Mayling Oey-Gardiner, pengajardi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) sejak tahun 1971, adalah Guru Besar FEUI, perempuan pertama yang dikukuhkan pada tahun 2001 dan menjadi Ketua Senat Akademi dan Sekretaris Dewan Guru Besar FEUI untuk periode 2003—2007. Pendidikan tinggi sempat dienyam oleh Mayling Oey di dua sekolah tertua di Amerika Serikat, yaitu College of William and Mary (1968—1970) dan Harvard University (1972—1974). Mayling Oey adalah orang Indonesia pertama yang mencapai Ph.D di bidang demografi yang diperolehnya dari Australian National University tahun 1982. Mayling banyak berperan di lembaga penelitian dan konsultasi Insan Hitawasana Sejahtera (IHS) yang berfokus pada masalah sosial, ekonomi, dan demografi, seperti kemiskinan, gender, dan keterbatasan akses kaum marginal pada sarana dan prasarana sosial serta pelayanan publik. Di samping itu, Mayling baru menyelesaikan tugas sebagai anggota DRN (Dewan Riset Nasional) periode 2005—2011 dan sejak 2008 menjadi anggota AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia).[1] Pengabdian Mayling Oey pada masyarakat ditujukan oleh keterlibatannya dalam berbagai LSM dalam maupun luar negeri. Tulisan berbentuk artikel dan buku telah banyak dihasilkan, beberapa di antaranya The Role of Manufacturing in Labour Absorption: Indonesia since the 1970s, Changing Works Patterns of Women in Indonesia during 1970, serta buku berjudul Demographic Factbook of Indonesia. Buku-buku Mayling lainnya berjudul Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini dan Indonesian Women: The Journey Continues. Untuk pidato pengukuhan sebagai Guru Besar FEUI, Mayling Oey menyiapkan “Mendobrak Langit-Langit Kaca: Lambat Memang namun Tak Terelakkan”. Jurnal Perempuan mewawancarai Mayling Oey tentang kebijakan dalam hal kependudukan berkaitan dengan status ekonomi perempuan dan dampaknya pada kesejahteraan, pendidikan, dan kesehatan. Di rumah yang teduh dan penuh buku, kami diajak ke pondok kerjanya untuk membahas segala persoalan ini dengan panjang lebar. Jurnal Perempuan (JP): Ibu Mayling adalah ahli pertama di Indonesia dalam bidang demografi. Apakah yang perlu kita ketahui tentang demografi? Mayling Oey (MO): Demografi bila dipahami secara awam adalah mempelajari soal perubahan penduduk yang disebabkan oleh ada yang dilahirkan (juga disebut fertilitas) dan ada yang meninggal (disebut juga mortalitas), juga ada yang pindah masuk (migrasi masuk), dan ada pula yang pindah keluar (migrasi keluar)—berkaitan dengan TKI. Di samping itu, demografi juga mempelajari tentang lamanya hidup seseorang atau sekelompok orang dan dinamika kependudukan berkaitan dengan kondisi sosial-ekonomi dan tentu saja kesejahteraan. Dengan latar belakang pendidikan saya sebelumnya, yaitu sosiologi, demografi yang saya geluti tidak menekankan pada matematika atau hitungannya, tetapi lebih mempelajari aspek sosial dari kependudukan itu. Misalnya, kesejahteraan berhubungan terbalik dengan harapan hidup. Semakin kurang sejahtera seseorang, kemungkinan umurnya semakin pendek, atau sebaliknya, semakin sejahtera, semakin tinggi kemungkinan dia bisa hidup lebih lama. Kalau tidak sejahtera, kemungkinan dia lebih rentan terhadap penyakit sehingga bisa menyebabkan kematian. Umumnya, yang lebih sejahtera lebih mampu bersekolah, lebih mampu menjaga kesehatan. Misalnya, saya bisa bayar dokter karena saya sudah cukup sejahtera. Orang yang lebih atau kurang sejahtera, seperti apakah pendidikan dan kesehatannya? Bagaimana pola dan cara hidupnya? Semua itu dapat dipelajari. Studi kependudukan dapat dipahami dengan pertanyaan awam: mengapa kematian bayi tinggi? Mengapa ibu yang melahirkan, ada yang meninggal ada yang tidak? Itu kalau kita bicara soal kematian ibu. Lalu, pekerjaan apa yang dilakukan oleh mereka yang lebih sejahtera atau yang kurang sejahtera? Biasanya semua itu sangat terkait dengan perekonomian. Sampai sekarang yang masih sukar dicapai adalah meningkatkan proporsi angkatan kerja di sektor formal. Data BPS tahun 2011 menunjukkan bahwa hanya 1/3 (34%) pekerja terserap dalam sektor formal (Sakernas Agustus 2011). Sebaliknya, 2/3 terpaksa mencari sesuap nasi di sektor informal. Apakah sektor formal itu? Yaitu sektor yang terlindungi oleh hukum. Pekerja sektor formal diikat dengan tanggung jawab dan hak yang harus dipenuhi oleh pemberi kerja, lembaga yang berbadan hukum yang harus mengikuti aturan negara. Karena mengikuti aturan negara, maka pekerjaannya terlindungi oleh aturan negara tersebut. Sektor informal yang meliputi 2/3 keseluruhan pekerja, banyak diisi perempuan. Jadi, perempuan kecenderungannya lebih banyak di sektor informal atau sektor yang tidak terlindungi. Dulu banyak literatur yang mengatakan, “Perempuan mau saja diperlakukan tidak adil, mereka diam saja.” Menurut saya, mereka berperilaku demikian bukan karena tidak berani, melainkan memang kelemahan status mereka. Mereka memang tidak mampu untuk berjuang setingkat laki-laki. Status mereka dipekerjakan jauh lebihrentan daripada laki-laki walaupun belakangan ini memang terjadi perubahan. JP : Perubahan seperti apa yang dimaksud? MO: Perubahannya sangat dipengaruhi perubahan mendasar di pendidikan. Pendidikan sekarang makin dapat diakses oleh perempuan. Mungkin 20 tahun yang lalu perempuan ketinggalan, tetapi sekarang tidak lagi. Anak perempuan diberi akses sama pada pendidikan seperti anak laki-laki. Hal ini tidak hanya berlaku pada tingkat pendidikan terendah, tetapi hingga perguruan tinggi. Perkembangan di Indonesia sebenarnya searah dengan yang terjadi di dunia. Paling menarik adalah gejala di dunia, termasuk Indonesia, mengenai perkembangan di tingkat perguruan tinggi yang jauh lebih cepat untuk perempuan daripada laki-laki. Antara 1970 hingga 2008, jumlah siswa perempuan meningkat lebih dari tujuh kali (dari 10,8 juta menjadi 80,9 juta), sedangkan jumlah siswa laki-laki hanya meningkat empat kali (World Bank, World Development Report 2012: 108). Kalau dahulu kesenjangan gender begitu lebar, sekarang sudah praktis tak ada dan bahkan telah berbalik. Contohnya, semester lalu saya mengajar empat kelas. Isinya lebih banyak perempuan semua. Di pascasarjana, dari 14 mahasiswa, 10 adalah perempuan. Ini merupakan pengalaman pertama untuk saya ketika perempuan begitu dominan di kelas saya. Siangnya saya mengajar di S1 yang mencatat 20 dari 34 mahasiswa saya adalah perempuan. Ini di fakultas ekonomi. Di sekolah swasta yang agak mahal, rupanya juga lebih banyak perempuan. Hipotesis saya dulu adalah bahwa laki-laki lebih banyak sekolah daripada perempuan karena memang dalam keterbatasan keuangan keluarga, prioritas diberikan kepada laki-laki, karena waktu itu kesempatan kerja untuk perempuan sangat terbatas sehingga investasi dalam pendidikan kurang memberikan hasil bagi keluarga di kemudian hari. Dulu, perempuan kelas menengah atas diberi tahu, buat apa sekolah nanti, kan, juga berakhir di dapur saja. Memang masuk akal karena ketika itu perempuan hampir tidak ada kesempatan kerja, hanya akan berakhir di dapur. Perubahan status ekonomi ini sebetulnya juga didorong oleh pendidikan, yang di satu pihak memperluas wawasan dan kemampuan, di lain pihak sistem pendidikan juga membuka kesempatan kerja bagi perempuan. Hal ini dimulai sejak 1970-an ketika Indonesia punya uang berlebih yang tiba-tiba, dihasilkan bukan karena kita kerja, melainkan karena harga jual minyak bumi yang tiba- tiba naik dan cadangan masih banyak. Sebagian dana itu dialirkan ke sektor sosial, sebagai, misalnya, program SD Inpres yang membutuhkan tenaga guru, pekerjaan yang layak bagi perempuan. Inilah kesempatan pertama bagi perempuan memperoleh pekerjaan di sektor formal sebagai pegawai negeri karena persyaratan SD Inpres adalah agar terdapat sekurang-kurangnya satu sekolah per desa. Program ini betul-betul meluas. Akibat lain adalah bahwa sekolah menjadi dekat. Kalau sebelumnya perempuan tidak diperbolehkan sekolah karena jarak sekolah yang sangat jauh, SD Inpres mendekatkan sekolah pada rakyat. Itulah awal orang mengatakan, “Ternyata perempuan itu bisa juga dapat pekerjaan.” Dan, pekerjaan tersebut di sektor formal. Investasi kedua waktu itu adalah dalam bidang kesehatan. Bersamaan dengan program SD Inpres, juga diberlakukan program puskesmas. Kalau SD pada tingkat desa, puskesmas pada tingkat kecamatan. Memang belum banyak, tetapi jauh lebih banyak dari sebelumnya. Puskesmas juga membuka kesempatan kerja bagi perempuan. Kedua program ini betul-betul mendobrak kepercayaan bahwa perempuan tidak perlu sekolah karena, toh, hanya berakhir di dapur. Sejak itu orang tua sadar bahwa anak perempuan tetangga bisa menjadi pegawai negeri karena sekolah. Berarti, anak perempuan yang bersekolah akan lebih mampu mengurus orang tua ketika mereka menjadi tua, sebagai jaminan hari tua. Tahun ‘70-an, fertilitas (angka kelahiran) masih tinggi dan mulailah BKKBN berperan untuk mensosialisasikan sesuatu pengertian yang salah, yaitu “banyak anak banyak rejeki”. Sebenarnya, keadaan yang berlaku adalah bahwa banyak anak banyak kemiskinan. Ketika itu, banyak sekali program pembangunan sosial dan ekonomi terjadi bersamaan. Pada masa itu, fertilitas tinggi, mortalitas (angka kematian) juga tinggi, dan orang tua perlu kepastian bahwa nanti waktu mereka tua, masih ada yang mengurus mereka. Kalau anak cuma satu atau dua, begitu tua siapa yang mengurus dia? Semua ini juga berkaitan dengan agama. Semua agama mengatakan menikah itu untuk reproduksi, disuruh beranak- pinak. Kalau sekarang, anak yang diharapkan mengurus dia diganti tabungan atau harta untuk bisa bayar ke dokter. Dengan adanya pendidikan, dengan sarana prasarana kesehatan membaik, orang juga bisa hidup lebih lama. JP : Bagaimana dengan periode tahun berikutnya? MO: Pada pertengahan 1980, kita tidak begitu kaya lagi. Harga disesuaikan kebutuhan anggaran. Waktu harga minyak naik lagi, cadangan sudah berkurang dan tidakseimbang lagipengeluaran kitadengan kebutuhan. Apakahyangterjadi bila anggaran berkurang? Di mana pun termasuk Indonesia, akan dilakukan pengurangananggarandi sektorsosial,yaitupendidikandan kesehatan. Memang kelihatan waktu itu ada penurunan sedikit, sementara dirasakan harus ada sesuatu yang dilakukan. Waktu itu menteri keuangan melaksanakan deregulasi atau mengurangi regulasi yang memungkinkan swasta lebih berperan. Aturan perbankan diubah, lalu bank-bank berjamuran. Demikian juga berbagai aturan perizinan diubah. Akibatnya terjadi yang dinamakan substitusi impor, ketika asing berinvestasi di sektor industri Indonesia. Kita mulai menghasilkan barang-barang jadi yang sebelumnya diimpor. Industri padat karya berskala internasional seperti merek sepatu Nike dan lain-lain berkembang di Indonesia. Inilah yang membuka kesempatan kerja bagi perempuan yang dianggap lebih sabar dan teliti. Fakta ini mengubah pandangan orang tua tentang pendidikan anak perempuannya. Pendidikan buat anak perempuan akan sangat berarti, akan memungkinkan anak perempuannya memperoleh kesempatan kerja yang dibayar. Orang tua mengetahui bahwa pendidikan membawa harapan, termasuk harapan mengurus dirinya di hari tuanya. Perubahan itulah yang menyadarkan orang tua akan pentingnya kesediaan orang tua berinvestasi dalam pendidikan anak perempuannya. JP: Kembali tentang sektor formal dan pendidikan yang kini dapat diakses perempuan, apakah sudah cukup? MO: Tentu saja masih jauh dari cukup. Masalahnya, perekonomian kita belum mampu membuka kesempatan kerja di sektor formal dengan kecepatan yang memadai keluaran sistem pendidikan tinggi. Walaupun demikian, sebagaimana saya ungkapkan sebelumnya, di Indonesia pun perempuan makin mendominasi mahasiswa perguruan tinggi. Keadaan Universitas Indonesia memberi gambaran yang dapat dianggap sebagai pedoman perkembangan komposisi gender mahasiswa perguruan tinggi umumnya. Di antara pelamar tahun akademik 2011—2012, 55% adalah perempuan. Mahasiswa baru 55% adalah perempuan, lulusan universitas 50% perempuan, lulusan cumlaude 70% perempuan. Di sektor formal, perempuan sudah banyak masuk, tetapi begitu sebagai pengambil keputusan, “pintu ditutup”. Karena KKN masih banyak terjadi di daerah yang masih mengandalkan organisasi tradisional, maka dalam pemilihan dan penempatan PNS tetap saja prioritas diberikan kepada pria. Jadi, kalau lihat skala nasional, tetap masih hanya di beberapa kota seperti di Jakarta yang makin banyak karyawannya adalah perempuan. Di lembaga pemerintah eselon rendahan, makin banyak diduduki perempuan yang memang juga lebih mampu secara akademis. Hal ini berkaitan dengan lebih sukarnya untuk perempuan memperoleh kesempatan kerja dan kedudukan manajerial di pemerintahan, maka perempuan yang berhasil memang diperoleh secara lebih selektif. JP : Apakah akan berubah? MO: Ya. Saya percaya bahwa keadaan harus berubah. Dengan Indonesia terus berusaha mengejar pembangunan, maka organisasi lembaga pemerintahan juga harus berubah menuju organisasi modern dan rasional, memberikan kedudukan pada yang mampu. Perubahan itu akan terjadi dengan pendidikan. Karena pendidikan, bagaimana pun juga, memberikan perluasan wawasan, kemampuan, dan menaikkan kepercayaan diri. JP : Bicara ekonomi dan perempuan, muncul banyak konsep tentang feminisasi kemiskinan. Bagaimana menurut Ibu? MO: Terus terang, saya tidak tahu bagaimana mengukur feminisasi kemiskinan secara nasional. Kalau dalam kelompok-kelompok masyarakat tertentu, iya. Maksud saya, dalam banyak masyarakat, perempuan hidup lebih lama. Maka, di antara yang miskin dan tua dan makin tua, kebanyakan adalah perempuan. Tapi, secara nasional tidak bisa diukur karena secara nasional, kemiskinan itu diukur dari pendapatan atau pengeluaran rumah tangga. Di situ jumlah laki- laki dan perempuan hampir sama. Kalau dikatakan makin banyak perempuan yang jadi tua, misalnya Merapi meletus, yang menjadi korban kebanyakan perempuan dan tidak ada bantuan dari negara, itu iya. Feminisasi kemiskinan itu sebetulnya konsep dari subkontinen sekitar India yang belum tentu benar untuk di sini. Begitu juga konsep di Amerika yang belum tentu bisa benar untuk di sini. Budaya dan agama India menentukan status perempuan di bawah laki-laki dan perempuan praktis menjadi milik keluarga laki-laki ketika menikah. Di Amerika benar ketika perceraian meningkat perempuan menjadi sulit karena tanggungan setelah cerai harus diurus sendiri. Meskipun dapat perlindungan sosial dari negara, itu tidak cukup, dan itu jumlahnya banyak. Di sini kita tak bisa ukur, kecuali secara nasional. Kalau dikatakan itu tadi (feminisasi kemiskinan), di antara perempuan yang masih single banyak sekali yang kaya, yang main di bursa. Jumlah mereka ini mengimbangi kelompok perempuan yang miskin itu. Jadi, kalau dirata-ratakan secara nasional, tidak ada feminisasi kemiskinan. Belum lagi yang muda-muda berpendidikan tinggi seperti bankir, memangnya mereka miskin? Begitu pun dengan ibu rumah tangga yang tinggal di apartemen. Ibu muda juga ada yang bergaji besar sekali. Kalau saya bertemu, mereka yang muda-muda mampu belanja di toko, di mal yang mahal-mahal. Mereka ini mengimbangi yang kalau dihitung total, they’re very educated, high incomes yang angkanya saja puluhan juta, belanjanya merek-merek mahal. Pertumbuhan mereka bahkan lebih cepat dari yang tua dan miskin itu. JP: Apakah komitmen kita tentang MDGs (Millenium Development Goals) akan tercapai? MO: Dalam bidang kesehatan tidak akan tercapai. Bidang pendidikan, ya, sudah tercapai. Kalau diukur sebagai Angka Partisipasi Kasar[2] yang digunakan pemerintah, maka untuk tingkat SD sudah mencapai 112%, tingkat SLTP 80%, tingkat SLTA 63%, namun untuk tingkat pendidikan tinggi baru mencapai 16% (BPS, Susenas 2010). JP : Bila SD, SMP, sampai SMA berhasil mencapai lebih dari 50%, mengapa tingkat perguruan tinggi hanya 16%? MO: Inisoal demand dan supply karena tidak banyak pekerjaanyang membutuhkan pendidikan tinggi sehingga permintaan akan pendidikan tinggi juga terbatas. Pada tingkat pascasarjana, permintaan pendidikan tergantung dari bidang ilmu. Saya bicara dengan Dikti. Saya dari fakultas ekonomi yang guru besarnya sedikit sekali, terutama akuntansi dan manajemen. Kita mau merekrut lulusan kita untuk melanjutkan pendidikannya ke pascasarjana. Hal itu tidak mudah karena mereka memilih langsung kerja. Sementara, di fakultas sains, penuh doktor dan profesor, justru karena tidak laku (di lapangan kerja). Mahasiswa mencari yang mudah karena hanya meminta secarik kertas saja (ijazah). Pasar pendidikan tidak untuk mencari pengetahuan, tetapi “membeli ijazah”. Kalau perguruan tinggi swasta, programnya cenderung occupational. Jadi, yang dibuka adalah program yang mengajarkan skills (keterampilan), bukan ilmu pengetahuan. Program seperti ini, biasanya akuntansi, manajemen, arsitektur, desain produk, desain komunikasi visual, komunikasi, psikologi, dsb. Negara lain, seperti Malaysia, berani investasi di bidang pendidikan. Di Indonesia, pendidikan disubsidi sampai 20% dari APBN dan APBD. Sayangnya, sebagian besardigunakan untuk gajian, sedangkan bagian yang benardigunakan untuk mengembangkan pendidikan, tinggal sedikit, antara 10—20%. JP : Bagaimana dalam hal kesehatan? MO: Di MDGs kita berjanji untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) hingga 3/4 dari keadaan tahun 1990 atau menjadi 102 kematian per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Perkiraan terakhir (yang juga tidak terlalu pasti) menunjukkan angka 228 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup untuk periode 2003—2007 (Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia/SDKI, 2007). Memang, masa lampau Indonesia berhasil menurunkan AKI dari 390 untuk periode 1990—1994 menjadi 334 untuk periode 1993—1997 dan 307 untuk periode 1998—2002 (SDKI), cukup drastis, yaitu sekitar 21%. Namun, menurunkan AKI dari 200-an kematian tidak terlalu mudah. Jadi, kalau angkanya masih jelek sekali, memperbaiki gampang. Kalau sudah membaik, perbaikannya tidak begitu gampang. Salah satu alasannya begini. Memang kelahiran yang dibantu dengan tenaga terdidik meningkat, sekarang sebagian besar kelahiran sudah ditangani tenaga terdidik, terdiri dari dokter umum (1%), dokter ahli kandungan (12,6%), dan perawat, bidan, atau bidan di desa (59,4%) (SDKI 2007). Tetapi, sekarang penyebab kematian ibu adalah karena kasus yang sulit, yaitu bukan soal kelahiran normal. Kalau kelahiran sukar, dampak kematian seperti pendarahan harus cepat ditangani. Untuk ke Puskemas yang letaknya di ibu kota kecamatan, kemungkinan terlalu jauh, terutama bagi yang kurang mampu. Nah, makin banyak pendarahannya. Sesampai di puskesmas, ternyata kasusnya lebih sulit dari yang diperkirakan. Puskesmas terdekat sering tidak dapat menanganinya dan merekomendasi agar ditangani di rumah sakit. Sementara, rumah sakit letaknya di kabupaten. Sampai puskesmas saja, si ibu sudah pingsan, sampai rumah sakit akhirnya banyak yang meninggal. Jadi, ini soal mata rantai yang kepanjangan. Dan, jangan lupa, kebanyakan bidan itu swasta, begitu pula dokternya. Segi lain, pengetahuan bidan terbatas. Bidan di desa sering tidak dapat mengidentifikasi komplikasi karena tidak punya pengetahuan yang dibutuhkan. Kemudian dia harusapa, juga tidak tahu. Saya ke Papua, kepadatan penduduknya rendah sekali, jaraknya berjauhan. Saya waktu di Wamena, untuk ke kecamatan sebelah itu jaraknya berjam-jam. Sampai sana tidak ada bidan. Bidannya di kota. Atau pula, bidan yang ada, pengetahuannya sangat terbatas. Bagaimana mau mengajari, sekolahnya saja tak ada. Desa sangat kurang sekolah. Jadi, bagaimana dia tahu kalau ada komplikasi? JP : Apakah kesulitan tersebut disebabkan pula oleh tidak adanya program atau kebijakan daerah setempat? MO: Pusat (nasional) tetap memegang peran besar. Daerah memang tidak ada uang walau sebetulnya itu menjadi tanggung jawab daerah. Misalnya, untuk membayar bidan, anggaran sudah dihabiskan untuk hal-hal lain. Dulu, program imunisasi mudah karena sentralisasi. Adanya desentralisasi, adanya otonomi, tapi tidak bertanggung jawab pada konstituennya, tanggung jawab pada kantong sendiri. Sekarang, program pemerintah banyak yang kerjanya membangun gedung. Puskemas banyak yang bagus, tetapi begitu masuk bagian darah, saya tidak betah karena kotor. Bayangkan, bagian darah dengan ruangan yang kotor? Saya jadi memilih rumah sakit swasta yang terjamin kebersihannya. Kita ini tidak punya sense. Dapat membangun gedung, tapi lihatlah dalamnya. Pemerintah hampir tidak menyediakan dana pemeliharaan. Kalau dahulu tidak ada kapro (kepala proyek) pemeliharaan, sekarang tidak ada satker (satuan kerja) pemeliharaan. Yang ada, ya, proyek membangun gedung dan membeli barang, seperti proyek Palembang dan Hambalang yang sekarang menjadi kasus yang ditangani oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). (Mariana Amiruddin) Catatan Belakang: [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2012 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 74, 2012. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. [2] Angka Partisipasi Kasar diukur sebagai rasio antara semua penduduk yang mengikuti suatu tingkat pendidikan dibagi penduduk usia tingkat pendidikan bersangkutan. Karena masih banyak siswa SD terlambat memulai sekolah dan harus mengulang kelas, maka mereka berusia melebihi usia formal SD, 12 tahun. Hal ini lebih banyak ditemukan di antara anak kurang mampu. Pada suatu hari, Heni datang ke sebuah rumah besar di wilayah Godean, Yogyakarta. Kedatangannya adalah untuk memintakan izin Lasmi, Pekerja Rumah Tangga (PRT) di rumah tersebut kepada majikannya untuk mengikuti pertemuan yang dilakukan oleh Serikat Pekerja Rumah Tangga yang anggotanya juga para pekerja rumah tangga. Sesampai di rumah majikan Lasmi, Heni langsung bertemu dan bicara secara baik-baik dengan majikan atas niat kedatangannya untuk meminta izin bagi Lasmi. Namun, bukan izin yang ia terima, sang Majikan justru marah karena ajakan Heni itu dianggap mengganggu tugas dan pekerjaan Lasmi sebagai PRT. “Lasmi belum boleh keluar rumah karena Lasmi masih harus mengerjakan pekerjaan yang belum selesai. Jam kerja Lasmi nanti selesai jam 20.00. Ia harus mengerjakan tugas akhirnya mencuci piring sehabis kita makan malam,” ujar sang majikan seperti yang ditirukan oleh Heni. Itulah bagian dari kehidupannya yang harus terus dihadapi oleh perempuan muda bernama lengkap Yuli Maiheni ini. Di kalangan sejumlah PRT, sosok Heni tidaklah asing sebagai “pejuang” perlindungan hak-hak PRT. Kegigihannya dalam memperjuangkanperlindunganhukumbagi PRTinilahyang membuatnyadipercaya oleh teman-teman sesama PRT untuk menjadi ketua Serikat Pekerja Rumah Tangga Tunas Mulia yang memang sudah ia geluti sejak beberapa tahun yang lalu. Di Serikat PRT inilah ia kini mengorganisasi sebanyak 150 orang PRT yang mencakup seluruh wilayah di Yogyakarta. Ia sadar bahwa apa yang dilakukannya bukanlah pekerjaan mudah. Tidak hanya kultur masyarakat yang masih memandang rendah pekerjaan PRT, namun juga struktur negara masih belum bisa mengakomodasi kebutuhan PRT sebagai pekerja yang mempunyai hak-hak yang perlu dilindungi. Heni adalah anak pertama dari enam bersaudara. Ia lahir di Yogyakarta, 15 Juli 1975. Berbagai persoalan yang dihadapi oleh orang tuanya, membuat Heni akhirnya harus tinggal dan diasuh oleh neneknya di DIY. “Saya korban broken home, orang tua saya bercerai dan masing-masing kini sudah menikah kembali. Maka, jadinya saya dititipkan ke si Embah,” ujar Heni. Ia pun sadar bahwa keterbatasan biaya membuatnya tidak bisa melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Sekolah Menengah Pertama adalah jenjang pendidikan tertinggi yang pernah ia selesaikan, setelah itu ia mulai bekerja. Awalnya ia tidak pernah menyangka bahwa harus menjadi PRT. Namun, kondisilah yang membuatnya harus melakukan pekerjaan itu. Ajakan menjadi PRT awalnya datang dari tetangga yang mencari PRT untuk sebuah keluarga di Jakarta. Meski mulanya sempat ragu, desakan ekonomi membuat ia menerima tawaran itu. Empat tahun ia menjalaninya untuk kemudian kembali lagi ke Yogyakarta. “Ini suatu pengalaman lucu. Saya itu, kan, relatif dimanja oleh nenek saya, hampir semua pekerjaan rumah, nenek yang melakukannya. Apalagi memasak, saya enggak bisa sama sekali. Saya sempat kebingungan selama beberapa minggu sama apa yang saya lakukan. Tapi, syukurlah saya bisa belajar dan menjalani pekerjaan dengan baik,” kenang Heni. Setelah empat tahun bekerja di Jakarta, sang Nenek memintanya untuk tidak melanjutkan pekerjaan itu. Heni pun memutuskan untuk mencari pekerjaan di Yogyakarta saja. Sampai akhirnya, ia menemukan keluarga yang baru di wilayah Godeaan, Yogyakarta. Perempuan ini bersyukur karena di tempatnya bekerja ia diberi banyak sekali kemudahan dan kesempatan bagi dirinya untuk berkembang. Selain dibuka selebar-lebarnya untuk mengikuti kegiatan di perumahan, Heni pun mendapat sejumlah keterampilan, seperti memasak, menjahit, dan sebagainya. Membangun Posisi Tawar PRT Sama halnya ketika ia menjadi PRT untuk pertama kalinya, menjadi aktivis PRT pun bukanlah cita-cita yang ia kehendaki sebelumnya. Meskipun tidak mempunyai cita-cita menjadi aktivis, berorganisasi adalah aktivitas yang sudah ia tekuni sejak masih sekolah. Ia pernah menjadi pengurus Karang Taruna di tempat tinggalnya, sebelum ia memutuskan untuk bekerja. Kepedulian akan nasib PRT yang hampir selalu ia dengar dari sesama PRT, membuatnya tersentak untuk memperjuangkan suara hati PRT yang sering kali tidak pernah muncul di ruang publik. Dalam mengorganisasi PRT, hal mendasar yang menjadi substansi dari aktivitas ini adalah membangun posisi tawar PRT, khususnya di hadapan para majikan. Dalam banyak kesempatan, posisi PRT sering tidak setara di hadapan majikan. Inilah yang menyebabkan munculnya sejumlah persoalan antara PRT dan majikan. Hal ini tentunya berujung pada PRT yang selalu menjadi korban akibat ketidakberdayaannya. Membangun posisi tawar, kedudukan, dan peran PRT inilah yang menjadi motivasi Heni untuk terus berjuang mengorganisasi PRT. Ia getol melakukan penyadaran hak-hak terhadap teman-teman PRT-nya. “Sebagian besar PRT itu tahunya hanya kewajibannya. Hampir sebagian besar tidak mengetahui apa hak- hak mereka sebagai PRT. Lemahnya pengetahuan akan hak-hak ini membuat PRT sering menjadi korban eksploitasi para majikan yang tidak bertanggung jawab,” ujar Heni. “Hal penting yang terus diperjuangkan untuk PRT, yaitu mengenai hak dan kewajiban PRT secara adil. PRT berhak mendapat perlindungan, PRT berhak mendapat upah, PRT berhak libur satu hari dalam satu minggu, PRT berhak mendapat cuti hari besar, PRT berhak mendapat THR, PRT bebas berorganisasi, dan PRT berhak atas jaminan kesehatan,” jelas Heni. Namun demikian, apa yang diperjuangkan Heni ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Ia harus menghadapi persepsi masyarakat yang masih menganggap bahwa PRT adalah pekerjaan yang rendah. Ia sangat maklum jika dirinya tidak boleh lelah untuk selalu berhadapan dengan para majikan yang masih belum terbuka kesadarannya akan hak PRT, termasuk juga Heni harus menghadapi ketidaksensitifan pemerintah dalam memandang persoalan PRT yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Hal yang lebih sulit lagi menurut Heni adalah menghadapi teman-temannya sesama PRT yang masih belum menyadari akan pentingnya berorganisasi dan pentingnya mengetahui hak-hak sebagai PRT. “Kadang kala, ada ketakutan dari teman-teman PRT sendiri ketika diajak berorganisasi dan menuntut haknya. Mereka biasanya takut tidak mempunyai pekerjaan lagi setelah ia dipecat oleh majikannya gara-gara menuntut haknya,” jelas Heni. “Biasanya kalau saya mendapat keluhan semacam ini, saya langsung tunjukkan data yang ada. Data itu menunjukkan bagaimana tingkat permintaan akan PRT itu tinggi, hal ini berarti PRT masih sangat diperlukan. Jadi, tidak perlu takut keluar dari satu keluarga karena masih banyak keluarga yang akan menampung,” tambahnya. Ia tidak pernah gentar dengan segala kesulitan itu. Justru dengan banyaknya tantangan inilah, ia semakin yakin bahwa apa yang ia perjuangkan adalah sesuatu yang benar meskipun ia sendiri terkadang merasa lelah menghadapi semua itu. “Pekerjaan ini susah dan melelahkan, terkadang saya sering frustasi, sudah susah payah saya mengajak, ternyata tidak ada respons. Belum lagi marah-marah majikan yang selalu saya terima, pusing jadinya,” keluh Heni. “Setiap saya mendengar masalah yang datang dari PRT, hati saya seolah- olah selalu terpanggil untuk melakukan sesuatu. Kalau sudah begini, saya tidak mempedulikan lagi segala kesulitan yang akan saya hadapi, yang penting saya bisa membantu,” tegasnya. Itulah sepenggal motivasi yang terus ia pertahankan. “Saya ingin teman-teman saya yang PRT menjadi sadar akan hak-haknya. Mereka selama ini lemah, tidak mempunyai posisi tawar yang baik di hadapan majikan. Akibatnya, gaji mereka tidak jelas, jam kerja mereka tidak jelas, mereka tidak dapat libur, kasihan. Belum lagi, tindakan kekerasan yang sering dialami PRT oleh majikan karena alasan yang tidak jelas pula,” ungkap Heni. “Kebanyakan majikan ini tahunya hanya kewajiban PRT, tetapi mereka tidak mau tahu soal hak PRT,” ungkap Heni. Bila mengenang perjalanan hidupnya, lagi-lagi ia bersyukur dan merasa beruntung mempunyai majikan yang begitu terbuka terhadap kemajuan dirinya. Kesempatan inilah yang tidak disia-siakan olehnya untuk mengikuti kegiatan organisasi di sekitar tempatnya bekerja. Kebetulan, waktu itu ada sekelompok masyarakat yang peduli akan nasib PRT di masjid sekitar tempat Heni bekerja yang melakukan pengajian khusus untuk para PRT. Dari sejumlah pengajian inilah, ia akhirnya mengenal Rumpun Tjoet Nyak Dien (RTND), sebuah organisasi masyarakat yang mempunyai kepedulian terhadap para PRT. RTND menawarkan pendampingan kepada para PRT di wilayah tempat Heni bekerja untuk lebih mengenal hak-hak dan melakukan pengorganisasian. Ia tidak menyia-nyiakan tawaran ini, apalagi hal itu akan memberikan kontribusi yang positif bagi dirinya dan teman-temannya. “Saya waktu itu memang tidak mengerti sama sekali apa itu hak-hak PRT, jadinya ketika ada semacam pendampingan dari teman-teman RTND, saya sangat tertarik untuk bergabung,” ujar Heni. Heni “terjebak” di ruang yang benar. Ia tenggelam dalam kerja-kerja pendampingan, penyadaran, dan pengorganisasian para PRT dengan tidak meninggalkan tanggung jawabnya sebagai PRT. Ia pun mendapat dukungan yang kuat dari majikannya, bahkan sang Majikan beberapa kali menawarkan kepada Heni untuk membuat pertemuan di rumahnya ketika sang Majikan pergi. “Majikan saya itu baik benar. Waktu itu saya minta izin mau ada pertemuan, namun sang Majikan akan pergi. Majikan saya bukannya melarang, malah saya ditawari untuk bikin pertemuannya di rumah saja, sambil menunggu rumah. Jadi, pertemuannya tetap dilakukan dan rumah tetap terjaga dengan baik,” kenang Heni. Setelah beberapa tahun mendapat pendampingan, Heni dan teman-teman sesama PRT mulai merasakan manfaatnya. Di samping hak-hak yang semakin ia pahami, ia pun bersepakat membentuk organisasi yang semua anggota dan pengurusnya adalah PRT. Jadilah OPERATA, Organisasi Pekerja Rumah Tangga. Organisasi ini kini telah berkembang di delapan wilayah di Yogyakarta. Berkat keseriusannya, Heni pun terpilih menjadi koordinator OPERATA. OPERATA melakukan sejumlah kajian dan penyadaran kepada PRT di delapan wilayah dampingannya. Selain pengetahuan tentang hak-hak PRT, OPERATA juga melakukan penyadaran akan pentingnya kesehatan reproduksi perempuan, masalah gender, juga saling memberi sejumlah keterampilan. “Agar kami tetap kuat, jaringan OPERATA hampir rutin melakukan pertemuan yang bergantian tempatnya di delapan wilayah. Dalam pertemuan itu, kami saling berbagi pengalaman dan cerita nasib teman-teman PRT di tiap wilayah. Dari pertemuan ini pula, kami bisa memperoleh gambaran sejumlah persoalan-persoalan yang muncul di dalam PRT yang terus kami jadikan alasan mengapa OPERATA harus tetap ada,” kata Heni. Terbentuknya OPERATA tentunya bukanlah berita baik bagi para majikan. OPERATA terkadang dianggap organisasi yang akan mempengaruhi para PRT untuk malas bekerja dan menuntut macam-macam. Ketertutupan keluarga tempat para PRT tinggal ini menjadi hambatan yang paling serius yang dialami Heni dan teman-temannya ketika ingin mengorganisasi para PRT. “Jangankan untuk bergabung dan menjadi peserta aktif, bertemu para PRT ini saja sulit. Biasanya majikan melarang mereka, apalagi pertemuan ini dianggap tidak ada untungnya bagi sang Majikan,“ ujar Heni. Berangkat dari kondisi inilah, Heni dan teman-temannya bersepakat untuk membuat buletin Swara OPERATA. Meskipun dalam bentuk yang sederhana dan hanya ditulis tangan, buletin ini cukup informatif bagi para pembacanya. Swara OPERATA ditulis oleh para PRT dan ditujukan untuk PRT sehingga meskipun mereka tidak bisa hadir untuk mengikuti sejumlah pertemuan, mereka tetap mendapatkan informasi mengenai hak-haknya sebagai PRT dan berbagai informasi lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya, Heni merasa jaringan OPERATA ini masih dianggap lemah, khususnya ketika berhadapan dengan pihak pemerintah. Sejumlah persoalan akhirnya harus kalah hanya karena posisi tawar yang rendah. Melalui sejumlah diskusi, akhirnya Heni dan teman-temannya sepakat memperluas lingkup organisasi ini menjadi sebuah serikat pekerja. Jadilah, Serikat Pekerja Rumah Tangga Tunas Mulia yang dideklarasikan pada 27 April 2003. Seiring dengan perubahan organisasi, mereka mengganti buletin Swara OPERATA menjadi Swara Serikat dengan lingkup yang lebih luas. Heni pun segera mendaftarkan kedudukan Serikat Pekerja Rumah Tangga ini ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Propinsi DIY. Anehnya, waktu yang dibutuhkan untuk pencatatan di Disnaker terbilang sangat lama. “Saya heran mengapa pencatatan ini cukup lama, sampai makan waktu enam bulan, padahal menurut informasi dari teman-teman serikat pekerja lainnya, paling lama pengurusan pendaftaran ini hanya membutuhkan waktu satu minggu. Jadi, itulah, posisi PRT di lingkungan pemerintah pun belum dilindungi,” ujar Heni. Sosok Heni tidak hanya dikenal di kalangan PRT. Sejumlah LSM pun sangat mengapresiasi apa yang telah dilakukan oleh Heni. Lita, misalnya, salah seorang aktivis PRT yang juga menjadi sahabatnya mengatakan bahwa Heni adalah sosok yang bisa dijadikan contoh bagaimana cara mengorganisasi PRT. “Heni adalah kawan saya belajar berorganisasi, belajar memetakan masalah, baik sebagai PRT maupun sebagai perempuan. Ia dan teman-temannya sangat tekun belajar sampai akhirnya mampu memperjuangkan nasib PRT melalui pendirian serikat,” kata Lita. Menurut Lita, Heni adalah sosok yang tidak mudah menyerah. Kegagalan bukan merupakan akhir segalanya. Heni selalu mencari jalan lain untuk mencapai sukses. “Beberapa kali dia menghadapi kegagalan karena memang mengorganisasi PRT ini sulit, jangankan untuk berorganisasi, kadang kala untuk hidupnya sendiri saja, PRT merasa kesulitan. Kegagalan itu akhirnya ia pecahkan bersama teman- teman untuk mencari jalan alternatif lainnya,” jelas Lita. KetekunannyadalampengorganisasianPRTmembuatnyamendapatkesempatan untuk belajar berbagai pelatihan dan mengikuti sejumlah seminar dan loka-latih, baik yang diselenggarakan di Yogyakarta, Jakarta, dan daerah-daerah lainnya. Bahkan, Committee For Asia Women pernah memintanya untuk hadir sebagai delegasi dari Indonesia guna menghadiri pertemuan yang membahas masalah PRT di Hongkong beberapa waktu yang lalu. “Saya senang sekali mendapat kesempatan berangkat ke Hongkong. Saya bisa bertukar pikiran dengan teman-teman dari Filipina, Thailand, Hongkong, Malaysia, dan sebagainya,” ujar Heni. Merebut Perubahan Perubahan datang bukan seperti kado yang hadir begitu saja, perubahan harus direbut. Itulah yang dilakukan oleh Heni, ia tidak menanti perubahan akan nasib PRT, ia merebutnya melalui agenda-agenda yang terus ia kampanyekan. “Salah satu agenda yang terus saya desakkan adalah terwujudnya perda tentang perlindungan buruh migran. Perda ini kedudukannya sangat penting untuk memberi perlindungan bagi PRT. Dengan perda, hak-hak PRT dan kewajiban PRT akan terakomodasi dengan baik dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat yang harus ditaati oleh semua masyarakat,” ujar Heni. Menurut Heni, sejumlah kasus-kasus yang menimpa PRT menjadi tidak bisa diproses lebih jauh karena belumadanyaperlindungan hukumyanglebih baik untuk melindungi PRT. Heni mencontohkan kasus yang menimpa PRT bernama Sutini. Sutini ini sudah jelas-jelas disiksa oleh majikannya, namun karena perlindungan hukumnya belum ada, penderitaannya seperti tidak berarti apa-apa. Selain perlindungan hukum, dengan adanya perda ini, posisi tawar PRT di hadapan majikan akan jauh lebih kuat. PRT akan mempunyai surat kontrak kerja, akan jelas hak-haknya, kewajibannya, upahnya, dan sebagainya. Heni pun pernah merasakan sendiri ketika ia bekerja menjadi baby sitter dengan kontrak kerja yang jelas. Waktu itu ia pernah bekerja untuk orang Jepang yang bekerja di Yogyakarta. “Dengan kontrak kerja, pekerjaan saya menjadi lebih jelas. Saya bisa bernegosiasi soal gaji, saya mendapat jatah libur. Bagi orang Jepang itu, mereka merasa terbantu dengan apa yang saya lakukan, jadi tidak ada masalah dengan kontrak kerja,” ungkap Heni. Selain terbentuknya perda tentang perlindungan PRT, Heni juga berharap masyarakat sudah seharusnya memandang PRT secara lebih adil dan setara. PRT bukanlah pekerjaan yang rendah. PRT adalah pekerjaan yang perlu mendapat perhatian karena di dalamnya terdapat aspek kemanusiaan. “Agar penyadaran ini terjadi, saya dan teman-teman terus membuat agenda-agenda kampanye, baik yang ditujukan kepada masyarakat maupun kepada para PRT. Harapannya agar semua bisa menyadari pentingnya penghormatan kemanusiaan bagi PRT,” ujar Heni. Itulah sosok Heni, perempuan muda dengan sejuta keberanian untuk memperjuangkan hak-hak Pekerja Rumah Tangga. Ia adalah taman belajar yang memercikkan arti penting sebuah keadilan manusia. Ia tidak saja pejuang Pekerja Rumah Tangga, ia adalah pejuang kemanusiaan. Ia adalah matahari bagi Pekerja Rumah Tangga. (Eko Bambang Subiyantoro) Catatan: Tulisan ini dibuat pada tahun 2005 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 39, 2005. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Djenar Maesa Ayu, seperti yang banyak dikatakan orang, terkenal sebagai perempuan pengarang yang jujur, vulgar, dan jorok. Tak jarang selain digemari, ia juga dimusuhi banyak orang karena pribadi dan karya-karyanya. Namun, ada apa sebenarnya di balik kehidupan pribadinya? Djenar memiliki cerita yang berkaitan dengan pengalaman identitas seksnya. Banyak kejujuran yang ingin ia sampaikan dalam setiap tulisannya yang vulgar dan jorok itu. Ia ingin berteriak bahwa perempuan punya banyak persoalan atas pengalaman seksulitasnya. Persoalan itu muncul karena masalah seksualitas perempuan begitu ditutup-tutupi. Hal ini yang menurutnya justru merugikan perempuan, karena perempuan tidak dibiarkan memiliki kesadaran tentang tubuh dan keberadaan seksualitasnya di tengah masyarakat. Sering kali pelecehan seksual, perkosaan, dan kekerasan terjadi karena perempuan dibentuk untuk takut pada seksualitasnya sendiri sehingga mereka tidak dapat membandingan mana pelecehan, perkosaan, kekerasan, dan mana yang tidak. Djenar Maesa Ayu adalah anak dari pasangan sutradara (alm.) Sjumandjaya dan bintang film senior Tuti Kirana. Penulis dengan karya berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet, Jangan Main-main dengan Kelaminmu, dan sedang merampungkan novel ini memiliki banyak pengalaman seksualitas sebagai perempuan sejak kecil. Semua ini terbentuk dari keluarga dan lingkungannya sehingga ia merasa pemahaman seksualitas sejak dini itu penting, terutama bagi perempuan. Seks baginya adalah bagian dari hidup yang secara alamiah terjadi pada siapa pun. Ia bercerita bahwa pengetahuan tentang seks sudah dipahaminya sejak kecil karena pola hidup keluarganya yang begitu terbuka. Ia sadar bahwa tipe keluarganya tidak sama dengan keluarga orang kebanyakan. Bayangkan, ketika itu di tahun ‘70-an, kebanyakan keluarga umumnya orang Indonesia masih tabu dengan keterbukaan seks, sementara Djenar merasa beruntung lebih kaya daripada anak-anak lainnya dalam hal pengetahuan seks mengenai dirinya. Seks menurutnya bukan sekadar aktivitas seksual, tetapi juga organ reproduksi, relationship dengan pasangan, baik sebelum maupun sesudah menikah, dan identitas jenis kelamin dan peran gender. Itu banyak ia pelajari dari kedua orang tuanya yang kebetulan sempat mengalami perceraian. “Saya masih ingat waktu orang tua saya cerai, umur saya masih satu tahun. Biarpun begitu, saya tidak merasakan ada sesuatu yang aneh di dalam rumah karena bagi saya semuanya sudah menjadi terbuka satu dengan yang lain, orang tua dan anak. Keanehan itu menjadi terasa ketika saya ke luar rumah. Sejak itu saya merasa aneh dan tidak percaya diri, merasa diasingkan karena saya berbeda dengan anak-anak lain yang punya satu ibu dan satu ayah.” Saya memang hidup dari keluarga dengan bapak seorang sutradara dan ibu seorang aktris terkenal yang pada waktu itu dianggap memiliki dunia yang rusak dan kacau. Masyarakat yang membuat hidup saya menjadi begitu menanggung beban, sementara saya di keluarga merasa baik-baik saja. Saya dibilang produk broken home dan dianggap terlalu bebas. Bahkan, waktu remaja, teman saya dilarang bermain dengan saya oleh orang tuanya karena orang tua saya dibilang rusak. Padahal, saya merasa, di sisi lain perceraian bisa menguntungkan karena bila dilanjutkan saya lebih tidak suka melihat orang tua saya ribut setiap hari, selingkuh di depan saya setiap hari dalam sebuah perkawinan.” Djenar merasa beruntung, menurutnya, ibunya berhasil mendidik kesadaran tentang seksualitas anak perempuannya. Umur sembilan tahun, ibunya sudah menjelaskan tentang organ reproduksi, yaitu keberadaan rahim dan vagina. Ibunya selalu memberi pilihan padanya dalam menjalankan hidup, berkaitan dengan kesadaran tentang organ reproduksinya itu. Ibunya menyarankan satu hal, di balik kebebasan pilihannya itu, perempuan harus tahu apa risiko kehamilan, jangan sampai anak perempuan hamil karena tidak tahu dan tidak siap. Banyak orang tua yang tidak mendidik anak perempuannya tentang seksualitas sejak dini sehingga ketika si anak “kebobolan”, takut dilaknat orang tua dan masyarakat, lalu diam-diam melakukan aborsi ke dukun karena tidak punya uang. “Saya punya teman yang vaginanya dimasukkan kayu dan sampai sekarang tidak bisa punya anak. Dari kejadian itu, saya merasa orang tua saya selama ini tidak membiarkan saya menjadi bodoh. Mereka tidak melakukan kesalahan besar. Saya merasa orang tua yang tidak terbuka dalam hal seks pada anak perempuannya adalah kesalahan besar. Karena berkat orang tua saya, saya jadi tahu betul apa yang harus saya lakukan dengan organ reproduksi saya. Ketika berhubungan seksual, saya sudah banyak dibekali oleh orang tua tentang risikonya. Ketika menginjak usia 18 tahun, hidup saya sudah begitu bebas dan justru kebebasan itu membuat saya bertanggung jawab dan tidak bodoh pada diri sendiri. Semua saya sadari sehingga saya tidak rugi seperti kebanyakan perempuan, tidak mati di tangan dukun, atau merasa menyesal berkepanjangan. Andaikan saya harus aborsi pun, saya harus tahu untuk apa kepentingannya, bahwa itu bukan menjadi sesuatu yang saya sesalkan karena saya tahu semua itu.” Begitu pula soal keperawanan, ini adalah hal yang paling Djenar lawan. Buatnya, keperawanan hanya mitos dan menjadi salah satu penyebab terjadinya pemerkosaan sadis dan pelakunya lolos. Begitu pula kekerasan dalam rumah tangga, asalnya bisa dari persoalan keperawanan. “Saya tidak peduli tentang keperawanan karena saya bukan binatang, dan saya tidak mati ketika menjadi perempuan yang tidak perawan. Maka, jangan harap perempuan yang perawan merasa dirinya terhormat karena perawan itu bisa hilang kapan saja karena kita menari, mengendarai sepeda dan kuda. Perempuan yang menjunjung tinggi keperawanan akan kaget ketika di malam pertamanya ia tidak punya itu, dan laki-laki bodoh akan seenaknya menuntut. Keperawanan membuat perempuan repot. Itu masih masalah kecil, tetapi bahwa perhatian saya adalah ketika anak-anak gadis belia diperkosa lalu keluarganya merasa keperawanan itu penting, merekalah yang menutupi perkosaan itu. Dan, berarti, keluarga telah menjadi oknum. Itu kekejaman yang luar biasa bagi anak perempuan dan kemanusiaan.” Di masa kecilnya, Djenar mengaku bahwa ia tidak disukai guru-gurunya karena tidak seperti anak perempuan lain yang “seharusnya”. Waktu sekolah, Djenar sudah menganggap guru-gurunya seperti penis: superior. Ketika mereka merasa punya power, mereka tidak menerima murid perempuan yang berani dan bebas seperti Djenar. Meskipun demikian, masih ada guru yang begitu sayang dan baik padanya, tetapi tidak banyak. “Banyak guru menganggap saya adalah ancaman, bahkan semua orang menganggap saya ancaman.” Djenar mengenal seks sejak umur 14 tahun. Perasaannya waktu itu biasa-biasa saja. “Seks itu bagi saya suatu proses seperti manusia mengenal lawan jenis, mengenal cinta, terluka, lalu seks menjadi bagiannya. Jadi, bukan sesuatu yang wah sama sekali. Kalau bicara masyarakat Indonesia yang katanya tabu memandang seks, saya pikir itu karena hipokrit saja. Semua orang melakukan aktivitas seks, semua orang di dunia! Semua manusia melakukan hal yang sama karena itu sesuatu yang wajar, tetapi menjadi tidak wajar ketika seks dikategorikan sebagai “yang buruk”, padahal semua orang melakukannya.” Djenar memiliki dua anak perempuan yang dalam usia belianya sudah sangat mengenal seks. Djenar merasa bersyukur atas hal ini karena banyak orang tua yang menutupi anak perempuannya tentang bentuk penis dengan mengatakan, “Jangan kasih liat “punya” bapaknya.” Sebabnya, ketika ia duduk-duduk di sekolahan anaknya bersama ibu-ibu yang lain, dalam obrolan mereka, ternyata pelecehan seksual terjadi setiap hari pada anak-anak itu. “Misalnya, karena si anak tidak tahu bahwa penis adalah organ seksual laki-laki, ketika si anak ini melihat penis bapaknya yang lagi mandi, ia langsung berkomentar, ‘Kok, kayak punyanya Pak A?’ yang ternyata adalah supirnya sendiri. Lalu, bapaknya tanya, ‘Kok, kamu tahu?’ Lalu, jawabnya, ‘Suka diajak main Lolly Pop...’” Djenar merasa itulah kejahatan terbesar ketika orang menutup-nutupi sesuatu yang harus diketahui, lihatlah akibatnya. “Pengetahuan seks bukanlah tentang orang yang mau melakukan hubungan seksual, tetapi bagaimana mereka bisa bertanggung jawab dengan hubungan seks itu sendiri dan bagaimana mereka bisa mengapresiasi dirinya sendiri. Duh, kalau sampai anak saya tidak tahu seks, lebih baik saya jangan jadi orang tua saja.” Djenar bercerita bahwa anak-anak perempuan generasi sekarang luar biasa kritis dan lebih mudah mendapatkan informasi. Maka, komunikasi janganlah sampai terputus, menurutnya. “Bacalah perkembangannya, misalnya mereka bilang kata-kata jorok, padahal mereka tidak tahu apa yang mereka katakan. Saya langsung menjelaskan ke mereka bahwa itu artinya hubungan seksual. Anak saya bahkan menceritakan detail-detail percintaannya. Saya bersyukur karena, daripada, ia tiba-tiba bilang, ‘Ma, aku infeksi karena menggugurkan kandungan...’ Atau, ia tidak tahu sama sekali, tiba-tiba badannya panas, meradang. Bahkan, anak saya yang umurnya lima tahun sudah tahu seperti apa itu penis.” Bagi Djenar, laki-laki pun harus membantu anak-anak dalam keterbukaan mereka soal seks. Tetapi, menurutnya, laki-laki kebanyakan ambigu dalam menyikapi seks perempuan. Di satu sisi, mereka menginginkan perempuan yang bisa memuaskan mereka; mereka perlu perempuan yang baik, yang menyerahkan diri. Tetapi, di sisi lain, mereka butuh perempuan yang “lebih”, yang agresif dan ekspresif tentang seks, dan ketika perempuan melakukannya, mereka akhirnya menghukum perempuan itu sebagai “bukan pasangan yang baik” untuk dijadikan teman hidup. Dalam hal ini, laki-laki harus lebih adil pada perempuan dan tidak lagi memposisikan dirinya sebagai penentu dan penilai. Mengenai perempuan yang memiliki kecenderungan homoseksual (lesbian), Djenar mengatakan bahwa di satu sisi, lesbian memang menjadi tren, tetapi di sisi yang lain, perempuan lesbian ada yang memang sudah dilahirkan demikian. “Kalau tidak salah, ada dalam kedokteran dikatakan, satu dari tujuh anak perempuan yang dilahirkan memiliki gen yang menyimpang, seperti menjadi lesbian. Maka, apakah ketika ia lahir ia harus dihukum sebagai yang tidak normal?” Menurutnya, itu hanya cara orang melihat “yang lain” sehingga sesuatu dikatakan normal dan tidak normal. Bagi Djenar, orang yang punya tubuh dan pemikirannya tidak normal adalah yang meyakini mitos keperawanan. “Saya rasa itulah yang tidak normal atau cacat. Jadi, semuanya relatif. Kalau saya, sih, mendukung mereka (lesbian).” (Mariana Amiruddin) Catatan: Tulisan ini dibuat pada tahun 2005 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 41, 2005. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Suster M. Brigitta Renyaan adalah salah satu tokoh masyarakat Maluku yang memiliki gagasan kuat tentang rekonsiliasi antar komunitas beragama sejak pecah konflik Maluku tahun 1999, terutama di Ambon. Suster Brigitta bersama teman-teman lainnya dari komunitas Protestan dan Muslim membentuk sebuah kelompok bernama Gerakan Perempuan Peduli (The Concerned Women Movement Group). Suster Brigitta sendiri adalah koordinator Gerakan Perempuan Peduli di bagian agama Katolik[1]. Koordinator lainnya dari Protestan bernama Pendeta Henrikx dan dari Muslim bernama Rety Azegaf ikut mendukung gerakan ini. Kehadiran Gerakan Perempuan Peduli (GPP) menjadi sangat istimewa dalam mengatasi dan menghadapi konflik di Maluku. Selain tidak mudah menyerah dalam menghadapi berbagai resiko dalam kegiatan yang mereka lakukan, gerakan ini dipelopori oleh para perempuan dan sebagian besar terdiri dari kaum ibu, kelompok yang paling merasakan dampak akibat konflik. Tak heran jika arah gerakan kelompok kerja ini lebih kepada praktik di lapangan. Sejak pecah konflik di Maluku tahun 1999, Suster Brigitta bersama kawan-kawan dari komunitas beragama lainnya bergerak serentak menyuarakan pentingnya menghentikan kekerasan. Mereka harus menghadapi berbagai macam ancaman, seperti dibunuh, tertembak, bahkan cacat. Suster Brigitta menceritakan, ketika konflik di Maluku pecah tahun 1999 dan memakan banyak korban yang sebagian besar terdiri dari perempuan dan anak-anak, Gerakan Perempuan Peduli (GPP) berkumpul dengan misi menghentikan kekerasan serta memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak. Semua kegiatan dalam gerakan ini sebenarnya lebih mengarah pada rekonsiliasi antar agama. Mengumpulkan para ibu yang berada dalam situasi konflik bukan perkara yang mudah. Sebelum berkumpul mereka harus saling berjanji bertemu secara diam-diam supaya tidak diketahui orang lain yang terlanjur dendam dengan agama lain karena keluarga mereka dibunuh tanpa sebab dan agama menjadi kambing hitam atas peristiwa ini. Menurutnya, perjalanan GPP tidak semudah yang kita bayangkan dan memiliki banyak tantangan. Bayangkan, mereka harus turun ke jalan di tengah kerusuhan dengan taruhan nyawa. Tantangan utama mereka justru berasal dari kaum laki-laki, baik yang suka berperang dan membunuh, para provokator yang tidak jelas dari mana datangnya, ataupun para pengambil keputusan. Pada waktu itu suara perempuan tidak dianggap penting karena perempuan dinilai lemah sehingga apa pun yang dilakukan perempuan tidak akan ada artinya. Namun, bagi Suster Brigita, hambatan-hambatan itu tidak menjadikan semua itu sebagai alasan untuk berhenti melakukan rekonsiliasi terus menerus. Mereka berupaya untuk membuat pertemuan demi pertemuan antarperempuan Katolik, Protestan, dan Muslim. Berbagai usaha mereka tempuh. Mereka mendatangi gubernur, panglima, kasum ABRI, dan kapolda, juga mendesak DPRD propinsi maupun kota, untuk menyatakan kepada kaum laki-laki agar segera menghentikan kekerasan dalam pertikaian. Namun, kenyataannya pertikaian itu semakin parah dan korban terus bertambah. Suster Brigitta tidak mau mundur, melalui GPP ia terus berupaya untuk berkumpul bersama perempuan lainnya meskipun pada waktu itu kehidupan penduduk telah berkelompok berdasarkan agama masing-masing. Hanya GPP satu-satunya kelompok yang utuh pada waktu itu. Dalam kondisi yang genting, tak terhitung orang yang ingin menghancurkan kegiatan mereka dan kadang-kadang membuntuti mereka. Kegiatan yang sangat berisiko mereka lakukan, di antaranya adalah demonstrasi hentikan kekerasan yang awalnya dilakukan oleh kelompok perempuan Kristen, kemudian Muslim. Suster Brigitta sengaja membuat strategi untuk tidak berjalan bersamaan karena kemungkinan akan ditembaki oleh orang-orang yang tidak suka bila antaragama saling bercampur. Kegiatan demonstrasi ini kemudian diliput oleh TVRI lokal. Liputan ini mengakibatkan reaksi masyarakat tertentu marah dan sejak itu rumah-rumah perempuan muslim yang terlibat di GPP hampir dihancurkan oleh kelompok Muslim sendiri. Begitu pula perempuan-perempuan Kristen. Namun, Suster Brigitta bersama teman-teman tidak tinggal diam. Dengan putus asa mereka menyebarkan kata-kata, “Hentikan kekerasan dan pertikaian”. Imbauan untuk menghentikan kekerasan dan pertikaian itu mereka tuangkan dalam bentuk yang paling sederhana, yaitu ditulis di kain-kain yang sudah tersobek-sobek tak terpakai atau di kertas-kertas bekas. Sehari setelah tanggal 4 September 1999 bertemu dengan gubernur, akhirnya suara mereka mulai didengar dengan dicanangkan bahwa kekerasan dan pertikaian harus dihentikan. Hari berikutnya pencanangan ini disosialisakan ke berbagai media. Suster Brigitta bersama GPP kemudian turun ke jalan-jalan sambil menggunakan kain-kain yang mereka ikatkan ke anak-anak muda, baik laki-laki maupun perempuan, di kepala mereka, di becak, di mobil, di semua tempat. Tetapi, itu tidak berjalan mulus begitu saja. Tindakan Suster ini kemudian diancam, bahkan anak-anak perempuan SMU yang memakai kain-kain itu diancam oleh gerombolan laki-laki yang marah dan berkata, “Ngapain, kita masih mau perang, apaan itu kertas tulisan itu,” ujarnya menirukuan suara-suara mereka yang menolak ajakan damai. Akibat dari perlakuan tersebut, anak-anak SMU itu mengadu ke Suster Brigitta, “Suster, kami tidak berani lagi turun ke jalan, kami diancam oleh orang-orang itu.” Untungnya, ada seorang ibu yang memberi bekal keberanian pada mereka dengan berkata, “Kamu harus balik lagi, turun ke jalan! Kalau ada laki-laki atau bapak-bapak yang mengancam, tanya saja satu pertanyaan ini, ‘Bapak yang melahirkan atau ibu yang melahirkan?’” Pertanyaan ini ternyata mujarab dan membuat siapa pun tidak berani lagi mengancam mereka. Setelah itu, stiker dan kain-kain mereka habiskan di jalan-jalan. Kegiatan lain Suster Brigitta di GPP bersama teman-teman adalah membuat pelatihan. Awalnya pelatihan ini hanya terdiri atas 15 orang dari tiga komunitas (Katolik, Protestan, dan Muslim) yang masing-masing komunitas terdiri atas sekitar lima orang. Di bulan Desember 1999, mereka kemudian mengumpulkan lebih banyak lagi, yaitu terdiri atas 15 perempuan Protestan, 15 Katolik, dan 15 Muslim. Saat itu, perasaan saling curiga, saling benci, dan saling dendam masih jelas terlihat. Melalui pelatihan inilah, menurut Suster Brigitta, mereka akan bersama-sama dipulihkan dari rasa curiga. Bersama beberapa anggota GPP lainnya, Suster Brigitta bergerak turun ke barak-barak pengungsian dengan harapan dapat mempengaruhi suami-suami dan anak-anak yang selama ini ikut bertikai. Pada Januari 2000, Suster Brigitta berpikir bahwa tidak bisa perempuan hanya bergerak sendiri tanpa didukung pihak lain. Ia lalu mengumpulkan juga pemuda laki-laki dari berbagai kelompok pengajian atau sekolah-sekolah minggu. Kegiatan mereka ini dibantu oleh salah satu sekolah di Jerman yang mau memberi dana untuk wilayah yang masih dilanda konflik yang difokuskan di Maluku. Dari sini, Suster Brigitta kemudian membuat konseling pada anak-anak yang mengalami trauma akibat situasi konflik yang mereka alami. Apa yang dilakukan Suster Brigitta ini tentu saja harus melalui survei lapangan terlebih dahulu, terutama untuk melihat bagaimana agama yang satu tidak bisa masuk ke wilayah agama lainnya. Pernah beberapa teman dari GPP berupaya memasuki wilayah-wilayah agama lain yang tentu saja berbahaya bagi mereka. Suster Brigitta sendiri mencoba turun di daerah Muslim, begitu pula yang muslim turun di daerah Kristen. Setelah melakukan survei lapangan, mereka menarik semua anak-anak yang ikut perang yang disebut sebagai Kelompok Anak Linggis atau Laskar Cilik untuk anak-anak Muslim, sedangkan anak-anak Kristen yang berperang disebut Kelompok Anak Agas. Suster Brigitta menghimpun mereka dengan mengatakan, “Mari hentikan perang, tapi kami mau membina kalian.” Misi ini tentu saja memiliki tantangan yang sangat berat. Di daerah Muslim, Suster Brigitta yang beragama Katolik bertemu dengan pembina-pembina mereka dengan sangat hati-hati, karena banyak orang yang tidak senang atau trauma melihat agama lain memasuki wilayahnya. Suster Brigitta bercerita, “Waktu saya harus menjemput ibu-ibu Muslim untuk kumpul sementara di gereja, syukurlah ibu-ibu Muslim itu tidak jadi datang karena seandainya datang mungkin mereka sudah dibunuh. Saya baru menyadarinya karena ada kepala perang yang sudah siap di situ. Jadi, saat itu ketika saya pulang dengan ibu-ibu kelompok Kristen, saya dicegat di muka pintu. Si kepala perang itu pegang tangan saya dan dia marah, ‘Ngapain, Suster! Kami di sini mau perang, masih mau baku bunuh! Ngapain suster ngomong-ngomong damai!’ Sebelumnya, mereka telah mengancam para ibu dari GPP yang membuat pendampingan dengan anak-anak Linggis dan Agas. Mereka masih menginginkan anak-anak itu berperang.” Ketika itu, Suster Brigitta masuk, dan ia melihat ibu-ibu dan anak-anak berwajah ketakutan. Menurut Suster Brigitta, laki-laki yang mengancam itu adalah kelompok-kelompok yang membawa bom di mana-mana dan melibatkan anak-anak. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan Suster Brigitta bersama Gerakan Perempuan Peduli ini memang tidak tanggung-tanggung sekalipun pada waktu itu sekitar tahun 1999—2000 adalah gaung kerusuhan yang paling rawan. Suster Brigitta memahami bahwa ia menghadapi risiko hidup atau mati. Ia meyakini bahwa selama ini agama telah dipakai sebagai alat untuk saling menghancurkan demi kepentingan pihak tertentu. Suster Brigitta bahkan tidak takut turun masuk ke perkampungan yang beragama lain pada malam hari untuk bertemu dengan ibu-ibu dan anak-anak di sana. Awalnya para orang tua masih membiarkan anak-anak ikut bertikai demi mempertahankan wilayah atau kediamannya. Ada pula yang merasa takut dan mengira akan dilaporkan ke polisi. Namun, Suster Brigitta kemudian menjelaskan bahwa GPP ingin menyelamatkan dan melindungi anak-anak mereka. Suster kemudian berkata, “Kita tidak bisa membiarkan anak-anak kita cacat atau mati terbunuh.” Bayangkan, tidak sedikit anak yang pulang sekolah atau kuliah kakinya terputus, bahkan ada yang mati terbunuh. Umur anak-anak Linggis dan Agas yang ikut berperang itu sekitar 12—18 tahun. Anak-anak seusia ini sudah pandai merakit bom, membuat senjata, mendapatkan peluru, dan mencari cara untuk membakar rumah, masjid, dan gereja. Untuk mengeluarkan mereka dari kegiatan itu, tentu saja perlu kerja keras karena konon mereka juga dibayar sekitar Rp5.000 untuk setiap kali aksinya. Suster Brigitta bersama yang lain kemudian melakukan pembinaan setiap minggu sekitar dua atau tiga kali dengan tema “Temu Remaja Akbar”. Dalam waktu setahun tidak berhasil, setahun kemudian baru mereka bisa dipertemukan, itu pun dengan suasana yang penuh ketakutan dan ketegangan. “Bayangkan, anak-anak yang tadinya saling berperang, saling membunuh, saat itu harus berhadapan muka. Apakah mereka mampu untuk saling memaafkan pada saat itu? Syukurlah, saat mereka bertemu, justru kembali menjadi teman, sahabat, bahkan sampai hari ini,” demikian Suster Brigitta menceritakan. GPP kemudian menambah kegiatan dalam rangka menyambut hari anak dengan membuat pasar murah. Semua organisasi perempuan, termasuk istri-istri tentara dikumpulkan. Namun, sayang, ketika kegiatan baru berjalan dengan baik selama dua jam, tiba-tiba muncul orang-orang yang menghancurkan dan mengobrak-abrik, bahkan ada anak-anak Muslim yang mau membunuh Suster Brigitta karena ketika itu ia persis di dekat mereka, di sebuah pos. Ibu-ibu Muslim maupun Kristen berlarian, ada yang masuk ke dalam gereja pusat, asrama tentara, dan kantor gubernur. Bayangkan, kebersamaan yang sudah mulai terbentuk itu pun tetap ingin mereka hancurkan. Perempuan Tidak Mudah Terprovokasi, Lebih Cepat Merespons Rekonsiliasi Suster Brigitta berpendapat bahwa perempuan lebih bisa bertahan dalam penderitaan dan tekanan karena baginya, perempuan diciptakan Tuhan untuk memelihara dan melindungi kehidupan. Naluri ini kuat dimiliki oleh perempuan meskipun ada pula kenyataannya perempuan yang ikut perang, bahkan mendukung suami-suami mereka untuk ikut bertikai. Perempuan lebih cepat merespons perdamaian karena memikirkan masa depan anak-anak yang mereka lahirkan sehingga ada perasaan yang halus atau nilai-nilai femininitas yang kuat di tengah kekerasan tersebut. Bahkan, ada ibu-ibu yang mengatakan, ‘Saya mati, ya, mati, lebih baik saya mati daripada anak saya.’” Menurutnya lagi, sekeras apa pun perempuan, bila bicara tentang anak yang ia lahirkan sendiri, pasti akan mengubah pikirannya. Hal itu terbukti pada Oktober 2000, banyak perempuan yang kemudian mendukung rekonsiliasi ini. Namun, pada waktu itu Suster Brigitta belum berani memakai kata damai karena orang masih belum mau memaafkan satu dengan lainnya. Maka, semua kegiatan GPP ini tidak dengan menyisipkan kata damai, tetapi hanya sebagai kegiatan perempuan yang memiliki hati nurani. Di situlah Suster Brigitta bersama kawan-kawan menyebarkan pamflet-pamflet, bahkan lewat batu yang mereka tuliskan dan mereka buang di kolam, di jalan, di laut untuk mempengaruhi semua orang dengan tindakan, bukan dengan kata-kata. Pernah suatu hari ada seorang bapak yang melihat kegiatan mereka dari luar, lalu Suster Brigitta memintanya unutk masuk ke dalam. Bapak itu bertanya, “Apakah kami boleh ikut?” Suster Brigitta bilang masuk saja karena itu hanya kegiatan workshop untuk anak-anak. Suster Brigitta kemudian berkata, “Saya suster, biarawati yang tidak pernah menikah, tidak punya anak, dan tidak melahirkan, tidak seperti ibu-ibu yang lain. Tapi, saya tidak tega melihat anak-anak hancur, tidak seperti bapak-bapak yang tega pada anak-anak ini.” Bapak itu tentu saja terkejut dan tersentak mendengarnya, lalu berkata, “Ya, kenapa tidak kalau semua ini menguntungkan anak-anak kita.” Suster Brigitta tahu bahwa sepertinya orang itu mengamat-amati kegiatan mereka, kemudian ia pun berpesan, “Pak, besok kalau anak-anak Bapak belum datang, suruh datang saja ke sini.” Benar dugaannya, suatu malam pada saat acara silaturahmi hari besar Muslim, kegiatan yang dilakukan GPP ini dibicarakan, ramai sekali, dan ada seorang bapak yang mengatakan, “Suster yang memakai jilbab Katolik itu membuat kegiatan untuk anak-anak dan tidak membedakan siapa-siapa.” Lalu, beberapa hari kemudian, ruangan tempat kegiatan GPP menjadi padat, termasuk dipadati oleh anak-anak yang pernah ikut berperang. Aktivitas Suster Brigitta Pasca-Kerusuhan Pasca-kerusuhan, Suster Brigitta melalui GPP melanjutkan perjuangan rekonsiliasinya dengan memberdayakan kaum perempuan Maluku melalui berbagai pelatihan. Pelatihan ini dilakukan karena banyak perempuan yang kehilangan pekerjaan. Pelatihan tersebut dimaksudkan agar kaum perempuan bisa menghidupi ekonominya sendiri. Begitu pun bagi para suami yang kehilangan pekerjaan, Suster Brigitta bersama teman-teman di GPP memberi bantuan banyak becak agar bisa mencari nafkah serta memberikan beasiswa kepada anak-anak mereka. Selain itu, dibuat kelompok bermain anak-anak dengan tema “budaya damai dan kasih”, juga untuk membangun kepercayaan di antara anak-anak. Tak segan-segan GPP mempertemukan kelompok anak-anak Kristen dengan guru yang Muslim dan berjilbab untuk memberi pelajaran bahwa situasi yang baik adalah yang demikian. Menurutnya, anak-anak adalah pihak yang harus terlebih dahulu meninggalkan trauma secepat mungkin. Semua proses yang dilakukan Suster Brigitta bersama teman-teman lainnya di GPP harus melewati waktu empat tahun lamanya. Suster Brigitta sangat menyayangkan sikap para tokoh agama laki-laki yang lebih banyak berbicara daripada tindakan ke lapangan, baik Muslim maupun Kristen. Sejak awal konflik, Suster Brigitta selalu bilang, “Saya tidak mengerti kalau melihat kelompok laki-laki sudah berkumpul, mengapa kaum agamis laki-laki tidak mau melerai dan katakan berhenti, semua hanya bisa duduk. Saya melihat mereka itu seperti orang yang lumpuh, tidak berdaya menghadapi realitas pertikaian yang sangat kejam. Mereka punya peran banyak, tetapi lebih banyak berteori tanpa aksi.” Selanjutnya, kegiatan yang akan dilakukan pada masa pemulihan pascakonflik ini adalah Closing The Gap. Kegiatan ini akan melibatkan laki-laki, sebagaimana yang telah dilakukan kepada ibu-ibu untuk belajar hidup bersama sebagai salah satu cara menghentikan kekerasan. Di sana semua elemen agama akan dihadirkan, termasuk ketua MUI, ketua sinode, dan uskup untuk melihat kegiatan GPP ini. Suster Brigitta kemudian berkomentar, “Apakah bagi laki-laki, ini hal yang sepele atau tidak termasuk hitungan mereka, padahal justru yang kecil itu yang sebetulnya punya pengaruh,” katanya dengan berapi-api. Pengalaman Suster Brigitta untuk ikut mengatasi konflik di Maluku ini tentu saja patut untuk kita hargai, bahkan tantangan yang paling menyakitkan adalah bila kebencian itu muncul dari mulut kelompok agama sendiri. Suster Brigitta menceritakan, ketika rumahnya terbakar, ada seorang ibu yang tertawa kepadanya. Suster Brigitta kemudian bertanya, “Mengapa Ibu tertawa?” Suster sangat terkejut ketika ibu itu menjawab, “Rasain sekarang! Rumah ibu terbakar, habis… sedikit-sedikit perhatian dan membela Muslim.” Tetapi, Suster Brigitta begitu bijak menjawabnya, “Nah, berarti kamu bukan orang Kristen!” Di sinilah menurutnya kita harus ikhlas, sabar, serta bebas dari rasa dendam, marah, dan benci. Hanya dengan pola seperti ini, menurutnya, kita dapat menolak kekerasan meskipun itu dilakukan oleh teman kita sendiri. (Mariana Amiruddin) [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2004 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 33, 2004. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. |
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |