Meskipun peran Pekerja Rumah Tangga (PRT) sangat besar dalam medorong kehidupan sosial, ekonomi, bahkan politik, nasib para PRT masih sangat mengkhawatirkan. Mereka rawan dengan berbagai tindakan kekerasan dan diskriminasi. Pemerintah sendiri seperti tidak memiliki visi yang jelas untuk melindungi nasib pekerja yang mayoritasnya dilakoni perempuan ini. Usaha-usaha yang telah dilakukan seperti masih jauh panggang dari api. Faktanya, berbagai jenis kekerasan terhadap PRT terus berlangsung. Jurnalis M. B. Wijaksana berkesempatan melakukan wawancara dengan Tati Krisnawati, anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan menggali persoalan-persoalan pokok yang terkait dengan PRT. Jurnal Perempuan (JP): Bagaimana Komnas Perempuan melihat permasalahan Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam hubungannya dengan persoalan perempuan secara keseluruhan? Tati Krisnawati (TK): Dari informasi permukaan yang kita lihat di surat kabar maupun laporan-laporan diskusi, atau ada juga laporan yang agak menyeluruh dari berbagai organisasi masyarakat mengenai Pekerja Rumah Tangga, dapat dilihat bahwa 99% pekerjanya adalah perempuan. Kami melihat bahwa mereka sangat rentan terhadap kekerasan, baik karena lingkup kerja mereka di dalam rumah yang jauh dari pemantauan maupun karena (perlindungan) hukum terhadap mereka hampir tidak ada; apakah sebagai buruh atau sebagai anggota keluarga. Selain itu, masyarakat melihat pekerjaan mereka sebagai bentuk pekerjaan perempuan yang harus dilakukan dengan pengabdian, cinta, kasih sayang, dan sebagainya yang tidak pernah diukur sebagai pekerjaan profesional yang harus dihargai dengan nilai ekonomis. Dengan demikian, Komnas Perempuan melihat bahwa PRT sebagai kelompok masyarakat yang rentan terhadap kekerasan. Karena itu, mandat yang dibebankan pada kami juga akan melingkupi persoalan mereka. JP: Apa yang telah dilakukan Komnas Perempuan untuk mengangkat isu PRT ini menjadi isu publik? TK: Kami memulainya dengan riset pendahuluan, terus kami lakukan Focus Group Discussion (FGD) di lima wilayah. Di Kalimantan kita lakukan di Pontianak, di Sumatra kita lakukan di Lampung, di Jawa Tengah kita lakukan di Yogya, di Jawa Barat kita lakukan di Karawang, dan satu lagi di Mataram. Kita berharap mendapatkan gambaran, apakah ada pola atau keragaman dan spektrum apa yang ada dalam PRT. Dari FGD yang mengundang pihak-pihak, seperti buruh migran, PRT di luar negeri dan di dalam negeri, NGO yang bergerak untuk pendampingan, dan akademis, kita mendapatkan gambaran tiga hal terpenting. Pertama, PRT itu keragaman jenis pekerjaannya sangat luas. Kalau di Depnaker itu ada tujuh elemen yang dimasukan dalam PRT, yaitu cleaning, washing, cooking, baby sitting, dan sebagainya; ternyata kita menemukan komposisi yang lebih luas dan beragam dalam pekerjaan PRT. Kedua, semuanya mendambakan rumusan apa itu “kerja layak” dan ukuran-ukurannya. Memang ada ukuran seperti upah yang layak atau jam kerja yang layak, namun rumusan kerja layak itu sangat beragam berdasarkan pengalaman PRT masing-masing. Ketiga, ternyata dari diskusi atau wawancara yang lebih mendalam, kami menemukan bahwa pendekatan yang diperlukan tidak cukup jika hanya berperspektif hubungan industrial atau hubungan buruh-majikan. Perlu dikaji lebih jauh unsur-unsur positif dari hubungan kekeluargaan atau bentuk-bentuk bargaining yang sifatnya tidak kontraktual, tapi lebih pada kesadaran masing- masing pihak untuk menghargai kontribusi dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. PRT membutuhkan pekerjaan, tempat tinggal, pengayoman, dan sebagainya. Di sisi lain, majikan memerlukan orang yang mereka percaya di rumahnya, privasi, dan lain-lain. Kami ditantang untuk mengembangkan pendekatan yang bukan menggunakan pendekatan buruh-majikan, melainkan ukuran-ukuran lain tentang makna produktivitas atau makna adil bagi semua. JP: Tapi bukankah sulit membayangkan hubungan yang adil antara pekerja dan majikan dalam situasi psikologi yang sudah timpang? TK: Betul sekali, karena tiga persoalan mendasar dalam persoalan PRT ini adalah posisi perempuan dalam masyarakat, perempuan sebagai orang miskin, dan perempuan sebagai PRT. PRT perempuan mengalami tiga jenis diskriminasi. Ini persoalan besar yang membutuhkan revolusi pemikiran tentang hubungan gender antara laki-laki dan perempuan. Jadi, infiltrasinya bukan hanya pemetaan antara buruh-majikan, tapi secara keseluruhan hubungan antara posisi perempuan dalam masyarakat. Jadi, arena “perangnya” besar. Dalam situasi kemiskinan, laki-laki dan perempuan memerlukan kerja ke luar untuk memenuhi kebutuhan pokok, pekerjaan rumah ditinggalkan. PRT-PRT yang bekerja di keluarga lower class, tidak mungkin mendapatkan penghargaan yang layak. Hubungan mereka menjadi hubungan antara orang miskin dan orang miskin. Bisa dilihat sebagai eksploitasi orang miskin oleh orang miskin, bisa dilihat sebagai poverty sharing, bisa juga dilihat sebagai solidaritas. Keunikan akar masalah ini memang harus didekati dengan cara yang kompleks. Penataannya tidak bisa dilakukan dengan tambal sulam, meski bukan berarti penataan hubungan industrial tidak efektif sama sekali. Namun, itu hanya akan efektif di tingkat middle class ke atas. Sementara, di mayoritas orang miskin yang mempekerjakan PRT, ini juga harus dipersoalkan. Mereka tidak memenuhi standar upah karena upah mereka sebagai buruh atau sebagai PNS tidak cukup memenuhi kebutuhan mereka sendiri. JP: Apakah pendekatan yang hanya menekankan pada advokasi PRT telah cukup memadai, sementara yang lebih menjadi persoalan adalah majikan yang tidak mampu menjamin standar kelayakan kerja? TK: Pertama, pendekatannya memang harus multidimensi. Tapi, bagaimana pun, saya percaya dengan beberapa pendekatan yang dilakukan terhadap PRT. Bagaimana PRT merumuskan pekerjaan dia, beban kerja dia, sumbangsih dia pada majikan atau masyarakat. Kesadaran ini akan turut membantu semua pihak memikirkan relasi yang adil dari perspektif pekerja sendiri. Bisa jadi ukuran yang dikembangkan pekerja berdasarkan pengalamannya berbeda dengan para ahli perburuhan di tingkat pabrik. Yang dibutuhkan adalah ruang untuk mendiskusikan proses yang diperoleh oleh PRT untuk didialogkan dengan perspektif lain. Jadi, ini akan menyangkut, misalnya, perbaikan sistem penggajian pegawai negeri atau pekerja lain. Kalau pekerja menuntut upah seperti ini, seharusnya dilihat sebagai usaha untuk mendukung perbaikan upah buruh dan pekerja lain. Seharusnya, ini jangan ditolak oleh para majikan, tapi dijadikan sebagai bentuk dukungan pada perbaikan sistem penggajian. Kedua, mengenai perempuan, bahwa bagaimana pun pekerjaan domestik masih menjadi tanggung jawab tunggal perempuan. Masyarakat melihat ini masih merupakan pekerjaan yang memiliki gender. Ini juga sekaligus menjadikan wacana di masyarakat agar mereka berbagi pekerjaan di antara laki- laki dan perempuan dalam anggota keluarga yang tentu menyangkut perbaikan hubungan perempuan-laki-laki dalam keluarga. JP: Menurut sebuah laporan, ada 2,5 juta PRT. Mereka adalah pekerja informal yang kontribusinya bagi pengurangan angka pengangguran sangat besar. Tapi, mengapa pemerintah belum menganggap PRT sebagai persoalan penting? TK: Saya kira pengambil keputusan pemerintah itu masih mengandung bias gender. Mereka masih tidak melihat pekerjaan domestik memberikan kontribusi sangat berarti bagi kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan kehidupan lainnya. Bias gender yang masih kukuh ini mengakibatkan PRT menjadi tidak dihitung. Tapi, dan ini juga menyedihkan, kalau masalah perda (Peraturan Daerah), mereka eksis. Mengapa eksis? Karena untuk pajak. Jadi, perda yang dibuat itu adalah untuk kepentingan penarikan retribusi dari pendapatan PRT. JP: Ada sebagian orang menilai bahwa persoalan PRT tidak bisa lepas dari terbukanya kesempatan perempuan yang bekerja di ruang publik. Bukankah ini persoalan yang dilematis bagi perempuan? TK: Itu terjadi ketika subjek dalam masalah ini hanya satu, yaitu perempuan, maka terjadi masalah ini. Makanya, ketika perempuan masuk ruang publik, masalah domestik harus dibicarakan bersama laki-laki dan perempuan, bukan diserahkan pada perempuan lagi. Ketika perempuan pergi ke ruang publik hampir semua pekerjaan domestik ini diserahkan kembali pada perempuan. Berarti tidak ada perubahan dalam kerangka domestik-publik pemilahan kerja secara gender. Jadi sasaran kita bersama sebagai masyarakat adalah ruang domestik ini adalah ruang laki-laki dan perempuan. Juga, pekerjaan domestik itu mendapatkan penghargaan yang memadai sehingga perempuan yang menetap di ruang ini tidak ditempatkan sebagai orang terbelakang, tidak dianggap tidak berprestasi, dan sebagainya. Kita harus mengubah anggapan tersebut, bahwa di dunia domestik pun, dihargai sunguh-sungguh, bukan hanya eufemisme. Jadi, tak ada dilema. JP: Tren anak-anak Pekerja Rumah Tangga semakin tinggi, di satu sisi mereka punya hak sebagai anak, sementara di sisi lain keterpaksaan ekonomi membuat mereka memilih pekerjaan tersebut. Bagaimana menurut Anda? TK: Menurut saya, yang pertama adalah tidak adanya ekspolitasi. Jadi, bisa saja seorang anak bekerja untuk satu jenis pekerjaan tertentu dan dia capable untuk pekerjaan tersebut dan dia mendapatkan upah yang layak, dapat mendapatkan ruang untuk aktualisasi. Jika itu terpenuhi, saya tidak akan strict menyatakan tidak boleh. Pilihan sekolah tidak menjadikan orang secara otomatis memiliki ruang aktualisai diri, kalau bekerja pun bisa mengaktualisasikan diri. Untuk saya, yang terutama ukurannya adalah tidak ada eksploitasi. Jadi, kalau ada PRT umur 16—17 tahun dengan perlindungan yang jelas, misalnya, pekerjaan dia memasak saja tidak dicampur segala macam, dia ahli di situ, dia suka di situ, mendapatkan upah yang layak, dan dia bisa mengembangkan pekerjaan menjadi sesuatu yang bernilai, kenapa tidak? Yang penting, tidak ada eksploitasi, ada penghargaan, dan ada ruang buat aktualisasi diri. Yang jadi masalah kita, dia menjadi PRT seumur-umur karena persepsi sosial yang menganggapnya rendah, dia akan jadi rendah selama-lamanya. Yang menjadi concern gerakan perempuan adalah, pekerjaan domestik itu dianggap pekerjaan reproduktif yang dinilai tidak akan ada peningkatan, padahal belum tentu, misalnya saja, tentang memasak; makan apa saja yang sehat, bagaimana agar memasak tetap menjaga vitaminyang dikandungnya, dan lain-lain. Itu, kan, proses pengetahuan yang dapat dikembangkan. Bagaimana pun soal makanan adalah masalah esensi yang sering tidak kita perhitungkan. Jadi, pendekatannya bukan hanya soal pendekatan upah, melainkan juga soal bagaimana kualitas kerja, relasi sosial, atau soal relasi dengan kehidupan. Pelecehan terhadap mereka ini harus dibongkar, bahwa setiap orang, siapa saja punya tanggung jawab bagi perbaikan dirinya dan masyarakat. (MB. Wijaksana) Catatan Belakang: Tulisan ini dibuat pada tahun 2005 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 39, 2004 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |