayah Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (KPI). Ibu dari dua anak laki-laki ini juga pegiat yang peduli pada masalah hak-hak perempuan dan anak yang dipekerjakan untuk bisnis seks. Ia diundang ke seminar-seminar, menjadi pembicara, atau menjadi fasilitator dalam berbagai lokakarya dan pelatihan, bukan hanya di tanah air, melainkan juga di luar negeri. Karena tugasnya itu, ia sudah pergi ke India, Malaysia, dan Singapura untuk mengikuti pertemuan-pertemuan internasional tentang perdagangan perempuan dan anak untuk kepentingan bisnis seks komersial. Kepedulian Nur Azizah kini telah berkembang. Ia bukan hanya peduli untuk memberikan pengetahuan tentang kesehatan para pekerja seks. Lebih dari itu, ia juga resah dengan semakin banyaknya jumlah perempuan dan anakyang dilacurkan (AYLA) melalui perdagangan perempuan dan anak. Dalam sebuah obrolan di kantor Bandungwangi, didampingi oleh karibnya, Ana Sulikah, mereka sangat resah dengan terus meningkatnya jumlah perempuan dan anak-anak yang diperdagangkan. Perhatian pemerintah untuk menanggulangi ini tampaknya belum serius meskipun sebenarnya pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Antidiskriminasi terhadap Perempuan Tahun 1984 dan Konvensi ILO No. 111 Tahun 1985 belasan tahun lalu. Indonesia kini menjadi salah satu negara dengan peringkat perdagangan manusia terburuk di dunia, apalagi dengan situasi sosial ekonomi yang tidak kunjung membaik, banyak keluarga yang terpaksa harus mencari nafkah dengan mengerjakan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk, termasuk seks komersial. Perempuan dan anak-anak biasanya menjadi korban. “Dalam sebuah kultur yang menilai anak sebagai aset keluarga, perdagangan perempuan dan anak sangat subur terjadi. Peran orang tua dalam perdagangan anak sangat tinggi. Awalnya orang mungkin hanya menganggap bahwa perempuan dan anak-anak ini tertipu atau dipaksa oleh calo-calo atau makelar yang datang ke desa-desa mereka. Namun, kini orang tua seperti sudah jadi bagian dari jaringan perdagangan manusia ini. Orang tua banyak menjual langsung anak perempuan mereka pada calo bahkan germo. Setiap bulan mereka mengambil uang yang dihasikan anaknya,” jelas Nur Aziza. Hampir setiap minggu mereka kedatangan orang tua PSK yang rata-rata berasal dari Indramayu. Mereka mengambil uang yang dengan susah payah dikumpulkan anaknya. Kini Nur Aziza bersama organisasi Bandungwangi giat keluar masuk desa- desa di wilayah nusantara. Mereka mengadakan diskusi, pelatihan atau lokakarya melawan perdagangan perempuan dan anak. Menurut pengamatannya, setidaknya ada beberapa faktoryang mendorong terjadinya perdagangan perempuan. “Pertama tentu saja kemiskinan. Kedua adalah masalah kultur masyarakat yang patriarkat. Suara perempuan dalam keluarga kurang dihargai. Mereka menjadi bagian dalam keluarga yang harus pasrah menjalankan keputusan yang biasanya ditentukan oleh ayahnya. Ketiga adalah masalah rendahnya pengetahuan perempuan. Ini yang sering menyebabkan mereka tertipu oleh calo-calo yang mengiming-imingi pekerjaan di kota. Pada akhirnya, menjerumuskan mereka sebagai komoditas seks,” papar Nur Aziza. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat memperkirakan jumlah orang yang diperdagangkan mencapai 700 ribu hingga 1 juta orang setiap tahun di dunia. Sepertiga di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. Nur Aziza dan kawan-kawannya di Bandungwangi terus memotivasi masyarakat untuk sama- sama berperang melawan perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak. Mereka kini sedang sibuk menyelenggarakan pementasan teater bertajuk “Anak- Anak Bergincu” ke beberapa tempat di Jakarta dan Indramayu. Tujuannya agar masyarakat sadar bahwa genderang perang terhadap perdagangan perempuan dan anak harus ditabuh bersama-sama. Dari pengalamannya ini, ia mendapatkan satu lagi pelajaran bahwa melawan ketidakadilan tidak bisa dilakukan secara personal, tapi melalui usaha yang teroganisasi. Pelajaran-pelajaran yang ia peroleh dari kehidupannya membuat Nur Aziza sadar bahwa harus ada yang dirombak dalam kehidupan ini. Tapi, ia mengingatkan bahwa perombakan itu tidak bisa didasari oleh angan-angan yang muluk. Ia harus berakar pada pengalaman diri dan pengalaman orang-orang yang akan melakoni perubahan itu. Sebagian pelajaran itu mungkin sudah ia cerna dan ia terapkan secara paripurna. Tapi, ia sedang menjalani kehidupan, pasti akan ada banyak pelajaran baru yang harus ia pahami. Karena menurutnya, hidup itu adalah pelajaran itu sendiri yang paling sukar untuk dimaknai. Ia merasa tidak pernah menyesali langkah-langkah kehidupan yang pernah ia tempuh. Langkah-langkah itulah yang justru membuatnya kini menjadi lebih peduli sesama, sekaligus membuat ia lebih dihargai sebagai manusia. Tentu saja, ia juga menghargai mereka yang masih menjadi bagian dari dunia PSK sebagai manusia. Karena ia peduli, maka ia dan mereka adalah manusia, bukan badak, binatang, atau anonim. (M. B. Wijaksana) Catatan Belakang: Tulisan ini dibuat pada tahun 2003 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 29, 2003 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. ![]() Di Indonesia, profesi bidan masih sangat memegang peran penting. Keberadaannya menjangkau hingga pedesaan yang terpencil. Seringkali karena faktor kedekatan emosi, dan tarif yang lebih murah, bidan lebih dipilih ketimbang dokter kandungan. Namun, jumlah tenaga bidan desa masih berbanding terbalik dengan jumlah wargayang mesti dilayaninya. Sejak tahun 1989, di mana program Bidan di Desa (BDD) kali pertama dicanangkan, jumlah bidan terus menyusut. Dari 62.812 BDD di tahun 2000 menjadi 39.906 di tahun 2003. Kini diperkirakan sekitar 22.906 desa tidak lagi memiliki bidan. Padahal 80% penduduk Indonesia bermukim desa di sekitar 69.061 desa (Profil Kesehatan Indonesia 2000). Dari ketersediaan tenaga bidan yang ada, belum semuanya memahami benar isu gender, bagaimana menjadikan gender sebagai sebuah sudut pandang dalam menerapkan ilmu medisnya. Padahal, profesi bidan sangat berperan, bagi peningkatan derajat kesehatan ibu dan anak. Yayasan Pendidikan dan Kesehatan Perempuan (YPKP), sebuah lembaga yang bergerak di bidang pengembangan pendidikan kesehatan, khususnya Kesehatan Reproduksi (Kespro) perempuan mencoba meng-implementasikan pilot program uji coba integrasi gender dan hak- hak reproduksi ke dalam kurikulum di beberapa sekolah kebidanan. Bagaimana proses pengintegrasian dilakukan, apakah ada kendala dalam proses tersebut? Jurnal Perempuan bertemu dengan Herna Lestari, koordinator program di YPKP dan berikut ini hasil wawancaranya. Jurnal Perempuan (JP): YPKP merupakan salah satu lembaga yang concern dengan isu gender dan pernah berupaya memasukkan isu gender dalam kurikulum di sekolah kebidanan. Waktu itu bagaimana prosesnya? Herna Lestari (HL): YPKP didirikan oleh beberapa pemerhati masalah kesehatan reproduksi. Kita concern dengan tingginya AKI (Angka Kematian Ibu). Artinya, walaupun (angkanya) menurun tapi sebenarnya tidak menurun secara signifikan, kan? Jadi kita ingin bagaimana caranya agar AKI ini tidak terus meningkat tapi justru turun, berkurang secara signifikan karena kita juga sudah komitmen dengan MDGs (untuk) menurunkan angka kematian ibu. Kegiatan kami waktu didirikan tahun 2003 itu selain memberikan beasiswa kepada 90 perempuan dari keluarga tidak mampu yang mempunyai kekerabatan dengan dukun, kami melakukan kerjasama dengan empat sekolah, empat prodi kebidanan dari empat Poltekkes (Politeknik Kesehatan) di Jakarta, Malang, Jambi, dan Bandung. Kami mengembangkan modul, ada sembilan modul yang diintegrasikan dengan isu gender. Karena walaupun Poltekkes-Poltekkes itu mempunyai silabus yang ada aturannya, ada panduannya, tetapi mereka tidak punya modul yang benar-benar bisa dipegang oleh pengajar, menjadi standar untuk pengajar menyampaikan materi. Artinya, kalau dosennya beda, (maka) beda lagi penyampaiannya walaupun topiknya sama. Kami coba bangun, sama- sama bekerja membuat modul. Modul-modul itu sekarang sudah jadi dan sudah diterapkan, beda dengan modul-modul pendidikan selama ini. Kami mencoba mengajak pengajar-pengajar ini untuk lebih interaktif, karena isu-isu gender, kepemimpinan, reproduksi itu tidak bisa diberikan secara teoritis. Kalau cuma teoritis mudah sekali lupa, jadi bagaimana caranya materi itu diberikan secara interaktif, dengan permainan, dengan kasus sehingga mereka lebih bisa mencerna. JP : Bagaimana bentuk penerapannya, apakah isu gender terintegrasi dalam setiap mata kuliah atau ada mata kuliah tersendiri mengenai bahasan gender? HL: Di awal, kita meminta agar materi dalam modul-modul disampaikan kepada penerima beasiswa dari YPKP, tapi pada perkembangannya ternyata sekolah- sekolah menganggap bahwa modul ini cukup baik. Pada ahirnya modul diberikan tidak hanya kepada mahasiswa ini (para penerima beasiswa), sekolah tetap menggunakan modul-modul itu. Interest terhadap modul ini ternyata tidak hanya di sekolah ini saja, sekarang sudah banyak sekolah-sekolah yang meminta kami untuk memberikan pelatihan. Modul tidak berhenti di sini saja, dengan LSM, dengan pemerintah dari Pusdinakes (Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan) waktu itu, kami mengembangkan modul, kami berikan cara penyampaiannya sehingga mereka tahu bagaimana cara menggunakan modul tersebut. Ada dua modul sebetulnya, modul untuk pegangan siswa, dan modul panduan pengajaran untuk dosennya. JP : Seberapa perlunya kurikulum gender bagi para calon bidan? HL: Kami concern dengan angka kematian ibu. Nah, di desa-desa ternyata seringkali masalah-masalah Kespro itu tidak sekedar masalah klinis. Artinya, bukan sekedar, oh, karena pendarahan dia meninggal. Jadi masalah Kespro di desa itu terkait dengan masalah-masalah isu sosial. Di dalam keluarga, karena yang mengambil keputusan adalah bapak, jadi si ibu kalau mau ke Puskesmas atau ke Posyandu, ya, mesti ijin dulu. Kalau mendapat izin ia pergi, kalau enggak, ya enggak pergi. Atau terkadang, di lapangan, ibu-ibu malas bertemu dengan hak provider, karena seringkali hak provider suka judgement. Misalnya, menggunakan kata-kata yang tidak mengenakkan, jadi dia (para ibu) enggan untuk memeriksakan atau melahirkan (melalui) tenaga kesehatan. Mereka merasa diperlakukan tidak sebagai “manusia”. Berbeda dengan, misalnya, ke dukun. Dukun itu seperti ibunya sendiri. Nah, kami melihat itu sebagai isu yang perlu masuk dalam modul-modul. Jadi, ada isu gender bagaimana memberikan pelayanan kepada perempuan, tidak menganggapnya sebagai objek tetapi sebagai manusia, ada unsur sosialnya. JP : Apakah ada hambatan dalam proses mengintegrasikan kurikulum gender ini? HL: Jelas ada. Kami mulai masuk dengan kata-kata gender, kemudian kami berhadapan dengan dosen-dosen yang punya frame sendiri. Padahal gender ini ‘kan kami integrasikan tidak hanya ke (soal) Kesehatan Reproduksi, tapi juga ke (isu) agama. Nah, ke agama ini karena memasukkan isu-isu gender, seakan- akan perempuan itu menuntut lebih dan bertentangan. Jadi tidak mudah. Waktu kami mengadakan pelatihan, ada konflik. Dosen-dosen merasa seperti mau diapain gitu, karena buat mereka isu gender bukan sesuatu yang biasa. Belum lagi jika berhadapan dengan birokrasi, karena ini lembaga institusi pendidikan, jadi kalau meminta kerja sama itu urutannya mesti dari atas dan itu cukup panjang (prosesnya). Walaupun direktur kami Prof. Gulardi cukup disegani oleh bidan-bidan, tapi kami pelaksana hariannya menemukan banyak hambatan. Saya misalnya, kebetulan tidak punya background sebagai bidan atau dokter, itu juga kadang-kadang menjadikan komunikasi agak susah. Jadi banyak sekali hambatannya, tapi pelan-pelan kami bangun dari awal, kami belajar dari kesalahan, mencoba toleransi satu sama lain, ahirnya kami bisa. JP : Bagaimana proses penerapan modul tersebut? Apakah dilakukan oleh YPKP sendiri atau melibatkan pihak lain? HL: Tadinya modul-modul itu kami semua yang mengembangkan. Artinya baik untuk pegangan siswa maupun panduan untuk mengajar, kami sendiri yang menulisnya. Modul untuk siswa sebenarnya berupa bahan bacaan untuk mahasiswa, yang satu lagi panduan untuk pengajar. Ternyata dosen-dosen tidak mudah menerapkan apa yang diolah oleh kami dan LSM, banyak istilah-istilah yang tidak terlalu dimengerti oleh mereka. Akhirnya, kami balik, mereka yang menulis cara pengajarannya, cara menyampaikannya. Selebihnya kami diskusi, ini enaknya pakai film, ini enaknya pakai contoh kasus. Paling tidak dosen dilibatkan dalam pengembangan modul. Gender itu memang isu yang nggak bisa sekali diberikan langsung dipahami. Pertama, kami beri pengetahuan yang basic tentang gender, tentang kesehatan reproduksi, hak-hak reproduksi. Kami beri pelatihan dosen selama sepuluh hari. Kami harapkan dosen ini yang akan menyampaikan materi itu kepada mahasiswa. Selama 10 hari itu responnya banyak sekali. Akhirnya setiap kali ada pelatihan, materi gender itu selalu diulang supaya mereka tetap ingat, lebih memahami, lebih meresapi apa yang dimaksud dengan gender. JP : Bagaimana respon dari para peserta waktu pertama kali ada pelatihan mengenai integrasi kurikulum gender? HL: Waktu pertama kami ajak kerjasama mereka nggak keberatan, senenglah, namanya peningkatan pengetahuan. Tapi pas kami masuk ke materi gender itu memang perlu waktu cukup lama agar mereka memahaminya. Setelah diterapkan, kami datangi, monitor, kami kasih masukan, feedback, selain datang, kami juga memberi form untuk evaluasi, baik kepada dosennya maupun mahasiswa, apakah mereka cukup mengerti dengan materi yang disampaikan oleh dosen atau yang ada dalam buku bacaan. Dari situ kami perbaiki (modulnya). JP : Apakah program ini berpengaruh terhadap pola pikir maupun perilaku baik akademisi maupun para calon bidan? HL: Sampai sekarang ini jauh lebih baik ya. Artinya mahasiwa penerima beasiswa ini memang dari kelompok yang marginal. Anak-anak ini memang kami ingin angkat supaya mereka juga bisa memberikan perubahan di desanya. Termasuk dalam menyampaikan materi ini, mereka datang dari kebutuhan yang berbeda, mungkin dari kecil juga mendapatkan pemahaman perempuan itu seperti apa. Ternyata challenge ini bisa dilalui juga oleh bidan-bidan. JP : Menurut Anda, seberapa besar urgensinya memasukkan kurikulum gender dalam sekolah kebidanan? HL: Perlu sekali. Menurut saya, semacam provider, bidan, dokter, mereka lebih bisa memahami. Walaupun mereka perempuan, kadang-kadang karena tidak tahu gender, dia tidak memahami hak-hak perempuan. Ya, kadang-kadang tidak punya empati, tidak punya simpati. Tapi dengan mengetahui tentang gender, mereka lebih bisa punya empati, tidak diskriminatif. Sejauh ini mereka (para calon bidan) lebih bisa simpati, lebih empati pada perempuan. JP : Sejauh ini bagaimana peran Anda dalam proses integrasi gender? HL: Untuk keseharian saya banyak berhubungan dengan mahasiswa, dengan mitra, tapi bukan berarti saya semua, Prof. Gulardi memegang peran penting. JP : Menurut Anda, bagaimana perubahan antara sebelum dan sesudah dilakukannya integrasi kurikulum gender? HL: Ya jelas berubah sekali. Di awal, pemahaman tentang isu-isu keperempuanan, isu-isu gender masih kurang. Mereka (para siswa di sekolah kebidanan) pada akhirnya melihat bahwa kesempatan itu tidak hanya untuk anak-anak laki-laki tetapi juga untuk anak perempuan, dan mereka (menjadi) lebih percaya diri. Jika pada awalnya mereka mencoba menghindari, seperti tidak punya rasa percaya diri dan kalau berbicara dengan orang cenderung mundur, tapi kini mereka kelihatan smart, lebih berani, lebih bisa mengemuka-kan pendapat. Walaupun ada laki-laki mereka bisa bicara. Yang jelas, mereka lebih trampil dibanding yang dulu. Selain melalui pendidikan, kami juga memberi kesempatan, misalnya kalau ada event-event internasional, mereka persentasi. Dalam Asia Pacific Conference on Reproductive Health of the Malaysia pada tahun 2005, mereka berani melakukan presentasi di depan forum internasional. Termasuk (bahasa) Inggrisnya juga berkembang. JP : Ke depan, apa harapan Anda dengan diintegrasikannya isu gender dalam kurikulum pendidikan? HL: Harapan saya, integrasi gender harus ada, tidak hanya di sekolah kebidanan. Kami mencoba kembangkan tidak hanya di Poltekkes tapi juga di semua akademik bidan di Indonesia. Ini memang membuat mereka lebih bisa melayani perempuan, terutama lebih kepada masyarakat. Seharusnya juga tidak hanya bidan, tapi juga petugas-petugas kesehatan yang lain, misalnya perawat, karena mereka juga berinteraksi dengan masyarakat. Kalau datang ke rumah sakit seringkali kita tidak diperlakukan secara manusiawi. Kadang-kadang kita juga malas datang. Padahal kita itu raja, kita datang dengan membayar, tidak gratis tapi seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak seharusnya, mungkin karena mereka tidak mendapatkan pemahaman. JP : Apakah dengan demikian program integrasi YPKP ini akan meluas tidak hanya ke sekolah kebidanan? HL: Ada usaha juga untuk memasukkan kurikulum gender ini ke (sekolah) kedokteran. Kalau sampai masuk ini hebat sekali. Sekarang ini masih dalam proses, ya, masih mencoba. YPKP ini juga pilot di empat tempat. Sekarang kami mencoba mengembangkan ke luar Poltekkes, jadi yang sudah masuk adalah Nias, Aceh berkaitan dengan tsunami, banyak bidan yang meninggal karena tsunami. Kami membantu dengan membangun calon bidan muda yang posisinya kosong waktu itu. Ke depan kami mencoba memperluas jaringan. Kami ingin empat Poltekkes yang kami bina di Jakarta, Bandung, Malang, dan Jambi ini menjadi semacam centre untuk mengembangkan keteram-pilan bagi mitra-mitra, Poltekkes lain atau akademi bidan lainnya. Isu gender ini bener- bener jadi mainstream, tidak hanya menjadi wacana tapi diterapkan. Untuk sementara ini kami masih concern pada bidan karena bidan sangat potensial, sangat dekat dengan masyarakat dibanding provider yang lain dan mereka yang menjadi ujung tombak kesehatan ibu dan anak. JP : Siapa saja mahasiswa yang berhak mendapat beasiswa YPKP? HL: Mahasiswa ini datang dari 9 propinsi. Dari jambi 18 orang, Riau, dari kecamatan Kepulauan Seribu, dari Banten Jawa Barat, Jawa Timur, NTT, dan NTB. Sebagian dari mereka yang dari luar Jawa itu direkrut oleh pemerintah daerahnya sebagai bidan desa. Ada yang masih dibiayai, masih kontrak, ada juga yang sudah ditetapkan sebagai bidan PTT. Akan tetapi tidak semuanya direkrut karena beberapa (desa) sudah ada bidan. Padahal, anak-anak ini terikat perjanjian dengan YPKP bahwa mereka akan kembali ke desanya. Akhirnya, kami perlebar, sepanjang mereka tidak keluar dari kabupatennya (walaupun tidak di desa asalnya) tidak apa-apa. Belajar dari pengalaman ini, kami ingin Insya Allah ke depan masih ada beasiswa yang dialokasikan kepada sekitar 70-80 orang. Kami mengharapkan partisipasi dari pemerintah daerah. Anak-anak ini kan potensial karena mereka akan punya nilai lebih dibanding mahasiswa yang lain karena sudah mendapatkan pendidikan (gender), memiliki perspektif gender dan sosial. Kalau ada kerjasama dengan pemerintah, anak-anak ini terjamin. Kalau mereka selesai sekolah mereka tahu dimana akan bekerja. Karena yang kami pilih memang daerah-daerah yang angka kesehatan ibunya kurang. Dengan kerjasama, pemerintah daerah bisa berkontribusi untuk meningkatkan kapasitas atau meningkatkan status kesehatan ibu dan anak di tempatnya. Anak ini (mahasiswa) juga akan lebih terjamin masa depannya. Ke depan, YPKP akan tetap memberikan beasiswa tapi tidak seperti dulu. Dulu kan beasiswa mencakup biaya operasional pendidikan, per diem-nya, uang kost, sampai uang buku. Kami berharap, oke, YPKP tetap mendukung uang operasional pendidikan, tapi yang lainnya ditanggung oleh pemda. Kami harapkan dengan adanya peningkatan alokasi dana pendidikan untuk setiap daerah, rasanya ini menjadi suatu hal yang tidak terlalu berat untuk daerah. (Rufiah Padijaya dan Dewi Setyarini) Catatan Belakang: Tulisan ini dibuat pada tahun 2008 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 61, 2008 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. ![]() Meskipun peran Pekerja Rumah Tangga (PRT) sangat besar dalam medorong kehidupan sosial, ekonomi, bahkan politik, nasib para PRT masih sangat mengkhawatirkan. Mereka rawan dengan berbagai tindakan kekerasan dan diskriminasi. Pemerintah sendiri seperti tidak memiliki visi yang jelas untuk melindungi nasib pekerja yang mayoritasnya dilakoni perempuan ini. Usaha-usaha yang telah dilakukan seperti masih jauh panggang dari api. Faktanya, berbagai jenis kekerasan terhadap PRT terus berlangsung. Jurnalis M. B. Wijaksana berkesempatan melakukan wawancara dengan Tati Krisnawati, anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan menggali persoalan-persoalan pokok yang terkait dengan PRT. Jurnal Perempuan (JP): Bagaimana Komnas Perempuan melihat permasalahan Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam hubungannya dengan persoalan perempuan secara keseluruhan? Tati Krisnawati (TK): Dari informasi permukaan yang kita lihat di surat kabar maupun laporan-laporan diskusi, atau ada juga laporan yang agak menyeluruh dari berbagai organisasi masyarakat mengenai Pekerja Rumah Tangga, dapat dilihat bahwa 99% pekerjanya adalah perempuan. Kami melihat bahwa mereka sangat rentan terhadap kekerasan, baik karena lingkup kerja mereka di dalam rumah yang jauh dari pemantauan maupun karena (perlindungan) hukum terhadap mereka hampir tidak ada; apakah sebagai buruh atau sebagai anggota keluarga. Selain itu, masyarakat melihat pekerjaan mereka sebagai bentuk pekerjaan perempuan yang harus dilakukan dengan pengabdian, cinta, kasih sayang, dan sebagainya yang tidak pernah diukur sebagai pekerjaan profesional yang harus dihargai dengan nilai ekonomis. Dengan demikian, Komnas Perempuan melihat bahwa PRT sebagai kelompok masyarakat yang rentan terhadap kekerasan. Karena itu, mandat yang dibebankan pada kami juga akan melingkupi persoalan mereka. JP: Apa yang telah dilakukan Komnas Perempuan untuk mengangkat isu PRT ini menjadi isu publik? TK: Kami memulainya dengan riset pendahuluan, terus kami lakukan Focus Group Discussion (FGD) di lima wilayah. Di Kalimantan kita lakukan di Pontianak, di Sumatra kita lakukan di Lampung, di Jawa Tengah kita lakukan di Yogya, di Jawa Barat kita lakukan di Karawang, dan satu lagi di Mataram. Kita berharap mendapatkan gambaran, apakah ada pola atau keragaman dan spektrum apa yang ada dalam PRT. Dari FGD yang mengundang pihak-pihak, seperti buruh migran, PRT di luar negeri dan di dalam negeri, NGO yang bergerak untuk pendampingan, dan akademis, kita mendapatkan gambaran tiga hal terpenting. Pertama, PRT itu keragaman jenis pekerjaannya sangat luas. Kalau di Depnaker itu ada tujuh elemen yang dimasukan dalam PRT, yaitu cleaning, washing, cooking, baby sitting, dan sebagainya; ternyata kita menemukan komposisi yang lebih luas dan beragam dalam pekerjaan PRT. Kedua, semuanya mendambakan rumusan apa itu “kerja layak” dan ukuran-ukurannya. Memang ada ukuran seperti upah yang layak atau jam kerja yang layak, namun rumusan kerja layak itu sangat beragam berdasarkan pengalaman PRT masing-masing. Ketiga, ternyata dari diskusi atau wawancara yang lebih mendalam, kami menemukan bahwa pendekatan yang diperlukan tidak cukup jika hanya berperspektif hubungan industrial atau hubungan buruh-majikan. Perlu dikaji lebih jauh unsur-unsur positif dari hubungan kekeluargaan atau bentuk-bentuk bargaining yang sifatnya tidak kontraktual, tapi lebih pada kesadaran masing- masing pihak untuk menghargai kontribusi dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. PRT membutuhkan pekerjaan, tempat tinggal, pengayoman, dan sebagainya. Di sisi lain, majikan memerlukan orang yang mereka percaya di rumahnya, privasi, dan lain-lain. Kami ditantang untuk mengembangkan pendekatan yang bukan menggunakan pendekatan buruh-majikan, melainkan ukuran-ukuran lain tentang makna produktivitas atau makna adil bagi semua. JP: Tapi bukankah sulit membayangkan hubungan yang adil antara pekerja dan majikan dalam situasi psikologi yang sudah timpang? TK: Betul sekali, karena tiga persoalan mendasar dalam persoalan PRT ini adalah posisi perempuan dalam masyarakat, perempuan sebagai orang miskin, dan perempuan sebagai PRT. PRT perempuan mengalami tiga jenis diskriminasi. Ini persoalan besar yang membutuhkan revolusi pemikiran tentang hubungan gender antara laki-laki dan perempuan. Jadi, infiltrasinya bukan hanya pemetaan antara buruh-majikan, tapi secara keseluruhan hubungan antara posisi perempuan dalam masyarakat. Jadi, arena “perangnya” besar. Dalam situasi kemiskinan, laki-laki dan perempuan memerlukan kerja ke luar untuk memenuhi kebutuhan pokok, pekerjaan rumah ditinggalkan. PRT-PRT yang bekerja di keluarga lower class, tidak mungkin mendapatkan penghargaan yang layak. Hubungan mereka menjadi hubungan antara orang miskin dan orang miskin. Bisa dilihat sebagai eksploitasi orang miskin oleh orang miskin, bisa dilihat sebagai poverty sharing, bisa juga dilihat sebagai solidaritas. Keunikan akar masalah ini memang harus didekati dengan cara yang kompleks. Penataannya tidak bisa dilakukan dengan tambal sulam, meski bukan berarti penataan hubungan industrial tidak efektif sama sekali. Namun, itu hanya akan efektif di tingkat middle class ke atas. Sementara, di mayoritas orang miskin yang mempekerjakan PRT, ini juga harus dipersoalkan. Mereka tidak memenuhi standar upah karena upah mereka sebagai buruh atau sebagai PNS tidak cukup memenuhi kebutuhan mereka sendiri. JP: Apakah pendekatan yang hanya menekankan pada advokasi PRT telah cukup memadai, sementara yang lebih menjadi persoalan adalah majikan yang tidak mampu menjamin standar kelayakan kerja? TK: Pertama, pendekatannya memang harus multidimensi. Tapi, bagaimana pun, saya percaya dengan beberapa pendekatan yang dilakukan terhadap PRT. Bagaimana PRT merumuskan pekerjaan dia, beban kerja dia, sumbangsih dia pada majikan atau masyarakat. Kesadaran ini akan turut membantu semua pihak memikirkan relasi yang adil dari perspektif pekerja sendiri. Bisa jadi ukuran yang dikembangkan pekerja berdasarkan pengalamannya berbeda dengan para ahli perburuhan di tingkat pabrik. Yang dibutuhkan adalah ruang untuk mendiskusikan proses yang diperoleh oleh PRT untuk didialogkan dengan perspektif lain. Jadi, ini akan menyangkut, misalnya, perbaikan sistem penggajian pegawai negeri atau pekerja lain. Kalau pekerja menuntut upah seperti ini, seharusnya dilihat sebagai usaha untuk mendukung perbaikan upah buruh dan pekerja lain. Seharusnya, ini jangan ditolak oleh para majikan, tapi dijadikan sebagai bentuk dukungan pada perbaikan sistem penggajian. Kedua, mengenai perempuan, bahwa bagaimana pun pekerjaan domestik masih menjadi tanggung jawab tunggal perempuan. Masyarakat melihat ini masih merupakan pekerjaan yang memiliki gender. Ini juga sekaligus menjadikan wacana di masyarakat agar mereka berbagi pekerjaan di antara laki- laki dan perempuan dalam anggota keluarga yang tentu menyangkut perbaikan hubungan perempuan-laki-laki dalam keluarga. JP: Menurut sebuah laporan, ada 2,5 juta PRT. Mereka adalah pekerja informal yang kontribusinya bagi pengurangan angka pengangguran sangat besar. Tapi, mengapa pemerintah belum menganggap PRT sebagai persoalan penting? TK: Saya kira pengambil keputusan pemerintah itu masih mengandung bias gender. Mereka masih tidak melihat pekerjaan domestik memberikan kontribusi sangat berarti bagi kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan kehidupan lainnya. Bias gender yang masih kukuh ini mengakibatkan PRT menjadi tidak dihitung. Tapi, dan ini juga menyedihkan, kalau masalah perda (Peraturan Daerah), mereka eksis. Mengapa eksis? Karena untuk pajak. Jadi, perda yang dibuat itu adalah untuk kepentingan penarikan retribusi dari pendapatan PRT. JP: Ada sebagian orang menilai bahwa persoalan PRT tidak bisa lepas dari terbukanya kesempatan perempuan yang bekerja di ruang publik. Bukankah ini persoalan yang dilematis bagi perempuan? TK: Itu terjadi ketika subjek dalam masalah ini hanya satu, yaitu perempuan, maka terjadi masalah ini. Makanya, ketika perempuan masuk ruang publik, masalah domestik harus dibicarakan bersama laki-laki dan perempuan, bukan diserahkan pada perempuan lagi. Ketika perempuan pergi ke ruang publik hampir semua pekerjaan domestik ini diserahkan kembali pada perempuan. Berarti tidak ada perubahan dalam kerangka domestik-publik pemilahan kerja secara gender. Jadi sasaran kita bersama sebagai masyarakat adalah ruang domestik ini adalah ruang laki-laki dan perempuan. Juga, pekerjaan domestik itu mendapatkan penghargaan yang memadai sehingga perempuan yang menetap di ruang ini tidak ditempatkan sebagai orang terbelakang, tidak dianggap tidak berprestasi, dan sebagainya. Kita harus mengubah anggapan tersebut, bahwa di dunia domestik pun, dihargai sunguh-sungguh, bukan hanya eufemisme. Jadi, tak ada dilema. JP: Tren anak-anak Pekerja Rumah Tangga semakin tinggi, di satu sisi mereka punya hak sebagai anak, sementara di sisi lain keterpaksaan ekonomi membuat mereka memilih pekerjaan tersebut. Bagaimana menurut Anda? TK: Menurut saya, yang pertama adalah tidak adanya ekspolitasi. Jadi, bisa saja seorang anak bekerja untuk satu jenis pekerjaan tertentu dan dia capable untuk pekerjaan tersebut dan dia mendapatkan upah yang layak, dapat mendapatkan ruang untuk aktualisasi. Jika itu terpenuhi, saya tidak akan strict menyatakan tidak boleh. Pilihan sekolah tidak menjadikan orang secara otomatis memiliki ruang aktualisai diri, kalau bekerja pun bisa mengaktualisasikan diri. Untuk saya, yang terutama ukurannya adalah tidak ada eksploitasi. Jadi, kalau ada PRT umur 16—17 tahun dengan perlindungan yang jelas, misalnya, pekerjaan dia memasak saja tidak dicampur segala macam, dia ahli di situ, dia suka di situ, mendapatkan upah yang layak, dan dia bisa mengembangkan pekerjaan menjadi sesuatu yang bernilai, kenapa tidak? Yang penting, tidak ada eksploitasi, ada penghargaan, dan ada ruang buat aktualisasi diri. Yang jadi masalah kita, dia menjadi PRT seumur-umur karena persepsi sosial yang menganggapnya rendah, dia akan jadi rendah selama-lamanya. Yang menjadi concern gerakan perempuan adalah, pekerjaan domestik itu dianggap pekerjaan reproduktif yang dinilai tidak akan ada peningkatan, padahal belum tentu, misalnya saja, tentang memasak; makan apa saja yang sehat, bagaimana agar memasak tetap menjaga vitaminyang dikandungnya, dan lain-lain. Itu, kan, proses pengetahuan yang dapat dikembangkan. Bagaimana pun soal makanan adalah masalah esensi yang sering tidak kita perhitungkan. Jadi, pendekatannya bukan hanya soal pendekatan upah, melainkan juga soal bagaimana kualitas kerja, relasi sosial, atau soal relasi dengan kehidupan. Pelecehan terhadap mereka ini harus dibongkar, bahwa setiap orang, siapa saja punya tanggung jawab bagi perbaikan dirinya dan masyarakat. (MB. Wijaksana) Catatan Belakang: Tulisan ini dibuat pada tahun 2005 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 39, 2004 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. ![]() Dalam sambutannya di sebuah buku panduan Pastikan Partai Anda jadi Pilihan, Sri Redjeki Sumaryoto, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia mengatakan, “Tingkat partisipasi perempuan dalam perumusan, pengambil, dan penentu keputusan untuk kebijakan publik masih sangat rendah. Hal ini tercermin dari jumlah perempuan yang berada pada posisi strategis, baik pada bidang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Kondisi ini mengidentifikasikan pada kita bahwa peran politik perempuan masih belum maksimal. Sebagai dampaknya, banyak kebijakan dan program pembangunan yang ditujukan kepada perempuan masih belum peka gender, yaitu belum mempertimbangkan perbedaan pengalaman, aspirasi, dan kepentingan antara perempuan dan laki-laki, serta belum menetapkan kesetaraan dan keadilan gender sebagai tujuan dan sasaran akhir pembangunan.” Kalimat yang diutarakannya ini merepresentasikan bahwa periode Kabinet Gotong Royong di bawah pimpinan Presiden Megawati belum selesai menjawab persoalan-persoalan perempuan dalam tahap kebijakan dan partisipasi politik perempuan. Belum lagi persoalan lainnya yang tak kalah mendesak, seperti kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan perempuan, serta masalah buruh migran. Melalui berbagai kebijakan, negara diharapkan menunjukkan perhatian dan komitmennya yang sungguh-sungguh untuk mengeluarkan perempuan dari ketertindasannya secara sosial, ekonomi, dan politik. Jurnalis Junal Perempuan, Mariana Amiruddin dan M. B. Wijaksana mewawancarai Sri Redjeki Sumaryoto untuk menggali lebih jauh masalah ini. Jurnal Perempuan (JP): Apa penilaian Ibu tentang lima tahun pemerintahan Megawati dalam memberdayakan perempuan? Sri Redjeki Sumaryoto (SRS): Sebenarnya saya tidak bisa melakukan penilaian sebab saya bagian dari Kabinet Megawati, Kabinet Gotong Royong. Dalam kabinet ini ada tujuh program atau agenda yang harus saya laksanakan. Pertama, penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, memberikan arah pada agenda reformasi. Bangsa kita sudah memiliki keputusan ke arah demokratisasi yang jelas dan tertuju pada kesejahteraan bagi masyarakat. Masyarakat di sini termasuk perempuan sebagai subjek yang harus ikut terlibat karena jumlahnya yang besar. Saya kalau ke daerah-daerah tidak lupa memberi imbauan agar perempuan tahu tentang agenda reformasi. Ketiga, adanya peranan negara dalam memberdayakan perempuan. Saya sendiri masuk dalam siklus lima tahunan, dalam periode ini ada tiga menteri yang berperan, yaitu Tuty Alawiyah, Khofifah Indar Parawansa, dan saya sendiri. Kementerian ini sudah berdiri sejak tahun 1978, berarti sudah berjalan sekian tahunsebelumnya. Posisisayadi sini melanjutkan tugas mereka memberdayakan perempuan melalui kebijakan yang saya keluarkan. Kebijakan tersebut harus sesuai dengan isu yang sedang berlangsung, terutama pada saat periode saya. Keempat, merealisasikan komitmen kita tentang nasib perekonomian bangsa ini berdasarkan pada kerakyatan, termasuk masalah Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Ketika saya masih duduk sebagai badan pekerja di legislatif, saya tidak luput melahirkan kebijakan mengenai KKN ini. Bagi saya, ini salah satu amanat reformasi yang harus direkomendasikan kepada pemerintah pada waktu itu. Keenam, politik luar negeri bebas-aktif, dan ketujuh adalah menyukseskan Pemilu 2004. Kabinet Gotong Royong yang tidak penuh selama lima tahun saya jalani ini hasilnya tidak begitu kelihatan. Kenyataannya, memang agenda-agenda reformasi tidak sepenuhnya tercapai. Akan tetapi, dengan diselenggarakannya pemilu saat ini, ternyata masyarakat kita tidak bodoh. Mereka semakin kritis, menuntut sesuatu yang realistis, yaitu rasa aman dan masa depan yang lebih jelas. JP: Apa yang membuat agenda-agenda tersebut sulit terlaksana? SRS: Pertama, kita masih mengalami krisis ekonomi, kedua tidak mudah melakukan sesuatu di tengah-tengah dan sudah menjelang akhir seperti posisi saya sekarang ini yang tidak penuh lima tahun. Namun, kita perlu ingat bahwa adanya kementerian ini sebetulnya sudah menunjukkan komitmen negara tentang pentingnya pemberdayaan perempuan. Kenyataannya, kita memang mengalami hambatan-hambatan, seperti faktor budaya, pemahaman, dan operasional. Maka, bila kita melakukan suatu upaya untuk melakukan gerakan masyarakat untuk menurunkan angka kematian ibu akibat melahirkan, misalnya, itu tidak semata-mata dilakukan oleh kementerian ini, tetapi juga departemen-departemen lain yang langsung menangani persoalan tersebut. Kerja kita memang tidak kelihatan, karena tugas kitaadalah membuat kebijakan dan berkoordinasi dengan sektor. Kita bisa bermitra dengan pihak lain seperti LSM, misalnya, dalam mengadvokasi, memfasilitasi mitra kita tersebut dalam melakukan sosialisasi kebijakan yang kita keluarkan. Hambatan ketiga adalah dukungan dana yang terlalu kecil. Bila kita lihat berapa jumlah dukungan anggaran yang diberikan pada kementerian ini dikaitkan dengan banyaknya isu yang harus kita selesaikan, tentunya sangat kecil. Padahal, isu-isu tersebut menyentuh persoalan-persoalan mendasar perempuan. Kementerian lain bicara triliunan, kita bahkan tidak sampai 50 miliar. Keempat, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan memiliki keterbatasan dalamhaloperasional.Akibatnya,operasional harusditujukanpadadepartemen- departemen. Namun, departemen-departemen kita masih menganggap isu perempuan tidak penting atau tidak menjadi prioritas. Mereka masih melihat persoalan lain lebih berarti daripada masalah mendasar perempuan. Mungkin kalau Anda mengikuti bagaimana perjalanan kabinet ini, prioritas utama adalah recovery (pemulihan) ekonomi, (menyelesaikan) persoalan negara ini dengan IMF, dan masalah keamanan di beberapa daerah konflik, walaupun dua persoalan itu pasti ada dampaknya juga bagi perempuan. Saya mengatakan, prioritas bagi perempuan harus kita perjuangkan dan tidak boleh bosan untuk berhenti menyampaikan atau memberi suatu usulan supaya tetap menjadi isu yang harus segera diselesaikan. Banyak sekali masalah-masalah yang belum terselesaikan di tengah kita, belum lagi dengan pemerintahan baru yang pasti punya kebijakan baru, orang-orang baru, atau bahkan kementerian ini yang mungkin saja dianggap tidak dibutuhkan lagi. JP: Rancangan Uundang-Undang KDRT sudah lama dibuat sejak tahun 1999, tetapi sampai sekarang belum dibahas, begitu pula dengan persoalan buruh migran. Mengapa? SRS: Memang dua persoalan itu harus kita lakukan secara serentak dan menjadi prioritas kita untuk tahun 2004 ini. Karena itu, ada tiga yang menjadi target utama kita untuk mengeluarkan undang-undang, yaitu KDRT, perdagangan perempuan dan anak, serta buruh migran. JP: Setelah pemilu dan diikuti pergantian dewan, akankah pembahasan Rancangan Undang-Undang itu kembali dari awal sehingga pengesahan undang-undang tersebut menjadi semakin sulit? SRS: Saya masih optimis, karena itulah yang saya bayangkan dan kemukakan setiap kali ada pertemuan di kementerian ini. Saya memahami bagaimana kondisi dewan karena saya cukup lama di sana. Saya sudah bilang teman-teman di sini bahwa kita harus komitmen pada hal-hal yang sudah disepakati, terutama agenda-agenda yang telah disebutkan tadi walaupun pemilu sudah dilakukan. Kita sudah mengikat mereka (DPR). JP: Strategi apa yang dilakukan kementerian ini untuk mengikat anggota DPR? SRS: Sebelum pemilu, kita sudah lakukan lobi terus-menerus dan minta suatu komitmen bahwa nanti penyelesaian beberapa undang-undang yang berkaitan dengan persoalan mendasar perempuan ini, tidak tergantung kepada hasil pemilu 2004. Kita tahu bahwa DPR masih sama, begitu juga dengan orang- orangnya, dan mereka (DPR baru) akan dilantik Oktober 2004, jadi DPR lama masih punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. JP: Bagaimana Anda bisa optimis hasil pemilu sekarang ini akan tetap meneruskan agenda-agenda yang sudah ditetapkan? SRS: Sekali lagi, saya optimis. Namun, saya juga tidak mungkin optimis tanpa bantuan pihak lainnya, terutama dalam kementerian ini. Karena itu, saya mengajak teman-teman lainnya, seperti LSM perempuan, bahwa masalah pemberdayaan perempuan ini masih belum selesai. Kita membuat komitmen yang kuat untuk diajukan ke pemerintah yang akan datang terhadap program- program pemberdayaan perempuan. Kita aktif seperti itu bukan supaya kementerian ini tetap eksis, melainkan adanya data yang menunjukkan bahwa posisi perempuan Indonesia masih lebih buruk daripada laki-laki. Bagaimana kita mau membangun negara kita bila yang satu berada di bawah yang lain? Saya pun berharap persoalan ini diopinikan pula oleh teman-teman LSM. JP: Bagaimana bila pemerintahan yang akan datang tiba-tiba melikuidasi (meniadakan) Kementerian Pemberdayaan Perempuan? SRS: Kita sudah membuat satu tim kelembagaan, mencoba untuk mengkaji dan melobi serta merumuskan beberapa alternatif, salah satunya kalau terjadi likuidasi itu. Maka, apa pun yang terburuk terjadi, tetap kita berharap agenda- agenda perempuan itu tidak dilupakan. Saya minta supaya ada kalender kerja untuk semua hal yang kita lakukan di kementerian ini dan kita ajukan kepada calon-calon presiden. Itu salah satu strategi kita untuk menghadapi kemungkinan terburuk. JP: Siapa yang paling kecewa kalau kementerian ini dilikuidasi? SRS: Banyak sekali, di antaranya masalah perempuan semakin tidak menjadi perhatian. Misalnya, setiap kebijakan kita selalu mengajukan strategi pengarusutamaan gender yang kita sosialisasikan dan kampanyekan. Bila kementerian ini sudah tidak ada, ya, sudah, mereka tidak peduli apakah laki-laki ataupun perempuan. Mereka tidak mengerti dampaknya terhadap perempuan Indonesia, mereka tidak mengerti itu, termasuk tidak ada harapan terlaksananya kebijakan pengarusutamaan gender di daerah-daerah. Paling berat buat kita adalah komitmen kita pada dunia internasional yang tidak bisa kita bebankan padadepartemen lain. Setiapkali kementerian harus memberikan laporan tentang kondisi perempuan di negara ini. Itulah argumen kita soal pentingnya keberadaan Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Kita juga membuat penelitian seberapa besar masyarakat membutuhkan kementerian ini. Kelihatannya hasil dari sampling kita ini cukup bagus, perempuan memiliki tempat untuk mengadukan persoalannya. Makanya, kita harus siapkan, sosialisasikan manfaat dan pentingnya kementerian ini. Tidak mungkin orang membela kita kalau kita tidak pernah membela mereka. JP: Anda yakin akan dibela? SRS: Sebab begini, ketikasaya masih di DPR, beberapa kalisayaselalu bicara tentang pentingnya kementerian ini, pada saat siklus lima tahunan atau pemerintahan baru akan terjadi. Kementerian ini sering kali menjadi pertanyaan pada saat menjelang pemerintahan baru. Kita dengan sendirinya mengatakan, “Wah, enggak benar ini kalau Kementerian Pemberdayaan Perempuan tidak ada.” Kita bicara begitu tanpa diminta oleh menterinya sendiri pada waktu itu. Kita sadar persoalan perempuan harus diselesaikan pula melalui kebijakan. Tanpa kementerian ini, tidak mungkin hal itu bisa dilakukan. (Mariana Amiruddin dan MB. Wijaksana) Catatan Belakang: Tulisan ini dibuat pada tahun 2004 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 35, 2004 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. ![]() Seorang anak bertanya pada ayahnya, “Ayah, ibuku ada di mana? Aku rindu ingin melihatnya.” Sang Ayah hanya menunjuk sebongkah batu dan berkata, “Itu ibumu, peluklah dia jika kamu merindukannya.” Pertanyaan itu terus diulang setiap kali anak itu teringat akan ibu. Jawaban sang Ayah tetap sama, “Batu itu ibumu.” Ia bertanya pada semua orang, tetangga, saudara, pembantu, dan teman sepermainannya, jawaban mereka juga sama, “Batu itu adalah ibumu.” Setiap kali ia teringat ibu, ia peluk batu itu erat-erat. “Aku ingin melihat ibu. Teman yang lain punya ibu, saya tidak,” katanya pada batu itu diiringi isak tangis. Itulah pengalaman Maftuchah Yusuf ketika kecil. Ia terpaksa harus berpisah dengan ibunya saat berusia baru sepuluh bulan karena orang tua mereka bercerai. Sejak itu pula pencarian sosok ibu tidak pernah berhenti. Maftuchah pernah dirawat oleh Mbok Kromo di Boyolali, tempat kelahirannya, yang ia kira ibunya. Setelah lepas dari si Mbok, ia disayang oleh guru-guru Belanda di sekolahnya, dan kemudian ia menganggap mereka itulah ibunya. Kehilangan sosok ibu sejak belia tentu saja menyedihkan. Tapi, itu bukan alasan untuk membuat hidup menjadi hancur. Lalu, siapakah Maftuchah Yusuf? Mungkin bagi orang awam namanya tidak cukup dikenal. Namun, bagi koleganya, rekan sejawatnya, dan mahasiswa bimbingannya, sosok ini teramat istimewa. Maftuchah Yusuf bukan saja guru besar di Universitas Negeri Jakarta (dulu bernama IKIP Jakarta), Universitas Trisakti, dan Universitas Muhammadiyah Jakarta. Maftuchah juga sosok guru yang berdedikasi besar pada pendidikan dan ilmu pengetahuan. Enam puluh tahun lebih dari usianya ia baktikan sebagai guru. Sebelum menjadi guru besar, ia telah melewati pengabdiannya sebagai guru kecil, guru sedang, hingga gelar profesor yang kini berhak disandangnya. Di usianya yang menginjak 83 tahun ini, Maftuchah Yusuf terus berkarya dan tidak pernah menyerah pada “hukum alam” atas usianya yang terus bertambah. Ia terus mengajar di Universitas Trisakti, Universitas Muhammadiyah, dan Universitas Negeri Jakarta hingga kini. Dia juga masih aktif di berbagai organisasi masyarakat dan perempuan. Maftuchah adalah anggota World Confference on Peace and Religion, Kepala Lembaga Pembinaan dan Kelestarian Lingkungan dan Penghijauan (Universitas Trisakti), dan masih menulis buku. Keberanian Maftuchah untuk menjalani kehidupan tanpa kenal menyerah ia buktikan beberapa kali. Pada usia 31 tahun, dua kelenjar adrenalinnya harus diangkat. Dokter menemukan tumor di kedua kelenjar adrenalin tersebut. Para dokter di University of Medical Centre and The Methabolic Research Unit malah memvonis bahwa Maftuchah hanya akan bertahan sepuluh tahun lagi. Tentu saja kesimpulan dokter ini sangat memukul perempuan kelahiran Boyolali, 10 Juni 1920 ini. Ia memang sempat putus asa, tapi karena dorongan suaminya, (alm.) Teuku Yusuf (mereka menikah tahun 1947) yang terus memberinya semangat, semua kenyataan itu ia hadapi dengan berani. “Life goes on. Hidup saya tidak boleh berhenti karena penyakit ini. Begitu pikir saya saat itu. Meskipun untuk bertahan hidup, saya harus menelan pil hidrocortison setiap hari,” kata doktor bidang pendidikan kependudukan ini. Cobaan lainnya pernah juga ia lewati. Setelah menyelesaikan Hollandsch Inlandse School (HIS) Muhammadiyah, ia melanjutkan ke Hollandsch Inlandse Kweekschool (HIK) atau Sekolah Guru Atas di Solo tahun 1936. Saat itu, sangat sedikit perempuan yang bisa sekolah sampai jenjang pendidikan setinggi HIK. Selain disebabkan masalah kesulitan ekonomi, pola budaya saat itu membuat perempuan harus menerima kenyataan untuk dikawinkan pada usia muda. Kedua kakak perempuannya sudah menikah pula di usia 12 tahun. Ia sendiri sebenarnya sudah diminta menikah, tetapi ditolaknya permintaan ayahnya itu. Maftuchah ingin terus bersekolah. Tentu butuh keberanian besar untuk menolak perintah menikah pada zaman itu, apalagi ayahnya adalah pengurus pesantren sekaligus penghulu di desanya. Tahun ketiga di HIK, Maftuchah berhasil mengambil diploma. Tapi, uang kiriman ayahnya mulai seret. Saat itulah ia memutuskan untuk keluar sementara dari HIK dan mengajar di sebuah Sekolah Dasar di Salatiga. Ia mengajar dari pagi hingga siang hari. Maftuchah belajar sangat keras, terkadang hingga dini hari, dan rutinitas itu ia jalankan selama beberapa tahun. Dan, badannya tidak mampu menyanggah cara hidupnya itu. Beberapa kali ia pingsan hingga ayahnya menjemput. Ia pun dirawat di sebuah rumah sakit di Mojokerto. Kondisinya waktu itu sangat mengkhawatirkan. Akibat demam tinggi selama beberapa hari, ia menjadi terlihat seperti orang linglung. Menurut pengakuannya, beberapa kali ia mencoba untuk mengakhiri hidup dengan berbagai cara. Pernah ia memakan cairan raksa yang ada dalam termometer. Pernah pula ia memakan biji sawo untuk merusak usus-usus dalam tubuhnya. Maftuchah putus asa. Ayahnya nyaris membawa gadis yang sebelumnya sangat bengal ini ke rumah sakit jiwa. Beruntung seorang laki-laki berdarah Arab berhasil ikut menyelamatkan jiwa Maftuchah. Ketika selamat, keinginannya hanya satu, ia ingin mengikuti ujian di HIK yang tinggal beberapa hari lagi. Ayahnya yang telah berjanji untuk memenuhi segala keinginan jika ia sembuh, terpaksa mengabulkan permintaan Maftuchah putri tercintanya meskipun ia tahu anak itu belum benar-benar sehat. Dengan kondisi badan yang belum pulih, ia mengikuti ujian HIK di Solo dan ia berhasil lulus sekolah. “Jangan bayangkan ujian zaman Belanda dengan Ujian Akhir Nasional di zaman sekarang. Zaman dulu, ujian itu benar-benar menentukan kelulusan seorang murid. Soal-soalnya luar biasa sukar dan tidak bisa dipelajari dengan sistem kebut semalam seperti mahasiswa sekarang,” tuturnya. Dari 28 peserta yang mengikuti ujian, hanya tiga orang yang lulus. “Padahal, hanya saya sendiri yang belajar di rumah, dua lainnya belajar di sekolah,” kata Direktur Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah ini. Tahun 2000 lalu saat merayakan ulang tahunnya yang ke-80, Maftuchah meluncurkan tiga buku secara bersamaan, antara lain Mencipta Generasi Membangun Bangsa, Peran Perguruan Swasta dalam Pembangunan, dan Pendidikan Kependudukan dan Etika Lingkungan. Buku-bukunya sekaligus menegaskan perhatiannya yang sangat besar pada masalah-masalah pendidikan, lingkungan hidup, dan perempuan. Pendidikan, Lingkungan Hidup, dan Perempuan Maftuchah Yusuf dikenal sebagai orang yang sangat tegas dan lantang saat bersuara. Pemikiran-pemikirannya diakui sangat lugas dan jelas. Saat ditanya soal mutu pendidikan Indonesia, tanpa segan-segan ia mengatakan, “Pendidikan di Indonesia malah membodohkan. Hal ini disebabkan karena ketidakjelasan orientasi pendidikan. Sistem pendidikan kita tidak memiliki empat pilar yang dibutuhkan.” Lebih lanjut ia menjelaskan keempat pilar itu, learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. “Sistem pendidikan kita hanya text book, sekadar memenuhi ketentuan kurikulum,” katanya. Itulah sebabnya mengapa hasil pendidikan kita melahirkan orang-orang yang tidak kreatif dan tidak toleransi. Tak heran bila sistem pendidikan kita gagal untuk membangun character and national building. Ketiadaan pembentukan karakter dan semangat kebangsaan inilah yang menimbulkan berbagai peristiwa konflik SARA. “Orang tidak lagi toleran terhadap kelompok atau masyarakat lain. Orang tidak lagi mampu melihat sisi baik seseorang,” ujarnya prihatin. Menurut mantan Presidium IKIP Jakarta tahun 1966—1967, fungsi pendidikan di Indonesia sudah direduksi menjadi instrumen untuk mendapatkan pekerjaan, untuk bertahan hidup, padahal fungsi pendidikan yang lainnya adalah mempertahankan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan lingkungan. Rendahnya tingkat pendidikan ini yang menjadi penyebab berbagai kerusakan lingkungan. Cemas dengan kondisi lingkungan hidup di Jakarta khususnya, Maftuchah menjadi salah seorang yang merintis pendirian Lembaga Pembinaan Kelestarian Lingkungan dan Penghijauan (LPKLP) di Universitas Trisakti. Lembaga ini bergerak dalam pembinaan kelestarian lingkungan melalui penelitian dan penghijauan serta pendidikan dan pengabdian pada masyarakat. Salah satu kegiatan yang dilakukan lembaga ini adalah memperkenalkan para pemulung di Jakarta dengan Teknologi Efektif Mikroorganisme. Maftuchah dan kawan-kawannya melatih mereka agar mampu memanfaatkan sampah menjadi pupuk organik yang bermutu dan bermanfaat secara eknomis. Berkat aktivitasnya dalam dunia persampahan itulah, beberapa waktu lalu gubernur Jakarta Sutiyoso memberinya gelar “Profesor Sampah”. Dunia perempuan pun tak luput dari perhatiannya. Maftuchah adalah salah satu pendiri Komisi Nasional Kedudukan Wanita Indonesia (KNKWI). Dalam kapasitasnya sebagai pendiri organisasi perempuan, ia diundang untuk mengikuti International Women Confrence di Mexico City dan Kopenhagen. Namun, Maftuchah tetap prihatin dengan situasi perempuan Indonesia. Masyarakat kita yang patriarki telah melakukan domestikasi perempuan pada posisi-posisi tidak menguntungkan. Berabad-abad perempuan diposisikan pada sebuah citra baku 3M, masak, macak, dan manak (memasak, bersolek, dan beranak). Ia menganjurkan agar perempuan terdorong untuk memiliki 2M, yaitu makarti (memiliki ilmu pengetahuan) dan mandiri. Makarti berarti bahwa perempuan harus memiliki ilmu pengetahuan supaya ia bisa berbakti pada masyarakat, sementara mandiri mengandung makna memiliki sikap dan tidak tergantung pada siapa pun, termasuk suami. Maftuchah tidak habis pikir mengapa seorang perempuan mau dipoligami suaminya karena alasan-alasan ekonomi dan agama. “Itu terjadi karena perempuan secara ekonomi sangat tergantung pada suami. Sementara pengetahuan mereka tentang agama sangat rendah. Makanya, mereka pasrah saja ketika suami mereka meminta izin untuk menikah lagi,” jelasnya. Di luar semua itu, ia menganggap bahwa poligami adalah proses dehumanisasi perempuan. Ia sangat kuat memegang prinsip bahwa laki-laki yang berpoligami bukan lagi manusia. Sebabnya, laki-laki yang melakukan poligami telah merendahkan harkat perempuan menjadi sebuah layanan jasa seks atau sebuah milik pribadi. Tidak tanggung-tanggung, kata-kata ini pernah ia ucapkan dalam sebuah sidang di PBB. Tentu bukan hal yang mudah untuk mewujudkan 2M ini. Karena meski sederhana, prinsip ini berkonsekuensi sangat luas. Menurutnya, pola pembangunan manusia Indonesia seutuhnya harus menyentuh aspek ini. Hak dan kewajiban perempuan jangan dibedakan dengan laki-laki. Salah satu caranya adalah dengan memberikan peluang untuk memperoleh pendidikan secara adil. “Melihat jumlah perempuan yang sangat banyak tapi tidak sebanding dengan kualitasnya, siapa pun akan mudah menilai bahwa ada yang salah dari konsep pembangunan kemanusiaan yang telah dijalankan Indonesia,” ujar penerima Bintang Jasa Utama Nararya tahun 1995 ini. “Buat Orang Lain Bahagia, Setidaknya Satu Orang Setiap Hari” Salah satu yang paling membuatnya sedih selama hidupnya adalah ketika ia ditinggal suami tercintanya, Teuku Yusuf pada 1983. Kepergian sang suami membuatnya merasa kehilangan separuh jiwa dan raganya. Kadang terlintas untuk segera menyusulnya. Beban batinnya ketika itu sangat berat sampai ia jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Untunglah, ia segera ingat pada Tuhan yang selama ini telah melindunginya. Maftuchah menyadari betul semua ujian hidupnya bisa ia lalui karena pertolongan Tuhan. Tiada kata yang paling sering ia ucapkan, kecuali bersyukur bahwa Tuhan telah melindungi seumur hidupnya. Beberapa kali selama wawancara, perempuan yang dibesarkan dalam lingkungan pesantren ini mengucap syukur atas berkah yang diberikan Tuhan selama ia mengarungi kehidupan yang tidak ringan ini. Wujud syukurnya pada Tuhan ia buktikan dalam prinsip hidupnya yang sangat dikenal rekan-rekannya. “Buat orang lain bahagia, setidaknya satu orang saja setiap hari. Pilih orang yang terdekat dalam hidup Anda, bisa ibu, ayah, anak, atau istri. Membuat mereka bahagia, berarti membuat hidup kita jadi lebih bermakna,” tuturnya. Melihat apa yang sudah diperolehnya saat ini, Maftuchah bisa jadi bukan telah membuat satu orang bahagia setiap hari, melainkan lebih dari itu. Keempat putra-putrinya sangat bangga pada sang Ibu, koleganya bahagia bekerja bersamanya, mahasiswanya bahagia karena pernah dibimbing sang guru, orang-orang lemah di sekitarnya bahagia karena bantuan perempuan ini telah membuat hidup mereka menjadi lebih baik. Tapi, sekali lagi, ia merasa belum saatnya untuk berhenti berkarya. Maftuchah mewarisi sifat ibunya, tangguh bagai batu! (M. B. Wijaksana) Catatan Belakang: Tulisan ini dibuat pada tahun 2003 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 30, 2003 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. |
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |