Pada 30 November 2008, Cucu Saidah yang saat itu aktif di Handicap Surakarta dengan Faisal Rusdi, pelukis yang menggunakan mulut, menikah. Meski tanpa kehadiran orang tua dan keluarga besarnya, Cucu tetap bahagia. Gores kebahagiaan mereka, ia tunjukkan kepada Jurnal Perempuan yang menyambangi kediamannya tepat di Hari Raya Idul Adha akhir November 2009 yang lalu. Foto pernikahan, film dokumenter tentang aktivitas mereka, turut menggenapi kekosongan ruang itu. Pada tahun 1998, Cucu Saidah yang baru menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Persada Indonesia, Bandung melakukan sesuatu yang berani. Ia berupaya menularkan apa yang telah dipelajarinya dengan menjadi guru honorer di Yayasan Penyandang Anak Cacat (YPAC). Tekadnya untuk berbagi dan meningkatkan kesadaran kepada sesama difabel tak surut oleh honor yang hanya sebesar Rp80.000 per bulan kala itu. Genap empat tahun ia mengabdikan ilmunya, Cucu mendapat kesempatan mengikuti pelatihan kepemimpinan difabel se-Asia Pasifik di Jepang. “Di pelatihan itu kita diperkenalkan dengan sistemnya, perjuangan, dan pergerakan mereka hingga bisa mendapat layanandari pemerintah. Kalau di Indonesia, jangan dibandingkan lah.” Ketika Cucu memulai pelatihan di negeri Sakura, banyak hal menjadi proses titik balik baginya. Aktivitas selama sepuluh hari menginap di Centre Independent Living (serupa LSM di Jepang-red) menjadi arena menempa mental dan kesadaran dirinya. “Ada satu staf di sana yang cacatnya lebih parah dari Faisal (suami Cucu). Ia Cerebral Palsy (gangguan pada otak kecil yang mengakibatkan gangguan motorik dari leher ke bawah) berat. Bicara pun ndak jelas, makan dengan nasi tim dan disuapi. Padahal, usianya sudah 40 tahunan,” kata Cucu. Walhasil, setiap hari Cucu harus makan bersama dengan peserta lain termasuk staf itu. Meja bundar menjadi salah satu media interaksi dan komunikasi dalam pelatihan tersebut. “Jadi, kemana-mana pasti ketemu muka. Makananku selalu tak habis. Dan kalau ditanya aku selalu bilang ndak lapar.” Sambil memotong semangka sebagai suguhan, Cucu kembali menuturkan pengalamannya selama pelatihan di Jepang. “Satu dua hari hilang nafsu makanku dan guruku (dengan pendekatan peer conseling) mendekatiku. Dia membaca kalau aku ndak biasa dan belum terbiasa dengan meja bundar itu,” kata Cucu. Yayasan Talenta Surakarta menggunakan metode pemahaman karakter diri dengan menggambar orang. Beberapa psikolog melakukan tes dengan gambar THP (Tree, Home, People) untuk mengetahui karakter seseorang. Sementara itu, sebuah Center Independent Living di Jepang menggunakan meja bundar sebagai alat bantu untuk mengenali tingkat hegemoni kenormalan seseorang. Selama berjam-jam Cucu berbincang dengan salah seorang peer conseling di sana. Pertanyaan mendalam tentang pemahaman diri, seperti apa hakikat kita menjadi manusia, kenapa kita dilahirkan, apa hakikat kita sebagai makhluk sosial, hingga bagaimana seandainya kalau kita yang duduk di kursi roda itu, menyesaki rongga kesadaran Cucu. “Jadi, lama-lama aku mikir, iya, ya, bagaimana pun kita, warna apa pun, kita manusia, sama.” Hari berikutnya sudah bisa ditebak, Cucu mulai menyapa dan bertatap muka dengan staf tersebut. Cucu pun mulai menikmati hidangan yang disuguhkan di pelatihan itu. “Meski semeja sama dia, tapi aku ndak melihat ke arah dia.” Esoknya, ia mulai menyapa staf itu, “Konichiwa.” Ia menyambut dengan bahagia (konichiwa). “Di situ, saya kembali berpikir, bagaimana pun kita bersaudara,” kata Cucu. Beragam kegiatan Cucu ikuti di sana, termasuk pembangunan karakter diri melalui peer conseling. “Bagaimana kita bertindak sebagai pemimpin, bukan pemimpin sebuah lembaga, organisasi atau institusi, tapi bagaimana kita bisa memimpin diri kita sendiri,” ungkap Cucu. “Seorang pemimpin yang baik itu seperti apa? Yang paling penting, punya hati,” jelasnya. Cucu menjelaskan bahwa hakikat manusia harus bisa membawa diri sendiri lebih dulu untuk menjadi seperti apa. Sebaliknya jika manusia menjadi sosok yang palsu, maka ia tak akan pernah bisa menemukan dirinya. “Artinya, kalau hanya palsu, tapi diri kita sendiri tidak tahu mau dibawa kemana, ya, tidak bisa jadi diri sendiri.” Pada tahun 2003 ketika Cucu kembali ke Indonesia, rasa kaget menyergapnya. “Di sana dengan bebasnya aku bisa ke mana-mana dengan kursi roda elektrik. Aku bisa kemana pun, mulai dari ke penginapan sampai naik kereta, aku bebas. Sampai di sini aku terbentur lagi dengan pelayanan publik yang ada,” kata Cucu. Rendahnya akses publik di Indonesia tak mematahkan semangat Cucu untuk bergerak dan berbagi konsep dengan sesamanya. Segala yang Cucu peroleh dari perjalanannya ke negeri Sakura tak sia-sia. Ia pun menjadi leader di antara sesama teman difabel di Bandung, tempat ia menghabiskan masa kecil hingga dewasa melalui diskusi demi diskusi. Ia memulai berbincang dengan sesama difabel semasa di SLB (Sekolah Luar Biasa) hingga membentuk barisan volunter bersama beberapa mahasiswa di Bandung. “Mulailah aku berbagi tentang konsep independent living itu seperti apa, lewat peer conseling dan peer support.” Hingga pada tahun 2005, Cucu, Faisal Rusli, dan beberapa difabel lain membentuk komunitas bernama BILIC (Bandung Independent Living Centre). Keduanya tak keberatan ketika Jurnal Perempuan mengutarakan maksud hendak berbincang tentang mereka berdua. Di sela perbincangan, sesekali tampak Cucu memandangi Faisal suaminya yang tengah serius menyimak perbincangan kami. Mereka pasangan difabel yang sungguh mandiri. Mereka berteman sejak di SLB. Cucu di SLB D dan Faisal di SLB D1. Kepada Jurnal Perempuan Cucu menjelaskan, SLB D diperuntukkan bagi mereka yang dikatakan tidak mengalami gangguan intelektual, tetapi hanya fisik, misalnya polio. Perlakuan guru juga hampir sama seperti di sekolah biasa. Sementara, SLB D1 justru yang lebih banyak mendapatkan diskriminasi. “Kalau yang D1 seperti suami saya, sering mendapatkan diskriminasi. Karena secara fisik ndak berfungsi, maka dianggapnya intelektual juga tergangggu, padahal tidak,” ungkap Cucu. Cucu memang tak mendapatkan diskriminasi langsung selama di SLB. Namun, itu tidak mengurung sensitivitasnya menyaksikan diskriminasi yang dialami teman-temannya, hal yang makin jelas ia lihat saat bergabung mengajar di YPAC. “Perlakuan guru-guru di SLB banyak yang tidak manusiawi. Anak-anaknya lebih banyak digoblok-goblokin. Dianggapnya mereka mempunyai gangguan intelektual sehingga perlakuannya tidak disesuaikan dengan usianya. Misalnya, usia sebenarnya 15 tahun tapi masih diperlakukan kayak anak-anak usia 5 tahun. Ketika menjadi honorer di YPAC, aku lebih banyak dekat dengan remaja (SMP— SMA) karena pendekatanku lebih banyak pendekatan teman daripada guru dan murid. Dan, aku menyaksikan teman-teman diperlakukan seperti anak kecil. Itu yang membuat aku miris.” “Aku cacat dari lahir,” kata Cucu. Meski mitos seputar kelahirannya menjadi gunjingan tetangga, Cucu bersyukur karena orang tuanya bukan orang yang percaya akan hal itu. “Kakakku sering cerita kalau kelahiranku sempat jadi cemoohan. Bahkan, dari saudara dekat juga sempat mencemooh. ‘Mungkin karena bapaknya terlalu galak,’ terus anak cacat mau jadi apa?” Ketika Cucu menuturkan kisahnya, ia tampak terharu. Ia ungkapkan perasaan bangga kepada orang tuanya yang tidak menyembunyikan kehadirannya. “Justru mereka mencoba agar anaknya yang bungsu ini harus seperti orang lain, seperti kakak-kakakku yang lain. Mereka berpikir bahwa anak-anaknya harus sekolah. Karena orang tua ndak bisa membekali anak-anaknya dengan materi, tapi ilmu.” Kendati begitu, Cucu sadar benar jika orang tua dan keluarga pasti mengalami proses untuk berbesar hati menerima kehadirannya di tengah keluarganya. Sungguh beruntung Cucu terlahir dari orang tua yang sangat mengasihinya. Ia mengenyam pendidikan dasarnya di SLB di Bandung sejak SD umum di Garut (tempat kelahirannya) enggan menerima Cucu. Usianya baru lima tahun saat orang tuanya meminta Cucu tinggal bersama kakaknya yang tengah merampungkan kuliah di Bandung. Seminggu sekali orang tuanya berkunjung. “Sedih juga kalau mengingat itu. Negatifnya, aku dijauhkan dari orang tua saat usia kanak. Positifnya, aku menjadi orang, menjadi diriku sendiri. Kebayang kalau orang tuaku menyembunyikanku. Mungkin aku akan ngesot-ngesot di rumah.” Tak jauh berbeda dengan orang lain, Cucu pun berhasil menuntaskan pendidikannya hingga S1, jenjang pendidikan yang masih sangat jarang di daerah asalnya, Garut. Kini ia pun bisa menunjukkan bahwa dirinya juga bekerja layaknya orang “normal.” Suatu hari, ketika ia memutuskan untuk menikah dengan Faisal Rusdi, orang tua dan keluarganya menolak keputusannya; menolak Cucu menikah dengan Faisal yang kondisinya lebih “berat” dari Cucu. Bagi Cucu, hal ini mungkin membangkitkan luka lama orang tuanya. Luka lama bagaimana keluarga dan orang tua dicemooh tetangga dan saudara. Luka lama tentang bagaimana orang tuanya berjuang menerima kehadiran Cucu di tengah keluarga. Berkat perjuangan, kesabaran, dan ketekunan keduanya meyakinkan orang tua, kini orang tua menerima apa pun pilihan dan keputusan Cucu. Tak banyak difabel—apalagi perempuan difabel—yang seberuntung Cucu; mendapat kesempatan pendidikan hingga memperoleh ruang untuk mengaktualisasikan diri melalui pekerjaan. “Secara umum, perempuan difabel akan menerima perlakuan diskriminasi ganda. Kalau secara personal, di zaman sekolah di SLB, mungkin aku juga pernah mengalami, tapi karena aku masih kecil jadi belum menyadari.” Ia mengatakan, dalam rumah tangga pun, suaminya begitu menghormati. Kedudukan mereka setara. “Memang suamiku difabel, tapi dalam kehidupan, menuangkan cinta, mengambil keputusan, dan sebagainya, kita selalu berkomunikasi. Justru suamiku lebih bisa memahami aku.” Meski demikian, pengalaman tidak menyenangkan bukannya tak ada. Waktu SMA ketika Cucu hendak naik ke angkutan umum, ia dianggap tidak bisa naik sendiri. “Terus aku dipegang bagian belakangnya. Aku bilang, eh, jangan pegang- pegang. Dia bilang, kan, mau nolong. Ya, tapi tanya dulu, dong, jawabku,” begitu cerita Cucu. Berbincang tentang fasilitas publik yang ada di negeri ini seperti menegakkan benang basah. Fakta tersebut menjadikan Cucu enggan menggunakan kursi roda, apalagi sejak kecil Cucu merasa lebih nyaman menggunakan kruk dibanding kursi roda, hanya pada saat-saat tertentu ia menggunakan kursi roda. “Semua pelayanan publik memang bermasalah. Misalnya, orang yang mau menolong, tidak tahu gimana cara menolongnya. Jadi, aku suka gereget melihatnya. Harusnya, mereka tanya dulu bagaimana kenyamanan si difabelnya.” Pengalaman lain yang Cucu alami adalah menghadapi layanan di bandara. Ia menjelaskan bahwa kebijakan bandara kini justru makin memarginalkan difabel. Begitu juga perempuan hamil dan orang sakit, harus lebih dulu menyerahkan surat keterangan dokter. Khusus penumpang domestik yang memerlukan asistensi, mereka (pihak bandara-red) menetapkan bahwa asistensi disepakati dalam selembar kertas bermaterai Rp6000 yang harus ditandatangani oleh penumpang. Kertas tersebut menyatakan bahwa penumpang itu sakit dan maskapai tidak bertanggung jawab jika terjadi apa-apa. “Jadi, dianggapnya kita ini penghambat. Misalnya terjadi apa-apa, kita bukan orang yang pertama ditolong.” Atas daya kritis Cucu terhadap kebijakan bandara, sering kali ia harus terbentur dengan persoalan tersebut ketika hendak melakukan perjalanan. Bahkan, akibat soal surat asistensi itu, ia pernah membuat Garuda menunda penerbangannya selama satu jam. Pada tahun 2007, Cucu dan lima orang temannya dari tim IDPs Norwegia hendak ke Yogyakarta. Ia satu-satunya difabel dalam rombongan tersebut. Karena ia enggan menandatangani surat asistensi, pihak Garuda mendatangkan pilot dan sekretaris general manager Garuda. Atas dalih kebijakan, pihak Garuda tetap tak mengizinkan Cucu untuk terbang. Walhasil, datanglah seorang penumpang yang juga terlambat. “Kalau enggak salah, dia dari Komnas HAM atau staf dari kepresidenan, saya lupa. Dia bilang, ‘Anda bayangkan kalau ini terjadi pada ibu Anda. Ibu Anda harus melakukan perjalanan dan tidak diperbolehkan.’ Pihak Garuda tetap ngeyel, ini peraturan. Dan, bapak itu berkata, ‘Kalau ibu ini tetap tidak diperbolehkan, saya akan lapor presiden saat ini juga.’ Akhirnya, kita bisa melenggang melewati orang-orang yang sudah duduk enak di kelas bisnis.” “Di hampir seluruh bandara di Indonesia, kecuali Solo dan Yogyakarta. Lagi-lagi karena masalah surat, sampai aku dibilang orang gila oleh staf Adam Air waktu itu. Jadi, saya pikir, kebijakan bandara itu (surat asistensi-red) berlaku untuk semua. Tapi, banyak difabel yang belum menyadari. Jadi, ketika disodorkan kertas mereka tanda tangan saja.” Masih berkaitan dengan kebijakan bandara, Cucu juga pernah protes karena saat ia dan dua temannya dari Jepang serta tiga volunter sebagai pendamping tiba di bandara Surabaya, pihak bandara malah mendatangkan ambulans di luar pesawat, bukannya kursi roda. Cucu bercerita, “Berbicara fasilitas publik, sangat menyedihkan. Waktu ngurus pembuatan SIM, dipanggil nama, Cucu Saidah, polisinya malah ngelihatin dari atas ke bawah. ‘Ibu mau bikin SIM?’ ‘Ya, iya, Pak, masa mau minta sumbangan.’ ‘Oh… SIM apa, Bu? Ibu bisa nyetir?’ ‘Ya, lagi belajar, Pak.’ ‘Mobilnya ada?’ ‘Pak, kalau saya ndak punya mobil, tentu saya ndak bikin SIM.’” Sejak Cucu memutuskan untuk pindah dan menetap di Solo, pengalaman tak lantas selesai. Meski konon Solo kerap dianggap sebagai kota yang ramah bagi difabel, nyatanya Cucu sering kali dianggap sebagai penghuni RC (Rumah Cacat, nama lain dari BBRSBD-Balai Besar Rehabilitasi Sosiali Bina Daksa). “Ceritanya kita belanja ke mal, lalu ketemu seorang ibu dan bertanya,‘Dari RC, ya?’ ‘Enggak, saya dari Bandung.’ ‘Baru masuk ke RC? Sekolah atau kerja?’ ‘Enggak, saya kerja.’ ‘Kerja di mana, di RC?’ ‘Eggak, saya di Helen Keller International.’ ‘Oh, kenapa ndak kerja di RC aja. Suami saya juga kerja di sana. Bagus di sana.’ ‘Ndak, terima kasih, saya ndak berminat.’ ‘Kenapa? Kan, di sana juga ada asrama.’ ‘Ndak, Bu, saya sudah punya pekerjaan.’ ‘Kan, orang cacat di sana semua.’ ‘Enggak, Bu, terima kasih. Saya manajer program di Helen Keller Internasional. Silakan Ibu datang ke kantor saya.’” Bahkan, ketika jurnalis Jurnal Perempuan menemani Cucu belanja ke sebuah mini market dalam sebuah perjalanan ke Yogya, kasir malah seolah-olah melayani jurnalis ini, padahal jelas-jelas Cucu yang mengeluarkan uang untuk pembayaran. “Perlakuan manusiawi dan kembali kepada diri masing-masing,” harap Cucu. Bagi Cucu, PR terbesarnya adalah membuat teman-teman sesama difabel bangga atas dirinya sendiri. “Bagaimana kita bisa menerima diri kita sendiri,” kata Cucu. Ia juga percaya bahwa kebutuhan bagi difabel maupun nondifabel adalah sama, menginginkan hidup yang layak dan berkecukupan, baik dari sisi ekonomi maupun profesional, untuk dirinya sendiri maupun keluarga. Catatan Belakang: Tulisan ini dibuat pada tahun 2010 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 65, 2010 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |