Orientasi seksual lesbian telah dipandang sebagai orientasi yang “lian” oleh masyarakat. Sebabnya, menurut Siti Musdah Mulia, seorang tokoh feminis muslimah yang progresif, terletak pada konstruksi yang dicitrakan dalam budaya patriarki sehingga baik atau buruk, benar atau salah, tergantung dari sudut pandang laki-laki dan bukan dari kalangan perempuan. Berikut ini perbincangan Dewi Setyarini dari Jurnal Perempuan dengan perempuan kelahiran Bone, 50 tahun lalu, yang pada tahun 2007 kemarin mendapatkan penghargaan International Women of Courage Award dari pemerintah Amerika Serikat. Jurnal Perempuan (JP): Menurut Anda, apa itu seksualitas dan bagaimana pandangan masyarakat terhadap isu ini? Siti Musdah Mulia (SMM): Masyarakat cenderung memandang seksualitas sebagai hal yang menjijikkan sehingga tidak pantas atau tabu dibicarakan di ruang publik, apalagi di hadapan anak-anak remaja. Menurut saya, seksualitas adalah sebuah proses sosial yang menciptakan dan mengarahkan hasrat atau berahi. Seksualitas adalah sesuatu yang dikonstruksikan secara sosial (the socially constructed expression of erotic desire). Sesuatu yang bersifat positif dalam hidup manusia. JP: Seksualitas perempuan acap kali salah dimengerti, apa sebabnya, dan bagaimana seharusnya seksualitas perempuan diperbincangkan? SMM: Seksualitas perempuan adalah suatu hal yang independen dan menjadi hak perempuan sepenuhnya. Moralitas perempuan tidak dapat dinilai dari seksualitasnya dan tidak dapat dinilai berdasarkan sudut pandang laki-laki. Ia memiliki keunikan sendiri dan juga normalitas sendiri sebagai individu sebagaimana halnya laki-laki. Akan tetapi, ideologi patriarki memiliki peran yang menentukan dalam mengonstruksi citra publik tentang tubuh perempuan. Konstruksi patriarki tentang tubuh perempuan telah sedemikian merasuk ke dalam benak masyarakat. Tidak heran jika sudut pandang laki-laki lalu menjadi standar nilai dalam melihat tubuh perempuan. Standar inilah kemudian menjadi acuan menilai tubuh perempuan dalam semua aspek kehidupan. Setiap manusia punya hak dan kebebasan atas tubuhnya. Perempuan mempunyai hak dan kebebasan atas tubuhnya sendiri, ia berhak atas kesehatan dan kenikmatan tubuhnya. Tubuh perempuan bukan sesuatu yang tabu, melainkan sesuatu yang positif. Perempuan punya hak untuk mengapresiasi dan mengekspresikan tubuhnya sendiri. Tubuh perempuan bukan sumber dosa dan keonaran sebagaimana sering diungkapkan dalam masyarakat. Pikiran dan pandangan yang kotor tentang tubuh itulah sumber malapetaka yang sesungguhnya. Nilai-nilai moral yang dideskripsikan oleh laki-laki ini sangat timpang karena dibuat berdasarkan asumsi laki-laki. Penilaian moralitas yang tidak adil ini membawa kepada lahirnya berbagai stereotip tentang tubuh perempuan. Tubuh perempuan selalu dianggap sebagai penggoda, perusak kesucian laki-laki, pembawa bencana, dan sejumlah stereotip negatif lainnya. JP: Ada anggapan seksualitas itu natural dan disesuaikan dengan pasangannya, misalnya seksualitas perempuan disesuaikan dengan pasangan laki-lakinya, apa komentar Anda? SMM: Bagi saya pendapat tadi keliru. Sejatinya, seksualitas selalu berkaitan dengan konstruksisosial. Konstruksisosial mengenai seksualitas mengikuti pola relasi gender, yakni relasi gender yang masih sangat timpang. Mengapa? Relasi gender masih didominasi oleh ideologi dan sistem patriarki. Sistem patriarki yang bersifat paternalistis masih membelenggu perempuan. Sistem patriarki membenarkan laki-laki menguasai, mengontrol kehidupan perempuan dalam seluruh aspeknya: sosial, hukum, politik, moral, dan agama. Sistem ini pada ujungnya melahirkan pembagian peran dan posisi yang sangat diskriminatif antara laki-laki dan perempuan. Seksualitas selalu dipahami dalam konteks maskulinitas. Laki-laki selalu harus dalam posisi subjek. Sebaliknya, perempuan hanyalah objek, yaitu objek seks. Inilah yang membuat masyarakat menginginkan laki-laki harus agresif dan wajar jika perempuan dijadikan objek seks, dan pada gilirannya pandangan ini melegitimasi laki-laki melakukan pelecehan, perkosaan, dan kekerasan seksual. JP: Islam dipahami sangat memusuhi homoseksual yang konon diambil dari kisah umat Nabi Luth, bagaimana tanggapan Anda? SMM: Sepanjang bacaan saya terhadap kisah Nabi Luth yang dikisahkan dalam Al-Qur’an (QS. Al-A’raf: 80—84 dan QS. Hud: 77—82) ini, tidak ada larangan secara eksplisit, baik untuk homo maupun lesbian. Yang dilarang adalahperilaku seksual dalam bentuk sodomi atau liwath. Umumnya, masyarakat mengira setiap homo pasti melakukan sodomi untuk pemuasan nafsu biologisnya, padahal tidaklah demikian. Sodomi bahkan dilakukan juga oleh orang-orang hetero. JP: Apa tanggapan Anda tentang pernikahan homoseksual—gay atau lesbian—bagaimana Islam memandang prinsip-prinsip pernikahan? SMM: Penelitian saya terhadap 106 ayat Al-Qur’an yang bicara soal perkawinan dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip perkawinan Islam menganut prinsip monogami (tawahhud al-zawj). Perkawinan dilakukan atas prinsip kerelaan (al- taraadli), kesetaraan (al-musaawah), keadilan (al-’adaalah), kemaslahatan (al- mashlahat), pluralisme (al-ta’addudiyyah), dan demokratis (al-dimuqrathiyyah). Tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera (sakiinah) berlandaskan cinta dan kasih sayang (mawaddah dan rahmah); dan untuk memenuhi kebutuhan biologis secara legal, sehat, aman, nyaman, dan bertanggung jawab. Konsekuensinya, pengertian perkawinan menjadi: ‘Akad yang sangat kuat (mitsaaqan ghaliidzan) yang dilakukan secara sadar oleh dua orang untuk membentuk keluarga yang pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak.’ Bahkan, menarik sekali membaca ayat-ayat Al-Qur’an soal hidup berpasangan (QS. Ar-Rum: 21, QS. Az-Zariyat: 49, dan QS. Yasin: 36), di sana tidak dijelaskan soal jenis kelamin biologis, yang ada hanyalah soal gender (jenis kelamin sosial). Artinya, berpasangan itu tidak mesti dalam konteks hetero, tetapi bisa homo dan bisa lesbian. Maha Suci Allah yang menciptakan manusia dengan orientasi seksual yang beragam. Sayangnya, tidak banyak manusia mau memahami ciptaan-Nya. JP: Apa kritik Anda terhadap pandangan miring dan perlakuan yang meminggirkan lesbian? SMM: Masyarakat kita senang dipuji sebagai masyarakat religius, tetapi religiusitas mereka sangat terkait dengan simbol-simbol agama, bukan dengan esensi agama itu sendiri. Esensi ajaran agama adalah memanusiakan manusia, menghormati manusia, dan memuliakannya. Tidak peduli apa pun ras, suku, warna kulit, jenis kelamin, status sosial, dan orientasi seksualnya. Bahkan, tidak peduli apa pun agamanya. Masyarakat cenderung menilai kesalehan atau ketakwaan seseorang berdasarkan pada aspek-aspek susila ketimbang sosial. Tidak heran jika kalangan agama lebih peka pada persoalan lesbian, pornografi, prostitusi, homoseksualitas daripada problem sosial yang nyata, seperti kekerasan, kemiskinan, busung lapar, korupsi, kerusakan lingkungan, dan trafficking. Itulah ironisnya! JP: Apakah dengan menjadi seorang lesbian seseorang kehilangan agamanya? SMM: Setiap manusia, apa pun orientasi seksualnya sangat potensial untuk menjadi religius. Sayangnya, penilaian religiusitas di masyarakat cenderung mengandalkan simbol-simbol agama yang pada gilirannya membawa seseorang lebih mementingkan aspek luar, seperti jenis kelamin, orientasi seksual, dan semacamnya. Pemahaman keagamaan yang kehilangan esensinya sangat berbahaya. Sebab, yang tersisa hanyalah simbol-simbol yang dapat digunakan oleh siapa saja, di mana saja, dan untuk kepentingan apa saja. Setiap orang lalu mengklaim simbol-simbol tadi sebagai indikasi perilaku kesalehan atau ketakwaan, dan di sinilah awal mula kehancuran dalam peradaban manusia. Agama yang hidup di masyarakat sama sekali tidak memberikan pilihan kepada manusia. Dalam hal orientasi seksual, misalnya, hanya ada satu pilihan, heteroseksual. Homoseksual, lesbian, biseksual, dan orientasi seksual lainnya dinilai menyimpang dan distigma sebagai dosa. Perkawinan pun hanya dibangun untuk pasangan lawan jenis, tidak ada koridor bagi pasangan sejenis. Perkawinan lawan jenis meski penuh diwarnai kekerasan, esksploitasi, dan kemunafikan lebih dihargai ketimbang perkawinan sejenis walaupun penuh dilimpahi cinta, kasih sayang, dan kebahagiaan. JP: Bagaimanakah seorang lesbian dapat tetap menghayati agamanya? SMM: Tidak ada perbedaan antara lesbian dan bukan lesbian di hadapan Tuhan. Tuhan melihat manusia semata-mata berdasarkan takwa, bukan pada suku, agama, dan orentasi seksualnya. Bicara soal takwa, hanya Tuhan yang punya hak prerogatif menilai, bukan manusia. Manusia cuma bisa berlomba berbuat amal kebajikan sesuai perintah Tuhan (fastabiqul khayrat). Islam mengajarkan bahwa seorang lesbian sebagaimana manusia lainnya sangat berpotensi menjadi orang yang saleh atau takwa selama dia menjunjung tinggi nilai-nilai agama, yaitu tidak menduakan Tuhan (syirik), meyakini kerasulan Muhammad SAW., serta menjalankan ibadah yang diperintahkan. Ia tidak menyakiti pasangannya dan berbuat baik kepada sesama manusia, baik kepada sesama makhluk, dan peduli kepada lingkungannya. Seorang lesbian yang bertakwa akan mulia di sisi Allah, saya yakin ini. (Dewi Setyarini) Catatan Belakang: [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2008 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 58, 2008 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |