Angka kekerasan terhadap perempuan kelihatannya semakin hari semakin sulit untuk mengharap adanya penurunan. Kekerasan terhadap perempuan seolah-olah menjadi satu bagian yang tidak terlepaskan dalam sistem kehidupan sosial masyarakat. Belum lagi, perempuan korban kekerasan acap kali dipojokan dan dipersalahkan. Bagaimana sistem kekerasan itu terjadi dalam masyarakat, apa faktor penyebab, dan bagaimana kita memperlakukan perempuan korban kekerasan? Berikut petikan wawancara jurnalis Jurnal Perempuan, Eko Bambang Subiyantoro dengan Elly Nur Hayati, Direktur Eksekutif Rifka Anissa Women Crisis Center, Yogyakarta seputar kekerasan terhadap perempuan[1]. Jurnal Perempuan (JP): Bentuk kekerasan terhadap perempuan seperti apa saja yang selama ini ditangani oleh Rifka Annisa? Elly Nur (EN): Rifka Annisa Women Crisis Center (RAWCC) sejak berdirinya (1993) menyediakan layanan pendampingan (psikologis-litigatif ) untuk kasus- kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP) seperti perkosaan dan pelecehan seksual, penganiayaan fisik dan emosional, yang terjadi secara langsung, baik di lingkup publik maupun domestik. Penerima manfaat dari layanan konseling RAWCC ini adalah perempuan di semua usia (anak-anak s.d. dewasa). Namun, dari pengalaman selama ini, lebih banyak kelompok perempuan berusia di atas 20 tahun yang menerima manfaatnya. RAWCC memang tidak secara khusus menyebarluaskan informasi mengenai kekerasan terhadap anak, tetapi kita juga tidak memberikan batasan usia, dan ternyata kelompok perempuan usia dewasalah yang lebih banyak mengadukan persoalannya kepada kami. JP: Bentuk kekerasan seperti apa yang sering terjadi dan ditangani? EN: Bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan oleh masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta (karena lokasi RAWCC adalah di DIY) kepada RAWCC adalah kekerasan terhadap istri (KTI), baik kekerasan bersifat emosional, fisik, seksual, maupun ekonomi. Kecenderungan ini telah berlangsung sejak awal berdirinya RAWCC. Artinya, bahwa RAWCC menjadi tumpuan pengaduan bagi perempuan dari kelompok ini sehingga kemudian RAWCC banyak mengembangkan programnya untuk kelompok ini. JP: Dari pengalaman penanganan kekerasan terhadap perempuan, apa yang menjadi faktor terbesar terjadinya KTP? Bisakah Ibu jelaskan? EN: Kami melihat bahwa penyebab terjadinya KTP adalah multikausal yang semata-mata timbul bukan karena faktor karakteristik personal saja, melainkan ada banyak faktoryang menyumbang kepada karakteristik personal ini sehingga munculah KTP. Memang biasanya ada faktor pemicunya (precipitating event), baik yang bersifat individual maupun sosial, namun dalam hal ini, saya tidak dapat mengatakan apa faktor penyebab yang memberikan sumbangan terbesar bagi terjadinya KTP. Yang jelas, secara kultural tindakan langsung atau tidak langsung yang dimaksudkan untuk mengontrol atau mendominasi kaum perempuan merupakan tidakan yang masih sangat ditoleransi oleh kultur masyarakat kita. JP : Bagaimana penyelesaian akhir setiap kasus kekerasan terhadap perempuan? EN: Kami memegang prinsip self-determination yang artinya keputusan akhir dari persoalan ada di tangan si perempuan sendiri. Hal yang terpenting dalam proses pendampingan untuk mereka adalah bagaimana mengantarkan mereka kepada suatu situasi di mana mereka dapat mengambil keputusan secara jernih, yang sesuai dengan peluang yang ada, sekaligus sesuai dengan kemampuan mereka dalam menyambut peluang tersebut. Jadi, yang kami lakukan sebagai pendampingadalah menjadi kawan bicarayang sekaligus memberikan informasi tentang berbagai macam alternatif solusi, hak-haknya sebagai seorang manusia, dan peluang (alternatif solusi) apa saja yang mungkin dapat diambil berkaitan dengan jenis kekerasan yang dialami oleh si perempuan. Nah, setelah proses tersebut dilalui, maka keputusan apa yang dipilihnya. Berdasarkan pengalaman selama sembilan tahun bergabung di RAWCC, kecenderungan pilihan solusi yang paling banyak diambil oleh korban dari berbagai macam kasus yang masuk adalah solusi nonlitigatif, seperti musyawarah, rekonsiliasi, dan sebagainya. Sementara itu, hanya sekitar 7%— 10% saja per tahunnya yang mengambil langkah litigatif dalam menyelesaikan masalahnya, yaitu dengan mempidanakan atau memperdatakan si pelaku. JP: Adakah selama ini perlawanan yang dilakukan perempuan ketika mengalami kekerasan? EN: Berdasarkan pengalaman kami membantu perempuan korban kekerasan di wilayah DIY, kebanyakan perempuan ketika mengalami kekerasan tidak melakukan perlawanan yang berarti terhadap si pelaku. Maksudnya, kalaupun mereka melawan, perlawanan itu sebatas tindakan verbal, seperti menolak tindakan tersebut. Di negara-negara dengan kultur yang berbeda (misalnya di Amerika Latin), perempuan akan balas memukul jika mereka dipukul oleh suami atau pasangannya. Dalam kultur kita, perlawanan yang paling keras mungkin adalah berupa tindakan gugat cerai. JP: Dalam konteks sosial masyarakat Indonesia, bagaimana kita seharusnya mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan itu? EN: Saya kira batasan KTP itu sudah menjadi kesepakatan global sebagaimana yang tercantum dalam Deklarasi Penghapusan KTP yang dikeluarkan oleh PBB (Pasal 1 DPKTP). Artinya, kita harus melihat hal itu sebagai suatu definisi atau batasan yang berlaku dimana pun, sebagaimana kita memahami konsep HAM, gender, dan sebagainya. JP: Sebenarnya, seberapa besar potensi kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di masyarakat? EN: Kalau kita membicarakan potensi, berarti kita harus melihat pada unsur dominan yang menjadi penyumbang utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Unsur dominan itu menurut saya ada pada kultur karena bangunan kultur itu terinternalisasikan ke dalam diri individu secara kontinu, menembus ruang dan waktu. Dalam masyarakat kita, harus diakui bahwa pikiran dan tindakan kita masih sangat male oriented, yang artinya masih lebih melihat kepada kaum lelaki sebagai pihak yang mendapat prioritas dan keistimewaan. Dalam situasi yang demikian ini, maka potensi untuk munculnya KTP adalah besar. Alasannya jelas, karena KTP muncul dalam situasi di mana pola relasi gender tidak seimbang. JP: Apa yang menjadi embrio potensi munculnya KTP? EN: Ya, saya kira, embrio itu ada pada ketimpangan relasi kuasa. Dalam suatu sistem yang terjadi ketidakseimbangan peran (antara satu komponen dan komponen lainnya), maka di situlah relasi kuasa itu akan terbangun, yaitu pihak yang memiliki akses yang lebih besar akan cenderung menjadi pihak yang dominan dan superior. Demikian pula, apabila dalam suatu masyarakat terjadi ketidakseimbangan relasi gender, maka pihak yang lebih besar peluang dan kekuasaannya akan menindas pihak yang lebih lemah. JP: Sebenarnya, terjadinya kekerasan terhadap perempuan ini merupakan problem kultural atau struktural? EN: Saya kira, kita tidak dapat memisahkan secara tegas antara kultur dan struktur karena kultur itu terbangun oleh struktur yang berkuasa, sementara struktur yang berkuasa merupakan suatu produk dari suatu kultur tertentu. Dengan demikian, kita tidak dapat memisahkan secara tegas antara kultur dan struktur dalam memberikan sumbangan bagi keberlangsungan KTP. JP: Bagimana kita dapat mengetahui bahwa telah terjadi kekerasan terhadap perempuan, baik fisik, psikologis, dan sebagainya? EN: Cara mengidentifikasi telah terjadinya KTP adalah dengan melihat apakah realitas aktual (saat ini) seseorang (dalam hal ini perempuan) telah teraktualisasikan atau muncul sesuai dengan potensinya. Misalnya begini, ada seorang anak perempuan yang memiliki bakat luar biasa dalam bidang musik. Ia begitu cepat menguasai penggunaan berbagai alat musik tanpa harus mempelajarinya secara khusus. Namun, pada kenyataanya, anak perempuan ini malah hidup di jalanan, menjadi tukang semir sepatu. Gadis ini, realitas aktualnya adalah di bawah atau tidak sesuai dengan potensi yang sesungguhnya. Demikian juga dalam melihat KTP, hal yang kita lihat adalah bagaimana seorang perempuan dapat merealisasikan potensinya dan menjadi invidu yang tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan martabat kemanusiannya. Selanjutnya, kita akan dapat mengenali dengan mudah apabila kekerasan yang dialaminya adalah kekerasan fisik, seperti tanda-tanda biru lebam di bagian tubuh tertentu, terutama wajah dan sebagainya. JP: Apa dampak yang terjadi bagi perempuan korban kekerasan itu? EN: Hal pertama yang harus kita pahami adalah bahwa dampak psikologis kekerasan akan sangat dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti derajat tindak kekerasannya itu sendiri, toleransi frustasi individu, kesadaran kritis individu atas apa yang dialaminya, dan sebaginya. Artinya, bentuk kekerasan yang sama tidak selalu menimbulkan dampak yang sama pada individu yang berbeda. Kedua, dampak itu tidak selalu diartikan sebagai dampak langsung (jangka pendek), tetapi juga berupa dampak yang panjang (dampak tidak langsung). Mungkin seseorang baru akan menunjukkan tanda-tanda atau gejala tekanan mental tertentu setelah sekian waktu tertentu kejadian kekerasan itu menimpa, namun ada juga individu yang langsung menunjukkan gejala psikologistertentu, segera setelah ia mengalami suatu tindakan kekerasan. Selanjutnya, dampak KTP juga dapat berupa terganggunya fungsi kesehatan fisik perempuan, seperti menderita penyakit kronis tertentu, gangguan pada fungsi reproduksinya, serta perilaku kesehatan yang negatif (merokok, alkohol, seks bebas, dan sebagainya). Jadi, di sinilah sebenarnya urgensi penghapusan KTP, yaitu bahwa persoalan ini memiliki dampak negatif yang meluas, namun tersembunyi yang menyebabkan kaumperempuan tidak mampu merealisasikan potensi-potensinya. JP: Bagimana negara, hukum, dan aparat selama ini memandang terjadinya kekerasan terhadap perempuan? EN: Berdasarkan pengalaman kami selama sembilan tahun bekerja bersama perempuan korban kekerasan, tampak sekali mulai ada pergeseran dalam sistem hukum kita. Memang, perubahan itu tidak dapat diharapkan dapat terjadi dengan cepat, tetapi setidaknya persoalan KTP sudah mulai terakomodasi dalam sistem hukum kita. Hingga menjelang akhir tahun 90-an misalnya, ketika persoalan KTP mulai terangkat ke permukaan, sistem hukum kita masih sangat memojokkan perempuan korban dan belum ada keterbukaan dari aparat hukum untuk berdialog soal KTP. Negara sendiri, ketika itu tampaknya juga tidak terlalu bersungguh- sungguh dalam mengupayakan kebijakan yang tidak mendiskriminasikan kaum perempuan. Tidak ada political will untuk itu meskipun sesungguhnya telah meratifikasi CEDAW sehingga tampak sekali hal itu hanya semata-mata sebagai topeng untuk pergaulan internasional saja. Belakangan ini, maksudnya menjelang tahun 2000, memang mulai terasa ada perubahan di tingkat negara dan sistem hukum kita, yang tentu saja disebabkan karena ada perubahan rezim kekuasan dan juga tekanan internasional yang menghebat kepada Indonesia karena Kasus Mei 1998 ataupun terungkapnya berbagai tindak kekerasan seksual terhadap perempuan sipil di berbagai daerah konflik. Melalui pintu Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan ketika itu, kemudian mulai dibicarakan tentang perlunya kerja sama antara masyarkat dan negara untuk mengupayakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Dan, kita mengenal sekarang ini sebagai RANPKTP (Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan). Sejak itu, memang terasa ada keterbukaan dari pemerintah dan juga sistem hukum terhadap masalah KTP. JP: Apa yang memungkinkan dapat meminimalisasi tindakan kekerasan terhadap perempuan? EN: Saya kira upaya untuk meminimalisasi kekerasan itu harus dilakukan oleh semua pihak, baik negara beserta segenap aparatnya, dan juga masyarakatnya sendiri. Dalam hal ini, pemerintah memberikan sumbangan melalui terciptanya kebijakan negara dan produk hukum yang tidak hanya memihak kepada lelaki, tetapi juga perempuan sebagai warga negara. Bagi masyarakat sendiri, mereka juga dapat menyumbang bagi terciptanya masyarakat yang terbebas dari KTP dengan cara mengubah kebiasaan, cara berpikir, dan membuang mitos-mitos yang menempatkan nilai-nilai lelaki dan perempuan secara timpang. Selain itu, masyarakat juga kemudian seharusnya konsisten dengan hukum dan kebijakan yang ada, artinya tidak mentoleransi terjadinya KTP yang terjadi di sekitarnya. JP: Jika kita menemukan peristiwa kekerasan terhadap perempuan, apa yang harus dilakukan? EN: Pertama harus diingat bahwa KTP bukanlah persoalan pribadi, melainkan persoalan patologi sosial yang siapa pun harus ikut mengupayakan untuk penghentiannya. Dengan demikian, apabila kita menemukan kasus KTP, maka hal yang paling sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan tidak menyalahkan atau memojokkan korban. Selanjutnya, kita juga dapat memberinya informasi tentang layanan apa yang dapat diperolehnya. (Eko Bambang Subiyantoro) Catatan Belakang: [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2002 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 26, 2002 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |