Angka kekerasan terhadap perempuan kelihatannya semakin hari semakin sulit untuk mengharap adanya penurunan. Kekerasan terhadap perempuan seolah-olah menjadi satu bagian yang tidak terlepaskan dalam sistem kehidupan sosial masyarakat. Belum lagi, perempuan korban kekerasan acap kali dipojokan dan dipersalahkan. Bagaimana sistem kekerasan itu terjadi dalam masyarakat, apa faktor penyebab, dan bagaimana kita memperlakukan perempuan korban kekerasan? Berikut petikan wawancara jurnalis Jurnal Perempuan, Eko Bambang Subiyantoro dengan Elly Nur Hayati, Direktur Eksekutif Rifka Anissa Women Crisis Center, Yogyakarta seputar kekerasan terhadap perempuan[1]. Jurnal Perempuan (JP): Bentuk kekerasan terhadap perempuan seperti apa saja yang selama ini ditangani oleh Rifka Annisa? Elly Nur (EN): Rifka Annisa Women Crisis Center (RAWCC) sejak berdirinya (1993) menyediakan layanan pendampingan (psikologis-litigatif ) untuk kasus- kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP) seperti perkosaan dan pelecehan seksual, penganiayaan fisik dan emosional, yang terjadi secara langsung, baik di lingkup publik maupun domestik. Penerima manfaat dari layanan konseling RAWCC ini adalah perempuan di semua usia (anak-anak s.d. dewasa). Namun, dari pengalaman selama ini, lebih banyak kelompok perempuan berusia di atas 20 tahun yang menerima manfaatnya. RAWCC memang tidak secara khusus menyebarluaskan informasi mengenai kekerasan terhadap anak, tetapi kita juga tidak memberikan batasan usia, dan ternyata kelompok perempuan usia dewasalah yang lebih banyak mengadukan persoalannya kepada kami. JP: Bentuk kekerasan seperti apa yang sering terjadi dan ditangani? EN: Bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan oleh masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta (karena lokasi RAWCC adalah di DIY) kepada RAWCC adalah kekerasan terhadap istri (KTI), baik kekerasan bersifat emosional, fisik, seksual, maupun ekonomi. Kecenderungan ini telah berlangsung sejak awal berdirinya RAWCC. Artinya, bahwa RAWCC menjadi tumpuan pengaduan bagi perempuan dari kelompok ini sehingga kemudian RAWCC banyak mengembangkan programnya untuk kelompok ini. JP: Dari pengalaman penanganan kekerasan terhadap perempuan, apa yang menjadi faktor terbesar terjadinya KTP? Bisakah Ibu jelaskan? EN: Kami melihat bahwa penyebab terjadinya KTP adalah multikausal yang semata-mata timbul bukan karena faktor karakteristik personal saja, melainkan ada banyak faktoryang menyumbang kepada karakteristik personal ini sehingga munculah KTP. Memang biasanya ada faktor pemicunya (precipitating event), baik yang bersifat individual maupun sosial, namun dalam hal ini, saya tidak dapat mengatakan apa faktor penyebab yang memberikan sumbangan terbesar bagi terjadinya KTP. Yang jelas, secara kultural tindakan langsung atau tidak langsung yang dimaksudkan untuk mengontrol atau mendominasi kaum perempuan merupakan tidakan yang masih sangat ditoleransi oleh kultur masyarakat kita. JP : Bagaimana penyelesaian akhir setiap kasus kekerasan terhadap perempuan? EN: Kami memegang prinsip self-determination yang artinya keputusan akhir dari persoalan ada di tangan si perempuan sendiri. Hal yang terpenting dalam proses pendampingan untuk mereka adalah bagaimana mengantarkan mereka kepada suatu situasi di mana mereka dapat mengambil keputusan secara jernih, yang sesuai dengan peluang yang ada, sekaligus sesuai dengan kemampuan mereka dalam menyambut peluang tersebut. Jadi, yang kami lakukan sebagai pendampingadalah menjadi kawan bicarayang sekaligus memberikan informasi tentang berbagai macam alternatif solusi, hak-haknya sebagai seorang manusia, dan peluang (alternatif solusi) apa saja yang mungkin dapat diambil berkaitan dengan jenis kekerasan yang dialami oleh si perempuan. Nah, setelah proses tersebut dilalui, maka keputusan apa yang dipilihnya. Berdasarkan pengalaman selama sembilan tahun bergabung di RAWCC, kecenderungan pilihan solusi yang paling banyak diambil oleh korban dari berbagai macam kasus yang masuk adalah solusi nonlitigatif, seperti musyawarah, rekonsiliasi, dan sebagainya. Sementara itu, hanya sekitar 7%— 10% saja per tahunnya yang mengambil langkah litigatif dalam menyelesaikan masalahnya, yaitu dengan mempidanakan atau memperdatakan si pelaku. JP: Adakah selama ini perlawanan yang dilakukan perempuan ketika mengalami kekerasan? EN: Berdasarkan pengalaman kami membantu perempuan korban kekerasan di wilayah DIY, kebanyakan perempuan ketika mengalami kekerasan tidak melakukan perlawanan yang berarti terhadap si pelaku. Maksudnya, kalaupun mereka melawan, perlawanan itu sebatas tindakan verbal, seperti menolak tindakan tersebut. Di negara-negara dengan kultur yang berbeda (misalnya di Amerika Latin), perempuan akan balas memukul jika mereka dipukul oleh suami atau pasangannya. Dalam kultur kita, perlawanan yang paling keras mungkin adalah berupa tindakan gugat cerai. JP: Dalam konteks sosial masyarakat Indonesia, bagaimana kita seharusnya mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan itu? EN: Saya kira batasan KTP itu sudah menjadi kesepakatan global sebagaimana yang tercantum dalam Deklarasi Penghapusan KTP yang dikeluarkan oleh PBB (Pasal 1 DPKTP). Artinya, kita harus melihat hal itu sebagai suatu definisi atau batasan yang berlaku dimana pun, sebagaimana kita memahami konsep HAM, gender, dan sebagainya. JP: Sebenarnya, seberapa besar potensi kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di masyarakat? EN: Kalau kita membicarakan potensi, berarti kita harus melihat pada unsur dominan yang menjadi penyumbang utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Unsur dominan itu menurut saya ada pada kultur karena bangunan kultur itu terinternalisasikan ke dalam diri individu secara kontinu, menembus ruang dan waktu. Dalam masyarakat kita, harus diakui bahwa pikiran dan tindakan kita masih sangat male oriented, yang artinya masih lebih melihat kepada kaum lelaki sebagai pihak yang mendapat prioritas dan keistimewaan. Dalam situasi yang demikian ini, maka potensi untuk munculnya KTP adalah besar. Alasannya jelas, karena KTP muncul dalam situasi di mana pola relasi gender tidak seimbang. JP: Apa yang menjadi embrio potensi munculnya KTP? EN: Ya, saya kira, embrio itu ada pada ketimpangan relasi kuasa. Dalam suatu sistem yang terjadi ketidakseimbangan peran (antara satu komponen dan komponen lainnya), maka di situlah relasi kuasa itu akan terbangun, yaitu pihak yang memiliki akses yang lebih besar akan cenderung menjadi pihak yang dominan dan superior. Demikian pula, apabila dalam suatu masyarakat terjadi ketidakseimbangan relasi gender, maka pihak yang lebih besar peluang dan kekuasaannya akan menindas pihak yang lebih lemah. JP: Sebenarnya, terjadinya kekerasan terhadap perempuan ini merupakan problem kultural atau struktural? EN: Saya kira, kita tidak dapat memisahkan secara tegas antara kultur dan struktur karena kultur itu terbangun oleh struktur yang berkuasa, sementara struktur yang berkuasa merupakan suatu produk dari suatu kultur tertentu. Dengan demikian, kita tidak dapat memisahkan secara tegas antara kultur dan struktur dalam memberikan sumbangan bagi keberlangsungan KTP. JP: Bagimana kita dapat mengetahui bahwa telah terjadi kekerasan terhadap perempuan, baik fisik, psikologis, dan sebagainya? EN: Cara mengidentifikasi telah terjadinya KTP adalah dengan melihat apakah realitas aktual (saat ini) seseorang (dalam hal ini perempuan) telah teraktualisasikan atau muncul sesuai dengan potensinya. Misalnya begini, ada seorang anak perempuan yang memiliki bakat luar biasa dalam bidang musik. Ia begitu cepat menguasai penggunaan berbagai alat musik tanpa harus mempelajarinya secara khusus. Namun, pada kenyataanya, anak perempuan ini malah hidup di jalanan, menjadi tukang semir sepatu. Gadis ini, realitas aktualnya adalah di bawah atau tidak sesuai dengan potensi yang sesungguhnya. Demikian juga dalam melihat KTP, hal yang kita lihat adalah bagaimana seorang perempuan dapat merealisasikan potensinya dan menjadi invidu yang tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan martabat kemanusiannya. Selanjutnya, kita akan dapat mengenali dengan mudah apabila kekerasan yang dialaminya adalah kekerasan fisik, seperti tanda-tanda biru lebam di bagian tubuh tertentu, terutama wajah dan sebagainya. JP: Apa dampak yang terjadi bagi perempuan korban kekerasan itu? EN: Hal pertama yang harus kita pahami adalah bahwa dampak psikologis kekerasan akan sangat dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti derajat tindak kekerasannya itu sendiri, toleransi frustasi individu, kesadaran kritis individu atas apa yang dialaminya, dan sebaginya. Artinya, bentuk kekerasan yang sama tidak selalu menimbulkan dampak yang sama pada individu yang berbeda. Kedua, dampak itu tidak selalu diartikan sebagai dampak langsung (jangka pendek), tetapi juga berupa dampak yang panjang (dampak tidak langsung). Mungkin seseorang baru akan menunjukkan tanda-tanda atau gejala tekanan mental tertentu setelah sekian waktu tertentu kejadian kekerasan itu menimpa, namun ada juga individu yang langsung menunjukkan gejala psikologistertentu, segera setelah ia mengalami suatu tindakan kekerasan. Selanjutnya, dampak KTP juga dapat berupa terganggunya fungsi kesehatan fisik perempuan, seperti menderita penyakit kronis tertentu, gangguan pada fungsi reproduksinya, serta perilaku kesehatan yang negatif (merokok, alkohol, seks bebas, dan sebagainya). Jadi, di sinilah sebenarnya urgensi penghapusan KTP, yaitu bahwa persoalan ini memiliki dampak negatif yang meluas, namun tersembunyi yang menyebabkan kaumperempuan tidak mampu merealisasikan potensi-potensinya. JP: Bagimana negara, hukum, dan aparat selama ini memandang terjadinya kekerasan terhadap perempuan? EN: Berdasarkan pengalaman kami selama sembilan tahun bekerja bersama perempuan korban kekerasan, tampak sekali mulai ada pergeseran dalam sistem hukum kita. Memang, perubahan itu tidak dapat diharapkan dapat terjadi dengan cepat, tetapi setidaknya persoalan KTP sudah mulai terakomodasi dalam sistem hukum kita. Hingga menjelang akhir tahun 90-an misalnya, ketika persoalan KTP mulai terangkat ke permukaan, sistem hukum kita masih sangat memojokkan perempuan korban dan belum ada keterbukaan dari aparat hukum untuk berdialog soal KTP. Negara sendiri, ketika itu tampaknya juga tidak terlalu bersungguh- sungguh dalam mengupayakan kebijakan yang tidak mendiskriminasikan kaum perempuan. Tidak ada political will untuk itu meskipun sesungguhnya telah meratifikasi CEDAW sehingga tampak sekali hal itu hanya semata-mata sebagai topeng untuk pergaulan internasional saja. Belakangan ini, maksudnya menjelang tahun 2000, memang mulai terasa ada perubahan di tingkat negara dan sistem hukum kita, yang tentu saja disebabkan karena ada perubahan rezim kekuasan dan juga tekanan internasional yang menghebat kepada Indonesia karena Kasus Mei 1998 ataupun terungkapnya berbagai tindak kekerasan seksual terhadap perempuan sipil di berbagai daerah konflik. Melalui pintu Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan ketika itu, kemudian mulai dibicarakan tentang perlunya kerja sama antara masyarkat dan negara untuk mengupayakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Dan, kita mengenal sekarang ini sebagai RANPKTP (Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan). Sejak itu, memang terasa ada keterbukaan dari pemerintah dan juga sistem hukum terhadap masalah KTP. JP: Apa yang memungkinkan dapat meminimalisasi tindakan kekerasan terhadap perempuan? EN: Saya kira upaya untuk meminimalisasi kekerasan itu harus dilakukan oleh semua pihak, baik negara beserta segenap aparatnya, dan juga masyarakatnya sendiri. Dalam hal ini, pemerintah memberikan sumbangan melalui terciptanya kebijakan negara dan produk hukum yang tidak hanya memihak kepada lelaki, tetapi juga perempuan sebagai warga negara. Bagi masyarakat sendiri, mereka juga dapat menyumbang bagi terciptanya masyarakat yang terbebas dari KTP dengan cara mengubah kebiasaan, cara berpikir, dan membuang mitos-mitos yang menempatkan nilai-nilai lelaki dan perempuan secara timpang. Selain itu, masyarakat juga kemudian seharusnya konsisten dengan hukum dan kebijakan yang ada, artinya tidak mentoleransi terjadinya KTP yang terjadi di sekitarnya. JP: Jika kita menemukan peristiwa kekerasan terhadap perempuan, apa yang harus dilakukan? EN: Pertama harus diingat bahwa KTP bukanlah persoalan pribadi, melainkan persoalan patologi sosial yang siapa pun harus ikut mengupayakan untuk penghentiannya. Dengan demikian, apabila kita menemukan kasus KTP, maka hal yang paling sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan tidak menyalahkan atau memojokkan korban. Selanjutnya, kita juga dapat memberinya informasi tentang layanan apa yang dapat diperolehnya. (Eko Bambang Subiyantoro) Catatan Belakang: [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2002 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 26, 2002 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Berbicara tentang kerusakan alam dan terutama dampaknya terhadap perempuan, industri ekstraksi sumber daya alam khususnya pertambangan adalah salah satu sektor yang turut berkontribusi. Siti Maemunah, aktivis lingkungan yang belasan tahun berkecimpung dengan isu pertambangan dalam sebuah perbincangan dengan Jurnal Perempuan di sela-sela aktivitasnya yang padat menjelaskan dampak aktivitas pertambangan terhadap kehidupan perempuan[1]. Mulai dari awal ketika tambang masuk ke suatu daerah untuk beroperasi, perempuan dianggap tidak perlu dilibatkan, hakhaknya diabaikan. Hingga kemudian ketika tambang beroperasi dan terjadi kerusakan lingkungan di sekitarnya, perempuan menjadi pihak yang pertama menerima dampak dan yang paling dirugikan. Bahkan ketika tambang sudah tutup dan meninggalkan lokasi, perempuan tetap menghadapi persoalan. Pun kebijakan yang ada juga sama sekali tidak melibatkan perempuan apalagi memperhatikan kepentingan perempuan. Dalam situasi demikian, Siti Maemunah, yang merupakan salah satu board di JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) dan aktif di RIMM (Red Internacional Mujeres Y Mineria) serta menjadi fellow researcher di Sajogyo Institute, berpendapat bahwa mempertahankan lahan untuk tidak dijual atau dialihfungsikan merupakan langkah krusial. Selain itu menumbuhkan kesadaran akan adanya keterhubungan antara kerusakan di hulu atau di kawasan tambang dengan kehidupan di kota penting dilakukan agar terbangun solidaritas yang kuat. Jurnal Perempuan (JP): Dari pengalaman anda selama ini bergerak di isu pertambangan, bagaimana dampak kerusakan lingkungan terhadap kehidupan perempuan dan bumi? Siti Maemunah (SM): Tambang itu kan dia rakus lahan dan rakus air, jadi sama dengan yang dibutuhkan petani untuk berproduksi. Jadi dia butuh tanah, butuh air, dan energi yang luar biasa. Sehingga jika ada tambang masuk di suatu tempat, dia memang akan membongkar kawasan itu. Sehingga apa yang ada di atasnya akan rusak. Ada empat hal yang terjadi pada air saat tambang itu masuk ke suatu tempat. Pertama, kawasan tangkapan air dibongkar, yang itu adalah hutan. Yang kedua, kawasan resapan airnya juga dibongkar, yaitu batuan yang dibutuhkan untuk ditambang. Yang ketiga, dia rakus air. Jadi untuk mendapatkan satu gram emas misalnya, untuk ekstraksi, dibutuhkan setidaknya seratus liter air. Dan dia menghasilkan 2,1 ton limbah. Sehingga, kalau kita bicara keempat, resiko yang terjadi pada air, dia beresiko mencemari sumber-sumber air. Sehingga dengan empat itu, selalu akan terjadi krisis air di tempat itu. Dan perempuan adalah yang utama berhubungan dengan air, karena peran-peran domestiknya, reproduksinya. Kita tahu saat haid, kita butuh air lebih banyak. Saat kita melahirkan juga butuh air lebih banyak. Saat mengurus anak-anak kita juga butuh air lebih banyak. Dan celakanya, saat air tercemar, perempuanlah yang pertama kena. Terutama alatalat reproduksinya, pangannya, dan sebagainya. Sehingga sebenarnya, tambang itu bertentangan dengan alam dan bagaimana perempuan memandang alam. Misalnya perempuan-perempuan Molo di Nusa Tenggara Timur, mereka memandang alam bagai tubuh manusia, tubuh perempuan bahkan. Jadi air itu bagaikan darah, daging itu bagaikan tanah, hutan itu seperti kulit, dan kerangka badan itu seperti batuan. Menghancurkan itu semua, sama dengan menghancurkan tubuh perempuan. Perempuan-perempuan Papua juga melihat hal yang sama. Mereka mengandaikan puncak gunung itu tempat peraduan ibu, dimana tempat paling tinggi berhubungan dengan Yang Kuasa. Lembah itu adalah susu dan segala yang memberikan kesuburan. Karena di situ ada sungai, ada tanaman, dan sebagainya. Sementara di bagian bawah, kaki, karena orang Amungme yang di pegunungan tengah Papua itu hidup di kawasan tinggi, mereka merasa bagian kaki itu adalah bagian laut yang berbahaya yang mereka tidak bisa kuasai, karena mereka orang gunung. Jadi secara filosofis saja, tambang itu berseberangan dengan bagaimana perempuan memandang diri dan alam. Belum lagi, tentu saja, penghancuran yang terjadi karena tambang itu butuh lahan yang sangat luas. Freeport misalnya, dia sempat dapat satu juta hektar. INCO di Sulawesi Tengah, pernah diberikan lahan sampai tiga juta hektar di tiga provinsi. Jadi dia membutuhkan lahan yang sangat luar biasa dan membuat krisis air, karena dua hal itu yang terutama dibutuhkan. Juga energi, energi dalam artian saat kita butuh energi, maka ada penghancuran energi yang lain. Karena umumnya energi itu bahan bakar fosil, yakni minyak dan gas dan batubara, yang itu harus dibongkar untuk mendapatkannya. Jadi mineralnya sendiri kalau kita butuh emas, itu membongkar. Energinya pun dari sesuatu yang membongkar. Itu potretnya berkaitan dengan perempuan dan penghancuran pada bumi. JP: Apa dampak yang secara spesifik dialami perempuan yang berbeda dengan laki-laki? SM: Terutama berkaitan dengan peran-peran mereka. Di awal korbannya sama, laki-laki dan perempuan, karena tidak ada izin tambang yang menanyakan kepada masyarakat, apakah boleh kawasan itu ditambang atau tidak. Jadi keputusan ada di perusahaan dan pemerintah memberikan izin, baru kemudian mereka datang ke masyarakat. Dalam level itu, saat datang ke masyarakat, maka mereka akan datang pada laki-laki karena dianggap kepala rumah tangga. Perempuan tidak pernah didengar suaranya. Perempuan dianggap orang kedua yang tidak pernah dan tidak perlu diajak konsultasi. Dan luar biasanya, perempuan itu tipikal pemikirannya selalu pada bagaimana anak saya bisa makan, tanah ada apa enggak. Beda dengan laki-laki yang biasanya dia bicara kompensasi. Proses penegasian hak perempuan terjadi di awal, ketika menentukan pendapat berkaitan dengan tanahnya, baik tanah yang dia dapat bersama-sama dengan suaminya maupun tanah warisan dari orang tua. Sampai kemudian, kalaupun dia mendapat kompensasi, yang memutuskan kompensasi kadang bukan berdua juga, bukan keluarga, tetapi biasanya pada hal-hal yang berhubungan dengan aksesnya pada laki-laki, misalnya sepeda motor. Atau kalaupun untuk anak sekolah, maka anak laki-laki yang diutamakan untuk mendapat pendidikan lebih dulu. Dan pada saat tambang itu beroperasi, maka seperti yang saya bilang, dampaknya yang terbesar itu pada perempuan. Kenapa, karena terutama berkaitan dengan peran-peran domestik, dimana dia sangat membutuhkan pangan dan air. Mereka yang semula bisa memenuhi kebutuhan obat-obatan, pangan dan airnya dari lingkungan sekitar, ketika itu hilang dan rusak, maka biayanya menjadi lebih mahal. Perempuan-perempuan Papua misalnya, orang Marind, untuk menokok sagu, mereka harus bekerja, laki-laki dan perempuan. Tapi begitu ada program berskala besar, MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate), ini sama-sama bicara ekstraksi sumber daya alam ya, kemudian perempuan tidak bisa menokok sagu karena suami pergi bekerja di perusahaan yang hanya mendapat lima puluh ribu per hari. Sehingga mereka harus memenuhi kebutuhannya itu dengan lima puluh ribu sehari. Yang akhirnya banyak perempuan dan anak-anak mengalami malnutrisi karena sekarang semuanya harus beli. Bahkan daging pun yang tadinya bisa didapatkan dari laki-laki berburu, digantikan dengan ikan kaleng, yang itu mahal dan harus beli. Dan kita tahu perempuan biasanya mengutamakan anaknya untuk mendapatkan pangan dan sebagainya. Pada masa saat kerusakan itu terjadi, maka masalah-masalah tidak hanya berkaitan dengan urusan domestik, tetapi urusan reproduksi seperti yang sudah saya bilang. Bagaimana perempuan-perempuan di Buyat itu mengalami masalah-masalah gangguan kesehatan reproduksi seperti haid tidak teratur, keguguran, bahkan cacat melahirkan. Ada potret-potret seperti itu yang akhirnya dia juga menjadi tidak produktif, karena lahannya tidak ada, penghasilannya juga tidak ada. Perempuan menjadi bergantung pada laki-laki, entah itu paman, anak laki-laki, suami, yang kemudian tentu saja ruang-ruang nilai tawar mereka menjadi lebih rendah karena mereka bergantung. Itu yang spesifik berkaitan dengan perempuan. Bahkan dalam cara melawan pun, menarik sebenarnya melihat bagaimana misalnya perempuan menghadapi masalah. Contoh yang menarik di PLTU Batang misalnya, bagaimana perempuan mengorganisir diri. Disamping ikut demo dan sebagainya, mereka fokus mengorganisasi dirinya untuk bagaimana ekonomi alternatifnya keluar. Nelayan itu biasanya punya masalah dengan hutang. Karena mereka setiap hari mencari ikan, jika tidak mendapat ikan, mereka akan mengutang. Dan ada masa paceklik panjang dimana mereka harus berhutang juga. Yang dilakukan perempuan caranya adalah bagaimana menguatkan ekonomi dengan misalnya membuat tabungan rendeng. Sehingga pada saat paceklik, mereka aman. Mereka jadi tidak perlu menjual tanah dan sebagainya. Tapi itu tidak dianggap perjuangan. Itu dianggap, ya nantilah itu urusan ekonomi. Jadi bahkan, cara perempuan merespon, itu tidak dianggap perjuangan. Perjuangan itu harus demo di depan, seperti itu saja. Padahal beragam cara dikembangkan perempuan untuk merespon itu. Dari misalnya bersolidaritas antar perempuan, misalnya kalau di Molo itu mereka punya lulbas. Lulbas itu semacam kurir, kurir yang menyampaikan pesan dari satu tempat ke tempat yang lain dimana perempuan juga terlibat di situ. Itu jika bicara masalah-masalah khas yang dihadapi perempuan. Bahkan sampai tambang itupun tutup, masalah itu akan bersama mereka, dan lebih parah. Misalnya kasus PT KEM (Kelian Equatorial Mining) milik Rio Tinto yang tutup pada tahun 2003, karena terjadi kasus perkosaan di sana. Tujuh belas perempuan, enam di antaranya diperkosa oleh petinggi perusahaan. Sampai lahir anaknya bule juga. Tidak sembuh sampai sekarang, sampai tambangnya tutup dan tidak ada proses hukum. Di media keluarnya sebagai santunan dalam bentuk kompensasi, tidak ada proses hukum. Dan itu akan dia bawa sampai mati. Bahkan anaknya pun bergenerasi masih melekat luka itu. Belum lagi urusan lingkungan yang tidak pulih. Limbah tambangnya 77 juta ton masih ada di sana. Siapa yang bisa memastikan itu aman kalau misalnya nanti di hulu ada masalah, karena limbah itu ada di hulu. Itu gambaran spesifik yang dialami oleh perempuan secara garis besar. JP: Kalau melihat peran pemerintah selama ini, anda menilai seperti apa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait dengan persoalan tambang? SM: Kalau kita telusuri dari sejarah kebijakan pertambangan, kita tahu Indonesia itu sebelum memiliki undang-undang pertambangan, dia sudah menandatangani kontrak karya dengan PT. Freeport. Dimana kontrak karya tersebut didesain oleh perusahaan. Sehingga kemudian seluruh arah undang-undang kita mengikuti model kontrak karyanya PT. Freeport. Termasuk mereka mendapat banyak kemewahan dalam tanda petik, misalnya sampai Presiden Soeharto mengeluarkan Inpres yang disitu dengan jelas menyampaikan, jika tambang membutuhkan sesuatu, entah itu hutan dan sebagainya maka dia prioritas. Kita tahu pada masa Soeharto investasi asing menjadi penopang, terutama pertambangan. Tetapi tidak banyak pelanggaran HAM pada masa Soeharto yang terungkap. Namun ada kasus Kelian seperti yang saya bilang, perkosaan terhadap perempuan, dsb. Kita tahu pada masa Soeharto kebijakannya seluruh izin ditetapkan oleh perusahaan dan pemerintah. Dan pengusaha-pengusaha asing mendapat prioritas. Mereka bisa mendapatkan izin satu paket. Perusahaan-perusahaan nasional malah mendapat izinnya harus bertahap. Luasannya pun akan lebih luas kontrak karya. Mereka didukung pula oleh tentara dan polisi untuk menjaga keamanan kawasan itu. Pokoknya kontrak karya dianggap kitab suci yang tidak bisa diubah bahkan sampai sekarang. Misalnya tidak ada renegosiasi yang adil terhadap Freeport. Lantas itu kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Undang-Undang Mineral dan Batubara. Tidak ada perubahan, kriminalisasi masih ada. Jadi kalau ada orang yang mengganggu beroperasinya perusahaan, maka mereka akan dihukum atau didenda. Tapi lebih parah karena kemudian kabupaten dan provinsi bisa mengeluarkan izin pertambangan dan terutama rekomendasi alih fungsi kawasan hutan. Jadi kalau bayangannya pada masa Soeharto itu ada sekitar seribu izin pertambangan. Tentu luasannya beda, luas sekali. Setelah pada saat otonomi daerah, kalau tidak salah sekarang sudah ada sebelas ribu izin pertambangan. Jadi sembilan ribu meningkatnya. Meskipun luasannya lebih kecil-kecil, tetapi masif. Ada satu kecamatan di Kalimantan Timur, misalnya, Kecamatan Samboja, itu 22 kelurahan dan desa, izinnya ada 90. Jadi orang dibuat nggak bernafas. Dan tidak ada satupun izin yang menanyakan ke masyarakat apakah boleh sebelum izin itu dikeluarkan, itu dari konteks izin. Kemudian pada konteks pelaksanaannya misalnya kalau kita bicara analisis dampak lingkungan, oh tenang ada tambang nanti kan dampaknya pasti bisa diurus, nggak juga. Karena apa, karena kapasitas membongkarnya besar sekali di Indonesia. Freeport saja saya rasa, yang dia tambang, yang membuang limbah, dia paling besar di dunia. Dan di Indonesia membuang tailing juga bisa ke laut seperti tambangnya PT Newmont di Nusa Tenggara Barat. Ternyata dari 9 ribu dokumen amdal yang dikeluarkan, tidak hanya pertambangan, ini data Kementerian Lingkungan Hidup, dia menyatakan bahwa 75% dokumen itu buruk, artinya di depan kita memang sudah tidak selamat dengan dokumen seperti itu. Belum lagi pengawasan, dalam hal ini komisi amdalnya, mereka bilang tahun 2008, 50% tidak berjalan dengan baik. Jadi, sistem ini memang tidak layak. Dengan cara pengurusan seperti sekarang, kebijakannya lemah, penegakan hukumnyapun lemah, pengawasannya lemah, belum lagi kemampuan BPK mengaudit ya, misalnya mereka hanya mampu mengaudit sekitar lima ratus sekian izin selama tiga tahun. Dengan 11.000 izin, butuh lebih dari 40 tahun untuk mengaudit. Jadi sistem ini memang tidak layak, sudah memang dijadikan mainan saja mengurus ekstraksi sumber daya alam yang luar biasa kerusakannya ini. Dimana korban terbesarnya yang terberat itu pasti perempuan dan bumi. Sampai sekarang itu berlangsung, kebijakan yang buruk itu masih dipertahankan. Kita pernah mendorong ada kaji ulang izin-izin pada saat penyusunan UU Minerba tahun 2009, tapi tidak lolos. Bahkan salah satu contohnya ada larangan menambang hutan lindung dengan tambang terbuka, karena tambang terbuka itu lebih merusak kan, tapi dia lebih murah. Maka diamandemenlah UU itu atas permintaan perusahaan-perusahaan tambang termasuk Freeport, Newmont, INCO milik Kanada. Dan Megawati mengeluarkan Perppu seolah-olah negara sedang dalam kondisi darurat, genting, dikeluarkanlah Perppu itu, kemudian disahkan oleh DPR. Dan UU Kehutanan itu akhirnya diamandemen untuk 13 perusahaan tambang yang akan membuka satu juta hektar hutan lindung. Dan mereka berhasil pada tahun 2004. Dari situ keluar namanya izin pinjam pakai. Term itu kemudian dipakai, sekarang bahkan ada sekitar mungkin lebih 100 perusahaan tambang yang mengajukan izin pinjam pakai dan lolos. Jadi itu kemudian nggak hanya 13 perusahaan tambang. Saya mau sampaikan bahwa sistem pemerintahan kita korup memang, tetapi itu tidak terjadi juga dengan begitu saja. Banyak intervensi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing dan elit politik, karena belakangan kita tahu izin tambang itu menjadi komoditas politik, transaksi, dia bukan lagi alat untuk meregulasi. Contohnya di Kalimantan Timur, pada tahun 2007 sampai 2009 itu ada sekitar 270 lebih izin. Dalam satu sampai tiga hari keluar satu izin dan itu nggak hanya di Kalimantan Timur. Kalau dicermati di Morowali misalnya, izin itu juga keluar sebelum atau sesudah pilkada. Jadi kalau kita runut sampai sekarang ya, izin itu nggak lagi untuk mengatur tetapi jadi komoditas politik. Itu kira-kira potret kebijakan di Pertambangan. Dan mereka selalu superior, contohnya mereka bisa mengamandemen undang-undang. Atau yang sekarang ini, pemerintah sedang banyak desakan, terus mereka bilang kita nggak boleh lagi mengekspor bahan mentah, harus diolah dulu. Tapi apa yang terjadi, negara-negara yang perusahaan-perusahaannya ada di sini seperti Jepang misalnya memprotes. Tiga bulan setelah peraturan itu keluar, keluarlah peraturan baru yang merevisi peraturan itu yang menyatakan bahwa kalau ada izin Dirjen nggak apa-apa deh mengekspor bahan mentah. Itu potretnya. Dan perempuan dimana dia berada di ruang itu, nggak ada, asli mereka di pojok dan menerima dampak yang luar biasa. JP: Dengan kondisi yang carut-marut begitu, menurut anda ke depan kebijakan yang ada harus bagaimana agar bisa meregulasi dan bukan menjadi komoditi? Menurut saya kuncinya di masyarakat sipil dan rakyat di sekitar tambang. Jadi nggak bisa lagi dengan terus-menerus berharap pemerintah akan baik hati mengubah, nggak. Dan kita nggak hanya bicara kerusakan di hulu, karena kalau kita bicara kita, penduduk kota, kita nggak merasa punya hubungan dengan orang di kampung yang kawasannya hancur, perempuannya hancur. Padahal logam yang kita pakai, komputer ini, emas yang kita pakai, di situ ada hak orang yang hilang, perempuan Dayak misalnya, yang nggak punya lahan lagi karena lahannya dibongkar untuk mendapatkan emas. Atau contoh yang paling gampang, dalam setiap handphone itu setidaknya ada 2 gram timah. Sebagian besar timah saat ini setidaknya 10 tahun terakhir itu didapat dengan membongkar Bangka-Belitung. Kawasan itu krisis air, sungainya rusak, pangannya berkurang bergantung dari luar. Dan kita pemakai handphone nomor 5 sedunia. Maksud saya, kita nggak bisa lagi berpikir seolah-olah kerusakan itu ada di sana dan kita nggak ada hubungannya dengan itu, terutama perempuan ya. Karena banyak organisasi-organisasi perempuan yang sangat concern dengan isu urban, tetapi tidak pernah menghubungkan solidaritasnya dengan masalah perempuan di hulu. Misalnya tentang ekstraksi sumber daya alam dan bagaimana perempuan menjadi gerakan terdepan untuk menjadi konsumen yang cerdas. Konsumen yang cerdas tentunya yang berhubungan dengan pemakaian logam, laptop dsb. Atau alat-alat kecantikan atau kosmetik, kalau berhubungan dengan minyak sawit yang sebagian besar digunakan untuk ekspor. Publik, masyarakat di hulu misalnya, yang penting sekarang apa, jangan biarkan lahannya dijual, dialih fungsi, pertahankan tanahnya. Apalagi kalau kita bicara perubahan iklim, syarat untuk menghadapi perubahan iklim itu kalau lingkungan kita sehat, punya lahan, airnya bersih. Karena pada saat perubahan iklim, misalnya musim tidak menentu dsb, dan air kita tercemar, itu lebih luar biasa masalahnya. Atau pada saat perubahan iklim lingkungan kita rusak, hujan makin sering, luapan limbah makin cepat datang. Sehingga daya rusak pertambangan itu menyebabkan masyarakat sekitar tambang lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim. Nah yang harus dilakukan terutama oleh perempuan dan rakyat pada umumnya adalah jangan biarkan lahannya dialih fungsi dan terlibatlah dengan aktif untuk upayaupaya mempertahankan lahan. Tapi juga buat perempuan yang di kota, kalau dulu mungkin kebutuhan logam itu untuk kebutuhan mendesak gitu ya, mungkin nggak seperti sekarang percepatan kerusakannya, tapi sekarang pasar yang menentukan. Saya contohkan ada satu kampung di Kalimantan Timur, namanya desa Makroman, ini desa transmigran. Tahun 1957 mereka pertama bertransmigrasi di sana, dan mereka membutuhkan sekitar 25 sampai 30 tahun untuk membangun sistem irigasi pertanian, sehingga mereka bisa menanam 2 kali setahun. Pada saat otonomi daerah, tambang masuk, tahun 2005 dikasih izin, hanya butuh 2 sampai 4 tahun kawasan itu hancur nggak bisa ditanami lagi. Kenapa? Hutannya dirusak, limbahnya turun ke bawah. Jadi nggak perlu merusak sawah, tunggu saja itu rusak karena hutannya dirusak, limbahnya turun ke bawah dan kawasan itu kemudian menjadi nggak produktif, dijuallah oleh masyarakat dan berubah jadi kawasan tambang. Kebayang nggak, 30 tahun mereka membangun itu dengan segala kearifan dsb, dan itu dihancurkan hanya dalam 2-4 tahun. Ada sebuah perampokan waktu yang dilakukan oleh industri ini bahkan orang tidak bisa menginvestasi produktivitas sampai berapa puluh tahun ke depan saat itu sudah tidak ada. Untuk membentuk 1 cm tanah subur, karena saya orang pertanian, jurusan tanah, itu dibutuhkan waktu 300 tahun. Dan pertambangan itu dengan secepat itu menghancurkannya. Jadi dia tidak hanya perusakan ruang hidup, tapi juga kecepatan waktunya merusak, itu bedanya industri pertambangan dengan industri lain. Sehingga terbayangkan bagaimana jika perempuan berhadapan dengan itu. Kalau alam itu punya daur hidup, ada siang ada malam, tambang itu 24 jam beroperasinya, jadi dia memang sesuatu yang menurut saya, secara filosofis, berlawanan dengan kehidupan. Nah, perempuan-perempuan di kota mesti tahu itu sehingga saat kita bicara masalah perempuan, yang konkrit berkaitan dengan tanah itu apa, sehingga solidaritasnya terbangun. Saya melihat gerakan perempuan kebanyakan mengurusi kekerasan dalam rumah tangga, dsb, itu nggak cukup, saat sekarang kita tahu isu perampokan lahan, land grab itu terjadi dimana-mana. Sementara orang kota membutuhkan pangan dari orang kampung, lingkungan mereka di kota itu akan sehat jika kampung itu sehat, di kawasan huni. Dengan cara itu menurut saya, dengan membangun kesadaran bahwa mempertahankan lahan di kampung itu juga menjaga kehidupan perempuan di kota. Saya rasa itu jadi hal yang penting, membangun solidaritas. JP: Kembali ke soal siasat perempuan yang di hulu tadi, bisa diceritakan bagaimana proses mereka membangun siasat ketika berhadapan dengan perusahaan? SM: Ada beragam ya, misalnya seperti yang saya bilang di PLTU Batang itu, perempuan mengorganisir diri, mereka menguatkan. Jadi menurut saya perjuangan perempuan itu sangat filosofis karena kemudian mereka mengkontraskan antara penghancuran dengan menanam. Jadi menanam itu bagian untuk melawan. Seperti perempuan di Batang, di Roban misalnya, mereka bisa dibilang nggak punya lahan sebenarnya, tapi yang mereka lakukan bagaimana membuat program bersama untuk menanam sayuran karena mereka biasanya membeli sayuran. Tapi itu hanya perantara untuk mengorganisir lebih lanjut seperti yang saya bilang tabungan rendeng itu. Jadi hal-hal yang kecil tapi punya efek besar, itu pertama. Yang kedua, memang mereka memimpin, seperti yang dilakukan oleh Aleta Baun misalnya di Molo, yang kemudian bagaimana ada kesadaran bahwa alam itu adalah tubuh perempuan dan tulang yang akan dihancurkan karena mereka menghancurkan gunung batu yang mengandung marmer kelas satu itu. Itu yang akan dihancurkan, jadi mereka memperjuangkan itu, dengan kemudian menghangatkan lagi, membangkitkan lagi wacana-wacana bagaimana relasi alam dengan tubuh manusia. Sehingga memahami alam adalah tubuh, yang kemudian itu menjadi tutur yang dibicarakan banyak orang. Termasuk perjuangan identitas, karena nama kedua orang Molo itu mereka dapat dari kegiatan di sekitar batu. Misalnya Baun, Baun itu saya lupa, kalau nggak salah penyumpit kelelawar. Nama itu didapat dari sekitar batu, sehingga kalau batu itu hilang, nggak ada lagi Aleta Baun, yang ada cuma Aleta. Nah identitas ini yang kemudian menjadikan mereka bangkit, bahwa mereka terhubung dengan itu, kalau itu tidak diselamatkan, maka itu akan pergi, ada hal-hal seperti itu. Ada yang lain yang mereka survive menarik misalnya di Kertabuana. Kertabuana ini satu desa di kalimantan Timur, transmigran. Ini terkait dengan filosofi orang Bali dimana semua kawasan adalah bagaimana mereka berhubungan dengan pencipta. Termasuk sawah ada Dewi Sri dan mereka punya tempat sembahyang di sana. Dan mereka bikin Pura-Pura sederhana sampai yang bareng-bareng, besar dan mahal. Sehingga saat perusahaan mau beli, mau mengalih fungsi kawasan itu, siasat mereka adalah, “Berani nggak beli lahan gua, satu milyar lho”, misalnya untuk pura, itu salah satu siasat yang juga dilakukan. Tapi perempuan di sini, pimpinannya perempuan, dia tidak mau misalnya dia bilang saya nggak bisalah mimpin demo, saya kan tetua di sini, tapi yang dia lakukan misalnya adalah ketika anak-anak muda datang pada dia untuk minta petunjuk, disitulah dia bicara tentang bagaimana peran Pura itu. Dalam budaya Bali, dalam Hindu, pada saat upacara-upacara penting, perempuan yang menyiapkan sesaji, dimana seluruh sesaji itu mereka biasanya tidak beli karena mereka dapatkan dari kebun. Nah relasi perempuan menyiapkan sesaji, dan itu diambil dari kebun, itu sebuah ikatan yang tidak boleh dihancurkan. Kalau kebun-kebun mereka hilang, bagaimana. Itu yang terjadi. Tetapi tentu tergantung kepada, apa ya, serangan. Yang terjadi sekarang kan pemerintah tidak ada, jadi perempuanperempuan itu berhadap-hadapan langsung. Survive-nya juga beragam dan saya tidak meletakkan ini sebagai kondisi yang kalah karena kemudian perempuan sebenarnya memilih untuk berjuang. Seperti bagaimana mereka kemudian terpaksa juga bekerja informal di kawasan sekitar tambang saat lahan-lahan mereka sudah nggak produktif. Berbagai caralah mereka lakukan. Tapi memang karena mereka hidup di kondisi yang patriarkis, kadang perlu diberi contoh, cerita tentang perempuan di tempat lain yang melawan misalnya. Sehingga buat mereka, o..begitu ya, o..bisa ya melakukan itu, sehingga kenapa solidaritas itu penting sekali. Tutur satu sama lain itu menjadi kekuatan diantara perempuan karena mereka sebenarnya sangat mudah belajar satu sama lain. Itu seperti sudah alamilah bagaimana mereka saling menceritakan. Tutur itu menjadi salah satu, menurut saya, senjata penting perempuan untuk saling memperkuat perjuangan. Terutama karena perempuan juga berperan dalam konteks reproduksi sosial, menularkan ingatan-ingatan sosial kepada anaknya, hal-hal seperti itu. JP: Kalau dari sisi korporat, apa upaya yang harus dilakukan agar produksi yang mereka lakukan lebih memperhatikan keberlanjutan ekosistem? SM: Perusahaan itu tidak ada yang mereka pakai prinsip sosial karena perusahaan memang pakai ilmu ekonomi ya, jadi modal serendahrendahnya dan laba sebesar-besarnya. Jadi saya tidak percaya bahwa perusahaan itu akan menggunakan fungsi sosialnya, seluruh fungsi sosial sebenarnya untuk memperbesar margin, memperbesar laba. Sehingga saya tidak percaya bagaimana misalnya perusahaan nanti bisa dengan baik hati punya inisiatif untuk melakukan. Karena kalau mereka tidak dikontrol oleh negara dan rakyat, maka itu tidak terjadi. Mereka akan berbuat semena-menanya, bagaimana mendapatkan penghasilan sebesar-besarnya. Sampai seperti saya bilang bagaimana mengamandemen kebijakan yang semula tidak boleh menambang dengan terbuka di kawasan lindung, mereka terabas. Sampai misalnya Samarinda, ibukota Kalimantan Timur, 71 persennya itu adalah kawasan tambang, bagaimana mungkin sebuah kawasan 71 persennya kawasan tambang, itu ibukota pula. Jadi mereka itu kayak panglima, yang mengontrol panglima siapa, seharusnya negara. Tapi saat negara tidak jalan, maka akhirnya tidak ada kontrol kepada perusahaan. Dan mereka tidak mau lho diregulasi, diregulasi dalam artian apakah perusahaan-perusahaan asing yang bekerja di sini dia juga harus mengikuti kewajiban di negaranya, nggak juga kan. Newmont misalnya, di Amerika dia tidak akan boleh membuang tailing ke laut begitu saja, di sini dia buang ke laut. Jadi kalau pertanyaannya bagaimana agar perusahaan beroperasi dengan bertanggung jawab ya negaranya harus kuat, penegakan hukumnya harus kuat, rakyatnya harus kuat. Saya nggak percaya perusahaan ini lama-lama baik hati, dsb, saya nggak percaya itu, termasuk bicara corporate social responsibility. JP: Jadi solidaritas itu penting lalu penguatan masyarakat sipil dan negara. Nah sekarang ini banyak bergulir konsep pembangunan berkelanjutan, pandangan anda bagaimana? SM: Dulu konsep pembangunan berkelanjutan lahir pada saat KTT Bumi 1992 terkait keprihatinan terhadap percepatan kerusakan yang kemudian ada kesepakatan negara-negara bagaimana melakukan upaya pembangunan berkelanjutan. Spiritnya bagus tapi kemudian kita tahu dia berubah dari waktu ke waktu karena pembangunan itu sendiri menjadi dimaknai berbeda. Infrastruktur yang merusak dianggap pembangunan. Pembangunan dianggap modernitas, sesuatu yang tradisional itu bukan pembangunan. Pembangunan itu pembangunan infrastruktur skala besar, pertambangan adalah pembangunan. Jadi yang terjadi kemudian, kapital membonceng pembangunan juga, dan diamini oleh banyak pihak termasuk negara, dsb. Yang kenapa kemudian misalnya pelaku-pelaku pertambangan juga mempromosikan sustainable mining, tambang itu berkelanjutan. Padahal dari faktanya dimananya yang berkelanjutan. Ada pertanyaan besar dan gugatan besar terhadap urusan pembangunan berkelanjutan, yang kalau kita hubungkan dengan model pembangunan yang selama ini terjadi kemudian punya masalah besar, yakni dampak perubahan iklim. Itu adalah efek dari model pembangunan pada masa revolusi industri yang terus berlangsung sampai sekarang. Modelnya tidak berubah, rakus lahan, air, energi, dan keragaman hayati. Sebenarnya perubahan iklim itu koreksi terhadap perkembangan konsep pembangunan berkelanjutan yang sekarang sebenarnya tidak jalan juga. Itu warning sebenarnya untuk konteks itu. Sehingga pembangunan berkelanjutan menjadi jargon. Kita sudah nggak jelas lagi mana yang berkelanjutan mana yang enggak. Kalau menurut saya, kehidupan perempuan-perempuan di kampung itulah yang mudah kita lihat sebagai term berkelanjutan, karena mereka kalau kita bicara jejak ekologisnya, foot print-nya itu nggak jauh-jauh. Mereka nggak berbelanja sebanyak kita, mereka tidak bepergian sebanyak kita. Sebenarnya dari merekalah kita musti belajar. Itu yang saya lihat dari term pembangunan berkelanjutan yang kemudian menghasilkan turunan-turunan yang “green”. Belakangan sebutannya ekonomi hijau dsb. Kita tahu banyak juga yang membonceng urusan hijau ini, bahkan kita. Kita merasa kita bertanggung jawab saat kita misalnya membeli mobil hybrid yang itu hijau atau kulkas hijau. Dan kita nggak peduli bahwa kita menambah barang dan menambah barang itu menambah kerusakan di bumi. Itu saya memandang konteks pembangunan berkelanjutan yang jika kita kontraskan dengan filosofi orang Molo memandang alam itu tubuh perempuan, itu sebenarnya menjadi menipu ya term ini. Sehingga menurut saya penting kita mengoreksi urusan pembangunan berkelanjutan ini karena kemudian dia justru menjadi semacam tameng untuk benarbenar menjalankan komitmen. Contohnya kita tahu Amerika tidak pernah bersepakat menandatangani protokol Kyoto, Jepang kemudian mengundurkan diri termasuk Kanada dsb. “Hei kemana saja itu pembangunan berkelanjutan”. Atau kalau kita bicara pemerintahan SBY, dia bilang menurunkan emisi 26 persen, tapi izin tambangnya 11 ribuan. Pembangunan berkelanjutan punya banyak wajah, tapi wajah yang paling dirugikan itu adalah wajah perempuan di kampung dan di kota. JP: Dari pengalaman anda selama ini, lesson-learned apa yang bisa diambil dari komunitas-komunitas yang bisa melawan meski kondisi kerusakan terus terjadi? SM: Saya rasa keterkaitan identitas dengan tanah itu menjadi penting ya untuk selalu dipegang. Bagaimana mereka mengkomunikasikan terus nilai tanah itu tidak hanya sebuah lahan untuk ditanam, tetapi identitas, dia punya fungsi sosial, hal-hal seperti itu yang menguatkan mereka. Yang menghancurkan kemudian adalah materi, modernitas yang diperkenalkan oleh orang-orang kota bahwa mereka terbelakang, mereka tidak modern. Modern itu punya handphone atau pergi ke kota. Seolah seluruh urusan itu adalah kota begitu ya. Menurut saya penting sekali menghargai keragaman bahwa tiap orang itu punya fungsi masing-masing, termasuk memahami bahwa kita sendiri kan karena tidak bangga dengan keragaman kita sebagai perempuan sehingga apapun mau kita seragamkan, termasuk kulit putih, rambut lurus, dsb. Saya belajar bahwa tanah itu tidak bisa dipisahkan dari perempuan, tetapi solidaritas antara perempuan di kampung dan di kota perlu dibangun, sehingga center urusan kita nggak hanya di kota, solidaritas pun bisa kita bangun dengan perempuan di kampung dengan melihat konsumsi kita seperti apa, gaya hidup kita seperti apa. Yang kebalik malah kita mencekokkan gaya hidup kita ke mereka, sehingga mereka kesadarannya menjadi terkikis. Sehingga agar dianggap modern itu mereka bersikap seperti kita. Saya rasa itu pelajaran penting yang saya dapat, bagaimana sebenarnya yang menyelamatkan krisis sekarang itu adalah jika kita kembali kepada pemikiran filosofi tanah sebagai bagian tubuh perempuan dengan segala kekhasannya termasuk bagaimana relasirelasi sosial diantara masyarakat meletakkan itu. Sehingga tidak lagi muncul, kalau di kota kan dia sangat mendiskriminasi perempuan, seolah perempuan itu sesuatu yang harus dikekang, sesuatu yang memicu syahwat dsb. Kalau kita bandingkan bagaimana filosofi masyarakat di kampung melihat perempuan, itu sangat berlawanan dengan pikiranpikiran laki-laki di kota yang meletakkan tubuh perempuan itu sebagai obyek. Sementara orang di kampung meletakkan tubuh perempuan itu sebagai alam yang harus dilindungi dan nggak boleh dihancurkan. Dan asli lho mereka di kota itu tergantung sama pangan di kampung, sumber-sumber air di kampung, saya rasa sudah seharusnya kita mulai membuka cara pandang kita bahwa mereka di kota itu nggak hidup sendiri dan berhasil survive di kota. Mari belajar dari orang kampung saat mereka menyelamatkan pohon-pohon terutama perempuan. (Elisabeth Anita Dhewy Haryono & Naristi Aulia) [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2014 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, Vol. 19 No. 1, 2014 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Telah digelar diskusi bertema “Fundamentalisme” yang diselenggarakan oleh Kapal Perempuan di Gedung Sasana Pakarti, Aula Mawar, Jakarta Selatan. Dalam diskusi itu, Farha Ciciek, Direktur Eksternal Rahima, sebuah lembaga yang concern pada pendidikan hak-hak perempuan dan Islam mempresentasikan sudut pandang baru terhadap persoalan fundamentalisme. Ia memberi judul presentasinya, “Bersilaturahmi ke Ngruki: Potret Kebangkitan Perempuan Al Mukmin?” Farha Ciciek hendak berbicara seputar Pondok Pesantren al-Mu’min, Ngruki, Solo, Jawa Tengah yang akhir-akhir ini santer terdengar karena terbawa oleh nama Abu Bakar Ba’asyir. Sebagai pengasuh pondok pesantren, suami Aisyah Baradja ini dikaitkan pula dengan Jamaah Islamiyah, salah satu organisasi yang didakwa sebagai gembong terorisme di Asia Tenggara. Ogah masuk dalam pusaran wacana dominan yang serba bercadas, Ciciek mendekati Pondok Pesantren Al Mukmin dari sudut yang berbeda. Ia mengetengahkan pendekatan a view from within, yaitu melihat perspektif pesantren Ngruki dari diri mereka sendiri, terutama dari suara kaum perempuannya. Menurutnya, selama ini yang ditampilkan media massa adalah melulu wajah maskulin pesantren Ngruki. Berita dan berbagai analisis yang mengemuka terlampau terkonsentrasi pada sisi politis dan jagad para lelaki yang serba “sangar”. Belum tampak pemberitaan atau informasi yang secara serius berupaya mengungkapkan “kedalaman” masalah yang menyangkut “anggota lain” yang ada di dalam dan seputar pesantren tersebut. Salah satunya adalah kaum perempuannya. Mereka adalah santri-putri, para ustazah, karyawati, dan keluarga atau kerabat pengelola pesantren. Eksistensi kelompok perempuan ini sering dilewatkan begitu saja. Ini memang sebuah kelaziman di dunia yang menghamba kepada patriarki. Perempuan selalu dianggap tiada. Karena inilah Farha Ciciek terdorong untuk kembali ke pesantren Ngruki untuk menyimak dunia dan wicara perempuan. Sebenarnya komunitas ini bukan sesuatu yang baru bagi perempuan yang pernah belajar filsafat di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga ini. Pada tahun 1994, Farha Ciciek telah membuat penelitian untuk tesis S2-nya di sana. “Waktu itu pesantren Ngruki sudah dinilai mengerikan,” katanya. Farha Ciciek kemudian bercerita bahwa pengalamannya di pesantren ini mengajarkannya untuk lebih memahami akan “yang lain”. “Saya menempati rumah yang sangat sederhana di lingkungan pesantren. Mengamati kehidupan warganya dari dekat dan berbicara heart to heart dengan mereka.” Di rumah itulah banyak pengalaman yang Ciciek dapatkan dan pemahaman tentang berbagai sisi komunitas ini, terutama kehidupan santri putrinya. Mereka memiliki pendapat sendiri tentang isu terorisme, jihad, Inul, valentine’s day, Keluarga Berencana, kepemimpinan sampai masa depan macam apa yang didambakan. Dari pesantren yang dinilai masyarakat berhaluan radikal tersebut, pertanyaan besar yang menggelayut di kepala dosen ISIP Universitas Nasional ini mulai menemukantitikterang. Pertanyaanyangsebenarnyamulai klasik, “Mengapabegitu banyak perempuan tertarik dan kerasan di dunia fundamentalis, padahal mereka diposisikan sebagai subordinat lelaki?” Fatima Mernissi benar ketika memberi nasihat kepada aktivis perempuan untuk banyak belajar dari fundamentalisme jika ingin memperluas pengaruhnya ke tengah masa rakyat. “Fundamentalisme itu sangat populis, sedang banyak kelompok feminis yang cenderung elitis,” tambahnya. Babak baru Pesantren Al Mukmin Ngruki datang bersama muncul dan merebaknya upaya formalisasi syariat Islam. Jika bagi sementara perempuan, upaya ini merupakan ancaman terhadap kehidupan mereka, perempuan di Ngruki memaknainya secara berbeda. Ambil contoh, santri-putri yang selama ini hampir seluruh kehidupannya berada di dalam tembok pesantren. Mereka kini bisa lebih banyak keluar karena didorong oleh berbagai event sosialisasi syariat yang mereka ikuti. “Enak, lho, Mbak. Kita bisa mejeng, ikut pawai, lihat dan ketemu selebriti, dan bisa cuci mata alias ngelirik cowok-cowok,” kata mereka dengan gaya umumnya anak remaja. Demikianlah Farha Ciciek menceritakan beberapa potong pengalaman silaturahminya ke Ngruki. Ia memiliki jawaban yang berbeda dengan aktivis Islam lainnya ketika ditanya tentang isu perempuan dan fundamentalisme. Ciciek tidak melihat dari sudut pandang “perempuan sebagai korban” fundamentalisme, tetapi perempuan yang dalam kondisi seburuk apa pun, dapat bertahan dengan strateginya masing-masing. “Saya terinspirasi dari pengalaman seorang antropolog bernama Laila Abu Lughot. Ia membalik sebuah pernyataan yang tadinya berbunyi, ‘Di mana ada kekuasaan, di situ ada perlawanan’ menjadi ‘Di mana ada perlawanan, sebenarnya di situ ada kekuatan’. Dengan cara seperti ini, Laila mencoba mengungkap kekuatan kelompok-kelompok yang dipinggirkan, mengurai relasi kuasa dalam cara pandang yang berbeda. Cara pandang yang memberi kans bagi pemberdayaan kelompok yang dimarginalkan. Satu di antaranya kaum perempuan, di mana pun mereka berada.” Untuk lebih lengkapnya, berikut petikan wawancara jurnalis Jurnal Perempuan, Mariana Amiruddin, dengan Farha Ciciek, Direktur Eksternal Rahima, Pusat Pendidikan Hak-Hak Perempuan dan Islam[1]. Jurnal Perempuan (JP): Ada apa dengan isu fundamentalisme? Farkha Ciciek (FC): Kita semua maThum bahwa saat ini fundamentalisme telah menjadi isu global. Fundamentalisme hampir selalu dikaitkan dengan banyak petaka di dunia ini, terutama tragedi WTC. Uniknya, meskipun banyak jenis fundamentalisme, baik agama maupun sekuler, dunia saat ini tengah memberi perhatian ekstra terhadap fundamentalisme Islam. JP: Lalu mengapa fokus isunya adalah fundamentalisme agama, terutama Islam? FC: Menurut hemat saya, salah satu alasannya karena banyak kalangan yang terperangah melihat muncul dan menguatnya kekuatan-kekuatan agama. Padahal, sebelumnya ada kepercayaan bahwa sekularisme akan menghapus agama-agama. Memang dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, seiring dengan muncul dan berkembangnya berbagai jenis krisis, revivalisme (kebangkitan) agama-agama telah merebak di berbagai belahan dunia sebagai respons terhadap serangkaian krisis tersebut. Hampir semua agama besar, seperti Kristen, Katolik, Hindu, Budha, maupun Islam telah memperlihatkan dinamika revivalitas di kalangan penganutnya. Seperti halnya Islam, beberapa pengamat berpendapat bahwa gejala revivalisme ini memang jauh lebih kuat muncul di dalamnya dibandingkan penganut agama lainnya. Gejala revivalisme Islam ini muncul dalam bentuk intensifikasi penghayatan dan pengamalan Islam yang diikuti dengan pencarian dan penegasan kembali nilai-nilai Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Ada kalanya revivalisme hanya mengambil bentuk intensifikasi keislaman yang lebih berorientasi ke dalam (inward oriented) dan karena itu lebih sering bersifat individual (psikologis). Namun, di lain sisi (pada kasus-kasus radikalisme Islam, misalnya), intensifikasi itu juga diarahkan ke luar (outward oriented) sehingga lebih bersifat sosial, bahkan politis. JP: Lalu, apa sebenarnya fundamentalisme itu sendiri? FC: Saya membaca fundamentalisme sebagai sebuah respons terhadap adanya berbagai krisis yang dialami oleh berbagai komunitas, termasuk kaum Muslim. Hal ini sangat terkait dengan goyahnya tradisi kehidupan sosial mereka sehari-hari, baik pada level ekonomi, politik, maupun kebudayaan. Dan, tidak diragukan lagi, semua ini berhubungan dengan konteks pencarian posisi dalam pergumulannya dengan dominasi kebudayaan modern. Dalam banyak segi, fundamentalisme masih dalam perdebatan, termasuk definisinya. Dalam konteks Islam, ada pihak-pihak yang menolak menggunakan istilah tersebut karena dianggap tidak tepat jika ditilik dari konteks historis maupun politisnya. JP: Wacana fundamentalisme pada perkembangannya sering berbicara antara teks dan konteks. Fundamentalis kemudian identik dengan penafsiran yang literal, sedangkan pandangan kontekstual mungkin dianggap lebih moderat. Apakah memang demikian? FC: Dalam sejarah, teks sering dipakai sebagai alat politik. Siapa pun bisa menggunakan teks untuk merealisasikan tujuan-tujuan politiknya. Dalam pentas politik, semua ragam penafsiran, baik yang literal maupun kontekstual, digunakan. Meskipun demikian, memang ada yang berpendapat bahwa ragam penafsiranyangtekstual lebih merugikan kelompok-kelompok yang dilemahkan di dalam masyarakat, seperti perempuan, orang miskin, dan minoritas. Dalam hal ini, penting untuk menyimak apa yang dikemukakan oleh Aminah Wadud Muhsin, seorang teolog feminis Islam. Ia mengatakan bahwa sebenarnya yang menjadi masalah penafsiran bukan pada teksnya, melainkan pada pra-teks sebagai kerangka yang mendasari dan memberi arah pada teks. Pra-teks dapat berupa ideologi, asumsi, maupun perspektif. Itulah sebabnya mengapa satu ayat dapat ditafsirkan secara berbeda oleh berbagai kalangan. JP: Apa dampak fundamentalisme yang terlanjur menjadi stigma tersebut terhadap perempuan? FC: Pandangan yang sudah tersebar di seluruh dunia adalah bahwa fundamentalisme membuat perempuan takluk dan tak berdaya. Tetapi, pada umumnya ini pandangan dari luar. Perempuan-perempuan fundamentalis secara relatif merasakan hal yang lain. Mereka merasa fundamentalisme menguntungkan hingga tetap bertahan di sana. Keuntungan itu bisa bersifat ekonomis, sosial, atau politik. Ambil contoh, beberapa alumni pondok Ngruki. Mereka merasa bekal dari pondok sangat bermanfaat. Karena dibekali dengan skill sebagai mubaligah, mereka kini “berstatus” dan dihormati masyarakat. Mereka juga terhindar dari petaka kemiskinan dan kerja kasar seperti yang mereka lihat terjadi di sekeliling mereka. Beberapa tetangga sekampung bahkan terkena musibah disiksa dan ada yang diperkosa ketika mereka mengadu nasib sebagai TKW atau PRT. Mereka bersyukur tidak bernasib seperti itu. Inilah salah satu pesona fundamentalisme ala Ngruki. Bagi perempuan di dalamnya (kebanyakan perempuan kelas bawah), fundamentalisme tidak saja memberikan uang, tetapi juga martabat, kehormatan, rasa aman, dan kepastian status eskatologis di dalam dunia yang insecure saat ini. Dalam hal ini, saya mengafirmasi pendapat Dr. Farish Noor dari Malaysia bahwa fundamentalisme mempunyai doktrin tentang salvation (keselamatan) yang mantap. Inilah yang mempesona banyak orang. Hal ini belum sepenuhnya dimiliki oleh kelompok Islam “pluralis”, misalnya. JP: Pandangan bahwa di mana pun dan apa pun bentuknya, perempuan bisa melakukan resistansi sekalipun dalam sistem yang mengekang dia. Bisa diceritakan sedikit pengalaman Anda di Pondok Pesantren Ngruki, Solo, Jawa Tengah dan apa pesan yang bisa diambil? FC: Belajar dari pengalaman kesakitan dan penderitaan, perempuan Ngruki menyusun langkah strategis guna memperbaiki kondisi dan posisi mereka di dalam kelompok. Meskipun mereka telah dilemahkan oleh penafsiran yang male bias, mereka tidak menyerah begitu saja. Dengan strategi mendiamkan teks dan mengedepankan kiat-kiat yang bersifat sosiologis, mereka berupaya untuk hidup lebih baik dalam lingkungan yang tidak selalu berpihak pada kepentingan mereka. Menurut saya, ini taktik yang luar biasa mengingat kedudukan sentral teks dalam kelompok ini. Ternyata, kaumperempuannya bisa bergerak meninggalkan teks, sumber legitimasi. Hal lain yang menarik adalah penggunaan solidaritas (sisterhood) sebagai salah satu kekuatan perjuangan yang andal. JP: Soal sisterhood bisa sedikit diceritakan? FC: Kasus TPA (Tempat Penitipan Anak) di pondok merupakan contoh. Sejak lama ada tuntutan dari kaum perempuan, terutama ustazah (guru-perempuan) agar pondok mendirikan TPA guna membantu meringankan beban reproduksi mereka. Namun, tampaknyapondok tidak bisa memenuhi sepenuhnyatuntutan tersebut. Pada titik inilah, kaum perempuan bergerak. Mereka membangun TPA dengan fasilitas sederhana. Pendanaannya dihimpun dari sumbangan para ustazah, baik yang sudah maupun yang belum menikah, padahal pada umumnya hidup mereka pas-pasan, bahkan boleh dibilang kekurangan. Tapi, demi kecintaan mereka kepada para saudari (sister), mereka rela berkorban. Solidaritas ini tampaknya sangat membantu meringankan beban komunitas perempuan, terutama mereka yang sudah menikah. Hal ini mungkin dilakukan karena keleluasaan perempuan untuk menggunakan uang hasil keringat sendiri. Semua itu berangkat dari kepercayaan bahwa uang hasil kerja perempuan sepenuhnya dapat digunakan untuk apa saja sesuai kehendaknya. JP: Ada lagi lesson learn yang diambil dari kehidupan perempuan di pesantren Ngruki? FC: Umumnya perempuan fundamentalis digambarkan sebagai sosok yang pasrah, taat, takluk, powerless, bila berhadapan dengan para patriach, baik di dalam kelompok mereka sendiri maupun kelompok-kelompok yang dominan di luar. Dikesankan bahwa mereka tidak punya bargaining power dengan pihak lain. Pengalaman saya tampaknya tidak sepenuhnya sesuai dengan opini yang kini populer itu. Karena ternyata, mereka mempunyai kontribusi yang signifikan. Mereka cukup berdaya dan telah memberi perlawanan dengan mengoreksi unsur-unsur patriarki tertentu yang bersemayam di dalam tubuh fundamentalisme. (Mariana Amiruddin) Catatan Belakang: [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2004 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 32, 2004 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya pada hari Selasa malam, 10 Januari 2006 menjadi waktu yang paling luang bagi Sjamsiah Achmad dari sekian waktu yang dipadati oleh kesibukannya. Melalui percakapan dalam telepon, Sjamsiah Achmad sangat bersemangat untuk meluangkan waktunya meski hari itu bertepatan dengan peringatan Hari Raya Idul Adha. “Selasa malam Anda tidak keberatan, kan, datang ke rumah saya?” begitu tanya Sjamsiah. “Saya menanyakan pada Anda karena saya takut menganggu waktu Anda di hari lebaran,” katanya lagi. Di usia 73 tahun pada Maret 2006 silam, agenda kerja Sjamsiah Achmad bukannya berkurang, justru semakin padat[1]. Pada bulan Januarinya, beliau harus ke Denpasar, Bali dan hari itu juga harus kembali ke Jakarta untuk melaksanakan kewajibannya di beberapa kegiatan. Baru beberapa hari di Jakarta, ia kemudian harus bertolak ke Tokyo, Jepang. Ia sedang tidak melakukan perjalanan wisata, tetapi perjalanan kemanusiaan yang terus ia suarakan, khususnya keadilan bagi perempuan. Saat saya tiba di kediamannya di komplek LIPI Taman Widya Candra, Jakarta Selatan, rumah beliau tidak tampak seperti rumah di sebuah kawasan yang dikenal sebagai perumahan para menteri. Saya menemui beliau di ruang tamu dengan sebuah kipas angin sederhana yang lumayan menghilangkan udara panas hari itu. Saya melihat sekeliling dan di ruangan itu saya terpaku pada foto-foto yang dipajang. Tampak salah satu foto, Sjamsiah memegang sebuah tropi penghargaan sebagai perempuan berbusana terbaik. “Saya dinilai sebagai orang yang selalu memakai busana baik, menggunakan pakaian dengan bahan-bahan tradisional Indonesia. Saya tidak menyangka apa yang saya kenakan diperhatikan orang,” ujar Sjamsiah tertawa di usianya yang lebih dari setengah baya. Sementara itu, foto lainnya menampakkan Sjamsiah sedang berjabat tangan dengan Hilary Clinton ketika berkunjung ke Indonesia. “Mengapa Anda memilih saya untuk diwawancara?” tanya Sjamsiah mengawali pembicaraan. “Tema Jurnal Perempuan kali ini tentang konvensi internasional yang berkaitan dengan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan atau CEDAW. Perjuangan melaksanakan konvensi tersebut tentu tidak lepas dari proses keterlibatan perempuan sehingga konvensi ini ikut diratifikasi oleh negara kita. Maka, sulit membiarkan seorang ibu yang banyak orang bilang mempunyai komitmen kuat terhadap pelaksanaan CEDAW di Indonesia. Itulah alasan kami melakukan wawancara,” jawab saya. Perempuan Sulawesi yang Menapak Dunia Tanggal 10 Maret 2006, Sjamsiah Achmad tepat berusia 73 tahun, tentu bukan usia muda lagi untuk seorang aktivis dengan segudang kegiatan. Kita tentu dapat membayangkan bagaimana di usianya yang muda dulu ketika Indonesia masih dalam kondisi revolusi dan membiasakan kemerdekaan dengan tuntutan pembangunan di sana-sini, ia menapaki perjuangan hak-hak perempuan di tingkat nasional, bahkan sampai ke tingkat internasional. Bagi saya mungkin saja jika sampai saat ini Sjamsiah Achmad masih terlihat energik dan tangkas. Perempuan kelahiran Sengkang, Sulawesi Selatan pada 1933 ini adalah anak keempat dari sembilan bersaudara dengan dua orang ibu. Ia tujuh bersaudara kandung dengan ibu pertama dan bertambah lagi dua saudara dari ibu tiri. Ayahnya adalah pensiunan kepala kejaksaan negeri Kabupaten Sengkang, Sulawesi Selatan. “Saya kasihan dengan mendiang ibu saya. Tampaknya waktu itu tidak ada perhatian soal kesehatan reproduksi. Hampir setiap tahun melahirkan, bahkan sampai beberapa tahun tidak mendapat menstruasi. Ia meninggal setelah kelahiran adik saya yang ketujuh,” kenang Sjamsiah. Jika sekarang Sjamsiah menjadi seorang peneliti, mungkin bukanlah pekerjaan yang dicita-citakan karena waktu kecil Sjamsiah ingin menjadi seorang dokter, tetapi karena yang ada asramanya adalah sekolah guru, maka mau tidak mau Sjamsiah mesti mengikuti pendidikan guru. “Zaman dulu ketat sekali, kita tidak dapat sembarangan sekolah, apalagi waktu itu zaman perang. Saya masuk ke sekolah guru dan lulus tahun 1952.” Selepas sekolah guru, awalnya Sjamsiah ingin melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, namun ada larangan dari pemerintah untuk melanjutkan pendidikan dengan alasan bahwa usai perang negara sangat kekurangan guru. Tetapi, pemerintah berjanji akan memperbolehkan sekolah lagi jika telah mengajar selama dua tahun dengan syarat lulus di peringkat 1—3. Sjamsiah kebetulan memenuhi syarat itu sehingga setelah dua tahun mengajar pada 1954, ia menagih janji kepada pemerintah untuk diperbolehkan sekolah. Untuk mengurus kebutuhan pendidikan ini, ia harus bolak-balik ke Jakarta karena ada perubahan pola pemerintahan. Setelah tiga bulan lamanya mengurus surat-surat, akhirnya ia pindah ke Jakarta dan mulai melanjutkan sekolah. Pada waktu itu, Sjamsiah ternyata masih memiliki kewajiban untuk mengajar lagi. “Pagi saya sekolah dan sore mengajar, begitu terus saya sampai tidak merasakan letih,” ungkapnya. Berkat kerja kerasnya, akhirnya ia melanjutkan kuliah di Diploma 1 Pendidikan, waktu itu namanya Sekolah Khusus Pendidikan. Setelah tamat diploma, ia melanjutkan ke UKI (Universitas Kristen Indonesia) mengambil Jurusan Pedagogi Fakultas Sastra dan Filsafat hingga berhasil menyelesaikan sarjana muda. “Setelah lulus, oleh almarhum Prof. Simanjuntak, mantan rektor IKIP (sekarang Universitas Negeri Jakarta), saya dan dua teman diminta kerja sama dengan beliau untuk membentuk unit riset Departemen Pendidikan Nasional. Unit riset ini berada di bawah Jawatan Pendidikan Umum, sekarang namanya badan Litbang Diknas. Waktu itu kita dirikan pada tahun 1956,” ujar Sjamsiah. Di unit riset baru tersebut, Sjamsiah mulai terus melakukan pengembangan dan penelitian tentang dunia pendidikan. Ia, misalnya, melakukan riset tentang bagaimana membaca dengan metode keluar sekolah. Adapun percobaannya dilakukan di Tapak Siring, Bali. Setelah hampir empat tahun menjadi peneliti, pada 1960 Sjamsiah mendapat kesempatan untuk meraih Master of Elementery Schooll Supervision di New York University, New York City, USA. Studi di AS ini terbilang singkat, di sana Sjamsiah benar-benar konsentrasi penuh. Pada 1962, Sjamsiah sudah berhasil meraih gelar master. “Master yang saya raih cepat karena di sana saya hanya kuliah saja. Kalau di Indonesia, ya kuliah, ya riset, sambil mengajar.” Sebetulnya, begitu Sjamsiah berhasil menyelesaikan studinya, ia langsung ditawari untuk mengambil Ph.D oleh profesornya. Tawaran itu ditolak meskipun profesornya memberi garansi dua tahun untuk dapat selesai. “Saya bilang tidak, saya sudah diberi kesempatan banyak oleh bangsa lain dan sekarang rakyat Indonesia sedang membutuhkan saya. Saya ingin mengabdi untuk rakyat Indonesia,” katanya. Sebelum balik ke Indonesia, beruntung Sjamsiah masih sempat mampir selama tiga bulan di Inggris atas undangan British Council untuk melihat sistem pendidikan yang dikembangkan di Inggris. Setelah balik ke Indonesia, Sjamsiah kembali bekerja di unit riset yang ia bangun dan semakin berkembang. Satu tahun saja ia bekerja di sana karena kemudian ia dipindahkan ke Departemen Urusan Riset Nasional pada 1963. Namun demikian, baru satu tahun juga bekerja, Sjamsiah sudah harus pindah lagi ke Moskow, menjadi sekretaris pribadi Duta Besar RI di Moskow. Tujuan utama di Moskow, selain bekerja, Sjamsiah juga harus menjalani perawatan karena sebelumnya ia mengalami kecelakaan. Pakaian yang ia kenakan terbakar api dari spirtus yang ia gunakan sebagai pemanas makanan. “Sejak kejadian itu, saya cuti di luar tanggungan negara. Ke Moskow juga dalam rangka berobat. Selama tiga tahun di sana, saya belajar bahasa Rusia dan politik. Saya baca semua buku-buku politik dan saya selalu memberi masukan ke duta besar yang telah membantu saya,” ujar Sjamsiah. Ketika kembali ke Indonesia, ternyata Departeman Riset Nasional tidak ada lagi, diganti menjadi Lembaga Riset Nasional, dan setahun kemudian berubah menjadi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). “Saya bekerja sejak LIPI berdiri. Saya menjadi kepala Biro Hubungan Internasional pada tahun 1967 sampai dengan tahun 1978.” Karir Sjamsiah terus melejit. Setelah sebelas tahun di LIPI, ia ditawari bekerja di PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) oleh pemerintah RI. Tadinya Sjamsiah hanya dikontrak selama tiga bulan, tetapi kemudian diperpanjang menjadi satu tahun, sampai akhirnya diperpanjang lagi menjadi sebelas tahun. Di lembaga PBB ini, Sjamsiah bekerja di OThce for Science and Technology United National, New York. Setelah dua tahun, ia pindah ke bagian Non-Governmental Organizations (NGO) Unit, OThce of The Under Secretary General (1982—1983). Berikutnya, pada tahun 1983 Sjamsiah mendapat tugas ke Wina, Austria sebagai program officer di Branch for the Advancement of Women, Center for Social Development and Humanitarian Affairs UNOV (United Nations OThce Vienua), yaitu sejak tahun 1986—1988. Selama periode 1983—1988 ini, ia sangat terlibat dalam persiapan dan penyusunan tiga dokumen utama Konverensi Dunia Ketiga tentang perempuan tahun 1985, yaitu “Review and Appraisal” Dasawarsa PBB untuk perempuan. Ia terpilih sebagai ketua tim untuk Strategi Berwawasan Ke Depan bagi Kemajuan Perempuan, Survei Dunia I tentang Wanita dalam Pembangunan, serta Rencana Jangka Menengah antar Badan-Badan PBB bagi Kemajuan Perempuan. “Sebenarnya, pada waktu itu saya tidak tahu tentang women. Tetapi, untungnya sejak saya di PBB sampai tahun 1980, setiap konferensi dunia, sekjen membuat pidato dan kebetulan saya menjadi tim penulis pidatonya. Saya lalu banyak mendengarkan, apa itu women,” ujar Sjamsiah. “Nah, untungnya lagi, waktu itu NGO perempuan di NewYork sudah besar, jadi setiap sabtu saat NGO rapat, terutama pada saat menjelang konferensi. Saya terpanggil ingin tahu, jadi ikut saja di situ mendengarkan mereka. Setelah itu, saya mengerti, women yang dimaksud di sini adalah perjuangan atau gerakan perempuan untuk mendapatkan hak- haknya.” Sejak itu, aktivitas Sjamsiah terus berlanjut. Sejak ditugaskan di Wina, ia bertekad bulat untuk memperjuangkan perempuan Indonesia yang kondisinya ia ketahui. Ialalu dipercaya oleh United Nation (PBB) untuk kembali menjabat sebagai Komite CEDAW yang terdiri dari 24 perwakilan negara yang telah meratifikasi Konvensi CEDAW. Sjamsiah Achmad adalah generasi ketiga yang diangkat menjadi Komite CEDAW di PBB. Pertama kali yang ditunjuk adalah (almh.) Ibu Sukarman. Namun, beliau belum sempat datang karena meninggal dunia akibat kecelakaan. Selanjutnya, diganti dengan Prof. Pujiwati Sayogyo dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Setelah itu, periode berikutnya adalah Sunaryati Hartono, mantan kepala BPHN, sekarang wakil ketua Ombusdman, barulah kemudian Sjamsiah Achmad pada tahun 2001—2004. Saat ini, selain menjadi Penasihat Gender dan Iptek di LIPI, Sjamsiah juga menjadi anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Bahkan, di usianya yang kepala tujuh ini, ia diangkat menjadi anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste yang di angkat oleh Presiden SBY dan Presiden Xanana Gusmao. Pengawal CEDAW, Pengawal Keadilan Perempuan “Sebagai negara yang telah meratifikasi CEDAW, tanggung jawab ini seharusnya benar-benar dilaksanakan oleh semua pihak, khususnya eksekutif, legislatif, yudikatif, media, NGO, dan setiap individu,” ujar Sjamsiah. Itulah sebabnya Sjamsiah Achmad kelihatan tidak mau berhenti mengawal CEDAW untuk dapat dilaksanakan dengan baik di Indonesia. Sampai sekarang, ia terus memantau perkembangan CEDAW meskipun tidak lagi aktif di Komite CEDAW. Menurut Sjamsiah, meskipun sudah ada beberapa kemajuan perempuan di Indonesia, namun CEDAW secara substansi belum dapat dikatakan berjalan dengan baik. Menurutnya, masih banyak terjadi ketidakadilan terhadap perempuan di Indonesia. Ketidakadilan ini disebabkan oleh beberapa hal, di samping kultur masyarakat, peran negara untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan juga belum sepenuhnya dilakukan, bahkan dipahami. Indonesia, menurut Sjamsiah, sebenarnya tidak terlalu terpanggil untuk bicara soal hak asasi manusia. “Pak Harto (Soeharto, pemimpin Orde Baru) baru bicara persoalan ini sekitar tahun 1990, mendekati turunnya dari jabatan presiden. Sejak itulah, kita baru membentuk Komnas HAM dan sebagainya. Menjelang Viena tahun 1993, baru Indonesia bicara soal hak asasi manusia karena tidak mungkin kalau tidak bicara,” ujar Sjamsiah. CEDAW diakui oleh Sjamsiah sampai kini belum banyak diketahui oleh masyarakat luas, khususnya aparat penegak hukum dan pemerintah yang membuat kebijakan. “Jangankan masyarakat luas, aparat penegak hukum dan aparatur pemerintah saja sampai sekarang masih banyak yang tidak mengerti apa itu CEDAW,” katanya lagi. Menurut Sjamsiah, hal ini karena sosialisasi keberadaan CEDAW masih sangat minim, padahal CEDAW sudah berumur lebih dari 20 tahun sejak diratifikasi pertama kali di tahun 1984. “Banyak tanggung jawab negara yang masih belum dilaksanakan. Harmonisasi hukum masih segudang yang belum kita lakukan. Peradilan yang kompeten juga belum bisa kita ciptakan. Tidak hanya peradilan dengan standar yang ada, tetapi juga peradilan yang berperspektif gender.” Sjamsiah menyesalkan tidak tersosialisasinya CEDAW dengan baik, padahal CEDAW memberi banyak pengertian tentang bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Menurut Sjamsiah, selama ini upaya pemberdayaan perempuan sering ditentang oleh masyarakat. “Misalkan saja soal kuota perempuan 30%. Masyarakat masih banyak yang tidak paham soal kuota perempuan. Kuota perempuan masih dianggap sebagai tindakan meminta belas kasihan, ini, kan, keliru besar,” cetusnya. “Kenapa 30%? Itu juga sudah menjadi ketentuan internasional secara minimal untuk mempengaruhi kualitas kebijakan publik. Jadi, bukannya meminta-minta, tetapi itu memang hak perempuan. Dan, yang lebih penting lagi, bahwa itu sifatnya temporary, tidak permanen,” katanya lagi. Menurut Sjamsiah, hal yang paling penting di CEDAW adalah prinsipnya yang nondiskriminasi. Jika terjadi pembedaan perempuan dan berakibat pada kerugian perempuan tersebut, maka ini sudah termasuk diskriminasi. Di dalan konvensi CEDAW sudah diatur secara detail, bahkan sudah sangat jelas mana yang temporary action dan mana yang permanent action. “Masalah pendidikan, misalnya. Data menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah anak perempuan cukup rendah dibandingkan dengan anak laki-laki. Nah, upaya untuk mengejar ketertinggalan pendidikan anak perempuan inilah yang dimaksud sebagai upaya temporary action. Misalkan, memberi beasiswa untuk perempuan, itu sifatnya benar-benar temporary action yang harus dihapuskan bila persamaan sudah mulai terbangun,” katanya. Belum berjalannya CEDAW secara baik di Indonesia bukan berarti Indonesia tidak melaksanakannya sama sekali. Digunakannya CEDAW sebagai dasar hukum sejumlah kebijakan adalah indikator yang dapat diacungi jempol karena dengan demikian, CEDAW diperhatikan keberadaannya. Sjamsiah memaklumi kesulitan pelaksanaan ini yang berkaitan dengan persoalan kultur budaya dan agama di Indonesia sebagai kendala yang paling berat bagi pelaksanaan CEDAW. Masyarakat masih belum bisa melihat bahwa budaya, sebagai ciptaan manusia, dapat diubah dan berkembang sesuai konteks zamannya. Tidak banyak perubahan pada kultur budaya dan perilaku masyarakat ini juga terjadi pada aspek pembedaan gender (sengaja dibedakan antara perempuan dan laki-laki atau diskriminatif terhadap perempuan) dalam masyarakat. Pembedaan gender sebagai bentuk konstruksi masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang memang sudah demikian adanya. Masyarakat masih belum mau melakukan perubahan-perubahan secara mendasar dengan alasan akan mengubah struktur kehidupan, ditambah lagi dengan konservatisme agama yang semakin menyudutkan perempuan dalam masyarakat. “Bukti nyata dari semua ini adalah masih berlakunya UU Perkawinan Tahun 1974 yang menempatkan perempuan sebagai orang nomor dua. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa laki-laki yang mencari nafkah, perempuan mengurus rumah tangga. Seharusnya ketentuan ini diubah karena merugikan dan tidak memberi keadilan bagi perempuan,” katanya lagi. “Di masa depan, saya hanya berharap pemerintah membuat sistem kelembagaan yang akan menangani masalah HAM, dalam arti pelaksanaan, sehingga kita bisa menjamin dua hal. Pertama, memberi keadilan kepada orang yang dilanggar HAM-nya; kedua, memberi keadilan pula kepada pelaku yang harus dibawa ke pengadilan.” Dedikasi Sjamsiah bagi perjuangan hak asasi manusia, khususnya keadilan dan kesetaraan gender di Indonesia tidak pernah redup. Hidupnya telah ia serahkan secara total bagi umat manusia. Di kalangan aktivis dan gerakan perempuan Indonesia bahkan di dunia, nama Sjamsiah Achmad bukanlah nama asing. Empat tahun keberadaanya di Komite CEDAW, menjadikan upaya keadilan dan kesetaraan gender di Indonesia sebagai bagian dari hidupnya. Ia selalu mengamati bagaimana bentuk diskriminasi terjadi terus pada perempuan di negeri ini. Dengan peran dan kompetensinya di tataran nasional maupun internasional, ia telah banyak melakukan perubahan dan pemahaman bagi banyak pihak. Lewat konvensi hukum yang berpihak pada perempuan, Syamsiah Achmad memilih hidupnya sebagai pengawal keadilan bagi perempuan. (Eko Bambang Subiyantoro) Catatan Belakang: [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2006 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 45, 2006 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. |
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |