Menjalani masa kanak-kanak dan remaja di Pematang Siantar, Sumatera Utara, Rainy mengawali karier menulis sejak SMP dengan mempublikasikan karyanya berupa kolom pengalaman Kotak Wasiat dan beberapa cerpen anak di majalah Si Kuncung. “Untuk anak SMP, pemuatan tulisan di Si Kuncung, walau sekadar Kotak Wasiat, tentu berpengaruh besar pada diri saya. Rasa bangga melambung dan dorongan untuk menulis semakin kuat, apalagi ada honornya,” kenangnya. “Ayah saya sudah meninggal sewaktu usia saya enam tahun dan ibu membesarkan lima orang anaknya seorang diri. Suatu kali saya melihat boneka anjing yang menggemaskan di etalase. Kalau saya minta ke Ibu, pasti tak dikabulkan karena gajinya terlalu kecil untuk memanjakan anak-anaknya dengan mainan. Saya lalu terpikir untuk menulis kolom Kotak Wasiat di Si Kuncung, sebuah kolom pengalaman yang lucu. Tulisan itu dimuat dan honornya kalau tak salah Rp5.000 lalu saya belikan boneka anjing,” paparnya. Semenjak belia, Rainy memang sudah jatuh cinta kepada dunia menulis. Hal ini bermula dari kesukaannya mendengarkan cerita-cerita ibunya. Ketika memasuki masa remaja, cerita bergeser dari dongeng atau legenda ke cerita-cerita tentang silsilah marga-marga Batak dan asal muasalnya; juga pahlawan di Tanah Batak, seperti Singamangaraja dan tokoh-tokoh masyarakat Batak yang dikenal ibunya. Namun, pengalaman lain yang paling berkesan adalah sewaktu di Taman Madya (setingkat SMP) di Taman Siswa, Pematang Siantar. Guru sejarahnya, Bu Asni Lubis, adalah seorang pencerita yang ulung. Sang Guru pandai bercerita seolah- olah Diponegoro, Cut Nyak Dien, Teuku Umar, atau Jenderal Sudirman itu sahabat- sahabatnya. Pengalaman masa kanak-kanak dan remaja inilah yang berkaitan dengan dorongan dalam dirinya untuk menulis. Bakat menulisnya mulai terasah ketika SMA ia diajak ibunya ke sebuah majalah gereja yang diterbitkan oleh sebuah kantorpusatgerejawi. Ibunya memperkenalkan Rainy pada salah seorang redakturnya. Rainy diajak menulis cerita bersambung. Walau honornya sangat kecil, ia semangat menulis karena merasakan kebanggaan dan kepuasan tertentu. Kata ibunya, ajakan itu kesempatan baik untuk berlatih menulis. Dorongan dari ibu penting, sebab membuatnya menyadari bahwa menulis itu suatu prestasi. Selain cerita, Rainy juga mencoba menulis beberapa puisi di sebuah koran lokal ternama waktu itu. Masih ketika SMA, Rainy ke Jakarta diajak belajar soal redaksional pada sebuah penerbit. Ia berkenalan dan bergaul dengan banyak cerpenis dan penyair, di antaranya Darwis Khudori, Hamsad Rangkuti, Veven Sp. Wardhana, Ags. Arya Dwipayana, Arwan Tuti Artha, Budi Sarjono, dan banyak lagi. Rainy suka main ke rumah Pramoedya Ananta Toer di Utan Kayu, diperkenalkan oleh komponis Subronto Kusumo Atmojo. Selain bertemu Pram, ia beberapa kali bertandang ke rumah Mochtar Lubis di dekat Tugu Proklamasi. Lingkungan pergaulannya dengan para cerpenis membuatnya terpengaruh untuk memilih menulis cerpen. Di samping itu, baginya pergulatan menulis cerpen juga tak sepanjang menulis novel. Rainy tipe penulis yang membutuhkan mood saat menulis fiksi. Ia agak obsesif dengan apa yang ditulisnya. Baginya, lebih cocok menulis cerpen. Menulis novel memerlukan konsentrasi khusus walau suatu saat ia ingin bisa menulisnya. Sebenarnya, saat belajar redaksional di penerbit itu, ia pernah menulis sebuah novel remaja. Novel itu ia serahkan ke seorang rekan jurnalis di Surabaya. Sayangnya, sesudah itu ia kehilangan kontak dengan jurnalis itu, sedangkan ia tak memiliki copy naskah novelnya sendiri. Rainy kemudian tumbuh menjadi cerpenis yang diperhitungkan. Beberapa kali karyanya dimuat di Kompas dan salah satu cerpennya berjudul “Aaa! Iii!...Eee! Ooo!” yang mengisahkan seorang gadis cantik yang menderita mental terbelakang, masuk antologi cerpen pilihan Kompas 1999 Derabat. Sastra Kitab Suci Rainy belia kemudian memilih kuliah jurusan teologi di STT Jakarta. Inilah alasannya memilih bidang teologi, karena ingin belajar sastra sekaligus kitab suci. Tetapi, ketika ia masuk, program di STT Jakarta sudah berubah menjadi untuk kependetaan. Kurikulum dipadatkan dari enam tahun menjadi lima tahun. Dan ternyata, sastra kitab suci hanya sebagian mata kuliah. Masih ada lagi mata kuliah lain, seperti dogmatika, pastoral, yang kurang ia minati, tetapi harus dipelajari. Untungnya, di sana para mahasiswa juga ditugaskan untuk membaca kitab suci agama-agama lain, seperti Hindu dan Islam. Selain itu juga ada pelajaran filsafat yang terkait dengan perkembangan sastra, seperti Nietzsche dan Sartre. Mata kuliah sastra berlangsung hanya untuk semester 1—4. Bagusnya, di sana ia bebas memilih pengarang yang karyanya harus dibaca, namun terkait dengan filsafat. Baginya, siapa pun yang membaca kitab suci pasti akan terbentur menghadapi teks-teks patriarki. Orang yang kritis, akan terusik rasa keadilannya, marah, dan tak betah oleh bias gender atau diskriminasi terhadap perempuan, mulai dari kitab suci, organisasi agama, dogma/ajaran, dan ritus. Inilah yang terjadi pada Rainy, apalagi skripsinya di bidang Biblika, Perjanjian Baru. Rainy kemudian memilih women’s studies karena tuntutan bidang studi dan pekerjaan. Waktu itu, ia melakukan riset buruh di sejumlah pabrik dan juga riset isi media. Belum lagi menyusun modul pelatihan, di tempat kerjanya (Yakoma- PGI) mengintegrasikan penyadaran gender. “Saya, kan, mesti berhadapan dengan para narasumber dan fasilitator yang pengetahuannya tentang kajian perempuan cukup maju. Lalu, kalau tak nyambung bagaimana? Pengetahuan saya tentang analisis gender minim, apalagi untuk riset buruh dan media. Saya berhadapan dengan konsep-konsep seperti women in development, gender and development… wah, dulu saya tak paham membedakannya. Internet waktu itu belum populer sehingga saya tak bisa mencari informasi. Memang, ada teman yang bersedia membantu, tetapi, kan, tetap saja belum memadai. Lalu, saya putuskan untuk mengikuti Kajian Wanita di UI untuk memperdalam dan sekaligus menopang studi teologi saya. Kajian wanita penting bagi mereka yang berkiprah di bidang pelatihan media seperti saya, pengelolaan publikasi dan riset, apalagi dalam organisasi agama,” katanya. Jalan Sendiri-Sendiri Ketika ditanya mengenai perkembangan gerakan perempuan, Rainy mengakui rada tersendat, terutama merujuk pada pengalaman di lingkungan gerejanya. Di lingkungan gereja, gerakan perempuan berjalan tersendat-sendat. Secara umum, menurut pengamatannya, mulai ada perubahan. Pada beberapa sinode gereja, perempuan telah menduduki kursi pengambilan keputusan tertinggi. Beberapa sinode juga telah membangun rumah damai (crisis center) bagi perempuan korban kekerasan. Memang jumlahnya masih terbatas, tetapi sudah memperlihatkan kemajuan. Hanya saja, menurut Rainy, yang dinamakan gerakan bersama belum terwujud. Lembaga terkait perempuan di lingkungan Kristen cenderung jalan sendiri- sendiri—untuk tidak mengatakan terkotak-kotak. Bahkan, di antara para aktivis perempuan sendiri ada berbagai persoalan. Ini sangat disayangkan karena dengan demikian, kaum perempuan tidak menawarkan perspektif power relation dan sisterhood yang berbeda dengan laki-laki. Hasilnya, tentu saja tak maksimal. Hanya pada momen penting, seperti pengesahan UU Pornografi dan Pornoaksi, misalnya, gerakan perempuan lintas agama bersatu. Ini memang menggembirakan, tetapi tanpa momen khusus yang mendesak, sehari-hari jalan sendiri-sendiri, tidak bersinergi. Tak Pernah Memandang Diri sebagai Difabel Rainy menjadi seorang difabel ketika ia menginjak bangku SMA. “Di SLA baru terasa, dan saya pernah mencoba MRI (Magnetic Resonance Imaging) di RS Cipto, Jakarta, hasilnya tak ada apa-apa. Saya juga pernah terapi akupuntur di beberapa tempat, terasa membaik, tetapi tak lama kembali pada kondisi semula. Akhirnya, saya memutuskan untuk berhenti memperlakukan telinga saya sebagai ‘pesakitan’ dan menerima kenyataan bahwa saya memang difabel,” paparnya. Meski demikian, ia tak pernah memandang diri sebagai “orang cacat”. Rainy merasa sama saja seperti orang-orang lain, sama seperti mereka yang pakai kacamata karena matanya rabun atau berat tubuhnya berlebih. Ibunya juga tak pernah memperlakukan dirinya berbeda dengan yang lain. Tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya sama dengan adik-adiknya. Tak ada perlakuan lebih dan tak ada perlakuan kurang. Lingkungan keluarga, terutama ibu dan adik- adiknya sangat penting untuk membangun konsep diri. Menurutnya kalau orang- orang di sekeliling kita memandang kepada kita dengan optimis, maka kita pun akan optimis. Ibunya pernah marah besar pada seorang tetangga ketika dikatakan bahwa setamat SMA sebaiknya Rainy dikawinkan saja. Ia memang tak mendengar langsung percakapan Ibu dengan tetangga itu, tapi Ibu menceritakannya kepada saya dengan nada marah. “Dikiranya kau tak punya masa depan! Cuma di dapur!” kata ibunya. Sampai sekarang, bila mengingatnya, emosi Ibu terasa berdenyut di hatinya. Menerima dirinya sebagai difabel, Rainy berkeras untuk mengatasi kekurangan dirinya dengan belajar. Dalam berkomunikasi, Rainy membaca gerak bibir orang yang berbicara kepadanya. Sewaktu SMA dan semasa kuliah, Rainy selalu memilih duduk di baris bangku terdepan. Dari pengalamannya belajar, ia menyimpulkan bahwa bila kita punya kekurangan, kita mesti meraih kelebihan yang lain. Rainy tak pernah berterus-terang bahwa pendengarannya kurang. Orang baru tahu setelah bergaul dengannya. Dalam pergaulan, Rainy tak pernah “pasang tampang” bahwa ia difabel. Di lingkungan kampusnya dulu, ukurannya bukan difabel atau nondifabel, melainkan intelektualitas. “Kalau mampu, kita menjadi tempat orang untuk berkonsultasi atau bertanya,” jelas Rainy. Memang, ada beberapa mahasiswa yang memandang sebelah mata, tetapi tak sampai mengusik keasyikan kuliahnya di kampus. Rainy belia juga jadi pengurus senat dan ikut mengelola majalah dinding kampus sehingga ia tak lagi memikirkan kekurangan yang ada dalam dirinya. Baginya, seorang difabel harus mengenali keterbatasan dirinya dan memilih bidang yang cocok dengan minat dan kemampuannya. “Saya tak mungkin menduduki posisi public relation karena keterbatasan pendengaran, misalnya. Sebaliknya, saya cocok di bidang terkait publikasi dan riset serta pelatihan- pelatihan, khususnya pembuatan modul dan pengadaan materi. Pengalaman mengajarkan, jika kita difabel, maka kita harus ‘dua kali lebih’ dari yang lain agar diperlakukan setara dan dihargai,” katanya. Bagaimana dengan perlakuan diskriminasi? Ia yakin, semua difabel pernah mengalami diskriminasi. Ia pernah mengatakan pada dirinya walau tak sampai menyurutkan semangat hidup bahwa saya difabel dan seorang perempuan! Ini untuk mengingatkan kerentanan dua hal akan diskriminasi dan eksploitasi. Rainy yakin, semua difabel pernah mengalami diskriminasi, juga eksploitasi. Disuruh mengerjakan macam-macam pekerjaan di luar pekerjaan kantor, urusan pribadi, dan kalau menolak diancam akan di-PHK. Dulu Rainy menulis makalah untuk atasan dan memakai nama atasan, juga penelitian dengan memakai nama atasan. Periode lampau ia cukup sering menulis makalah, tetapi bukan atas nama dirinya. Seorang penulis terkenal pernah mengiriminya SMS bahwa ia adalah benchmark yang dipasang di tempat kerjanya. Dalam batas tertentu, ia bisa menerima bahwa perlakuan diskriminasi itu sifatnya manusiawi. Misalnya, orang-orang berbincang dengan suara perlahan, tidak memperhitungkan kehadirannya yang berpendengaran kurang. Dalam situasi seperti ini, kita harus bersabar. Sebagai informasi, indra telinga berkaitan dengan keselarasan emosi. Mereka yang pendengarannya kurang, harus mampu mengolah emosi sedemikian rupa agar stabil. Banyak membaca akan menolong mengenali diri dan mengatasi persoalan psikis maupun kehidupan sehari-hari di lingkungan kerja. Sulit Berharap pada Pemerintah Rainy merasa sulit berharap banyak kepada pemerintah untuk lebih memperhatikan difabel dalam pembangunan infrastuktur, misalnya trotoar jalan, jembatan penyeberangan, dan zebra cross. Dengan kondisi infrastruktur jalan seperti ini, orang buta sulit berjalan sendirian, apalagi para pengguna kursi roda. Para pengendara sepeda saja tak punya tempat di jalan raya, apalagi difabel. Harapan terpaksa dibatasi sebatas membuka peluang kerja bagi para difabel. Di era globalisasi dan pasar bebas, menurutnya, persaingan yang dihadapi para difabel akan semakin hebat. Angka pengangguran di Indonesia tinggi, membuat peluang difabel untuk memenangkan persaingan di dunia kerja semakin sulit. Di sinilah intervensi pemerintah diperlukan, misalnya, dengan memberi keringanan tertentu bagi pihak swasta yang mempekerjakan difabel. Rainy melihat, ke depan isu difabel akan dilihat sama penting dengan isu pemanasan global dan perubahan iklim yang mengancam kehidupan di planet bumi. (Donny Anggoro) Catatan Belakang: Tulisan ini dibuat pada tahun 2011 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 69, 2011 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Latifah Iskandar, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) dipercaya memimpin tim perumus, tim sinkronisasi, tim lobi, dan sejumlah tim kecil lainnya yang tergabung dalam Tim Pansus RUU PTPPO pada tahun 2006. Bersama pemerintah yang diwakili oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Menteri Hukum dan HAM, mereka merampungkan pembahasan yang dijanjikan selesai paling lambat Desember 2006. Masyarakat waktu itu gelisah menantikan undang- undang yang sudah lama ditunggu-tunggu ini. Apa jawaban Latifah? Apakah RUU usul inisiatif DPR itu nantinya hanya akan menjadi “macan kertas” atau memang benar-benar sudah sebagaimana yang diharapkan masyarakat? Berikut wawancara jurnalis Jurnal Perempuan, Henny Irawati. JP : Sudah sejauh mana perkembangan RUU PTPPO? Latifah Iskandar (LI): Bulan Juli kemarin draf terakhir sudah kita kirim. Pada tanggal 14 Agustus 2006, presiden sudah menjawab dan menerbitkan surat yang menunjuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan (KPP) dan Menteri Hukum dan HAM untuk bersama DPR membicarakan RUU itu. Dan, 7 September 2006 rapat internal Pansus akan memutuskan mekanisme pembahasan bersama pemerintah. Di situ akan disebutkan jenis-jenis rapat, bagaimana pengambilan keputusannya, siapa yang berhak membahas, apakah menteri atau wakilnya. Semua itu nanti akan dibahas di rapat pleno yang akan saya pimpin. Dan, menurut informasi yang saya terima dari KPP, pemerintah juga sedang menyiapkan DIM (Daftar Isian Masalah—red.) yang insya Allah akhir September akan selesai dan DIM itu akan disampaikan ke DPR untuk dibahas bersama-sama di (rapat) paripurna. JP : Mengapa butuh rentang waktu yang cukup lama dalam menyelesaikan pembahasan RUU ini? LI: RUU ini termasuk cepat. Kalau saya boleh sombong atau bangga sedikit, sejak Januari dibahas, selama 7 bulan itu sudah selesai di Pansus. Sekarang sedang menuju presiden. Bandingkan dengan RUU yang lain. Alhamdullilah, ada mekanisme yang membuat waktu itu jadi relatif. Konkretnya, di DPR itu cuma dua hari saja untuk melakukan rapat Pansus, selebihnya ada rapat komisi, rapat paripurna. Dalam pembahasan, panjang-pendek, efisiensi, dan leadership itu sangat berpengaruh untuk membuat kinerja Pansus menjadi optimal. Kalau dikatakan lama, itu dululah (versi usulan pemerintah). Saya tidak bicara itu. Saya bicara yang dikerjakan Pansus periode ini. Dan, Alhamdullilah, dibandingkan dengan RUU APP yang belum apa-apa. JP : Hambatan-hambatan apa yang ditemui tim Pansus selama pembahasan? LI: Kalau hambatan itu, mungkin pada bagaimana menyinkronkan dengan produk- produk perundang-undangan yang lain. Itu masalah yang cukup besar. Pada pembahasan kemarin, kita juga menghadirkan pakar-pakar hukum yang lain supaya UU kita ini implementasinya tidak mengalami kendala yang berarti. Kaitannya dengan kekhawatiran banyak pakar hukum, bahwa KUHP yang menjadi acuan pertama UU ini nanti akan kehilangan kekuatan hukumnya. Tetapi, saya melihat bahwa kendala utama produk ini adalah bisa sinkron tidak dia dengan perundang-undangan yang lain. Jadi, pembahasan yang agak lama itu pada bagaimana pakar-pakar itu memberikan masukan pada Pansus untuk bisa melahirkan UU yang tidak tiba-tiba lahir, tiba-tiba masuk mahkamah konstitusi. JP : Belum adanya UU untuk menjerat pelaku trafficking membuat aparat kesulitan menegakkan hukum, bagaimana menurut Ibu? LI: Ya, memang benar. Meskipun kalau untuk anak-anak sudah ada UU Perlindungan Anak, itu juga masih kurang. Efek jeranya masih kurang. Setiap hari di media ada siaran tentang pelaku trafficking yang dipegang polisi, tetapi belum tahu hukumannya bagaimana karena masih di tingkat kepolisian. Di tingkat kehakiman dan kejaksaan, kita juga belum tahu bagaimana. Datanya masih sangat sedikit. Hasil kunjungan kerja kami ke propinsi-propinsi dan kabupaten, kota, banyak penegak hukum yang belum bisa menangani kasus- kasus trafficking ini. Ya, memang belum ada UU-nya. Mudah-mudahan UU ini dapat terimplementasikan dengan baik, tentunya penegak hukumnya harus punya komitmen. JP : Lantas mengapa DPR baru mengusulkan RUU PTPPO ini sekarang? LI: Jadi begini, membuat UU itu bisa dari pemerintah atau dari DPR. Kita melihat UU dari DPR itu relatif lebih cepat dibanding UU dari pemerintah. Kenyataannya memang demikian. Dulu, waktu zaman Megawati, UU ini sudah pernah diajukan. Tetapi, sampai Megawati selesai masa jabatannya, UU itu belum selesai. Dan, UU itu tidak bisa dilanjutkan, harus dibahas mulai dari awal lagi. Pada saat kita rapat dengar pendapat dengan KPP, menginvetarisasi, DPR juga menginventarisasi, Komisi VIII juga menginventarisasi, UU mana yang sangat dibutuhkan. Nah, kita lihat UU PTPPO ini. Waktu rapat dengan menteri, kita sepakati strateginya menjadi RUU usul inisiatif DPR. Jadi, betul- betul ini strategi yang dipilih untuk mempercepat UU yang sangat ditunggu. Kalau ukurannya lama dibahas, sejak dulu sampai sekarang, iya. Kalau hasil pembahasannya mau dinilai, sudah cukup, kok, ini. September ada DIM dari pemerintah. Mekanismenya sudah disepakati. Kita punya waktu sebagian September. Oktober kita reses, tidak boleh menggelar rapat. Bulan November, kalau tidak ada kontroversi, tinggal mengatur beberapa hal yang terkait, misalnya bagaimana agar pasal-pasal tersebut implementasinya mudah, bagaimana tanggung jawab pemerintah. Nanti UU-nya sudah ditetapkan, tapi karena tidak jelas, tidak bisa diimplementasikan. Sebagai ketua Pansus, saya optimis. Tentunya dari semua sisi juga diharapkan bantuannya untuk mengomunikasikan hasil ini. JP : Bagaimana dengan efek jeranya? Apa Ibu yakin bahwa itu sudah cukup memberatkan pelaku? LI: Harus yakin. Kita membuat UU ini untuk menindak pelaku trafficking yang kita tahu semakin hari semakin meningkat. Dan, itu akan sukses di tangan penegak hukum yang punya komitmen tinggi. Saya tidak bisa menjamin. Tetapi, saya harus optimis karena produk ini harus diimplementasikan. Kepolisian itu meminta kepada saya, “Tolong, dong, cepat, kita butuh sekali UU ini karena (sekarang kita) ingin menangkap dengan hukum apa?” Di KUHP hanya disebutkan perdagangan. Perdagangan apa? Diterjemahkan seperti apa? Perdagangan manusia sekarang ini sangat canggih, modusnya juga bermacam- macam. Saya tidak bisa menjamin, tapi saya yakin UU ini sudah dibahas secara optimal dan harus dipegang penegak hukum yang baik. JP : Kapan targetnya? LI: Paling lama Desember. Mudah-mudahan Novembersudah bisadisempurnakan. (Henny Irawati) Catatan Belakang: Tulisan ini dibuat pada tahun 2006 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 49, 2006 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Pada 30 November 2008, Cucu Saidah yang saat itu aktif di Handicap Surakarta dengan Faisal Rusdi, pelukis yang menggunakan mulut, menikah. Meski tanpa kehadiran orang tua dan keluarga besarnya, Cucu tetap bahagia. Gores kebahagiaan mereka, ia tunjukkan kepada Jurnal Perempuan yang menyambangi kediamannya tepat di Hari Raya Idul Adha akhir November 2009 yang lalu. Foto pernikahan, film dokumenter tentang aktivitas mereka, turut menggenapi kekosongan ruang itu. Pada tahun 1998, Cucu Saidah yang baru menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Persada Indonesia, Bandung melakukan sesuatu yang berani. Ia berupaya menularkan apa yang telah dipelajarinya dengan menjadi guru honorer di Yayasan Penyandang Anak Cacat (YPAC). Tekadnya untuk berbagi dan meningkatkan kesadaran kepada sesama difabel tak surut oleh honor yang hanya sebesar Rp80.000 per bulan kala itu. Genap empat tahun ia mengabdikan ilmunya, Cucu mendapat kesempatan mengikuti pelatihan kepemimpinan difabel se-Asia Pasifik di Jepang. “Di pelatihan itu kita diperkenalkan dengan sistemnya, perjuangan, dan pergerakan mereka hingga bisa mendapat layanandari pemerintah. Kalau di Indonesia, jangan dibandingkan lah.” Ketika Cucu memulai pelatihan di negeri Sakura, banyak hal menjadi proses titik balik baginya. Aktivitas selama sepuluh hari menginap di Centre Independent Living (serupa LSM di Jepang-red) menjadi arena menempa mental dan kesadaran dirinya. “Ada satu staf di sana yang cacatnya lebih parah dari Faisal (suami Cucu). Ia Cerebral Palsy (gangguan pada otak kecil yang mengakibatkan gangguan motorik dari leher ke bawah) berat. Bicara pun ndak jelas, makan dengan nasi tim dan disuapi. Padahal, usianya sudah 40 tahunan,” kata Cucu. Walhasil, setiap hari Cucu harus makan bersama dengan peserta lain termasuk staf itu. Meja bundar menjadi salah satu media interaksi dan komunikasi dalam pelatihan tersebut. “Jadi, kemana-mana pasti ketemu muka. Makananku selalu tak habis. Dan kalau ditanya aku selalu bilang ndak lapar.” Sambil memotong semangka sebagai suguhan, Cucu kembali menuturkan pengalamannya selama pelatihan di Jepang. “Satu dua hari hilang nafsu makanku dan guruku (dengan pendekatan peer conseling) mendekatiku. Dia membaca kalau aku ndak biasa dan belum terbiasa dengan meja bundar itu,” kata Cucu. Yayasan Talenta Surakarta menggunakan metode pemahaman karakter diri dengan menggambar orang. Beberapa psikolog melakukan tes dengan gambar THP (Tree, Home, People) untuk mengetahui karakter seseorang. Sementara itu, sebuah Center Independent Living di Jepang menggunakan meja bundar sebagai alat bantu untuk mengenali tingkat hegemoni kenormalan seseorang. Selama berjam-jam Cucu berbincang dengan salah seorang peer conseling di sana. Pertanyaan mendalam tentang pemahaman diri, seperti apa hakikat kita menjadi manusia, kenapa kita dilahirkan, apa hakikat kita sebagai makhluk sosial, hingga bagaimana seandainya kalau kita yang duduk di kursi roda itu, menyesaki rongga kesadaran Cucu. “Jadi, lama-lama aku mikir, iya, ya, bagaimana pun kita, warna apa pun, kita manusia, sama.” Hari berikutnya sudah bisa ditebak, Cucu mulai menyapa dan bertatap muka dengan staf tersebut. Cucu pun mulai menikmati hidangan yang disuguhkan di pelatihan itu. “Meski semeja sama dia, tapi aku ndak melihat ke arah dia.” Esoknya, ia mulai menyapa staf itu, “Konichiwa.” Ia menyambut dengan bahagia (konichiwa). “Di situ, saya kembali berpikir, bagaimana pun kita bersaudara,” kata Cucu. Beragam kegiatan Cucu ikuti di sana, termasuk pembangunan karakter diri melalui peer conseling. “Bagaimana kita bertindak sebagai pemimpin, bukan pemimpin sebuah lembaga, organisasi atau institusi, tapi bagaimana kita bisa memimpin diri kita sendiri,” ungkap Cucu. “Seorang pemimpin yang baik itu seperti apa? Yang paling penting, punya hati,” jelasnya. Cucu menjelaskan bahwa hakikat manusia harus bisa membawa diri sendiri lebih dulu untuk menjadi seperti apa. Sebaliknya jika manusia menjadi sosok yang palsu, maka ia tak akan pernah bisa menemukan dirinya. “Artinya, kalau hanya palsu, tapi diri kita sendiri tidak tahu mau dibawa kemana, ya, tidak bisa jadi diri sendiri.” Pada tahun 2003 ketika Cucu kembali ke Indonesia, rasa kaget menyergapnya. “Di sana dengan bebasnya aku bisa ke mana-mana dengan kursi roda elektrik. Aku bisa kemana pun, mulai dari ke penginapan sampai naik kereta, aku bebas. Sampai di sini aku terbentur lagi dengan pelayanan publik yang ada,” kata Cucu. Rendahnya akses publik di Indonesia tak mematahkan semangat Cucu untuk bergerak dan berbagi konsep dengan sesamanya. Segala yang Cucu peroleh dari perjalanannya ke negeri Sakura tak sia-sia. Ia pun menjadi leader di antara sesama teman difabel di Bandung, tempat ia menghabiskan masa kecil hingga dewasa melalui diskusi demi diskusi. Ia memulai berbincang dengan sesama difabel semasa di SLB (Sekolah Luar Biasa) hingga membentuk barisan volunter bersama beberapa mahasiswa di Bandung. “Mulailah aku berbagi tentang konsep independent living itu seperti apa, lewat peer conseling dan peer support.” Hingga pada tahun 2005, Cucu, Faisal Rusli, dan beberapa difabel lain membentuk komunitas bernama BILIC (Bandung Independent Living Centre). Keduanya tak keberatan ketika Jurnal Perempuan mengutarakan maksud hendak berbincang tentang mereka berdua. Di sela perbincangan, sesekali tampak Cucu memandangi Faisal suaminya yang tengah serius menyimak perbincangan kami. Mereka pasangan difabel yang sungguh mandiri. Mereka berteman sejak di SLB. Cucu di SLB D dan Faisal di SLB D1. Kepada Jurnal Perempuan Cucu menjelaskan, SLB D diperuntukkan bagi mereka yang dikatakan tidak mengalami gangguan intelektual, tetapi hanya fisik, misalnya polio. Perlakuan guru juga hampir sama seperti di sekolah biasa. Sementara, SLB D1 justru yang lebih banyak mendapatkan diskriminasi. “Kalau yang D1 seperti suami saya, sering mendapatkan diskriminasi. Karena secara fisik ndak berfungsi, maka dianggapnya intelektual juga tergangggu, padahal tidak,” ungkap Cucu. Cucu memang tak mendapatkan diskriminasi langsung selama di SLB. Namun, itu tidak mengurung sensitivitasnya menyaksikan diskriminasi yang dialami teman-temannya, hal yang makin jelas ia lihat saat bergabung mengajar di YPAC. “Perlakuan guru-guru di SLB banyak yang tidak manusiawi. Anak-anaknya lebih banyak digoblok-goblokin. Dianggapnya mereka mempunyai gangguan intelektual sehingga perlakuannya tidak disesuaikan dengan usianya. Misalnya, usia sebenarnya 15 tahun tapi masih diperlakukan kayak anak-anak usia 5 tahun. Ketika menjadi honorer di YPAC, aku lebih banyak dekat dengan remaja (SMP— SMA) karena pendekatanku lebih banyak pendekatan teman daripada guru dan murid. Dan, aku menyaksikan teman-teman diperlakukan seperti anak kecil. Itu yang membuat aku miris.” “Aku cacat dari lahir,” kata Cucu. Meski mitos seputar kelahirannya menjadi gunjingan tetangga, Cucu bersyukur karena orang tuanya bukan orang yang percaya akan hal itu. “Kakakku sering cerita kalau kelahiranku sempat jadi cemoohan. Bahkan, dari saudara dekat juga sempat mencemooh. ‘Mungkin karena bapaknya terlalu galak,’ terus anak cacat mau jadi apa?” Ketika Cucu menuturkan kisahnya, ia tampak terharu. Ia ungkapkan perasaan bangga kepada orang tuanya yang tidak menyembunyikan kehadirannya. “Justru mereka mencoba agar anaknya yang bungsu ini harus seperti orang lain, seperti kakak-kakakku yang lain. Mereka berpikir bahwa anak-anaknya harus sekolah. Karena orang tua ndak bisa membekali anak-anaknya dengan materi, tapi ilmu.” Kendati begitu, Cucu sadar benar jika orang tua dan keluarga pasti mengalami proses untuk berbesar hati menerima kehadirannya di tengah keluarganya. Sungguh beruntung Cucu terlahir dari orang tua yang sangat mengasihinya. Ia mengenyam pendidikan dasarnya di SLB di Bandung sejak SD umum di Garut (tempat kelahirannya) enggan menerima Cucu. Usianya baru lima tahun saat orang tuanya meminta Cucu tinggal bersama kakaknya yang tengah merampungkan kuliah di Bandung. Seminggu sekali orang tuanya berkunjung. “Sedih juga kalau mengingat itu. Negatifnya, aku dijauhkan dari orang tua saat usia kanak. Positifnya, aku menjadi orang, menjadi diriku sendiri. Kebayang kalau orang tuaku menyembunyikanku. Mungkin aku akan ngesot-ngesot di rumah.” Tak jauh berbeda dengan orang lain, Cucu pun berhasil menuntaskan pendidikannya hingga S1, jenjang pendidikan yang masih sangat jarang di daerah asalnya, Garut. Kini ia pun bisa menunjukkan bahwa dirinya juga bekerja layaknya orang “normal.” Suatu hari, ketika ia memutuskan untuk menikah dengan Faisal Rusdi, orang tua dan keluarganya menolak keputusannya; menolak Cucu menikah dengan Faisal yang kondisinya lebih “berat” dari Cucu. Bagi Cucu, hal ini mungkin membangkitkan luka lama orang tuanya. Luka lama bagaimana keluarga dan orang tua dicemooh tetangga dan saudara. Luka lama tentang bagaimana orang tuanya berjuang menerima kehadiran Cucu di tengah keluarga. Berkat perjuangan, kesabaran, dan ketekunan keduanya meyakinkan orang tua, kini orang tua menerima apa pun pilihan dan keputusan Cucu. Tak banyak difabel—apalagi perempuan difabel—yang seberuntung Cucu; mendapat kesempatan pendidikan hingga memperoleh ruang untuk mengaktualisasikan diri melalui pekerjaan. “Secara umum, perempuan difabel akan menerima perlakuan diskriminasi ganda. Kalau secara personal, di zaman sekolah di SLB, mungkin aku juga pernah mengalami, tapi karena aku masih kecil jadi belum menyadari.” Ia mengatakan, dalam rumah tangga pun, suaminya begitu menghormati. Kedudukan mereka setara. “Memang suamiku difabel, tapi dalam kehidupan, menuangkan cinta, mengambil keputusan, dan sebagainya, kita selalu berkomunikasi. Justru suamiku lebih bisa memahami aku.” Meski demikian, pengalaman tidak menyenangkan bukannya tak ada. Waktu SMA ketika Cucu hendak naik ke angkutan umum, ia dianggap tidak bisa naik sendiri. “Terus aku dipegang bagian belakangnya. Aku bilang, eh, jangan pegang- pegang. Dia bilang, kan, mau nolong. Ya, tapi tanya dulu, dong, jawabku,” begitu cerita Cucu. Berbincang tentang fasilitas publik yang ada di negeri ini seperti menegakkan benang basah. Fakta tersebut menjadikan Cucu enggan menggunakan kursi roda, apalagi sejak kecil Cucu merasa lebih nyaman menggunakan kruk dibanding kursi roda, hanya pada saat-saat tertentu ia menggunakan kursi roda. “Semua pelayanan publik memang bermasalah. Misalnya, orang yang mau menolong, tidak tahu gimana cara menolongnya. Jadi, aku suka gereget melihatnya. Harusnya, mereka tanya dulu bagaimana kenyamanan si difabelnya.” Pengalaman lain yang Cucu alami adalah menghadapi layanan di bandara. Ia menjelaskan bahwa kebijakan bandara kini justru makin memarginalkan difabel. Begitu juga perempuan hamil dan orang sakit, harus lebih dulu menyerahkan surat keterangan dokter. Khusus penumpang domestik yang memerlukan asistensi, mereka (pihak bandara-red) menetapkan bahwa asistensi disepakati dalam selembar kertas bermaterai Rp6000 yang harus ditandatangani oleh penumpang. Kertas tersebut menyatakan bahwa penumpang itu sakit dan maskapai tidak bertanggung jawab jika terjadi apa-apa. “Jadi, dianggapnya kita ini penghambat. Misalnya terjadi apa-apa, kita bukan orang yang pertama ditolong.” Atas daya kritis Cucu terhadap kebijakan bandara, sering kali ia harus terbentur dengan persoalan tersebut ketika hendak melakukan perjalanan. Bahkan, akibat soal surat asistensi itu, ia pernah membuat Garuda menunda penerbangannya selama satu jam. Pada tahun 2007, Cucu dan lima orang temannya dari tim IDPs Norwegia hendak ke Yogyakarta. Ia satu-satunya difabel dalam rombongan tersebut. Karena ia enggan menandatangani surat asistensi, pihak Garuda mendatangkan pilot dan sekretaris general manager Garuda. Atas dalih kebijakan, pihak Garuda tetap tak mengizinkan Cucu untuk terbang. Walhasil, datanglah seorang penumpang yang juga terlambat. “Kalau enggak salah, dia dari Komnas HAM atau staf dari kepresidenan, saya lupa. Dia bilang, ‘Anda bayangkan kalau ini terjadi pada ibu Anda. Ibu Anda harus melakukan perjalanan dan tidak diperbolehkan.’ Pihak Garuda tetap ngeyel, ini peraturan. Dan, bapak itu berkata, ‘Kalau ibu ini tetap tidak diperbolehkan, saya akan lapor presiden saat ini juga.’ Akhirnya, kita bisa melenggang melewati orang-orang yang sudah duduk enak di kelas bisnis.” “Di hampir seluruh bandara di Indonesia, kecuali Solo dan Yogyakarta. Lagi-lagi karena masalah surat, sampai aku dibilang orang gila oleh staf Adam Air waktu itu. Jadi, saya pikir, kebijakan bandara itu (surat asistensi-red) berlaku untuk semua. Tapi, banyak difabel yang belum menyadari. Jadi, ketika disodorkan kertas mereka tanda tangan saja.” Masih berkaitan dengan kebijakan bandara, Cucu juga pernah protes karena saat ia dan dua temannya dari Jepang serta tiga volunter sebagai pendamping tiba di bandara Surabaya, pihak bandara malah mendatangkan ambulans di luar pesawat, bukannya kursi roda. Cucu bercerita, “Berbicara fasilitas publik, sangat menyedihkan. Waktu ngurus pembuatan SIM, dipanggil nama, Cucu Saidah, polisinya malah ngelihatin dari atas ke bawah. ‘Ibu mau bikin SIM?’ ‘Ya, iya, Pak, masa mau minta sumbangan.’ ‘Oh… SIM apa, Bu? Ibu bisa nyetir?’ ‘Ya, lagi belajar, Pak.’ ‘Mobilnya ada?’ ‘Pak, kalau saya ndak punya mobil, tentu saya ndak bikin SIM.’” Sejak Cucu memutuskan untuk pindah dan menetap di Solo, pengalaman tak lantas selesai. Meski konon Solo kerap dianggap sebagai kota yang ramah bagi difabel, nyatanya Cucu sering kali dianggap sebagai penghuni RC (Rumah Cacat, nama lain dari BBRSBD-Balai Besar Rehabilitasi Sosiali Bina Daksa). “Ceritanya kita belanja ke mal, lalu ketemu seorang ibu dan bertanya,‘Dari RC, ya?’ ‘Enggak, saya dari Bandung.’ ‘Baru masuk ke RC? Sekolah atau kerja?’ ‘Enggak, saya kerja.’ ‘Kerja di mana, di RC?’ ‘Eggak, saya di Helen Keller International.’ ‘Oh, kenapa ndak kerja di RC aja. Suami saya juga kerja di sana. Bagus di sana.’ ‘Ndak, terima kasih, saya ndak berminat.’ ‘Kenapa? Kan, di sana juga ada asrama.’ ‘Ndak, Bu, saya sudah punya pekerjaan.’ ‘Kan, orang cacat di sana semua.’ ‘Enggak, Bu, terima kasih. Saya manajer program di Helen Keller Internasional. Silakan Ibu datang ke kantor saya.’” Bahkan, ketika jurnalis Jurnal Perempuan menemani Cucu belanja ke sebuah mini market dalam sebuah perjalanan ke Yogya, kasir malah seolah-olah melayani jurnalis ini, padahal jelas-jelas Cucu yang mengeluarkan uang untuk pembayaran. “Perlakuan manusiawi dan kembali kepada diri masing-masing,” harap Cucu. Bagi Cucu, PR terbesarnya adalah membuat teman-teman sesama difabel bangga atas dirinya sendiri. “Bagaimana kita bisa menerima diri kita sendiri,” kata Cucu. Ia juga percaya bahwa kebutuhan bagi difabel maupun nondifabel adalah sama, menginginkan hidup yang layak dan berkecukupan, baik dari sisi ekonomi maupun profesional, untuk dirinya sendiri maupun keluarga. Catatan Belakang: Tulisan ini dibuat pada tahun 2010 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 65, 2010 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. |
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |