Kantor polisi bukanlah tempat yang nyaman. Bangku keras, polisi acuh, birokrasi menyesatkan, mesin ketik kuno raksasa yang bergerak begitu lambat merekam kesaksian kita, membuat kita harus mengulangi berkali-kali kisah mengerikan kejahatan yang ingin kita lupakan saja. Asap rokok yang mencekik leher, orang-orang berpakaian preman yang berlagak lebih tahu daripada yang berseragam, dll. Sekarang, bayangkan Anda seorang perempuan dan Anda bukan baru saja kecolongan DVD player dari kamar kos Anda yang jendelanya lupa ditutup. Di sini, Anda kehilangan keperawanan Anda yang dirampas laki-laki yang menerjang pintu yang sudah Anda kunci rapat-rapat. Tempat terakhir yang ingin anda kunjungi sekarang adalah kantor polisi tadi. Ini bukan hal yang tidak disadari oleh polisi sendiri. Polwan, paling tidak. Irawati Harsono, seorang perwira Polri, sepuluh tahunan yang lalu membaca sebuah buku yang dipinjamkan oleh temannya seorang polisi Belanda. Buku itu menjelaskan konsep Police Women’s Desk, sebuah meja (atau ruangan) khusus dalam sebuah pos polisi untuk menangani pengaduan perempuan yang mengalami kejahatan, diawaki juga oleh polisi-polisi perempuan. Sejak itu, Irawati ingin membuat sistem serupa di kantor-kantor polisi di Indonesia. Ia menamakannya Ruang Pelayanan Khusus atau RPK. Bisa ditebak, ini bukan ide yang terus disambut hangat sampai kemudian, huru-hara Mei ‘98 pecah. Irawati menganggap inilah saatnya angin mulai bertiup ke arahnya, “Dan saya sadar, tidak mungkin juga memulai semua ini top-down, kita bikin bottom-up saja. Coba saja enam bulan dulu, terus kita evaluasi. Tapi, tentu saja saya juga merayu Bu Rusmanhadi, istri Kapolri waktu itu, teman saya waktu di PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian). Hahaha.” Dengan menggabungkan gerilya bottom-up dan lobi top level ini, Irawati mulai bergerak. Dibantu, antara lain oleh Saparinah Sadli, ia mulai melatih para Polwan di polres-polres (Kapolresnya telah ditelepon oleh Kapolda, Kapolda telah ditelepon oleh Kapolri, dan Kapolri telah dibujuk oleh Bu Kapolri). Setelah tanggal 1 September 1998 mendirikan Lembaga Bantuan Perlindungan Perempuan dan Anak DERAP–WARAPSARI (Lembaga Swadaya Masyarakat yang didirikan oleh para pensiunan Polwan), akhirnya sebanyak sembilan RPK dibuka di seantero Jakarta pada lima hari sebelum Hari Kartini, 16 April 1999. Namun, setelah enam bulan berjalan, ternyata masalah pertama yang muncul adalah sulitnya memasarkan konsep RPK ini sebagai cara tepat untuk menangani kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual. “Banyak laki- laki yang merasa dipojokkan, polisi itu sendiri yang kemarin baru saja berantem dengan istrinya, misalnya,” jelas Irawati. Di sinilah masalah perdagangan orang jadi penting. “Kongres Amerika ternyata punya sebuah komisi yang memeriksa kesigapan negara-negara menangani kasus perdagangan orang. Sebenarnya, ini masalah uang. Kongres berusaha mengurangi jumlah bantuan yang harus diloloskannya. Soal perdagangan orang, ini bisa dijadikan alasan,” kata Irawati. “Waktu itu tahun 2002, tidak ada UU tentang perdagangan orang dan tidak ada data. Karena statistik kriminal Mabes Polri, kan, mengacu pada KUHP, kriminalitas di situ, ya, berarti pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, pemalsuan dokumen, dll. Sementara, perdagangan orang, kan, ya, semuanya itu!” jelasnya lagi. Berdasarkan laporan komisi kongres itu, Indonesia ditempatkan di Tier 3, tingkat paling rendah. “Itu sama saja negara kita dianggap tak beradab. Ya, memang benar kalau kita lihat gadis-gadis berumur 14 tahun sudah dilacurkan di Batam,” komentar Irawati. Seperti biasa, soal status dan reputasi bisa langsung membugarkan birokrasi yang tadinya terkantuk-kantuk. Menko Kesra langsung membuat Rencana Aksi Nasional atau RAN yang mengatur tentang apa yang harus dilakukan polisi, Departemen Sosial, dan LSM-LSM untuk memecahkan masalah perdagangan orang ini. Pada praktiknya, RAN berguna untuk melatih kerja sama antara polisi-polisi di berbagai tempat, kerja sama yang diperlukan untuk melacak perdagangan orang yang lincah berpindah-pindah tempat, kerja sama yang tidak biasa dilakukan bintara-bintara Indonesia. “Misalnya, seorang bapak di Indramayu lapor, ‘Pak, anak saya kemarin telepon dari Riau, ia dipaksa jadi pelacur.’ Mungkin sekali si Polisi akan bereaksi, ‘Lho, Pak, itu, kan, kejahatannya terjadi di sana, itu, kan, kerjaannya polisi sana,’” contoh Irawati. Berkat RAN ini, peringkat Indonesia dinaikkan ke Tier 2. Akan tetapi, hal ini justru membuat Irawati kecewa. “Saya bilang sama orang kongres itu, ‘Saya menyesal Anda sudah menaikkan Indonesia ke Tier 2. Sekarang semua orang pasti jadi puas, nanti tidak akan terjadi apa-apa.’ Dan, benar, kan?” Memang, ternyata dengan tidak adanya UU yang mengatur, RAN yang ditetapkan Menko Kesra tersebut menjadi tidak ada hasilnya. Tetap tidak banyak kasus perdagangan orang yang sampai ke meja polisi (apalagi ke meja RPK) dan prosesnya seperti biasa juga, tetap digerogoti korupsi di mana-mana karena aparat yang seharusnya menjalankan RAN itu, justru sering menjadi pos-pos penting dalam perdagangan orang, seperti untuk menyediakan paspor dan KTP palsu. “Tidak mungkin itu terjadi tanpa campur tangan pegawai negeri,” kata Irawati. Awal 2006, Indonesia diturunkan peringkatnya menjadi 2.5 “Sebenarnya tetap 2, tapi masuk watchlist,” jelas Irawati. Irawati berpendapat bahwa perdagangan orang, seperti juga pemasyarakatan RPK tadi, adalah masalahyang menyatudengan masalah kebudayandan kemiskinan di Indonesia. Memisahkannya sama susahnya dengan memisahkan bayi kembar siam. Mungkin sebaiknya jangan. Ia memberi contoh, “Soal memulangkan korban, misalnya, enggak gampang. Enggak bisa kitaselalu langsung memulangkan mereka ke rumahnya. Kalau dulu ia dijual sama bapaknya, bagaimana?” Irawati menganggap bahwa budaya patriarki Indonesia sering membenarkan kesewenangan bapak kepada anak perempuannya. Kesewenangan yang pastinya lahir dari himpitan kemiskinan juga. Irawati menceritakan satu contoh lagi, “Tahu Rawa Malang? Itu lokalisasi pelacuran pindahan dari Kramat Tunggak, di pinggir sungai yang sudah mengendap-endap, hitam. Ada seorang bapak yang datang ke situ seminggu sekali untuk minta nafkah dari anaknya yang jadi pelacur.” Irawati juga menyebutkan bahwa banyak gadis pelacur seperti itu, “diijon” bapaknya pada usia 14 tahun, karena indoktrinasi agama yang tidak benar. Jadi, gadis pelacur itu berpikir bahwa yang dilakukannya, walaupun menyiksa, tetap sebuah bentuk pengabdian kepada orang tua yang nantinya akan diganjar pahala. Karena berbagai keruwetan moral di atas, satu-satunya hal yang bisa disimpulkan sekarang tentang perdagangan orang menurut Irawati adalah bahwa semua ini terlalu kompleks untuk ditangani secara dramatis. Dengan demikian, masalah perdagangan orang yang tadinya coba digunakan untuk mempopulerkan RPK, ternyata masih perlu dipopulerkan juga. Paling tidak, semua orang harus sadar bahwa perdagangan orang adalah salah satu bentuk modern slavery atau perbudakan modern dan yang dirugikannya—terutama— adalah perempuan. Mempersiapkan masyarakat untuk bisa menerima ide baru memang problem klasik Indonesia. Irawati mengumpamakan RPK tadi seperti jantung baru yang ditempelkan ke tubuh lama. Tugas penggerak-penggerak perempuanlah yang mempersiapkan tubuh lama untuk dapat menerima jantung barunya, antara lain dengan menyadarkan mereka tentang gawatnya masalah perdagangan orang sehingga setiap kantor polisi sebaiknya punya sebuah RPK kalau mereka memang ingin masalah ini ditangani secara serius dan manusiawi; juga mengawasi kerja RPK-RPK begitu mulai berfungsi dan distrukturisasi oleh undang-undang. Seperti halnya sebuah jantung baru, ia ada bukan berarti ia akan otomatis bekerja. Sebagai seorang pensiunan Polwan, Irawati bisa bersaksi bahwa sejarah kepolwanandi Indonesiapenuhdengankisahperjuanganpembaruanyang membara sebentar, kemudian redup lagi karena sikap dingin patriarki dan maskulinitas yang tetap mendominasi Polri (Polwan hanya 3% dari seluruh polisi dan 70% dari mereka adalah bintara, perwira rendah). Penggerak-penggerak perempuan ini harus mengawasi hal-hal yang mungkin kelihatan kecil, tapi sebenarnya vital untuk kelangsungan RPK; bahwa di situ korban yang melapor boleh menangis, boleh minum dulu, boleh istirahat dulu, dan selalu dilayani dengan empati dan sabar. Seorang Polwan, si minoritas berpangkat rendah tadi, mungkin bisa melihat seorang korban dilayani tengah malam oleh polisi laki-laki yang mungkin malah melontarkan komentar-komentar seksis, tetapi ia tidak bisa melakukan apa-apa.Seperti kata Irawati tadi ketika ia sedang berbicara tentang pengaruh Komisi Perdagangan Orang Kongres Amerika, “RPK tidak bakal jalan tanpa tekanan dari luar.” (Mikael Johani) Catatan Belakang: Tulisan ini dibuat pada tahun 2006 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 46 2006 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |