Laki-laki itu mengendap masuk ke arah sebuah kamar di lokalisasi Kramat Tunggak. Terbayang olehnya gairah dan kenikmatan seksual yang kembali akan disalurkannya di sebuah bilik di antara ratusan bahkan ribuan bilik wilayah bisnis seks terbesar di Jakarta ketika itu. Jantungnya berdegup kencang setelah “Mami” dan beberapa pekerja seks lainnya memberi tahu bahwa yang akan ia ajak adalah “anak baru” yang barusan datang dari kampung. Perlahan ia mengetuk pintu. “Silakan masuk,” demikian jawaban dari dalam kamar. Kamar itu gelap dan menebarkan wangi “khas” bisnis ini. Wangi yang tajam dan terkadang berlebihan untuk ukuran deodoran atau pengharum lainnya. Hidung laki-laki ini sudah sangat akrab dengan segala jenis wewangian di daerah tersebut. Baginya, mungkin juga bagi hidung laki-laki pelanggan lainnya, wangi-wangian ini semakin mendongkrak gairah mereka untuk bercinta. Tiba-tiba saja, hidungnya tidak mencium wewangian itu. Ia kini mencium bau darah, darahnya sendiri. Hidungnya kini benar-benar belang oleh darah yang keluar dan ia usap sendiri. Belum usai kekagetannya, sekonyong-konyong… bak-buk-bak-buk, pukulan itu kini bertubi-tubi menghantam kepalanya, matanya, perutnya, kemaluannya, hingga ia ambruk tersudut. Lampu kamar menyala. Ia temukan dirinya tersungkur di kaki istrinya yang sudah beberapa bulan ia tinggalkan. Sang istri berdiri kokoh sehabis melampiaskan dendamnya “Sebuah pelajaran bagi pengkhianat!” gumamnya lirih. Cerita di atas bukanlah karangan, tapi sebuah kenyataan yang terjadi di tahun 1998 silam. Dituturkan langsung oleh Nur Aziza, sang istri. Ia kesal karena suaminya menghilang begitu saja meninggalkan beban kehidupan di pundaknya. Baginya, pelampiasan kekesalan itu adalah sebuah pelajaran yang harus ia berikan bagi sebuah bentuk ketidakadilan. Dari kejadian itu, ia mendapat pelajaran pertama yang berharga untuk melawan ketidakadilan; mengorganisasi diri dan berkoalisi dengan mereka yang simpati. Nur Aziza sengaja mengatur jebakan itu. Ia korek semua keterangan tentang suaminya, semuanya, secara rinci tanpa ada yang kelewatan. Jam berapa ia datang, kepada siapa ia biasanya minta dibawakan perempuan, kamar mana yang suka ia tempati untuk berkencan, dan lain-lain. Nur Aziza pun menceritakan semua pengalaman sakit hatinya. Ia lantas bekerja sama dengan beberapa PSK (Pekerja Seks Komersial) dan Mami yang bersimpati padanya. Mereka membantu hingga Nur Aziza bisa benar-benar memberi pelajaran pada suaminya itu. Dendam itu ternyata belum padam. Nur Aziza mengorbankan dirinya menjadi seorang PSK hanya untuk membuktikan bahwa dirinya juga mampu merebut hati laki-laki lain. Selama kurang lebih enam bulan ia jalani pekerjaan itu, tentu saja dengan sangat berat. Tak ada yang ia beri tahu, bahkan keluarganya sekali pun. Pengalaman buruk ini ia pendam hingga saat ini. “Tak apa-apa, Mas, nanti saya akan jelaskan kepada keluarga. Saya sekarang sudah siap,” katanya saat ditanya jurnalis Jurnal Perempuan kalau akhirnya keluarga mengetahui hal ini. Bergantian ia layani laki-laki. Ada perasaan gamang yang luar biasa. Di satu sisi, ia berhasil membuktikan bahwa dirinya mampu melakukan seperti yang dilakukan perempuan lain. Namun, di sisi lain, ia sebenarnya sangat tidak rela jika tubuh yang ia miliki harus ditukar dengan beberapa lembar uang. Bangkitnya Kesadaran “Saya tidak bisa menggambarkan apa yang saya pikirkan ketika saya harus tidur dengan laki-laki yang berbeda. Meskipun saya sangat selektif dalam memilih konsumen, saya hanya melayani tiga pelanggan tetap, tapi tetap saja ada perasaan tidak rela setiap kali saya harus berhubungan. Sangat berat rasanya. Saya berpikir ini tidak bisa diteruskan,” tuturnya. Awalnya adalah ketika ia dan beberapa teman seprofesi diberi penyuluhan oleh Yayasan Kesuma Bangsa mengenai bahaya AIDS dan Penyakit Menular Seksual (PMS) lainnya. Apalagi ketika itu, AIDS sudah mulai datang dan menjangkiti beberapa orang di Indonesia. Pada akhir tahun 1998 itu pula ia mengambil keputusan untuk segera berhenti dari profesi yang telah selama enam bulan ia kerjakan. Penyakit yang mematikan itu menjadi semacam blessing in disguise. Ini bencana, tapi juga membuat Nur Aziza tersadar bahwa risiko penyakit yang salah satu penyebarannya melalui hubungan seks ini bisa mengenai siapa saja, termasuk dirinya. Apalagi dengan profesi sebagai PSK, ancaman itu sangatlah terbuka. Di luar ketakutan itu, ia juga mulai memahami bahwa keinginannya untuk membalas dendam atas sakit hatinya mungkin malah berbalik membahayakan dirinya. Pelajaran kedua ia peroleh dalam melawan ketidakadilan adalah kekuatan untuk menahan diri. Ia kemudian bekerja untuk Yayasan Kesuma Bangsa. Berkeliling keluar masuk lokalisasi untuk membagi pengalaman dan pengetahuan tentang pentingnya perlindungan kesehatan reproduksi bagi pekerja seks. Dengan gaji hanya Rp15.000 per minggu, ia bertahan. Godaan untuk aktif lagi sebagai pekerja seks kadang timbul bila mengingat jauhnya perbedaan penghasilan antara menjadi pekerja seks dan menjadi sukarelawan semacam yang ia lakukan di Yayasan Kesuma Bangsa. Dalam diri Nur Aziza ada perkelahian antara kebutuhan hidup dan idealisme. Peperangan itu dimenangkan oleh keinginan besar Nur Aziza untuk memberikan pencerahan pada rekan seprofesinya. Titik balik ini adalah sejarah bagi kehidupan Nur Aziza. “Saya terus mengenangnya.” Saya akan ceritakan bagian kehidupan saya yang satu ini pada siapa pun, bahwa sesungguhnya kita bisa berubah. Dari seorang yang hampir tanpa harapan, terhempas, tertindas, bahkan terjual, kini menjadi seorang yang bisa berguna bagi diri sendiri dan orang lain. “Menjadi seseorang yang bisa membagi pengalaman hidupnya buat pelajaran,” katanya ketika diwawancara beberapa waktu lalu di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan. Masyarakat sekitar tentu saja tidak langsung mempercayainya. Menurut Nur Aziza, PSK baik yang masih aktif maupun yang sudah pensiun labelnya tetap sama, yaitu najis dan tidak bisa dipercaya. “Pernah suatu ketika saya masak makanan agak banyak. Makanan itu saya bagi-bagikan pada tetangga. Mudah-mudahan itu akan menjadi silaturahmi, pikir saya. Tapi, saya sangat sedih ketika keesokan harinya saya melihat makanan yang dibagikan sudah ada di tong-tong sampah dalam keadaan tidak tersentuh,” ujarnya. “Tidak banyak masyarakat yang tahu bahwa sebenarnya tak seorang perempuan pun bercita-cita sebagai pekerja seksyang menjual tubuhnya untuk uang. Semuanya semata-mata keterpaksaan. Memang banyak hal yang jadi penyebabnya, tapi tidak ada yang benar-benar menginginkan pekerjaan ini,” tambahnya. Akan tetapi, tekadnya tidak surut, langkah sudah ditetapkan dan jalan sudah dipilih. Ia bersama dengan Ana Sulikah (kini Direktur Bandungwangi), Titin, dan beberapa teman yang sudah dibekali pengetahuan oleh Yayasan Kesuma Bangsa, membentuk sebuah perkumpulan yang diberi nama Bandungwangi. Di dalamnya adalah mereka yang masih aktif maupun sudah pensiun sebagai pekerja seks. Misinya adalah memberikan pengetahuan tentang perlindungan kesehatan reproduksi bagi para pekerja seks. Tentu saja awalnya sangat berat. Lagi-lagi, masalah kepercayaan. Apa yang bisa dilakukan oleh PSK-PSK yang berpendidikan rata-rata rendah ini untuk meyakinkan orang agar percaya pada misinya? “Mereka (para PSK) sering balik bertanya, ‘Kamu sendiri PSK, kok, malah ngasih penyuluhan pada kita?’” katanya menirukan sebagian suara miring yang dialamatkan padanya. Tapi, di sisi lain, statusnya sebagai mantan PSK juga mempermudah ia dan kawan-kawannya di Bandungwangi untuk melakukan pendekatan. Bandungwangi bisa memberikan pengetahuan tanpa menggurui. Mereka belajar bersama, mengeluarkan segala keresahan, dan mencari pemecahan masalah secara bersama- sama. Bila suatu saat kita berkunjung ke Bandungwangi di daerah Pisangan Lama, Jatinegara, Jakarta Timur, kita akan menjumpai beberapa PSK yang sedang mengerjakan “tugas kelompok” mendata teman-temanya di lapangan. Ada juga yang mengurus tabungan atau simpanan yang suatu saat dimanfaatkan para PSK dampingan, kapan pun mereka membutuhkannya. Mereka sangat dekat satu sama lain hampir tak berjarak. Bandungwangi, organisasiyang ia turut membangunnya, kini menjadi organisasi yang dikenal gigih melawan perdagangan perempuan dan anak. Beberapa organisasi pemberi dana dari luar negeri, seperti ICMC (International Chatolic for Migration Commision) dan Save the Children turut menyokong kegiatan Bandungwangi. Keresahannya Kini Ia bukan lagi sekadar mantan PSK, Nur Aziza yang dilahirkan di Jember, 9 September 1973 itu kini adalah seorang manajer program Bandungwangi sekaligus salah seorang anggota Presidium Wilayah Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (KPI). Ibu dari dua anak laki-laki ini juga pegiat yang peduli pada masalah hak-hak perempuan dan anak yang dipekerjakan untuk bisnis seks. Ia diundang ke seminar-seminar, menjadi pembicara, atau menjadi fasilitator dalam berbagai lokakarya dan pelatihan, bukan hanya di tanah air, melainkan juga di luar negeri. Karena tugasnya itu, ia sudah pergi ke India, Malaysia, dan Singapura untuk mengikuti pertemuan-pertemuan internasional tentang perdagangan perempuan dan anak untuk kepentingan bisnis seks komersial. Kepedulian Nur Azizah kini telah berkembang. Ia bukan hanya peduli untuk memberikan pengetahuan tentang kesehatan para pekerja seks. Lebih dari itu, ia juga resah dengan semakin banyaknya jumlah perempuan dan anakyang dilacurkan (AYLA) melalui perdagangan perempuan dan anak. Dalam sebuah obrolan di kantor Bandungwangi, didampingi oleh karibnya, Ana Sulikah, mereka sangat resah dengan terus meningkatnya jumlah perempuan dan anak-anak yang diperdagangkan. Perhatian pemerintah untuk menanggulangi ini tampaknya belum serius meskipun sebenarnya pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Antidiskriminasi terhadap Perempuan Tahun 1984 dan Konvensi ILO No. 111 Tahun 1985 belasan tahun lalu. Indonesia kini menjadi salah satu negara dengan peringkat perdagangan manusia terburuk di dunia, apalagi dengan situasi sosial ekonomi yang tidak kunjung membaik, banyak keluarga yang terpaksa harus mencari nafkah dengan mengerjakan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk, termasuk seks komersial. Perempuan dan anak-anak biasanya menjadi korban. “Dalam sebuah kultur yang menilai anak sebagai aset keluarga, perdagangan perempuan dan anak sangat subur terjadi. Peran orang tua dalam perdagangan anak sangat tinggi. Awalnya orang mungkin hanya menganggap bahwa perempuan dan anak-anak ini tertipu atau dipaksa oleh calo-calo atau makelar yang datang ke desa-desa mereka. Namun, kini orang tua seperti sudah jadi bagian dari jaringan perdagangan manusia ini. Orang tua banyak menjual langsung anak perempuan mereka pada calo bahkan germo. Setiap bulan mereka mengambil uang yang dihasikan anaknya,” jelas Nur Aziza. Hampir setiap minggu mereka kedatangan orang tua PSK yang rata-rata berasal dari Indramayu. Mereka mengambil uang yang dengan susah payah dikumpulkan anaknya. Kini Nur Aziza bersama organisasi Bandungwangi giat keluar masuk desa- desa di wilayah nusantara. Mereka mengadakan diskusi, pelatihan atau lokakarya melawan perdagangan perempuan dan anak. Menurut pengamatannya, setidaknya ada beberapa faktoryang mendorong terjadinya perdagangan perempuan. “Pertama tentu saja kemiskinan. Kedua adalah masalah kultur masyarakat yang patriarkat. Suara perempuan dalam keluarga kurang dihargai. Mereka menjadi bagian dalam keluarga yang harus pasrah menjalankan keputusan yang biasanya ditentukan oleh ayahnya. Ketiga adalah masalah rendahnya pengetahuan perempuan. Ini yang sering menyebabkan mereka tertipu oleh calo-calo yang mengiming-imingi pekerjaan di kota. Pada akhirnya, menjerumuskan mereka sebagai komoditas seks,” papar Nur Aziza. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat memperkirakan jumlah orang yang diperdagangkan mencapai 700 ribu hingga 1 juta orang setiap tahun di dunia. Sepertiga di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. Nur Aziza dan kawan-kawannya di Bandungwangi terus memotivasi masyarakat untuk sama- sama berperang melawan perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak. Mereka kini sedang sibuk menyelenggarakan pementasan teater bertajuk “Anak- Anak Bergincu” ke beberapa tempat di Jakarta dan Indramayu. Tujuannya agar masyarakat sadar bahwa genderang perang terhadap perdagangan perempuan dan anak harus ditabuh bersama-sama. Dari pengalamannya ini, ia mendapatkan satu lagi pelajaran bahwa melawan ketidakadilan tidak bisa dilakukan secara personal, tapi melalui usaha yang teroganisasi. Pelajaran-pelajaran yang ia peroleh dari kehidupannya membuat Nur Aziza sadar bahwa harus ada yang dirombak dalam kehidupan ini. Tapi, ia mengingatkan bahwa perombakan itu tidak bisa didasari oleh angan-angan yang muluk. Ia harus berakar pada pengalaman diri dan pengalaman orang-orang yang akan melakoni perubahan itu. Sebagian pelajaran itu mungkin sudah ia cerna dan ia terapkan secara paripurna. Tapi, ia sedang menjalani kehidupan, pasti akan ada banyak pelajaran baru yang harus ia pahami. Karena menurutnya, hidup itu adalah pelajaran itu sendiri yang paling sukar untuk dimaknai. Ia merasa tidak pernah menyesali langkah-langkah kehidupan yang pernah ia tempuh. Langkah-langkah itulah yang justru membuatnya kini menjadi lebih peduli sesama, sekaligus membuat ia lebih dihargai sebagai manusia. Tentu saja, ia juga menghargai mereka yang masih menjadi bagian dari dunia PSK sebagai manusia. Karena ia peduli, maka ia dan mereka adalah manusia, bukan badak, binatang, atau anonim. (M. B. Wijaksana) Catatan Belakang: Tulisan ini dibuat pada tahun 2003 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 29, 2003 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |