Gejala semakin mencuatnya perempuan-perempuan penulis menandai adanya kebebasan ruang gerak perempuan untuk menulis apa saja. Fenomena ini berkembang menjadi apa yang disebut “sastra perempuan” atau “gaya penulisan perempuan”. Perempuan menuangkan segala pikiran, imajinasi, ide, dan pengalamannya ke dalam tulisan dan kemudian dibaca oleh banyak orang. Proses perjalanan sastra perempuan tidak dapat lepas dari kendala-kendala yang mereka hadapi, terutama berkaitan dengan ukuran bahasa atau konvensi, gaya penulisan, editing, publikasi, dan promosi. Banyak sejarah kesusastraan di berbagai negara yang tidak merekam perempuan pengarang. Bagaimana perempuan harus melawan segala tantangan ini dan pada akhirnya dapat mencuat seperti yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Berikut ini petikan wawancara jurnalis Jurnal Perempuan dengan Melani Budianta, seorang pengajar Sastra Inggris di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia yang sekaligus dikenal sebagai seorang kritikus sastra[1]. Jurnal Perempuan (JP): Bagaimana menurut Anda proses perjalanan sastra perempuan dari tahun ke tahun? Melani Budianta (MB): Kita harus melihat bahwa sastra adalah suatu kegiatan tulis menulis kreatif yang disosialisasikan melalui media ke masyarakat umum. Banyak produk-produk tulisan ini yang dijual ke masyarakat umum. Lalu, mengapa masalah perempuan dipersoalkan? Di berbagai negara ada gejala umum, kurang terekamnya kegiatan tulis-menulis perempuan dalam sejarah kesusastraan, baik dalam bentuk publikasi yang formal maupun yang diakui oleh kritikus sastra. Padahal, banyak perempuan yang sangat aktif di bidang ini. Di sinilah muncul pertanyaan tentang apa yang menjadi kendala. Kalaupun para perempuan memproduksi karya sastra, apakah berbeda dengan yang ditulis oleh laki-laki? Memang ada kendala-kendala yang bersifat kultural maupun sosial sehingga aktivitas kesenian kesusastraan perempuan ini kurang terekam. Kendala-kendala itu berkaitan dengan kondisi perempuan di dalam masyarakat secara umum. Misalnya, perempuan berteater pada zaman dan konteks masyarakat tertentu secara normatif tidak bisa diterima. Dalam kesusastraan Amerika tahun 1890-an, banyak sekali perempuan berperan aktif menulis dan mempublikasikan karyanya di media massa. Tetapi, sejarah sastra tahun 1960-an hanya merekam sastrawan laki-laki. Mengapa? Pertama, kritikus sastra pada waktu itu kebanyakan laki-laki. Editor majalah sastra dan pengajar sastra akademis kebanyakan juga laki-laki. Kedua, kurang terwakilinya perempuan dalam struktur yang menangani bidang kesusastraan. Maka, acuan yang dianggap baik dan bernilai tinggi diproduksi oleh suatu kelompok yang sangat terwarnai bias patriarki. Maka, kesusastraan yang dianggap hebat pada waktu itu ialah yang sangat menampilkan ruang publik, masalah-masalah umum dan sosial. Sedangkan, perempuan di era ini aktivitasnya di ruang publik masih terbatas atau memang dibatasi. Jadi, pengalaman hidup mereka sendiri sangat terbatas pada ruang domestik. Maka, kalau perempuan menulis, mungkin yang diceritakan adalah hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari. Akibatnya, ketika pengalaman ini dituliskan dalam kesusastraan, menjadi dianggap remeh, kecil, dan kurang bernilai tinggi. Bila ada pun, mereka menyamarkan namanya menjadi nama laki-laki. Perempuan yang masuk dalam medan yang didominasi oleh struktur seperti ini banyak menghadapi masalah. Jadi, untuk menyuarakan apa yang dianggap penting bagi perempuan, kurang didukung. Di Amerika, di tahun ‘70-an ketika maraknya gerakan-gerakan perempuan pada waktu itu, muncul kritikus-kritikus perempuan yang mulai mengangkat permasalahan ini. Perempuan kritikus ini kemudian mulai menulis kembali sejarah kesusastraan dengan menemukan kembali perempuan-perempuan penulis yang terkubur. Lalu, mereka mencoba mengangkat apa sebetulnya nilai yang bisa disumbangkan oleh para penulis ini. Dan, ternyata menarik sekali apa yang mereka ungkapkan. Kemudian mereka mempertanyakan kembali, seperti apakah tradisi penulisan perempuan? Apakah ada pola-pola tertentu, gaya tertentu yang memang berkaitan, bukan karena dia perempuan secara esensial yang tulisannya demikian, melainkan karena hidup yang terkungkung dan terkotak-kotak, pengalaman-pengalamannya sebagai perempuan, seperti melahirkan dan sebagainya. Hal-hal apa yang secara khusus bermakna bagi para perempuan penulis dilihat dari generasi penulis yang satu ke generasi yang lain. Tradisi ini memang harus terus dibangun, karena tidak ada yang lahir dengan sendirinya. JP : Bagaimana sastra perempuan mempengaruhi gerakan perempuan? MB: Karya-karya perempuan yang disampaikan dan ditulis di dalam buku-buku ini pada akhirnya dibaca oleh masyarakat luas. Paling tidak, pembaca menghayati pengalaman yang ditulis itu, yang menjadi inspirasi bagi perempuan lainnya. Jadilah pengalaman perempuan yang tersuarakan dalam masyarakat. Suara ini menjadi inspirasi bagi perempuan lainnya, juga bagi kaum laki-laki yang selama ini tidak pernah terpikirkan oleh mereka. JP : Bagaimana signifikasi sastra perempuan bagi gerakan-gerakan perempuan di Indonesia? MB: Kita banyak mengenal sastrawan perempuan yang aktif sejak awal, seperti Selasih, perempuan pertama yang novelnya terbit di Balai Pustaka. Ia tidak sebatas menulis sastra, dalam aktivitasnya sehari-hari ia juga banyak memperjuangkan kepentingan perempuan, seperti aktif dan vokal dalam mengkritik DPR. Banyak juga perempuan penulis Indonesia yang posisinya naik-turun dalam periode sastra. JP : Pada periode apa perempuan mengalami zaman keemasan sastra? MB: Tidak ada istilah zaman keemasan, karena setelah itu perempuan penulis akan turun lagi pamornya. Tetapi, dalam setiap periode, sastrawan-sastrawan perempuan penting untuk digali kembali, seperti yang dilakukan feminis sastra di Barat. Untuk melakukan itu, sebetulnya banyak medium kesusastraan yang tidak hanyatercetak atau dalam bentuk buku, tetapi juga berupa jurnal, seperti di daerah-daerah, banyak perempuan yang bermain di arena itu. Tapi, masalahnya di Indonesia mengalami kesulitan untuk menggalinya karena kurangnya dokumentasi. Padahal, majalah daerah banyak sekali, seperti majalah-majalah perempuan di bawah afiliasi partai politik tertentu. Di situ kita dapat melihat bagaimana posisi perempuan dalam sastra. Sebenarnya ini tugas kritikus sastra untuk mendokumentasikan dan mengangkat isu-isu tersebut sehingga dapat berpengaruh dan menjadi inspirasi bagi yang lain. JP : Pada periode kekuasaan seperti apa sastra mendapatkan kebebasan di Indonesia ini? MB: Apa, sih, yang disebut kebebasan? Mungkin ini berkaitan dengan konteks sosial politik yang ada. Sebenarnya sastra itu sendiri adalah kebebasan. Siapa pun boleh menulis, apa saja, dan bisa mengambil dari mana saja, tidak ada ruang-ruang yang menyekat-nyekat karena ini ruang imajinasi. Persoalannya ketika kita menulis dan mencoba mengirimkannya, kita dihadapkan oleh “penjaga-penjaga” di ruang publik. Di sinilah banyak perempuan merasa terdiskriminasi, bahkan secara internal seperti ada keraguan ketika ingin mengirimkan, dengan menimbang, “Apakah pantas atau boleh dikirimkan?” Tentu saja perlahan-lahan dengan perkembangan zaman, ketidakbebasan itu semakin berkurang, melihat pendidikan perempuan semakin luas tidak seperti di zaman Kartini. Sensor-sensor pun mulai berkurang, terutama sejak turunnya Presiden Soeharto. Namun, bukan berarti sensor tidak ada, kadang sensor itu datang dari masyarakat sendiri. JP : Apakah perempuan muda penulis juga memanfaatkan kebebasan itu? MB: Memang mulai muncul perempuan-perempuan muda penulis dengan variasi gaya yang sangat menonjol, dengan pembaca yang juga berbeda-beda. Ini hal yang sangat positif, mungkin karena anak-anak muda ini hidup di generasi yang tidak terlalu terhambat masalah gender; atau adanya kebebasan ruang ekspresi, seperti teknologi dan kehidupan yang kosmopolit. JP : Kalau kita lihat Ayu Utami, Dewi Lestari, Fira Basuki, Djenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu, dan perempuan penulis lainnya, ada satu titik tentang seksualitas perempuan yang menjadi tema pokok. MB: Itu hal yang wajar karena perempuan mempunyai hak atas tubuhnya sendiri. Tubuh perempuan bukan sesuatu yang tabu, tetapi sesuatu yang positif, perempuan mempunyai hak untuk mengapresiasi tubuhnya sendiri. JP : Mengapa harus dimulai dari tubuh? MB: Karena tubuh bagian yang paling dekat dengan perempuan. Dalam wacana- wacana lama, fungsi seksualitas perempuan dekat dengan melahirkan anak atau mereproduksi dan kemudian hidupnya diabadikan untuk membesarkan anak. Jadi, perempuan cenderung tidak memiliki hak atas dirinya sendiri. Gerakan perempuan sudah menunjukkan bahwa semua orang berhak atas tubuhnya. Perempuan juga berhak atas kesehatan dan kenikmatan tubuhnya sendiri. Mungkin ini menjadi baru ketika biasanya sopan santun terjaga, sehingga sedikit mengejutkan, barangkali. Tapi, buat negara-negara tertentu hal ini sudah lama terjadi. JP : Sastra perempuan mengalami proses liberalisasi, tetapi sebaliknya masyarakat menggalakkan sensor. Bagaimana sastra menyikapi ini? MB: Saya berharap mudah-mudahan tidak akan terjadi. Kalau sampai terjadi, maka ada kemunduran yang luar biasa. Satu sisi masyarakat cenderung konservatif, sisi lain ungkapan sastra semakin bebas, maka bagaimana dua hal ini dapat terjadi pada saat yang sama. Mungkin kesusastraan “yang bebas” ini pembacanya terbatas sehingga kelompok konservatif tidak akan membaca produksi seperti ini. Bila lingkungan konservatif merambah wilayah sastra kemudian menyempitkan ruang geraknya, ini yang sangat disayangkan. Imajinasi kita tidak terbatas dan bebas, dan pembaca tidak bodoh. JP : Bila sastra adalah refleksi dari sebuah renungan sosial, mengapa kebebasan karya-karya sastra perempuan menjadi ambigu dengan masyarakat kita yang konservatif? MB: Bukankah perempuan-perempuan penulis juga menuliskan persoalan- persoalan sosial itu sendiri? Ekspresi kebebasan mereka merupakan respons terhadap hubungan yang ada, jadi bukannya tidak berkaitan, seperti tokoh Shakuntala dalam Saman karya Ayu Utami, itu semacam reaksi atau resistansi terhadap hubungan perempuan dengan laki-laki yang tidak adil dalam masyarakat. JP : Apakah itu berarti ruang privat mulai banyak diminati oleh pembaca? MB: Masalahnya tidak lagi sekadar domestik dan publik. Sekarang sudah lebih longgar meskipun secara umum di masyarakat masih terjadi. Penulis-penulis muda tidak begitu mempersoalkan publik dan domestik. Mereka sudah banyak yang masuk dalam ruang-ruang politik dan sosial. Mereka itu generasi yang sudah bisa menikmati runtuhnya pembatasan yang kaku antara domestik dan publik. JP : Adakah perbedaan penulisan seksualitas perempuan yang ditulis laki- laki dengan penulisan seksualitas perempuan yang ditulis perempuan? MB: Sebetulnya ini perlu penelitian tersendiri. Begitu jelas dalam novel-novel umum, yang menonjol adalah perspektif laki-laki, sedangkan perempuan muncul lebih sebagai objek atau korban. Tentu menjadi berbeda dengan perspektif perempuan bahwa perempuan memiliki hak atas seksualitas dirinya sendiri. JP : Banyak anggapan, perempuan penulis bisa terkenal bila di bawah bayang-bayang penulis laki-laki yang sudah terkenal. MB: Itu berarti masih mempertanyakan dan meragukan kemampuan seorang perempuan pengarang. Barangkali ada anggapan, itu karena kehebatan seorang laki-laki di belakangnya. JP : Apa itu proses ketidakadilan? MB: Ya, dalam tatanan yang masih besar, artinya akan selalu harus dihadapi. JP : Bagaimana dengan adanya kecurigaan tentang menonjolnya perempuan penulis karena cantik, sebagai objek dari budaya massa? MB: Definisi kecantikan banyak sekali. Apakah kemudian perempuan dipakai atau memakai budaya massa yang memang mempunyai konsep-konsep tertentu dan kemudian menjadi sarana promosi, itu hal lain. Kita tahu Dewi Lestari sangat bisa memanfaatkan promosi publikasi. JP : Artinya tidak ada eksploitasi? MB: Itu wajar-wajar saja, tetapi mengapa orang harus dicurigai karena kecantikannya? Promosi bukan suatu hal yang buruk. Boleh saja dia memanfaatkan promosinya yang mungkin seharusnya dilakukan oleh semua orang sehingga sastra itu semakin meluas di masyarakat. Salah satu penulis yang menurut saya cantik adalah Ratna Indraswari Ibrahim, seorang perempuan penulis yang sangat produktif. Dia memiliki kecantikan luar biasa tanpa memanfaatkan promosi. JP : Sastra perempuan seperti apa yang Anda diharapkan ke depan nanti? MB: Saya mengharapkan akan semakin banyak variasi. Perempuan itu tidak cuma satu atau tunggal. Memang yang masih mendominasi sastra sekarang ini adalah perempuan-perempuan kota atau perempuan urban. Tetapi, di antara perempuan urban sendiri pun berbeda-beda di setiap generasinya. Ada yang religious dalam agama yang berbeda, mempunyai lingkungan sosial yang berbeda, dan pengalaman hidup yang berbeda pula. Tema pengalaman antar generasi bisa diangkat oleh berbagai macam perempuan dan berbagai macam lingkungan sosial sehingga saya harapkan tidak pada satu arah yang tunggal, tetapi semakin ramai diikuti oleh berbagai macam perempuan penulis, seperti Nukila Amal yang memperkenalkan jenis penulisan yang baru dan berbeda dengan yang lainnya. Bagaimana dia menggali kembali sejarah Ternate dengan gaya penulisan yang lebih surealis daripada yang lain. Dia seorang apoteker yang tidak memiliki latar belakang sastra. Banyak anak muda berbakat bisa memanfaatkan ruang itu. Di luar negeri, gejala munculnya perempuan muda penulis itu sudah booming di Amerika sejak tahun ‘80-an. Ini karena adanya pasar yang terbuka, antara lain pasar yang multikultural yang sangat haus dengan pengalaman spesifik dari warna lokal budaya tertentu. Kalau melihat tren semacam ini, kebangkitan variasi perempuan penulis akan segera muncul. (MB. Wijaksana) Catatan Belakang: [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2003 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 30, 2003. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. "Pada waktu aksi-aksi demo, perempuan-perempuan di Molo mengeluarkan payudaranya untuk menunjukkan kalau tanah kami diambil sama dengan air susu ibu diambil, dan kami tidak akan bisa menyusui lagi.” (Aleta Baun) Sungguh benar perumpamaan perempuan dengan tanah, kedua makhluk ini adalah “khalifah” Tuhan untuk melestarikan kehidupan. Dari keduanya pula segala keberlangsungan hidup berasal. Karena itu, perempuan dan tanah ditautkan oleh hubungan emosi yang sangat kuat. Apabila salah satu di antara mereka disakiti, yang lainnya tergerak untuk melakukan pembelaan. Ketika kelestarian tanah terancam, kaum perempuan berdemonstrasi di garda depan. Pergerakan perempuan inilah yang terjadi di Pulau Nusa Tenggara Timur (NTT) di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Tanah Kabupaten itu membentuk gundukan pegunungan yang indah dan mengandung kekayaan marmer sehingga sangat menggiurkan kaum penjarah untuk mengeruknya. Kaum perempuan di sana disebut oleh Kelik Ismunandar sebagai ”para mama” yang tak hanya mengasuh anak, namun juga mengasuh tanah. Mereka adalah kaum perempuan yang berjuang untuk berontak melawan dan menolak pertambangan marmer. Seorang para mama yang termasyhur bernama Aleta Baun telah menyerahkan seluruh hidupnya untuk gerakan perlawanan. Aleta Baun akrab disapa Ma Leta. Ia adalah koordinator pejuang perempuan bagi masyarakat Molo untuk menolak buldoser-buldoser yang akan menggusur pegunungan Molo. Perempuan 42 tahun ini mengisahkan perjalanan hidupnya kepada Yayasan Jurnal Perempuan setelah menerima Anugerah Saparinah Sadli tahun 2007[1]. “Tanah tidak melahirkan tanah, manusia akan bertambah banyak, namun tanah akan semakin sempit,” tutur Ma Leta menjelaskan alasan pergerakannya kepada Nur Azizah, kontributor Jurnal Perempuan. Ma Leta sadar tanah kelahirannya mempesona, namun juga bisa mendatangkan bencana. Pegunungan Molo yang terletak di Kabupaten Timor Tengah Selatan terdiri dari 63 gunung yang diperkirakan mengandung 3,5 triliun meter kubik marmer. Bila gunung-gunung itu dikeruk, berakibat fatal. Bagi Ma Leta, Molo adalah jantung Nusa Tenggara Timur. Kalau tanah di Molo rusak, maka seluruh penduduk di pulau itu akan memperoleh dampak buruknya. “Molo adalah jantung dan daerah tangkapan air bagi seluruh NTT. Kalau kejahatan perusakan sumber daya alam dibiarkan di Molo, mau tak mau NTT akan mengalami kesulitan, terutama kekeringan karena ia menjadi sumber mata air yang mengalirkan air hingga ke hilir. Orang-orang di sini mengakui Molo adalah jantung NTT,” katanya. Riwayat hidup masyarakat di Molo akan musnah. Di pegunungan itu terdapat 5 kecamatan dan 42 desa dengan jumlah keluarga tiga ribu sampai empat ribu. Untuk mengorganisasi pelawanan, dibentuklah sebuah organisasi bernama OAt (Organisasi Ataimamus) yang berasal dari kesepakatan tokoh-tokoh adat di sana. Menurut pengakuan Ma Leta, masyarakat adat juga pecah: mereka yang menolak penambangan dan mereka yang menerima. Karena izin penambangan sebelum adanya kesadaran masyarakat Molo untuk melawan juga keluar dari proses adat. Perusahaan pertambangan berhasil memecah masyarakat adat di Molo. Kaum bangsawan yang terdiri dari raja-raja didekati dan setuju dengan penambangan itu, sedangkan tokoh-tokoh masyarakat yang membentuk majelis permusyawarahan adat Molo sangat menentang keras. Melalui musyawarah tokoh-tokoh adat di sana, mereka mendirikan OAt sementara Ma Leta dipercaya sebagai koordinatornya. Ma Leta yang hanya lulusan SMA ia mulai mengenal dunia pergerakan dari sebuah yayasan yang peduli terhadap masalah-masalah perempuan di NTT, namanya Yayasan Sanggar Suara Perempuan (SSP). Ma Leta aktif sejak tahun 1993. Namun, ketika tanah kelahirannya dirongrong pengusaha pertambangan, ia merasa terpanggil oleh suara-suara tanah di sekitarnya yang terus menjerit. Pada tahun 2004, Ma Leta memutuskan keluar dari Yayasan Sanggar Suara Perempuan dan berkonsentrasi dalam pergerakan melawan perusakan lingkungan. Bagi Ma Leta, ada hubungan yang sangat kuat pada kekerasan dalam rumah tangga dan seksualitas dengan kekerasan yang berasal dari rusaknya lingkungan dan krisis ekonomi. “Sumber kekerasan ini muncul ketika pangan dalam satu rumah tangga itu tidak dipenuhi. Dan, bebannya akan menumpuk pada kaum perempuan,” katanya. Kunci utama bagi Ma Leta untuk mengurangi kekerasan terhadap perempuan terletak pada pemenuhan pangan dan perlindungan terhadap lingkungan. “Pangan dan sumber daya alam, kalau tidak diganggu, perempuan akan sejahtera, karena segala kebutuan hidup masyarakat telah terpenuhi. Kalau pangan dan kebutuhan ekonomi tercukupi, maka kekerasan terhadap kaum perempuan akan menurun dengan sendirinya,” tutur Ma Leta. Perjuangan Ma Leta ini merambah medan yang sangat berbahaya. Sejak memutuskan untuk melawan, polahidup Ma Letasangat berubah biladibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Ia tak lagi bisa dijumpai di rumahnya. Riwayatnya tidak lagi hanya sebagai ibu rumah tangga, namun juga sebagai perempuan yang terus berjuang dan bergerilya: keluar masuk kampung, naik-turun gunung, dan lebih banyak hidup di hutan serta pengungsian. Ma Leta menjadi target sasaran perusahaan pertambangan, ia dicari-cari dan dikerjar-kejar oleh preman yang menurut pengakuanya dibentuk perusahaan dan pemerintah daerah untuk menghentikan perlawanan organisasi adat yang dipimpinnya. Karena menjadi target buruan, Ma Leta pernah harus dievakuasi. Pada bulan April 2007 saat ia baru pulang dari sebuah kampung hendak kembali ke rumah, preman-preman itu melakukan sweeping di jalan-jalan untuk mencarinya. Ia terpaksa bersembunyi di kolong jembatan, namun ketahuan juga hingga kaki kanannya dibacok. Selanjutnya, Ma Leta harus dievakuasi oleh pada aktivis PIKUL (Penguatan Institusi dan Kapasitas Lokal). “Selama memimpin masyarakat, saya selalu diintimidasi, selalu dikejar, kaki kanan saya dibacok. Waktu itu saya juga lari bersembunyi di kolong jembatan, preman itu memeras minta uang 400 ribu, agar nyawa selamat saya serahkan uang 200 ribu yang saya punya waktu itu,” kata Ma Leta sambil menunjukkan bekas bacokan di kaki kanannya. Kekerasan fisik terus dialami Ma Leta. Ia pernah dipukul di depan kantor pengadilan karena berani menggerakkan masyarakat untuk menggugat bupati. Rumahnya dilempari batu oleh para preman, kaca jendela pecah, sehingga ia berserta suami dan anak-anaknya terpaksa mengungsi. Ma Leta memiliki tiga orang anak, yang pertama kelas tiga SD, yang kedua kelas satu SD, dan ketiga masih berumur satu tahun lebih. Suatu hari suaminya yang seorang guru pernah menjadi sasaran teror pembunuhan. Sang suami, Godlif Sanam, pun memprotes dan meminta Ma Leta mengakhiri perjuangannya. “Tapi, setelah saya berikan pengertian, ia pun ikhlas mendukung perjuangan saya sampai titik darah terakhir.” Tak hanya kekerasan fisik, Ma Leta juga menjadi sasaran pembunuhan karakter. Hidupnya yang tak pernah di rumah, selalu berpindah-pindah dan tak mengenal waktu, membuatnya dituding oleh lawannya sebagai perempuan yang suka keluar malam, sundal, dan pelacur. Ia juga pernah difitnah lari dengan suami orang. Segala risiko perjuangan dihadapi oleh Ma Leta dengan penuh sabar dan tegar. Ia pun bisa memetik romantisme dari pengalamannya sebagai perempuan pergerakan. Kehidupannya bersama keluarga sekarang menurut Ma Leta, kadang dianggapnya lucu. “Saya seperti belajar pacaran lagi dengan suami karena kalau ketemu dengan suami hanya beberapa jam. Bertemunya pun di rumah orang, datang malam, pisah tengah malam.” Namun, sebagai manusia biasa, sebagai perempuan dan ibu, Ma Leta tetap merindukan keluarga, kedamaian, dan ketenangan. “Saya sebenarnya sangat rindu pada anak dan suami, namun persoalan ini tidak bisa membuat saya kembali ke rumah secepatnya. Dampak dari perusakan lingkungan ini secara pribadi akan menimpa suami dan anak saya, tapi biarlah saya yang berkorban daripada anak dan suami yang memang tidak tahu banyak hal.” Ma Leta sangat mengenal kearifan orang Molo memandang tanah mereka. Dalam masyarakat itu dikenal filosofi Uim bubu (ume = rumah) yang berdiri kukuh dengan amnesat, nij, dan tefi. Amnesat berarti ‘dasar’ yang diibaratkan sebagai oekanaf (‘air’) yang penyangganya adalah fatukanaf dan haukanaf (‘batu dan kayu’). Nij adalah ‘tiang’ yang diibaratkan sebagai afu (‘tanah’) yang merupakan tempat bertanam, beternak, dan mendirikan rumah. Dan tefi berarti ‘atap’ yang diibaratkan sebagai pena nok ane (‘jerih payah’) yang diperoleh dari hasil pemanfaatan oekanaf, fatukanaf, haukanaf, serta afu. Filosofi di atas meneguhkan bahwa Molo tidak bisa dipisahkan dari tanah, hutan, air, batu, kayu, serta binatang-binatang yang hidup di dalamnya. Ma Leta adalah seorang feminis sejati, ia berjuang menggunakan bahasa dan cara perempuan. Komentar-komentarnya tentang “tanah yang tak bisa melahirkan tanah”, kelestarian alam yang dihubungan dengan jati dirinya sebagai perempuan adalah alasan dan retorikanya dalam menggerakan kelompok perlawanan. “Perempuan selama ini mungkin dianggap tak berdaya untuk berjuang, berbicara, dan mengambil keputusan. Mereka dikira tak mampu melawan siapa- siapa, tapi ketika mereka punya sumber daya alam diambil, tanah mereka dirampas, air mereka diganggu, itu seperti mencopot nyawa mereka,” tegas Ma Leta. Pun dalam cara penentangan, ia adalah perempuan sejati, mengumpulkan perempuan-perempuan lain di Molo untuk bergerak. Mereka berdemo sambil mengeluarkan payudara mereka. Kata Ma Leta, “Pada waktuaksi demo, perempuan- perempuan di Molo mengeluarkan payudaranya untuk menunjukkan kalau tanah kami diambil sama dengan air susu ibu diambil, dan kami tidak akan bisa menyusui lagi.” Karena perjuangannya itu pula, Ma Leta pernah menjadi kandidat penerima hadiah Nobel tahun 2005 bersama seribu kandidat perempuan lainnya. Juni 2007, ia mendapat kehormatan bertemu dengan Hina Jilani, perwakilan khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. (Mohammad Guntur Romli) Catatan Belakang: [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2008 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 57, 2008. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. “Mengajarkan baca tulis itu mudah, yang paling sulit adalah mengajarkan budi pekerti.” Kutipan di atas diutarakan oleh Sri Rossyanti, salah satu dari dua ibu guru di sela-sela kesibukannya mengajar anak kelas 4 SD di Sekolah Darurat Kartini, Ancol, Jakarta Utara[1]. Kalimat tersebut hampir selalu ditekankan sepanjang wawancara berlangsung sebagai substansi dasar proses belajar yang mereka lakukan. Pelajaran budi pekerti itu menurut mereka penting, mengingat situasi lingkungan anak didik adalah lingkungan yang akrab dengan pola kehidupan sosial yang keras. Di tempat mereka mengajar, kemiskinan akibat ketimpangan struktur ekonomi memaksa masyarakat setempat hidup dalam pola pertaruhan dan perebutan. Siapa yang kuat, ia yang akan menang. Perilaku ini diekspresikan melalui tindakan memaksa, memukul, berjudi, mabuk, dan membunuh. Bagi mereka melakukan semua itu bukanlah hal yang sulit. Namun, sesungguhnya, itu bukan perilaku dasar mereka, ada perasaan harga diri mereka jatuh sebagai orang-orang kalah dan terus terpinggirkan oleh sistem pembangunan yang kurang memberi perhatian terhadap keberadaan mereka. Hidup mereka serba kekurangan, jangankan berpikir soal sekolah, untuk makan saja mereka harus bertarung satu sama lain. Mereka memilih tidak sekolah daripada tidak makan. Lagi pula sistem pendidikan kita memang tidak menunjukkan uluran tangan bagi orang seperti mereka, padahal mereka adalah sumber daya yang dapat dipakai dengan segala keahlian yang mereka punya untuk membantu kondisi negeri yang krisis ini. Seperti yang pernah ditulis oleh Eko Prasetyo dalam bukunya berjudul Orang Miskin Dilarang Sekolah. Sekolah bagi orang miskin membuat mereka bertambah miskin. Logikanya mudah, ini disebabkan biaya sekolah sekarang terlalu mahal. Situasi inilah yang menggerakkan hati para perempuan seperti Sri Rossyanti (Rossy) dan Sri Irianingsih (Rian) atau lebih dikenal dengan sebutan Ibu Guru Kembar dalam mendedikasikan kemampuannya bagi anak-anak keluarga miskin untuk bisa sekolah. Kemampuan keilmuan dan materi yang mereka miliki telah disumbangkan sepenuhnya bagi anak-anak kolong jembatan tol untuk bisa menikmati pendidikan. “Mereka memang miskin, tetapi adalah hak mereka untuk dapat mengenyam pendidikan. Itulah yang membuat kami ingin berbuat sesuatu, agar mereka bisa terlepas dari jeratan persoalan pendidikan,” ujar Sri Irianingsih. Sekolah Darurat Kartini Suara bising berbagai jenis mobil dan dentuman keras sejumlah truk berat yang sesekali menggetarkan ruang kelas, tidak pernah berhenti melintas. Suara itu sangat dekat melintas sekitar 10—75 cm di atas kepala anak-anak yang sedang belajar. Desingan dan getaran seolah-olah menjadi bagian dari proses belajar mereka. Maklum saja hal ini terjadi, karena atap sekolah yang mereka gunakan adalah ruas jalan tol yang selalu dilewati oleh berbagai jenis kendaraan berat. “Tidak takut lagi, karena sudah terbiasa,” begitu ungkap Anis salah satu murid kelas 2 Sekolah Darurat Kartini yang berada di kawasan Rawabebek, Jakarta Utara. Sekolah Kartini ini memang dalam kondisi darurat. Ia berada di antara perkampungan penduduk yang menghuni kolong jalan tol Rawabebek. Sepanjang kolong ini memang telah menjadi blok-blok perumahan masyarakat yang tunawisma atau tidak memiliki tempat tinggal. Sebagian besar dari mereka bekerja mengumpulkan barang-barang bekas. Daerah ini kumuh, dengan jalanan yang becek ketika musim hujan dan berdebu ketika musim panas. Sekolah Darurat Kartini di Rawabebek ini memang kelihatan miris. Di bawah kolong jembatan tol, sekolah ini terbagi menjadi dua tingkat. Di lantai dasar untuk sekolah anak-anak play group, sementara di lantai atas untuk murid-murid TK A, TK B, dan SD kelas 1—4. Penerangan di ruangan ini tentu saja sangat kurang, hanya beberapa lampu dengan daya kecil dan sisanya mengambil sedikit sinar matahari yang menyelinap melalui celah jembatan tol. Antara kelas yang satu dan kelas yang lain tidak ada pembatas, hanya deretan bangku-bangku yang agak terpisah. Tidak hanya bising oleh anak-anak yang berteriak, tetapi juga oleh lalu-lalang mobil yang melintas dan sesekali terjadi getaran. Selain di Rawabebek, lokasi Sekolah Darurat Kartini juga berada di kolong jalan tol Ancol. Tidak jauh berbeda situasinya, letak sekolah ini cukup ironis karena berseberangan langsung dengan Gandhi International School dengan bangunan yang megah dan bayaran yang sangat mahal, sedangkan Sekolah Darurat Kartini gratis tanpa dipungut biaya. Di Sekolah Darurat Kartini, meskipun sama-sama di bawah kolong jalan tol, namun lokasi di Ancol ini agak lebih baik. Dalam satu kawasan terdapat halaman yang agak luas dan digunakan untuk murid TK, sisanya ruangan berukuran 3 x 5 sebanyak 4 petak untuk murid kelas 1—4 SD. Tidak ada atap khusus, atap yang digunakan sama, yaitu jalan tol. Namun, atap jalan tol ini lebih tinggi sehingga suara bising mobil dan getaran tidak terlalu terasa. Meskipun juga mengikuti standar kurikulum, apa yang diajarkan di Sekolah Darurat Kartini ini cukup sederhana. Pelajaran berbagai ilmu pengetahun selalu dikontekstualkan dengan situasi lingkungan para murid. Hal-hal yang diajarkan pun lebih mengenadan lebih dekat dengan mereka. Pola pendekatan kontekstual ini sangat membantu para anak didik mengenal lingkungannya sehingga mereka bisa menerapkan atau memahaminya lebihcepat. Misalkan, adapertanyaan, siapa ketua RW daerah sekitar. Lalu, dari pertanyaan itu sekaligus pula dijelaskan pengertian tentang sistem serta susunan atau struktur masyarakat dan pemerintahan yang ada di negara ini. Meskipun sekolah mereka darurat, beberapa perlengkapan mereka juga menunjukkan aktivitas sekolah, seperti seragam sekolah, buku-buku, dan kurikulum yang diikuti juga berdasarkan sistem pendidikan yang berlaku. Sekolah Darurat Kartini hingga saat ini ada di empat tempat yaitu: Sekolah Darurat Kartini di Muara Angke, di pinggir rel kereta; Sekolah Darurat Kartini di Pluit yang merupakan sekolah keterampilan; Sekolah Darurat Kartini di Ancol untuk anak TK dan SD; serta Sekolah Darurat Kartini di Rawabebek untuk TK, SD, dan SMP. Untuk di Rawabebek, Sekolah Darurat Kartini dilaksanakan di tenda besar milik TNI-AL. Sampai saat ini, Sekolah Darurat Kartini sudah menampung sekitar 2.000 lebih murid sekolah. Dedikasi Ibu Guru Kembar Hadirnya Sekolah Darurat Kartini tentu tidak bisa lepas dari peran dua orang perempuan Rossy dan Rian atau lebih dikenal dengan sebutan Ibu Guru Kembar. Disebut ibu guru kembar karena mereka memang saudara kembar. Mereka lahir di Semarang, 4 Februari 1950; Rossy lahir lebih dulu lima menit dari Rian. Rossy dan Rian adalah anak keenam dan ketujuh dari sembilan bersaudara. Dedikasinya yang tinggi pada kepedulian pendidikan tidak terlepas dari lingkungan keluarga yang sebagian besar adalah guru dan dosen. Rossy yang alumni Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya dikaruniai empat orang anak, dua laki-laki dan dua perempuan dari perkawinannya dengan seorang dokter. Dua orang anaknya mengikuti jejak bapaknya menjadi dokter dan dua lainnya adalah insinyur. Dua orang anaknya sudah menikah. Sementara itu, Rian yang alumni Fakultas Bahasa IKIP Semarang dikaruniai dua orang anak, laki- laki dan perempuan yang keduanya sudah menikah. Suami Rian adalah seorang Laksamana Laut, namun terlebih dulu berpulang ke rahmatullah. Sekolah Darurat Kartini ini pertama kali berdiri pada tahun 1996. “Pada tahun 1996, kita sedang jalan-jalan ke Mega Mall Pluit. Sewaktu kami pulang, di jalan ada tawuran pelajar. Karena saya takut kena sasaran, mobil langsung saya belokkan ke kolong jembatan. Saya berhenti di depan warung di bawah kolong. Sesampai di sana saya melihat, kok, banyak sekali, ya, ibu-ibu yang menganggur, duduk-duduk di gubuk-gubuk. Lalu, saya coba berbicara dan saya tawarin, mau enggak kursus menjahit? Mereka bilang mau, besoknya saya bawa mesin jahit dan memberi kursus untuk ibu-ibu,” ujar Rossy. Menurut Rossy, ia terperangah sewaktu mengajar para ibu tersebut karena banyak sekali anak-anak usia sekolah yang mengelilingi. “Saya heran lagi, banyak sekali anak-anak berkumpul, bukannya ini waktunya sekolah? Lalu mereka menjawab, mereka tidak sekolah, dan di situlah saya tersentuh,” ujar Rossy. “Dalam benak saya, kalau mereka tidak sekolah, bagaimana bangsa Indonesia mau maju?” katanya. Sejak itu Rossy dan Rian mulai sungguh-sungguh meluangkan waktunya menyelenggarakan pendidikan anak-anak di bawah kolong. Mereka siap untuk melakukan apa saja. “Awalnya sekolah ini hanya menggunakan kardus bekas yang kita gelar. Lama-lama yang minat sekolah cukup banyak. Setelah enam bulan berjalan, sedikit demi sedikit kami mulai membangun dalam bentuk kelas meskipun sederhana, sampai akhirnya jadi seperti sekarang,” ujar Rossy. Untuk membangun sekolah tersebut, tidak terlalu sulit. Selain atas jasa Ibu Guru Kembar yang telah mengeluarkan tabungannya, pembangunan sekolah ini mendapat dukungan dari masyarakat setempat sehingga biaya yang dikeluarkan tidak terlalu tinggi. Masyarakat sekitar cukup senang dengan kepedulian Ibu Guru Kembar ini untuk membangun sekolah. Kehadirannya dapat membantu mereka menyekolahkan anaknya secara gratis. Sekolah dibangun dengan bantuan masyarakat, mulai dari tukang kayu hingga para ibu juga turut mengangkut pasir untuk menutup rawa-rawa. Dengan begitu, tanahnya menjadi keras dan bisa digunakan. Ibu Guru Kembar tidak setengah-setengah melakukan hal ini demi pendidikan anak-anak. Kalau secara materi, mungkin tidak bisa dihitung berapa yang sudah dikeluarkan. “Saya tidak tahu berapa banyak yang sudah kita keluarkan. Saya tidak pernah menghitung,” ujar Rian. Jumlahnya tentunya cukup besar. Ibu Guru Kembar sadar bahwa mereka benar-benar tidak mempunyai uang untuk sekolah yang mereka bangun, apalagi memenuhi perlengkapan sekolah. Atas kesadaran itulah, Ibu Guru Kembar ini dengan ringan hati mengeluarkan dana pribadinya untuk membeli seluruh perlengkapan sekolah, mulai dari seragam, buku, alat tulis, dan sebagainya. Begitu juga dengan pendidikan keterampilan, Ibu Guru Kembar telah menyediakan semua kebutuhannya. Para peserta didik diharapkan bisa berkonsentrasi kerja, bahkan mereka tidak segan-segan memberi modal kerja kepada para peserta didik agar bisa menjadi berdaya. Seperti pengakuan Ibu Nana, ia telah mendapat kursus gratis rias pengantin Jawa. Sekarang, Ibu Nana bisa merias sendiri dan membuka jasa rias pengantin. “Saya sudah menerima dua kali order. Lumayan, bisa menambah penghasilan keluarga,” ujar Ibu Nana. Selain itu, sejumlah ibu yang mengikuti keterampilan memasak juga sudah menerima banyak order membuat kue. Itu baru persoalan materi, belum lagi dedikasi nonmateri yang tentu tidak sedikit yang telah Ibu Guru Kembar ini keluarkan. Hampir sepanjang hari ia habiskan dengan anak-anak didiknya di empat tempat. Jam pertama mengajar adalah pukul 07.00—10.00 di Sekolah Darurat Kartini Ancol. Setelah selesai, pukul 10.00—13.00 Ibu Guru Kembar melanjutkan ke Sekolah Darurat Rawabebek. Selanjutnya, pukul 13.00—15.00 Ibu Guru Kembar ini melanjutkan mengajarnya di Sekolah Keterampilan Pluit. Setelah dari Pluit, mereka pulang ke rumah dulu di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara. Selepas magrib, mereka melanjutkan mengajar di Sekolah Darurat Kartini Muara Angke untuk bidang keterampilan. Aktivitas yang cukup padat ini mereka lakukan setiap hari, dari Senin hingga Sabtu. Apa yang mereka lakukan untuk mengajar ini tidak bergantung pada siapa pun, hampir semua aktivitas yang berjalan mereka lakukan berdua secara independen. Untuk melakukan aktivitas dari satu sekolah ke sekolah lainnya saja, mereka mengendarai mobil sendiri secara bergantian. Jika lepas waktu makan, mereka menyiapkan sendiri makanannya yang dibawa dari rumah. “Kami tidak pernah beli sebab kami selalu bawa makanan sendiri dari rumah. Pagi-pagi sekali kami bangun, mempersiapkan kebutuhan kita, lalu berangkat,” ujar Rossy. Dengan makanan yang dibawa sendiri, selain hemat karena mereka dapat mengatur anggaran pengeluaran untuk makan, kadar makanan sehat pun terjaga. Itulah mengapa Ibu Guru Kembar ini meskipun sudah menginjak usia kepala lima, secara fisik tetap sehat. Mereka berdua pun memiliki penampilan unik, dengan topi bundar khas mereka dan warna baju yang mereka pilih. Tujuannya untuk menunjukkan kebersihan, kerapian, dan disiplin. Di tengah suasana yang kumuh, mereka tetap bersih dan rapi. Penampilan mereka juga untuk menunjukkan bagaimana mereka menghormati lingkungan. Melawan Kemiskinan Tujuan paling mendasar dari aktivitas yang mereka lakukan adalah mengentaskan kemiskinan dengan “memotong rantai-rantai”-nya, baik secara struktur maupun kultur. Mereka yakin bahwa setiap orang mempunyai etos kerja dan kemampuannya sendiri, tinggal bagaimana kemauan individu dalam memanfaatkan kesempatan yang terbuka untuk lepas dari jerat kemiskinan. “Tujuan kita adalah mengentaskan kemiskinan dan mengubah martabat mereka yang tinggal di kolong jembatan. Kemiskinan membuat mereka tertutup dan tidak percaya diri akan kemampuannya. Mereka sulit berkomunikasi dengan orang luar sehingga mereka kurang mempunyai wawasan dan kesempatan,” ujar Rossy. Faktor lingkungan memang sangat mempengaruhi perilaku mereka sehari-hari. Pasrah pada nasib terkadang membuat mereka tidak melakukan apa pun untuk perubahan bagi dirinya. Ibu Guru Kembar yakin bahwa masyarakat di kolong jembatan ini bisa bekerja serta mengembangkan diri asal ada kesempatan serta orang-orang yang mendorong dan memberi mereka berbagai macam keterampilan sebagai modal dasar yang membuat percaya diri. “Kalau cuma mengajar mudah, anak-anak SD di sini sama pintarnya dengan anak-anak SD di sekolah lain, cuma tingal membangun kepercayaan diri dan mengubah kebiasaan buruk. Faktor lingkungan cukup kental mempengaruhi mereka. Saya mengajar paling tidak tiga jam, sedangkan mereka hidup di lingkungan yang keras selama 21 jam,” ujar Rossy. Apa yang dilakukan Ibu Guru Kembar sampai hari ini tampaknya belum mendapat perhatian dari pemerintah, khususnya dari Departemen Pendidikan Nasional. Bahkan, menurut Ibu Guru Kembar, apa yang pemerintah lakukan dianggap masih kurang layak dalam hal penyediaan pendidikan. Sebenarnya meski tidak mendapat dana bantuan pendidikan dari pemerintah, Ibu Guru Kembar tidak terlalu memperhitungkan karena sejak awal memang mereka berniat secara mandiri memberi sumbangsih kepada anak-anak dan dunia pendidikan. Ibu Guru Kembar mampu menyediakan ruang bagi mereka yang tersubordinasi. Mereka tidak menginginkan apa pun, baik uang, popularitas, maupun kedudukan. Mereka ingin hidup anak-anak tak sekolah itu menjadi lebih nyaman dan berhasil di masa depannya. “Apayang kita lakukan tidak untuk kepentingan pribadi, mencari uang, mencari popularitas, atau mencari kedudukan dalam struktur negara. Besok meninggal pun, ya, sudah tidak ada lagi yang harus dicari. Kita meninggal hanya dengan membawa kebaikan kita. Karena itu, hidup ini kami gunakan sebaik-baiknya dan tidak merugi,” ujar Rian. “Kita sedih melihat banyak sekali masalah kemiskinan, kekerasan, dan ketidakpedulian. Itulah yang ingin kita lakukan, peduli pada mereka yang tidak mendapatkan perlakuan atau lingkungan yang lebih baik. Kami merasa lebih bersyukur dan lebih beruntung dari mereka. Itulah yang ingin kami bagikan kepada mereka, baik ilmu maupun materi, lainnya tidak,” tambah Rian. Bandingkan dengan sistem pendidikan kita umumnya, kita masih ingat bagaimana setiap siswa diminta uang sebesar 150 ribu rupiah hanya untuk melakukan ujian persamaan dan mendapatkan ijazah. Melihat pilihan Ibu Guru Kembar dalam menjalankan pendidikan untuk anak-anak miskin secara independen, seharusnya negeri ini berterima kasih karena tanggung jawab yang seharusnya dilakukan negara dilakukan oleh mereka. “Orang-orang birokrat, saya bilang, jadi seperti drakula, mengisap darah rakyat miskin. Teganya meminta uang kepada mereka untuk pendidikan yang sebenarnya hak mereka dan kewajiban negara yang harus dijalankan. Sudah banyak data yang menunjukkan dana alokasi pendidikan tidak tepat sasaran,” ujar Rossy dengan gemas. Menanam Tunas Di tengah kepedulian sosial yang semakin langka, kehadiran serta tindakan Ibu Guru Kembar memang cukup membanggakan. Mereka adalah guru dalam arti yang sesungguhnya. Mereka seolah tidak pernah lelah. Ibu Guru Kembar tidak hanya melawan bisingnya beton jalan tol, tetapi juga kerasnya sistem sosial. Banyak orang memang tidak mengerti apa yang dilakukan Ibu Guru Kembar ini. Namun, kita semua akan tahu kelak di kemudian hari bahwa yang dilakukan mereka adalah menanam benih. Dari sana, akan tumbuh tunas-tunas yang ketika mengembang dan tumbuh besar, akan menembus kekarnya beton jalan tol sebagai gambaran kerasnya kehidupan sosial dan pembangunan yang tak memberi mereka tempatguna menikmati hidupyang layak. Padasaat itulah kitaakan mengetahui arti penting sebuah perlawanan dan kepedulian yang dilakukan oleh dua perempuan ini. (Eko Bambang Subiyantoro) Catatan Belakang: [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2005 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 44, 2005. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Maria Farida Indrati yang lahir di Surakarta, Jawa Tengah 14 Juni 1949, adalah hakim perempuan pertama yang terpilih di Mahkamah Konstitusi Indonesia (MK) dengan masa jabatan 2008—2013 [1]. Maria Farida sebelumnya menjadi guru besar ilmu perundang-undangan di Universitas Indonesia dan menjabat sebagai ketua Bidang Perundang-Undangan, ketua Komisi Perundang-Undangan di Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, anggota tim perumus dan anggota tim penyelaras pada Komisi Konstitusi Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, serta anggota Board of Advisor, International Consortium on Law and Development (ICLAD)-Boston University Program on Legislative Drafting for Democratic Social Change. Maria pernah menjadi anggota Tim Pakar Hukum Departemen Pertahanan Republik Indonesia sebagai ahli dalam perancangan dan pembentukan peraturan perundang-undangan. Maria Farida juga memperdalam ilmunya di bidang Pendidikan Teknik Perundang-Undangan (legal drafting) di Leiden, Belanda; Pendidikan Legislative Drafting Boston University School of Law, Amerika Serikat; serta The Residence Course in Legislative Theory, Methodology and Techniques, Boston University School of Law Boston, Amerika Serikat. Dalam suatu kesempatan, Jurnal Perempuan mewawancarai Maria Farida di ruang kerjanya di Mahkamah Konstitusi saat jeda memimpin sidang uji materi undang-undang bersama hakim-hakim lainnya. Ketika ditanya apa yang mendorong Maria Farida menjadi hakim MK, Maria menjawab bahwa sebetulnya ia ditelepon oleh Watimpres yang diminta oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono untuk mengikuti tes sebagai hakim MK. Ia tidak pernah berpikir akan lolos dari tes tersebut karena selama ini konsentrasinya mengajar yang menurutnya pekerjaan paling menyenangkan. Sebelum dipilih oleh presiden untuk mengikuti tes pemilihan hakim MK, teman-temannya sudah mendorongnya, tetapi ia berkali- kali menyatakan lebih senang mengajar. “Ketika presiden memilih saya, saya merasa tidak pantas untuk menolak,” tegasnya. Ketika menghadapi tes, Maria Farida tidak melakukan persiapan apa-apa, kecuali membuat satu Curriculum Vitae dan makalah singkat mengenai MK yang tidak pernah ia buat sebelumnya. Selain itu, ia juga harus menyatakan persetujuan seandainya lulus dan terpilih menjadi hakim MK. Maria Farida memang telah beberapa kali direkomendasikan oleh berbagai ahli hukum untuk melamar sebagai hakim MK, dan kali ini ia masuk di dalamnya. Pada saat menghadap presiden, Maria pernah berkata bahwa presiden jangan kecewa kalau ia memutuskan hal-hal yang tidak berpihak kepada presiden. Ketika ditanya bagaimana pengalaman pertamanya sebagai hakim perempuan satu-satunyadi MK, ia menegaskan bahwa iatidakdibedakandi antarahakim-hakim pria. “Kadang-kadang, ada pertemuan 80 sampai 100 orang dan perempuannya hanya saya sendiri, dan saya sudah terbiasa seperti itu.” Berkaitan dengan tema Jurnal Perempuan yang mengangkat masalah perempuan dan keluarga, Maria Farida bercerita bahwa baru-baru ini terjadi perdebatan terkait uji materi Pasal 43 UU Perkawinan tahun 1974 tentang Status Anak di Luar Nikah yang telah diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebelum diuji, salah satu pasal berbunyi, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya.” Setelah diuji, materi menjadi “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan kedua orang tua biologis dan keluarganya dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk memperoleh pengakuan dari ayah biologisnya melalui ibu biologisnya.” Artinya bahwa MK telah menyatakan sah bahwa anak yang lahir di luar nikah memiliki pengakuan keperdataan. Pertentangan keras ini muncul dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menganggap MK telah melegalkan perzinaan. Sementara itu, MK menyatakan bahwa putusan tersebut menekankan agar orang tua di luar nikah dalam hal ini laki-laki tidak boleh melepaskan tanggung jawabnya atas hubungannya yang mengakibatkan anak lahir di luar nikah. Tujuan putusan tersebut supaya anak mendapatkan hak perdata dan tercatat sebagai warga negara dan untuk melindungi anak di luar nikah dari sebutan “anak haram” yang sarat diskriminasi. Maria menyatakan bahwa keputusan tersebut dibuat sangat lama, yaitu dari perkara tahun 2010. Perkara yang menyangkut hukum agama, hukum moral, dan adat menurutnya memang sangat kompleks, sementara tugas hakim MK adalah merumuskan hukum positif yang dikaji dengan Undang-Undang Dasar. Masalahnya, di balik kajian-kajian tersebut selalu berkaitan dengan hukum- hukum yang tidak tertulis (hukum agama dan adat–red) sehingga dalam membuat keputusan menjadi sangat lama, tetapi perlu ada kesepakatan akhir. Maria mengamati bahwa UU perkawinan masih ada masalah, seperti dalam syarat-syarat perceraian, bagaimana mungkin seorang istri yang sakit keras atau tidak punya anak dapat menjadi alasan untuk memutuskan perceraian? “Bukankah kalau kita menikah, maka kita menerima pasangan dalam keadaan sehat dan sakit, keadaan susah dan senang?” Karena itu, Maria menganggap bahwa UU perkawinan tidak menunjukan perlindungan penuh pada hak perempuan dan anak. Masalah UU yang tidak melindungi perempuan, simpulnya, menjadi rumit ketika hukum positif terbentur pada hukum agama dan hukum adat. Dalam hal warisan, ia menyatakan Indonesia belum memiliki hukum warisan nasional karena berbagai macam adat dan agama memiliki ketentuan sendiri. Inilah sulitnya menciptakan hukum positif. Seperti di Tapanuli, tentu anak laki-laki lebih diutamakan, sementara Minangkabau lebih pada anak perempuan. Sementara itu, dalam hukum Islam, laki-laki dan perempuan, pembagiannya adalah dua banding satu. Di sinilah persinggungan hukum positif dengan hukum adat dan agama. Sangat sulit menetapkan rumusan yang ideal untuk UU perkawinan karena bergantung pada agama dan adat apa. Kalaupun mungkin, perlu menetapkan ukuran yang baku, tetapi tanpa melenyapkan perbedaan-perbedaannya karena berpotensi terjadi perselisihan. Di agama Katolik, menikah itu cukup sekali saja dan diatur oleh agama itu sendiri. Sementara agama lainnya, seperti Islam, perceraian dibolehkan. Tidak mudah menciptakan aturan yang sama dalam perkawinan karena masyarakat masih meyakini hukum agama dan adat, tetapi menurutnya memang seharusnya ada jalan. Mengenai UU jaminan sosial, terutama soal keluarga, ekonomi, dan pengasuhan, Maria menyatakan Indonesia sudah memiliki UU tentang jaminan sosial nasional, tetapi masih untuk pegawai negara yang kenyataannya memang membedakan laki-laki dan perempuan. Padahal, sebetulnya, setiap undang-undang selalu ada pasal yang menyatakan berlaku untuk setiap orang. Seandainya hal itu yang dihormati, tentu tidak ada diskriminasi dalam rumusan-rumusannya, dan tentu perlu ada perbedaan secara kodrati, seperti cuti hamil dan haid yang tidak mungkin diberlakukan pada laki-laki. Ketika ditanya mengapa Maria Farida tidak setuju dengan UU kesetaraan gender, bukan karena ia tidak setuju pada kesetaraan gender itu sendiri, melainkan sebaiknya tujuan kesetaraan gender diterapkan dalam aturan di bawah UU yang sudah ada, seperti pendidikan dan kesehatan. Melalui pendidikan, seseorang akan mudah mencari kesesuaian tentang kesetaraan satu dengan yang lain. “Misalnya, kita punya UU sistem pendidikan dan wajib belajar. Kalau semua orang belajar, termasuk kaum ibu yang banyak tidak mengenyam pendidikan, bila dibuat aturan nonformal, seperti paket A, B, dan C, maka ia mulai memiliki kesadaran tentang kesetaraan, termasuk dalam mendidik anak-anak mereka. Misalnya, banyak fakta perempuan yang berpendidikan, tidak mau menikahkan anaknya di usia dini dan menganggap bahwa usia pernikahan haruslah matang dan perlu persiapan karena setiap orang tua ingin pernikahan anak-anaknya langgeng. Pada akhirnya, hukum agama yang memperbolehkan anak dinikahi di usia dini, akan mengikuti perkembangan masyarakat yang berpendidikan.” Sementara itu, menurutnya, UU kesetaraan gender lebih pada hal-hal yang umum sehingga sulit memberikan kewenangan pada pemerintah dalam melaksanakannya. Misalnya, bagaimana aturan tentang kuota 30% di parlemen perlu diisi oleh perempuan. Seperti itu lebih mudah dilaksanakan atau lebih seperti dalam bentuk peraturan-peraturan daerah. Bila terlalu umum, maka UU yang sebetulnya bagus itu hanya akan menjadi macan di atas kertas. Sejak awal Maria Farida mengurai bahwa kesulitan membangun hukum positif yang melindungi perempuan adalah pertentangan dengan hukum adat dan agama, padahal hukum positif adalah yang tertinggi dan dibuat oleh negara. Akan tetapi, bagi masyarakat yang masih tradisional dan atas banyak faktor lain, mereka lebih memegang kuat nilai agama dan adat. Misalnya, ada yang menikahkan anaknya terburu-buru karena kondisi keluarga. Karena itu, Maria selalu menekankan pentingnya aspek pendidikan dan diikuti dengan kesejahteraan untuk menjadikan masyarakat memahami bahwa hukum positif didasarkan pada kebutuhan masyarakat atas hak-hak dan perlindungan warga negara secara konstitusional. Kembali mengenai kesetaraan gender, sebetulnya dapat diintegrasikan, misalnya dalam UU kesehatan yang mudah diterapkan, seperti merumuskan bahwa rumah sakit perlu memiliki spesialis dokter perempuan untuk pasien- pasien perempuan yang memiliki keluhan kesehatan berbeda dengan laki-laki, sementara UU kesetaraan gender, bagaimana mengaturnya? Peraturan yang lebih rendah akan mudah diterapkan melalui koordinasi antarkementerian dan unit- unit di bawahnya, seperti posyandu, PKK, puskesmas, dan lain sebagainya. Maria Farida menyatakan bahwa dirinya tidak ingin dilihat “ada” sebagai hakim perempuan, tetapi sebagai hakim yang memiliki kemampuan. Namun, dari seorang hakim perempuan, Maria Farida dalam beberapa wawancara yang tersebar di media, menunjukkan betapa pentingnya UU yang memperhatikan kepentingan perempuan, baik atas hak maupun perlindungannya sebagai warga negara. (Mariana Amiruddin) Catatan Belakang: [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2012 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 73, 2012. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mengapa Indonesia bangsa yang besar, tidak pernah benar-benar menjadi besar? Mengapa Indonesia yang kaya tidak pernah menjadi benar-benar kaya? Jawabannya bisa jadi karena kita adalah bangsa yang sangat cepat lupa. Kita cepat melupakan jasa-jasa orang yang pernah menolong kita. Kita cepat lupa meminta tanggung jawab orang yang bersalah. Kita cepat lupa pada kehendak diri kita sendiri. Menjadi cepat lupa adalah menjadi tidak peduli. Kepedulian menjadi sesuatu yang teramat langka dalam sebuah bangsa yang cepat lupa. Karena kepedulian selalu sinonim dengan terus menerus mengingat sesuatu. Kita hanya menjadi orang yang mementingkan diri sendiri Sembari melakukan pengabaian disana-sini. Lihatlah jurang diantara masyarakat Indonesia yang semakin menganga. Mereka yang kuasa semakin semena-mena sementara mereka yang jelata semakin tak berdaya. Itu karena bangsa kita lupa pada sesama. Bangsa ini sangat suka untuk mengerahkan kekuasaannya demi mendapatkan apa yang mereka inginkan daripada mengerahkan kreativitasnya untuk menjadi seseorangyang diakui keberadaannya. Demikian menurut Marianne Katoppo, teolog, jurnalis, yang juga sastrawan. Marianne, Perempuan dan Keluarga Mengingat Marianne Katoppo adalah mengingat perempuan. Marianne adalah perempuan penulis yang sejak tahun 1978 gigih mempertahankan kata perempuan dalam setiap karyanya[1]. Ia menolak untuk menggunakan kata wanita seperti yang selalu dilakukan oleh penulis-penulis lainnya. Perempuan menurutnya memiliki arti sangat dalam dan sama sekali berbeda dengan wanita. Perempuan adalah empu, seorang ahli, seorang yang memiliki kekuasaan. Perumpamaannya adalah empu jari (jempol). Fungsi empu jari dalam semua aktivitas jari tangan kita sangat menentukan. Kalau mau diterjemahkan, perempuan adalah orang yang memiliki otoritas atas diri dan tubuhnya. Karena ia memiliki otoritas atas dirinya, maka perempuan selalu berani menentang ketidakadilan dan mengupayakan keadilan. Berbeda dengan wanita yang dalam terminologi Jawa sering diartikan sebagai wani nek ditoto (berani ditata, keberaniannya hanya ada kalau orang lain memintanya). Pada kata perempuan, ia adalah subjek yang melakoni sesuatu yang mempengaruhi sesuatu. Sementara pada wanita, ia adalah objek yang hampir tidak memiliki kehendak. Ia hanya mau dipuja, diagungkan, dan dalam bahasa sekarang dieksploitasi. Keteguhannya mempertahankan kataperempuan tidak lain karena keyakinannya bahwa bahasa harus jujur. “Bahasa atau karya sastra harus mencerminkan realitas. Bahasa adalah realitas itu sendiri. Perempuan nyatanya adalah pemberi dan pemelihara kehidupan. Ia yang berperan untuk terus-menerus menghidupi kehidupan ini,” ujarnya dengan tegas. Pemikirannya dalam sastra dan perempuan tentu tidak terlepas dari ketertarikannya pada teologi pembebasan. Di tahun 1979 ia menulis sebuah karya teologi berjudul Compassionate and Free: an Asian Woman’s Theology. Buku ini diterbitkan oleh World Council and Churches yang bermarkas di Swiss. Buku ini dijadikan literatur teologi perempuan Asia dan diajarkan di seluruh sekolah teologi dunia. Dalam karyanya itu, Marianne menegaskan bahwa perempuan Asia harus berani melepaskan dirinya dari kungkungan kebudayaan luar yang asing. Perempuan harus bisa membebaskan dirinya dari nilai-nilai pinjaman atau ideologi yang tidak ia akrabi. Berteolog ala perempuan Asia adalah melakukan kritik-kritik atas semua jenis eksploitasi yang dilakukan terhadapnya akibat model-model pembangunan ekonomi dan kesejahteraan yang mengacuhkan perempuan. Henriette Marianne Katoppo dilahirkan di Tomohon, Sulawesi Utara, 9 Juni 1943. Ia adalah anak bungsu dari sepuluh bersaudara. Ayahnya adalah Elvianus Katoppo, seorang bekas menteri pendidikan zaman Negara Indonesia Timur. Tapi, ia lebih suka menyebut pekerjaan ayahnya sebagai seorang guru daripada seorang bekas menteri. Di usianya yang menginjak 60 tahun ini, ia memilih untuk menyepi dari hiruk pikuk kehidupan. Di rumah kontrakannya di daerah Pamulang, Tangerang, Marianne hanya ditemani kucing-kucingnya yang kini telah berjumlah 20 ekor. Prapanca adalah kucing kesayangannya. Bersama kucing-kucing yang ia hapal masing-masing sifatnya inilah ia kini membagi kehidupannya. Namun, bukan berarti Marianne mengucilkan diri. Perkembangan berbagai masalah dalam masyarakat, terutama sastra, tentu saja terus ia ikuti. Dalam sejarah sastra Indonesia, Marianne adalah tokoh yang luar biasa. Melalui Raumanen, ia mendapatkan tiga penghargaan sekaligus pada tahun yang berbeda. Ia menerima penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta (1975), Yayasan Buku Utama (1978) dan dalam Tahun Buku Internasional (1988). Ia menceritakan kembali kisah kemenangannya yang cukup unik. Naskah Raumanen yang berisi tentang pergulatan batin seorang perempuan ia kirim ke sebuah majalah perempuan. Tetapi, majalah ini pindah kantor. Selama enam bulan nasib naskahnya setebal 40 halaman ini tidak jelas. Saat itu Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) membuka sayembara mengarang novel. Abang Marianne, Aristides, mengusulkan agar naskahnya yang tak tentu rimbanya itu diikutkan lomba. Marianne memperpanjang naskah tersebut. Ide mengalir begitu deras. Ia sendiri berpikir bahwa harus ada yang luar biasa dari cerita ini. Aspek-aspek rasionalitas ia kesampingkan untuk sementara. Raumanen, sang tokoh dalam ceritanya meninggal tanpa bisa ditawar lagi. Akhirnya, naskah Raumanen benar-benar mendapatkan penghargaan itu. Marianne juga melahirkan karya-karya lain, seperti Terbangnya Punai (1978). Sebagian besar pendidikannya ia jalani di luar negeri. Tahun 1963 setamat Sekolah Theologi Jakarta, ia melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi di International Christian University di Tokyo. Setelah itu, ia pindah ke Kyoto dan melanjutkan pendidikannya di semacam sekolah tinggi teologi. Ia kemudian bekerja sebagai peneliti naskah di salah satu penerbitan tertua dunia, British and Foreign Bibble Society. Ia kemudian pindah bekerja menjadi salah seorang Sales Assistant AB Svenska Pressbyran, Swedia (1972—1974). Ia juga pernah bekerja selama tiga tahun sebagai editor di Yayasan Obor Indonesia, membantu Mochtar Lubis. Pengalamannya berkeliling berbagai negara membuat ia menguasai setidaknya sepuluh bahasa asing, termasuk bahasa Yunani dan Ibrani. Marianne mengaku sangat gembira karena sekarang ini perempuan-perempuan penulis mulai bermunculan. Mereka sangat kreatif dan berani membuka berbagai persoalan yang sebelumnya masih dianggap “tabu” untuk dibicarakan. Gagasan- gagasan kreatif perempuan ini tidak lepas dari keadaan sosial masyarakat yang sudah semakin terbuka meskipun menurutnya keterbukaan ini harus disikapi dengan sangat hati-hati. Keterbukaan ini bermuka ganda. Ia mencontohkan, di saat negara tidak lagi melakukan pemberedelan media massa atau sensor terhadap karya sastra, peran itu justru diambil alih oleh masyarakat. Ia menyayangkan peristiwa pembakaran karya-karya sastra seperti yang dilakukan terhadap buku-buku Pramoedya Ananta Toer dan sastrawan lainnya. Keterbukaan cenderung membuat orang merasa bebas untuk berbuat apa saja, termasuk menganiaya karya sastra, padahal menurutnya, karya sastra adalah autobiografi penulisnya dalam situasi dan kondisi tertentu. Karya sastra tidak lebih menggambarkan seseorang dalam realitas tertentu. Seseorang kapan pun di mana pun bisa melahirkan karya sastra yang sangat mungkin bertentangan dengan realitas masyarakat saat itu. Makanya, ia tak habis pikir mengapa sebuah karya sastra harus dijadikan sebagai ancaman masyarakat. Namun, di dalam dunia sastra itu sendiri pun, menurut penuturannya, bukan tidak ada “penganiayaan” sama sekali. Ia menceritakan suatu saat di tahun 1993 ketika ada penyerahan penghargaan pada salah seorang sastrawan yang menjadi penerima SEA Write Award (Penghargaan Sastra Asia Tenggara). Marianne adalah satu-satunya perempuan Indonesia yang pernah mendapatkan penghargaan serupa di tahun 1982. Pada acara itu, ia bertanya mengapa tidak ada perempuan yang bisa meraih penghargaan ini? Sudahkah para kritisi sastra di Indonesia memperhatikan karya-karya sastra perempuan penulis yang juga punya kualitas sama? Salah seorang tokoh yang hadir pada acara itu malah mengatakan, kalau Ibu Marianne rajin menulis tentu akan memiliki banyak kesempatan untuk meraihnya. Begitulah yang dikatakan tokoh itu. Kecewa dengan jawaban tersebut, terpaksa ia harus menjelaskan siapa dirinya, bahwa ialah perempuan yang hingga tahun 1993 menjadi satu-satunya yang pernah menerima penghargaan itu. Cerita tersebut sebenarnya adalah sebuah tanda bagaimana kultur patriarki berakar kuat dalam dunia sastra di Indonesia. Kemampuan perempuan selalu diragukan. Prestasi perempuan mudah dilupakan. “Ini menurut saya, diskriminasi yang tidak kurang berbahaya dari kenyataan. Pengalaman-pengalaman perempuan yang mereka tulis dalam karya sastra ditiadakan, padahal dari pengalaman- pengalaman yang tertulis itulah suara perempuan bisa diketengahkan.” “Kita harus ingat bahwa gerakan perjuangan perempuan Indonesia modern tidak lepas dari surat-surat yang ditulis oleh Kartini dan itu karya sastra,” tegasnya. Kalau karya sastra perempuan penulis tidak diakui dalam masyarakat, kita akan melanggengkan penindasan terhadap perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Kartini di Mata Marianne Berkaitan dengan Kartini, banyak orang yang salah sangka terhadap Marianne Katoppo. Orang hanya tahu bahwa ia—seolah-olah—musuh Kartini. “Padahal, sebenarnya saya sangat menghargai jasa Kartini sebagai orang yang sederhana. Secara sadar dan sengaja ia mendokumentasikan pengalaman ketertindasannya sebagai perempuan yang hidup dalam masyarakat patriarki dan feodal. Pemikirannya sangat ulung untuk ukuran saat itu. Menurut saya itu adalah pemberontakan budaya yang revolusioner pada zamannya,” jelasnya. Namun, tentu saja itu tidak cukup. Kartini seperti Mary Wallstonecraft di Inggris. Iapemikir, tapi ia tidak melaksanakan apayang menjadi pikiran-pikirannya. Meskipun demikian, Marianne mengakui, Kartini menjadi inspirasi bagi pemikir- pemikir perempuan lainnya. Di belakang hari, ada perempuan-perempuan yang lebih revolusioner dalam memperjuangkan hak-haknya. Sebut saja, Dewi Sartika di ranah Pasundan. Ia berani melawan budaya yang menempatkan perempuan di posisi-posisi yang lemah. Dewi Sartika mendirikan sekolah-sekolah khusus perempuan yang di dalamnya mengajarkan nilai-nilai kesetaraan. Sementara itu, di Tanah Rencong ada Cut Nyak Dien. Ia adalah panglima perang yang strateginya sangat licin dan menyulitkan. Sejarah mencatat, Belanda tidak pernah bisa menaklukan daerah yang kini bernama Nanggroe Aceh Darussalam itu atau di Minang banyak perempuan pendidik yang menolak bantuan dari Belanda untuk mendirikan sekolah-sekolah—karena mereka ingin independen. “Kalau mau dibandingkan dengan apa yang dilakukan Kartini, maka Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, dan lain-lain itu, jauh lebih revolusioner. Makanya, saya menolak kalau orang hanya mengagung-agungkan Kartini, apalagi menilainya sebagai satu-satunya pejuang perempuan Indonesia.” Lagi pula, menurutnya, Kartini itu bisa jadi tokoh yang “diciptakan” Belanda. Kartini dikatakan sebagai perempuan yang maju, berkembang, dan berani mengkritik karena berkat pendidikan Belanda. Belanda pada saat itu memang sedang gencar melakukan politik etis, politik balas budi. Jadi, Belanda itu memakai Kartini untuk menunjukan bahwa orang Indonesia kalau mau maju harus ikut pendidikan Belanda; harus memiliki pemikiran seperti yang diajarkan Belanda. Pendeknya, menjadi tiruan Belanda. Marianne memilih untuk hidup sendiri, tidak menikah. Sebenarnya bukan tidak ingin, tapi tidak laku, katanya berseloroh. Diakuinya kini, ia mulai merasa kesepian, apalagi ia jauh dari akses informasi seperti internet, padahal di zaman sekarang, akses informasi itu sangat penting. Itu pula yang membuatnya sulit untuk berkorespondensi dengan teman-temannya. Beberapa kali selama dalam pembicaraan, ia menyinggung keinginannya untuk pulang ke Tomohon, tanah kelahirannya. Mungkin kesepiannya telah memuncak. Ia percaya sebuah syair bahwa tak ada sesuatu pun yang dapat menggantikan kesepian. Marianne Katoppo memang bukan sosok Marianne simbol Republik Perancis, pejuang cita-cita republik semasa revolusi abad ke-18. Akan tetapi, ia tetap female warrior yang bukan bersenjatakan pedang, melainkan pena. Itu pun kalau kita tidak lupa. (MB. Wijaksana) Catatan Belakang: [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2003 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 30, 2003. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. |
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |