Gejala semakin mencuatnya perempuan-perempuan penulis menandai adanya kebebasan ruang gerak perempuan untuk menulis apa saja. Fenomena ini berkembang menjadi apa yang disebut “sastra perempuan” atau “gaya penulisan perempuan”. Perempuan menuangkan segala pikiran, imajinasi, ide, dan pengalamannya ke dalam tulisan dan kemudian dibaca oleh banyak orang. Proses perjalanan sastra perempuan tidak dapat lepas dari kendala-kendala yang mereka hadapi, terutama berkaitan dengan ukuran bahasa atau konvensi, gaya penulisan, editing, publikasi, dan promosi. Banyak sejarah kesusastraan di berbagai negara yang tidak merekam perempuan pengarang. Bagaimana perempuan harus melawan segala tantangan ini dan pada akhirnya dapat mencuat seperti yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Berikut ini petikan wawancara jurnalis Jurnal Perempuan dengan Melani Budianta, seorang pengajar Sastra Inggris di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia yang sekaligus dikenal sebagai seorang kritikus sastra[1]. Jurnal Perempuan (JP): Bagaimana menurut Anda proses perjalanan sastra perempuan dari tahun ke tahun? Melani Budianta (MB): Kita harus melihat bahwa sastra adalah suatu kegiatan tulis menulis kreatif yang disosialisasikan melalui media ke masyarakat umum. Banyak produk-produk tulisan ini yang dijual ke masyarakat umum. Lalu, mengapa masalah perempuan dipersoalkan? Di berbagai negara ada gejala umum, kurang terekamnya kegiatan tulis-menulis perempuan dalam sejarah kesusastraan, baik dalam bentuk publikasi yang formal maupun yang diakui oleh kritikus sastra. Padahal, banyak perempuan yang sangat aktif di bidang ini. Di sinilah muncul pertanyaan tentang apa yang menjadi kendala. Kalaupun para perempuan memproduksi karya sastra, apakah berbeda dengan yang ditulis oleh laki-laki? Memang ada kendala-kendala yang bersifat kultural maupun sosial sehingga aktivitas kesenian kesusastraan perempuan ini kurang terekam. Kendala-kendala itu berkaitan dengan kondisi perempuan di dalam masyarakat secara umum. Misalnya, perempuan berteater pada zaman dan konteks masyarakat tertentu secara normatif tidak bisa diterima. Dalam kesusastraan Amerika tahun 1890-an, banyak sekali perempuan berperan aktif menulis dan mempublikasikan karyanya di media massa. Tetapi, sejarah sastra tahun 1960-an hanya merekam sastrawan laki-laki. Mengapa? Pertama, kritikus sastra pada waktu itu kebanyakan laki-laki. Editor majalah sastra dan pengajar sastra akademis kebanyakan juga laki-laki. Kedua, kurang terwakilinya perempuan dalam struktur yang menangani bidang kesusastraan. Maka, acuan yang dianggap baik dan bernilai tinggi diproduksi oleh suatu kelompok yang sangat terwarnai bias patriarki. Maka, kesusastraan yang dianggap hebat pada waktu itu ialah yang sangat menampilkan ruang publik, masalah-masalah umum dan sosial. Sedangkan, perempuan di era ini aktivitasnya di ruang publik masih terbatas atau memang dibatasi. Jadi, pengalaman hidup mereka sendiri sangat terbatas pada ruang domestik. Maka, kalau perempuan menulis, mungkin yang diceritakan adalah hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari. Akibatnya, ketika pengalaman ini dituliskan dalam kesusastraan, menjadi dianggap remeh, kecil, dan kurang bernilai tinggi. Bila ada pun, mereka menyamarkan namanya menjadi nama laki-laki. Perempuan yang masuk dalam medan yang didominasi oleh struktur seperti ini banyak menghadapi masalah. Jadi, untuk menyuarakan apa yang dianggap penting bagi perempuan, kurang didukung. Di Amerika, di tahun ‘70-an ketika maraknya gerakan-gerakan perempuan pada waktu itu, muncul kritikus-kritikus perempuan yang mulai mengangkat permasalahan ini. Perempuan kritikus ini kemudian mulai menulis kembali sejarah kesusastraan dengan menemukan kembali perempuan-perempuan penulis yang terkubur. Lalu, mereka mencoba mengangkat apa sebetulnya nilai yang bisa disumbangkan oleh para penulis ini. Dan, ternyata menarik sekali apa yang mereka ungkapkan. Kemudian mereka mempertanyakan kembali, seperti apakah tradisi penulisan perempuan? Apakah ada pola-pola tertentu, gaya tertentu yang memang berkaitan, bukan karena dia perempuan secara esensial yang tulisannya demikian, melainkan karena hidup yang terkungkung dan terkotak-kotak, pengalaman-pengalamannya sebagai perempuan, seperti melahirkan dan sebagainya. Hal-hal apa yang secara khusus bermakna bagi para perempuan penulis dilihat dari generasi penulis yang satu ke generasi yang lain. Tradisi ini memang harus terus dibangun, karena tidak ada yang lahir dengan sendirinya. JP : Bagaimana sastra perempuan mempengaruhi gerakan perempuan? MB: Karya-karya perempuan yang disampaikan dan ditulis di dalam buku-buku ini pada akhirnya dibaca oleh masyarakat luas. Paling tidak, pembaca menghayati pengalaman yang ditulis itu, yang menjadi inspirasi bagi perempuan lainnya. Jadilah pengalaman perempuan yang tersuarakan dalam masyarakat. Suara ini menjadi inspirasi bagi perempuan lainnya, juga bagi kaum laki-laki yang selama ini tidak pernah terpikirkan oleh mereka. JP : Bagaimana signifikasi sastra perempuan bagi gerakan-gerakan perempuan di Indonesia? MB: Kita banyak mengenal sastrawan perempuan yang aktif sejak awal, seperti Selasih, perempuan pertama yang novelnya terbit di Balai Pustaka. Ia tidak sebatas menulis sastra, dalam aktivitasnya sehari-hari ia juga banyak memperjuangkan kepentingan perempuan, seperti aktif dan vokal dalam mengkritik DPR. Banyak juga perempuan penulis Indonesia yang posisinya naik-turun dalam periode sastra. JP : Pada periode apa perempuan mengalami zaman keemasan sastra? MB: Tidak ada istilah zaman keemasan, karena setelah itu perempuan penulis akan turun lagi pamornya. Tetapi, dalam setiap periode, sastrawan-sastrawan perempuan penting untuk digali kembali, seperti yang dilakukan feminis sastra di Barat. Untuk melakukan itu, sebetulnya banyak medium kesusastraan yang tidak hanyatercetak atau dalam bentuk buku, tetapi juga berupa jurnal, seperti di daerah-daerah, banyak perempuan yang bermain di arena itu. Tapi, masalahnya di Indonesia mengalami kesulitan untuk menggalinya karena kurangnya dokumentasi. Padahal, majalah daerah banyak sekali, seperti majalah-majalah perempuan di bawah afiliasi partai politik tertentu. Di situ kita dapat melihat bagaimana posisi perempuan dalam sastra. Sebenarnya ini tugas kritikus sastra untuk mendokumentasikan dan mengangkat isu-isu tersebut sehingga dapat berpengaruh dan menjadi inspirasi bagi yang lain. JP : Pada periode kekuasaan seperti apa sastra mendapatkan kebebasan di Indonesia ini? MB: Apa, sih, yang disebut kebebasan? Mungkin ini berkaitan dengan konteks sosial politik yang ada. Sebenarnya sastra itu sendiri adalah kebebasan. Siapa pun boleh menulis, apa saja, dan bisa mengambil dari mana saja, tidak ada ruang-ruang yang menyekat-nyekat karena ini ruang imajinasi. Persoalannya ketika kita menulis dan mencoba mengirimkannya, kita dihadapkan oleh “penjaga-penjaga” di ruang publik. Di sinilah banyak perempuan merasa terdiskriminasi, bahkan secara internal seperti ada keraguan ketika ingin mengirimkan, dengan menimbang, “Apakah pantas atau boleh dikirimkan?” Tentu saja perlahan-lahan dengan perkembangan zaman, ketidakbebasan itu semakin berkurang, melihat pendidikan perempuan semakin luas tidak seperti di zaman Kartini. Sensor-sensor pun mulai berkurang, terutama sejak turunnya Presiden Soeharto. Namun, bukan berarti sensor tidak ada, kadang sensor itu datang dari masyarakat sendiri. JP : Apakah perempuan muda penulis juga memanfaatkan kebebasan itu? MB: Memang mulai muncul perempuan-perempuan muda penulis dengan variasi gaya yang sangat menonjol, dengan pembaca yang juga berbeda-beda. Ini hal yang sangat positif, mungkin karena anak-anak muda ini hidup di generasi yang tidak terlalu terhambat masalah gender; atau adanya kebebasan ruang ekspresi, seperti teknologi dan kehidupan yang kosmopolit. JP : Kalau kita lihat Ayu Utami, Dewi Lestari, Fira Basuki, Djenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu, dan perempuan penulis lainnya, ada satu titik tentang seksualitas perempuan yang menjadi tema pokok. MB: Itu hal yang wajar karena perempuan mempunyai hak atas tubuhnya sendiri. Tubuh perempuan bukan sesuatu yang tabu, tetapi sesuatu yang positif, perempuan mempunyai hak untuk mengapresiasi tubuhnya sendiri. JP : Mengapa harus dimulai dari tubuh? MB: Karena tubuh bagian yang paling dekat dengan perempuan. Dalam wacana- wacana lama, fungsi seksualitas perempuan dekat dengan melahirkan anak atau mereproduksi dan kemudian hidupnya diabadikan untuk membesarkan anak. Jadi, perempuan cenderung tidak memiliki hak atas dirinya sendiri. Gerakan perempuan sudah menunjukkan bahwa semua orang berhak atas tubuhnya. Perempuan juga berhak atas kesehatan dan kenikmatan tubuhnya sendiri. Mungkin ini menjadi baru ketika biasanya sopan santun terjaga, sehingga sedikit mengejutkan, barangkali. Tapi, buat negara-negara tertentu hal ini sudah lama terjadi. JP : Sastra perempuan mengalami proses liberalisasi, tetapi sebaliknya masyarakat menggalakkan sensor. Bagaimana sastra menyikapi ini? MB: Saya berharap mudah-mudahan tidak akan terjadi. Kalau sampai terjadi, maka ada kemunduran yang luar biasa. Satu sisi masyarakat cenderung konservatif, sisi lain ungkapan sastra semakin bebas, maka bagaimana dua hal ini dapat terjadi pada saat yang sama. Mungkin kesusastraan “yang bebas” ini pembacanya terbatas sehingga kelompok konservatif tidak akan membaca produksi seperti ini. Bila lingkungan konservatif merambah wilayah sastra kemudian menyempitkan ruang geraknya, ini yang sangat disayangkan. Imajinasi kita tidak terbatas dan bebas, dan pembaca tidak bodoh. JP : Bila sastra adalah refleksi dari sebuah renungan sosial, mengapa kebebasan karya-karya sastra perempuan menjadi ambigu dengan masyarakat kita yang konservatif? MB: Bukankah perempuan-perempuan penulis juga menuliskan persoalan- persoalan sosial itu sendiri? Ekspresi kebebasan mereka merupakan respons terhadap hubungan yang ada, jadi bukannya tidak berkaitan, seperti tokoh Shakuntala dalam Saman karya Ayu Utami, itu semacam reaksi atau resistansi terhadap hubungan perempuan dengan laki-laki yang tidak adil dalam masyarakat. JP : Apakah itu berarti ruang privat mulai banyak diminati oleh pembaca? MB: Masalahnya tidak lagi sekadar domestik dan publik. Sekarang sudah lebih longgar meskipun secara umum di masyarakat masih terjadi. Penulis-penulis muda tidak begitu mempersoalkan publik dan domestik. Mereka sudah banyak yang masuk dalam ruang-ruang politik dan sosial. Mereka itu generasi yang sudah bisa menikmati runtuhnya pembatasan yang kaku antara domestik dan publik. JP : Adakah perbedaan penulisan seksualitas perempuan yang ditulis laki- laki dengan penulisan seksualitas perempuan yang ditulis perempuan? MB: Sebetulnya ini perlu penelitian tersendiri. Begitu jelas dalam novel-novel umum, yang menonjol adalah perspektif laki-laki, sedangkan perempuan muncul lebih sebagai objek atau korban. Tentu menjadi berbeda dengan perspektif perempuan bahwa perempuan memiliki hak atas seksualitas dirinya sendiri. JP : Banyak anggapan, perempuan penulis bisa terkenal bila di bawah bayang-bayang penulis laki-laki yang sudah terkenal. MB: Itu berarti masih mempertanyakan dan meragukan kemampuan seorang perempuan pengarang. Barangkali ada anggapan, itu karena kehebatan seorang laki-laki di belakangnya. JP : Apa itu proses ketidakadilan? MB: Ya, dalam tatanan yang masih besar, artinya akan selalu harus dihadapi. JP : Bagaimana dengan adanya kecurigaan tentang menonjolnya perempuan penulis karena cantik, sebagai objek dari budaya massa? MB: Definisi kecantikan banyak sekali. Apakah kemudian perempuan dipakai atau memakai budaya massa yang memang mempunyai konsep-konsep tertentu dan kemudian menjadi sarana promosi, itu hal lain. Kita tahu Dewi Lestari sangat bisa memanfaatkan promosi publikasi. JP : Artinya tidak ada eksploitasi? MB: Itu wajar-wajar saja, tetapi mengapa orang harus dicurigai karena kecantikannya? Promosi bukan suatu hal yang buruk. Boleh saja dia memanfaatkan promosinya yang mungkin seharusnya dilakukan oleh semua orang sehingga sastra itu semakin meluas di masyarakat. Salah satu penulis yang menurut saya cantik adalah Ratna Indraswari Ibrahim, seorang perempuan penulis yang sangat produktif. Dia memiliki kecantikan luar biasa tanpa memanfaatkan promosi. JP : Sastra perempuan seperti apa yang Anda diharapkan ke depan nanti? MB: Saya mengharapkan akan semakin banyak variasi. Perempuan itu tidak cuma satu atau tunggal. Memang yang masih mendominasi sastra sekarang ini adalah perempuan-perempuan kota atau perempuan urban. Tetapi, di antara perempuan urban sendiri pun berbeda-beda di setiap generasinya. Ada yang religious dalam agama yang berbeda, mempunyai lingkungan sosial yang berbeda, dan pengalaman hidup yang berbeda pula. Tema pengalaman antar generasi bisa diangkat oleh berbagai macam perempuan dan berbagai macam lingkungan sosial sehingga saya harapkan tidak pada satu arah yang tunggal, tetapi semakin ramai diikuti oleh berbagai macam perempuan penulis, seperti Nukila Amal yang memperkenalkan jenis penulisan yang baru dan berbeda dengan yang lainnya. Bagaimana dia menggali kembali sejarah Ternate dengan gaya penulisan yang lebih surealis daripada yang lain. Dia seorang apoteker yang tidak memiliki latar belakang sastra. Banyak anak muda berbakat bisa memanfaatkan ruang itu. Di luar negeri, gejala munculnya perempuan muda penulis itu sudah booming di Amerika sejak tahun ‘80-an. Ini karena adanya pasar yang terbuka, antara lain pasar yang multikultural yang sangat haus dengan pengalaman spesifik dari warna lokal budaya tertentu. Kalau melihat tren semacam ini, kebangkitan variasi perempuan penulis akan segera muncul. (MB. Wijaksana) Catatan Belakang: [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2003 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 30, 2003. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |