Meskipun sudah hampir 21 tahun kita meratifikasi Konvensi CEDAW, namun kita masih mempunyai sejumlah kelemahan, khususnya mengenai implementasi Konvensi CEDAW ini. Pemerintah telah menunjuk Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KPP) untuk menjadi leading sector pelaksanaan konvensi ini. Sebagai kementerian nonteknis, tugas ini bukanlah mudah, karena harus bersinergi dengan departemen-departemen teknis lainnya. Bukan saja menghadapi masalah struktur yang berat, menghadapi pola pikir jajaran instansi terkait yang masih menganggap remeh isu perempuan juga menjadi hambatan yang sangat serius. Bagaimana sejauh ini implementasinya dan apa yang menjadi hambatan utama KPP dalam mengimplementasikan Konvensi CEDAW? Berikut pemaparan Dra. Sri Danti, M.A., Asisten Deputi Urusan Pendidikan Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan tahun 2006 dalam wawancaranya dengan jurnalis Jurnal Perempuan, Eko Bambang Subiyantoro[1]. Jurnal Perempuan (JP): Apa yang bisa dilaporkan dari implementasi konvensi CEDAW ini? Sri Danti (SD): Selama 21 tahun ada banyak yang dilakukan, ya. Kita bisa melihat dari sejumlah kebijakan publik. Kalau kita bicara kesetaraan gender, sebetulnya kita sudah ada di Inpres No. 9 tahun 2000. Ada juga undang-undang mengenai HAM yang juga mengimplementasikan CEDAW, yaitu UU Pemilu dan sejumlah kebijakan-kebijakan mengenai kelembagaan. Fungsi KPP sendiri dalam implementasi CEDAW adalah berkoordinasi dengan instansi teknis terkait, seperti pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan sebagainya. KPP bukan sebagai pihak yang melakukan karena KPP bukan implementing agency. KPP adalah koordinator yang fungsinya merumuskan kebijakan-kebijakan untuk penghapusan diskriminasi. Kenapa perlu lembaga yang mengoordinasikan? Karena isu perempuan itu cross cuting, ya, atau lintas sektor yang tidak hanya dilakukan oleh satu departemen, tetapi oleh semua departemen terkait. Sama halnya dengan konvensi CEDAW, kalau kita lihat, di dalam konvensi itu banyak macamnya, yaitu pendidikan, kesehatan, politik, trafficking, keluarga, lembaga perkawinan, dan sebagainya. JP: Selama ini apa yang menjadi hambatan dalam pelaksanaanya? SD: Terus-terang, masih banyak hambatan dalam pelaksanaan konvensi CEDAW itu. Pertama, belum banyak orang paham isi konvensi tersebut. Ini karena konvensi yang diratifikasi 21 tahun lalu, namun sosialisasinya kita akui masih lemah; karena yang menangani CEDAW, terus terang, tadinya tidak jelas di mana, jadi akhirnyasekarang kitaangkatkembali dengan strategi baru. Konvensi ini pernah kita terjemahkan, namun sosialisasinya masih terbatas karena kekurangan dana dan belum banyak harapan untuk mensosialisasikannya, itu yang menjadi permasalahan kedua. JP: Bagaimana dengan instansi terkait lainnya berkaitan dengan implementasi konvensi ini? SD: Departemen terkait lainnya masih perlu pembenahan. Dengan adanya mutasi sistem dan struktur yang terus berubah-ubah, akhirnya substansi konvensi CEDAW pemahamannya tidak melembaga, maka implementasinya masih terhambat. Tetapi, bukan berarti mereka tidak melaksanakan. Mereka melaksanakan, walaupun mereka tidak tahu bahwa apa yang dilakukan merupakan langkah CEDAW. Misalnya, mereka melaksanakan pengarusutamaan gender, itu, kan, dalam kerangka pelaksanaan CEDAW juga. Begitu pula dengan pembentukan gender focal point di masing-masing instansi untuk mengoordinasikan pelaksanaan, program yang responsif gender, dan sekarang sudah hampir di semua sektor. Jadi, yang muncul di permukaan adalah PUG (Pengarusutamaan Gender), bukan CEDAW, padahal payungnya itu, ya, CEDAW itu sendiri. JP: Bagaimana seharusnya bentuk implementasi CEDAW ini untuk instansi terkait? SD: Mestinya terlembaga, ya. Jadi, kalau pejabatnya pindah, substansinya tidak berubah dan sudah dipahami. Jika dalam struktur departemen terlembaga, maka jika orang yang bertanggung jawab menjadi focal point itu pindah, tentu lembaga yang ditinggalkannya tetap. Selama ini orangnya pindah, instansinya ikut hilang juga. Persoalannya juga, rata-ratayang menjadi focal point, apalagi di daerah-daerah itu, bukan eselon 2 yang tidak punya fungsi koordinasi. Padahal, namanya focal point itu, ya, harus decision maker yang bisa mengoordinasikan orang dan pemahaman-pemahamanyang tidak gampang itu. Orang ngomongin gender, orang selalu mikirnya perempuan, dan kalau sudah perempuan, mereka seolah-olah malas untuk membahasnya. JP: Ada perbedaan signifikan antara pemahaman CEDAW dan PUG? SD: Sangat signifikan, mereka itu tidak paham bahwa CEDAW itu landasan payungnya PUG sehingga mereka lebih memahami Inpres No. 9 tahun 2000 tentang PUG. Kita paham, kita memang tidak terlalu mensosialisasikan konvensi itu. Jadi ada jurang memang, tetapi sekarang sudah harus mulai diperkenalkan lagi karena memang orang yang tidak paham substansi hukum itu, kan, agak sulit memahami konvensi ini. JP: Apa dengan demikian signifikansinya akan mempengaruhi pelaksanaan? SD: Tidak, tidak apa-apa. PUG itu sebenarnya strategi untuk melaksanakan CEDAW. Konvensi CEDAW itu, kan, penghapusan diskriminasi, maka mereka sudah ada program, misalnya pendidikan untuk penghapusan buta huruf perempuan, kesehatan penurunan AKI, atau perdagangan perempuan, mereka sudah melakukan semua, tetapi mereka tidak menyadari bahwa payungnya adalah CEDAW. Jadi, yang harus diutamakan oleh kita sekarang adalah mengintensifkan sosialisasi Konvensi CEDAW tersebut. JP: Apa aspek penting bagi bangsa Indonesia dengan meratifikasi Konvensi CEDAW ini? SD: CEDAW itu, kan, landasan internasional. Kenapa kita ratifikasi, karena tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, itu yang pertama. Namun, yang lebih penting lagi karena konvensi ini digunakan untuk menegakkan hak asasi manusia dengan pendekatan right based, pendekatan kemanusiaan, laki-laki dan perempuan itu sama, yaitu manusia dan sangat universal. Jadi, pentingnya memahami konvensi ini adalah sebagai pendekatan payung pemberdayaan perempuan yang dijalankan. JP : Bagaimana dengan aparatur penegak hukum? SD: Mereka belum paham. Kita akui sosialisasi memang kurang, tetapi sedang kita intensifkan. Kita ingin, mereka yang sudah tersosialisasi terpilih, kita beri mereka TOT (Training of Trainers). Seharusnya, mereka yang sudah mendapatkan training bisa mensosialisasikan ke orang lain, bukan untuk dirinya sendiri. Belum lagi menghadapi kendala-kendala fokus program yang berbeda dan ini menjadi hambatan di hampir sejumlah departemen. JP: Adakah persoalan lain yang menjadi hambatan utama? SD: Ada, yaitu advokasi. Kalau kita advokasi, kan, harus mengubah pola pikir pejabat, nih, masalahnya, ketika kita mengundang pejabat, mereka selalu mewakilkan, jadi tidak pernah mereka sendiri yang duduk di situ, karena sekali lagi, mereka menganggap masalah perempuan adalah masalah perempuan sendiri, bukan masalah kita bersama. Mereka tidak membayangkan bahwa kalau kita memberdayakan perempuan, maka separuh masalah di Indonesia, sebetulnya, bisa terselesaikan, karena perempuan Indonesia, hampir separuh penduduk Indonesia, dan yang miskin banyak juga terjadi pada perempuan. Itu yang belum dipahami oleh pejabat-pejabat di sejumlah instansi. JP: Lalu apa strategi ke depan dalam mensosialisasikan CEDAW ini? SD: Kita akan mensosialisasikan ini ke beberapa provinsi. Kita harapkan setelah mereka dapat sosialisasi, bisa dilanjutkan sosialisasinya ke bawah. Namun, tidak hanya sosialisasi, tetapi juga bisa diimplementasikan dan itu menjadi tanggung jawab departemen teknis. JP: Lalu bagaimana mengawasinya? SD: Kita punya program kerja untuk menyusun laporan, monitoring pelaksanaan CEDAW, dan anggotanya sendiri dari instansi terkait. JP: Sudah siapkah infrastruktur dan sistem yang mendukung pelaksanaan ini? SD: Terus terang, capacity building-nya masih kurang. Selama ini hanya memakai suatu kelembagaan. Misalnya, di departemen kami sudah ada focal point, kita pakai dan kita tambah ilmunya. Lalu, mereka yang di daerah, ada biro PP (Biro Pemberdayaan Perempuan). Kalau selama ini yang disosialisasikan materinya PUG, maka kita tambahkan ilmunya pada substansi CEDAW. Tentu saja kementerian kita memfasilitasi apa yang dapat kita beri, seperti bantuan teknis, maka kita memberikan pelatihan. Karena kita tidak semuanya pintar dalam hal ini, maka kita bekerja sama dengan para mantan pejabat, NGO, atau pihak asing sebagai fasilitator. Kita mengharapkan mereka bisa melanjutkan ke bawah karena tangan kita terbatas, dana kita juga terbatas. JP: Kapan Indonesia terakhir melaporkan implementasi CEDAW di Indonesia ini ke PBB? SD: Kita sudah melaporkan yang pertama, kedua dan ketiga digabung, dan terakhir untuk laporan keempat dan kelima tahun 1995—2003, kita sudah mengirimkannya tahun 2005 lalu, dan kita sekarang sedang menunggu komentar mereka. JP: Dalam laporan kemarin apa saja hambatannya? SD: Hambatannya data itu, kita sangat lemah untuk laporan, terutama untuk departemen terkait karena mereka tidak mengerti CEDAW. Yang kedua, kebanyakan dari mereka hanya project oriented, setelah membuat kegiatan, ya, begitu saja, tidak ada laporan, tidak ada data, dan sebagainya. Lalu, mereka tidak ada data terpilah, data terpilah itu lemah sekali di departemen karena untuk membuat data terpilah mahal sehingga kita cukup sulit sekali untuk mengukur keberhasilan yang sudah dicapai. Laporan kita itu banyak yang kualitatif dan mestinya, kan, ada statistiknya juga. Sekali lagi, kelemahan kita sesungguhnya di reporting dan recording. JP: Apa strategi baru untuk mengatasi masalah tersebut? SD: Salah satu cara kita untuk pertama kali adalah membentuk Pokja, orangnya juga kita harapkan tidak ganti-ganti. Kedua, kalau dulu bikinnya borongan dalam jangka waktu delapan tahun—karena tidak ada yang bertanggung jawab untuk menyusun, padahal mestinya ada yang incharge laporan ini—maka, sekarang ini kita mulai bikin tahunan, mulai 2004—2008. Saya juga menunggu data dari teman-teman, dan kenyataannya sulit. Saya tidak tahun mengapa, padahal CEDAW ini bukan pemerintah, melainkan negara, dan kalau negara itu elemennya banyak, termasuk NGO, aparat penegak hukum, dan sebagainya. Kita hanya diserahi tugas untuk melaporkan saja. Anehnya, kalau sudah persoalan laporan, biasanya pada lari semua. JP: Dibandingkan dengan negara lain, bagaimana implementasi CEDAW di Indonesia? SD: Indonesia relatif maju karena kita sudah ada lembaga yang menangani perempuan, di negara lain belum tentu. Kita dianggap sudah maju, kita punya institusinya, menterinya, peraturan kebijakan lain yang mendukung, strategi, dan infrastruktur di daerah. Namun, karena kita besar, maka tidak semua tertangani dengan cepat. (Eko Bambang Subiyantoro) Catatan Belakang: [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2006 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 45, 2006 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |